Zona “abu-abu” pak…bukan hitam-putih–tunggu momentum?

—in the simple truth that the military is a highly complex social phenomenon in itself and one that cuts through various level, touches several different context, and is thus subject to multiple processes of interpenetration (Gerhard Kuemmel)[1]. The illegal trade in drugs, arms, intellectual property, people, and money is booming. Like the war on terrorism, the fight to control these illicit markets pits goverments against agile, stateless, and resourceful networks …. is important to know when and how military forces may be used legitimately.To do so, it is necessary to understand the transformation of the threat—-armed groups, which once challenged goverments[2]. There exists a nexus among illicit trafficking, corruption, organized crime which feeds on the proliferation of fragile states, insurgency and terrorism [3].  

Oleh: Budiman Djoko Said

 

Pendahuluan

Konflik di-Ukraina, Crimea, Syria, Iraq, dan Laut China Selatan[1] terus menerus menarik perhatian [2]. Kategori apa atau jenis konflik apa yang terjadi …peperangan “hybrid” atau “zona abu-abu” peperangan “tak terbatas” atau “tidak beraturan” atau ”generasi baru” atau peperangan versus “little green soldiers” atau “green sailors”[3]. Untuk membedakan dengan praktek kontemporer seperti peperangan konvensional/tradisional atau perang “hitam-putih” (periksa diagram Venn berikut, pen), maka kapabilitas dan unit apa yang disiapkan[4]. Analis sekuriti, militer, pengambil kebijakan sulit memberikan label yang tepat. Pengalaman usai perang dingin, membuat militer Barat cenderung memikirkan tradisi baru membangun konsep kekuatan militer yang luwes (flexible forces)[5]—menyadarkan pengamat, pemerhati dan pemikir studi perang kelirunya pelabelan format peperangan selama ini atau kaget dengan fakta bahwa tiba-tiba mereka sudah dipintu gerbang peperangan hybrid. Persis pernyataan Perdana Menteri Perancis, Paul Reynaud[6]:

… Our classic conception of war has come up against a new conception … Of all the tasks which confront us the most important is clear thinking. We must think of the new type of warfare we are facing and take immediate decisions.

Diskusi perang dan strategy sangat luas, namun sedikit yang membahas perbedaan peperangan tidak beraturan, konvensional/tradisional, dengan isu kontemporer seperti hybrid, peperangan generasi, atau semacam itu.

Pemetaan umum (lihat diagram Venn dibawah ini)—peperangan hybrid [7] ?

— In the twenty-first century we have seen the tendency toward blurring the lines between states of war and states of peace. Wars are no longer declared, and having begun, proceed according to an unfamiliar template.  

(Gen. Valery Gerasimov, Chief of the General Staff, Russian Armed Forces)[8].

Diagram dibawah ini mendemonstrasikan perpotongan lingkaran peperangan tidak beraturan (Irregular Warfare) dengan peperangan konvensional sehingga membentuk irisan elips peperangan hybrid. Hybrid bisa saja bermain di-lingkaran peperangan tidak beraturan atau bergeser ke-konvensional atau dalam irisan Hybrid.

Contoh; sukses Jerman tahun 1940 (blitzkrieg?) dan Rusia tahun 2014 & 2015 (aneksasi negara sempalan Russia lama?), bukan karena digunakan konsep peperangan baru, tetapi karena perhitungan cermat kekuatan lawan. Perhitungan ini dikembalikan untuk mengekploitasi kelemahan dan menghindari kekuatan besar[9]. Sukses kampanye sangat tergantung pada operasional pendadakan dan membuktikan bahwa kelemahan untuk di-dadak adalah fungsi ketidak siapannya disemua lini domain kekuatan. Kasus tahun 1940, 2014 & 2015 di sebut-sebut sebagai bentuk peperangan baru[10] dan mulailah sebutan baru seperti hybrid atau abu-abu bermunculan. Echevarria, II,[11] menyebut dalam bukunya bahwa Russia dan China telah mengeksploitasi kelemahan konsep kampanye militer AS.

Menoleh pada diagram diatas, nyata-nyata profesionalisme militer telah terlempar dari kompartementalisasi peperangan. Artinya masing-masing satuan tersebut tidak memiliki lagi “juridiksi” manuevra. Misal: Passus biasanya berperan dalam perang tidak beraturan (misal: kontra insurjensi, kontra terorisme) dan pasukan regular umum berperan dalam peperangan konvensional, namun dengan munculnya elips antara ruang konvensional dengan ruang tidak beraturan—siapa yang berperan lagi antara dua (2) lapisan itu? Perlu “jahitan” (organisasi) baru, namun tidak perlu baju baru—lebih ke-isu tantangan bukan krisis. Isu perang konvensional (state-to-state conflict) murni[12] mengecil peluangnya untuk hadir, mungkin dunia sudah merasakan trauma pahitnya penderitaan perang dunia. Pantas kalau negara menggeser (trade-off) “policy” agar mengoptimalkan kekuatan militer & sipil dalam bentuk operasi gabungan (joint civil-military) mengatasi manuevra kekuatan tidak beraturan ini (radikal, terror, transnasional kriminal, dan semacam itu)[13] dan semuanya beroperasi di dalam ruang  keamanan dalam negeri (homeland security). Ruang atau lingkaran yang berada di ruang irisan tersebut, berpeluang besar menciptakan peperangan hybrid.

“Kaburnya” format peperangan, bukan hanya diwaspadai Barat bahkan oleh Gen Valery Gerasimov[14](Russia); periksa tabel Gerasimov dibawah ini. Berbeda sedikit versi Barat dan sangat wajar mengingat persepsi dan pengalaman perang Russia dan cara menjalankan perang tersebut, namun ruh-nya nampak sama, yakni format peperangan baru dengan tindakan (respon) yang baru. Russia lebih menitik beratkan pada tindakan yang patut dilakukan, sebaliknya Barat lebih komprehensif memikirkan ruang, peran, baru tindakan, bisa jadi hal ini dilakukan mengingat Barat selalu melakukan peperangan dalam bentuk koalisi (lebih pruden). Echevarria, II menyebut item # 1 dan # 2 baik dalam kolom tradisional maupun method baru tidaklah tepat.

Perang dunia ke-II, Hitler menyerang Polandia tahun 1939, tanpa deklarasi, bahkan Jepang berbuat yang sama sewaktu penyerang Pearl Harbor, tahun 1941. Faktanya para aggressor melakukan hal yang sama yakni tanpa peringatan—peringatan akan menurunkan output “pendadakan”[15]. Deklarasi sudah dianggap menyatu dengan serangan mendadak. Russia, satu-satunya yang menyatakan perang terhadap Jepang (Russo-Japan War) tahun 1945.

Referensi: Ibid, halaman 9.

Muatan # 3 sampai dengan # 5 bisa benar atau tidak, tergantung situasi politik dan bisa saja diikuti dengan manuevra kekuatan militernya atau tidak. Muatan # 6 [16], benar bila dikaitkan dengan unit konvensional, unit Passus atau kekuatan yang tidak beraturan; namun biasanya hirarkhi komando lebih luwes dan tidak kaku. Dalam kategori methoda militer baru, hanya item # 3 sampai # 9 yang baru, hal ini dimungkinkan dengan majunya pertumbuhan komunikasi dan teknologi memindai sasaran. Kecuali muatan # 5 terkesan bias, mengingat semenjak tahun 1970-an, banyak bermunculan jasa sekuriti privat. Phenomena lama, hanya mengingatkan di-era pre-Westphalian sudah hadir model pelibatan sipil dan ikut memerankan fungsi yang berkaitan dengan militer regular, bahkan terlibat langsung dalam pertempuran[17]. Di-era pasca-Westphalian, negara ikut campur mengontrol langsung konflik bersenjata—menjadi problema diluar Eropah. Bisa jadi Echevarria benar, mengingat Geroshimov hanya menekankan teknologi. Sepakat dengan komen Echevarria bahwa muatan # 6 sampai dengan # 9, merupakan situasi manajemen tempur berbasis informasi. Tentu saja bukan method baru lagi, konsepnya sudah berjalan lama. Isu asimetrik sudah terjadi dalam perang dunia II[18], dengan deklarasi perang kapal selam tidak terbatasnya Jerman (Donitz rule?,pen) dan sejalan dengan konsep asimetrik (baca:peluang) serangan Jerman di ruang yang begitu luas, meski dalam kontek perang konvensional. Analog raid udara Jerman ke London, bukankah ini terorisme juga? Hadirnya bentuk atau methoda peperangan seperti itu, maka hybrid sudah terjadi di era sebelum perang dunia. Tidaklah naif untuk mengatakan bahwa asimetrik ataupun tidak langsung (indirect) melekat dalam setiap peperangan manapun juga.

Peperangan asimetrik atau tidak langsung merupakan anggota peperangan hybrid. Mengingat perilaku hybrid dan sulitnya memilah-milah prioritas sasaran, maka negara merubah “policy” penggunaan kekuatan militer dan memberdayakan kekuatan sipil serta melatih serius dalam operasi gabungan sipil-militer. Mengingat dimensi ruang, waktu dan peluang munculnya pendadakan sangat besar serta effisiensi penggunaan militer (versus kecilnya peluang perang konvensional) dan tebaran ancaman asimetrik diruang “homeland security”. Betapa menyedihkan negara[19] yang menghadapi ancaman teroris dan ancaman asimetrik lainnya (misal: ISIS, radikalisme?).

Terjebak dan fokus versus keamanan serta kesiapan menghadapi aktor hybrid, apalagi ditambah gagalnya di-bidang ekonomi bisa-bisa masuk kategori kandidat negara “gagal”. Kekuatan sipil (termasuk para-militer atau polisi) akan kewalahan dan sangat dibutuhkan sejumlah besar personil intelijen  untuk mendeteksi ancaman ini. Sangat tidak effektif hanya dengan himbauan agar waspada terhadap aktor hybrid—latih-lah untuk terjun langsung dalam opsgab sipil-militer… tunggu momentum?

Ini peperangan abu-abu!

Sophisticated campaigns that combine low-level conventional and special operations; offensive cyber and space actions; and psychological operations that use social and traditional media to influence popular perception and international opinion [20].

Frank G Hoffman

Penggunaan militer sungguh diperlukan untuk mengatasi koalisi kekuatan asimetrik (koalisi ini adalah sipil bersenjata—labelnya insurjensi/pemberontak) dan menjadi ancaman nyata. Jumlah kekuatan sipil tidak sebanding dengan wilayah yang sangat luas, didominasi gunung-gunung, hutan lebat dan area domain maritim yang luas. Transformasi ancaman besar tersebut bila tidak di-imbangi kekuatan terlatih dalam operasi gabungan sipil-militer akan membuat pemerintah membayar  mahal harga risiko nantinya[21]. Di-ruang homeland security (kamtibmas, kamdagri), aktor peperangan abu-abu (terorisme, radikal, dll) memanfaatkan ruang terbuka untuk menyerang polisi, sipil, anak-anak, ditempat kerumunan orang banyak dengan berbagai cara seperti melukai dengan sajam, menabrakkan kendaraan atau indoktrinasi radikal masif melalui buku-buku kepada anak-anak—sungguh konsep yang brutal. Siapa bertindak selaku “policy-maker”[22] negara diruang tersebut? Sudah bukan waktunya lagi unit operasional di ruang Kamdagri/Kamtibmas ditangani satu organ, perlu organisasi pelibatan semua unit yang punya kapasitas penegakan hukum dan sangat terlatih mengatasi ancaman asimetrik ini. Pelibatannya disebut perang abu-abu, setiap tempat, waktu, dari arah mana dan kepada siapa saja bisa terjadi ancaman ini. Birokrat dan legislatif (awareness) perlu segera menuntaskan perangkat yang kapabel versus situasi terkinikan. Secara global perlu resolusi Dewan Keamanan Nasional untuk mendefinisikan isu peperangan abu-abu, konflik bersenjata serta legalitas untuk memerangi, konsekuensi dan tindakan umum mengatasinya. Contoh nyata dan prima tentang perilaku abu-abu ini adalah manuevra agresif yang di-lakukan Russia di Crimea dan Ukraina (didahului di Georgia) bagian timur dan China di laut China selatan[23]… tanpa kejelasan diskripsi dan legalitas  aksi yang dilakukannya alias ambigu dan mereka akan bebas bermanuevra dibalik ambigu itu. Nyata-nyata Russia dan China telah melebarkan pengaruh (kalau tidak mau disebut kontrol) dengan agresif, kedalam teritori aktor lain atau perairan internasional. Bagi Barat tindakan bermusuhan tersebut sungguh tidak memiliki justifikasi legal melakukan intervensi langsung dengan kekuatan militer. Barat biasanya menghindari intervensi langsung kecuali dengan perkecualian protokol atau norma aturan main. Negara yang terpengaruh dan komuniti internasional sudah berusaha menolak agresi ini namun nampakya gagal dan berdampak ragu-ragu mengatasinya. Satu-satunya cara untuk beroperasi dibawah ambang batas bermusuhan secara legal adalah menggunakan proksi regular atau spesialis, seperti sukwan atau milisia namun kapabel untuk menolak atau mengsir kekuatan agresi aktor lain.

Teknik seperti inilah yang dilakukan Moskwa ataupun Beijing [24]—cara yang sama bisa juga dilakukan oleh aktor yang menangkal agresi aktor peperangan abu-abu. Sungguh diluar kelaziman para perancang strategi dan kampanye militer umumnya untuk mengejar tercapainya obyektif. Sungguh berbeda dengan ajaran dan latihan kepada satuan-satuan bawah secara legal serta professional[25]. Russia dan China[26] terus berevolusi melanjutkan ekspansi atau strategi langkah-demi-langkah, gradual koersif namun illegal dalam konteks tindakan bermusuhan. Serangan ke-Ukraina mestinya disebut konflik Russia-Ukraina (“Russo-Ukrainian War”), tapi Ukraina menyebut perang abu-abu, Moskow sebaliknya menolak keterlibatannya[27]. Policy dan strategy Putin yang ambigu. Keunggulan terbesar Russia adalah kekuatan gabungan strategik darat (passus dan unit intelijennya) dengan kekuatan diaspora IT yang memporak-pandakan sistem keputusan nasional ex-negara sempalan Uni Soviet itu[28]. Karakteristik kunci perang abu-abu atau hybrid yang dilakukan Russia adalah: [i] batasi penggunaan kekuatan konvensional, gunakan cara-cara yang lebih effisien dan murah (misal: kekuatan cyber). [ii] gigih melakukan peperangan dengan kondisi politik apapun dan operasi yang ambigu atau abu-abu.[iii] beroperasi diruang padat penduduk, melalui operasi informasi, aksi proksi kelompok dan cara lain yang dapat mempengaruhi unit kerangka kerja politik atau sosial agar mendukung “maunya” obyektif Russia[29]. Minimal tiga (3) obyektif [30] peperangan yang dilakukan Russia; [i] menduduki wilayah tanpa kekuatan militer konvensional—suksesnya aneksasi Krimea tahun 2014.

Dengan little green men, trio yang terdiri dari unit Passus[31] yang trampil peperangan informasi dibantu geng proksi loyaltis Russia (diaspora). Russia mengulang sukses (memperbaiki kegagalannya?, pen) dengan kampanye di-Georgia tahun 2008 dengan cara yang sama[32]. [ii] menciptakan dalih terbuka yakni keselamatan minoritas (minoritas pro Russia, pen), dilanjutkan aksi militer. Eksploitasi dalih bahwa Estonia bertindak represif teradap minoritas sebagai justifikasi legal penggunaan militer, dibarengi dengan  operasi informasi serta cyber yang bisa menciptakan pengaruh yang menguntungkan Russia. [iii] menggunakan hybrid guna mempengaruhi politik dan kebijakan negara mana saja yang penting negara tersebut bersimpati pada kepentingan Russia. Utamanya negara yang lemah legalitas, korup, atau hadir geng-geng domestik yang mendukung Russia. Mekanisme atau pendorong apa yang digunakan Russia melaksanakan perang abu-abu ini? Pertama, operasi informasi dengan obyektifnya membuat suasana menjadi keruh, gaduh, dan mengaburkan tujuan yang baik atau positif atau benar, yang penting menguntungkan Kremlin[33]. Elemen hybrid ini diperagakan Russia di Ukraina maupun ISIL (ISIS,pen) di Siria dan Irak yang memadukan tekanan politik dan propaganda, terus menerus dan terarah menggunakan semua cara proksi plus perluasan operasi psikologi[34]. Kedua, nampaknya Russia memiliki “petarung petarung” (reputasi) bidang cyber. Aksinya diduga memporak-pandakan jejaring perkantoran pemerintah Georgia, Ukraina, Krimea, dll, bahkan akses system kampanye pemilu Presiden AS. Sementara ini serangan cyber ini bisa diatasi namun tetap saja perlu diwaspadai untuk serangan berikutnya. Ketiga, proksi. Russia menggunakan semua aksi proksi guna melanjutkan kepentingannya. Proksi biasa dilakukan oleh geng pro dan atau simpati kepentingan Russia.

Salah satu proksi Kremlin adalah “Night Wolves”, geng sepeda[35], ultranasionalis, anti Amerika, “boss” nya adalah “sobat” pak Putin. Peran? Tidak jelas, namun ditengarai sanggup melakukan intimidasi [36](termasuk persekusi?,pen) terhadap penduduk dan melakukan semua bentangan aksi hybrid—menciptakan kerusuhan sosial dan melemahkan pemerintah. Russia memanfaatkan geng-geng[37] protes dan pembuat gaduh di Eropah (Belanda, Bulgaria). Keempat, upaya klandestin[38]. Russia sanggup (able) menggunakan spionase tradisional sebagai bagian methoda hybrid disertai suap atau pemerasan. Pendeknya segala cara untuk mempengaruhi figur politik pemerintah yang lemah (korup) guna melanjutkan kepentingan Russia. Ketrampilan seperti itu sudah menjadi bagian profesi Passus[39] Russia guna menjamin suksesnya kampanye. Passus dikembangkan perannya secara dramatik menjadi operator yang masuk kedalam pemerintahan negara, untuk mempengaruhi dan melakukan segala cara hybrid yang bisa dikerjakan, misal di Krimea, Montenegro, Donbass, dan beberapa negara NATO[40]. Kelima, mempengaruhi secara politik, tentu saja hal ini sudah dilakukan mereka. Misalnya;   mengundang organisasi atau kandidat partai atau politisi untuk berkunjung ke Russia dalam rangka mengundang simpati kepada Kremlin. Operator hybrid lain seperti China, bukan tidak mungkin belajar dari suksesnya Russia[41]. Operator lapangan hybrid, misal diaspora Russia benar-benar format effisiensi unit “laga” (warrior) Russia atau China. Bagaimana dengan China, identikah dengan pola Russia kontemporer ini?

Sedikit gambaran tentang kekuatan maritim milisia China (elemen lain dari kekuatan hybrid) yang dibina dengan serius seperti laiknya unit militer regular. Komponen milisia maritim adalah komponen murni sipil yang dimobilisasi pemerintah China. Komponen ini mendukung dan menjalankan fungsi bantu bagi PLA (Navy). Konsep ini di-kembangkan terus menerus dan dijadikan komponen cadangan PLA, tidaklah heran China sangat serius dengan rencana strategik ini. China mengatakan bahwa milisia maritim diposisikan sebagai kekuatan kelima atau kekuatan rakyat dilaut. China sangat beralasan dengan rencana strategiknya guna mendukung agenda OBOR (one-belt-one-road) yang membelit dunia dan melebarkankan dominasi kekuatan maritim serta penyeimbang kekuatan maritim terbesar dunia yakni Angkatan Laut AS.

Isu kontemporer di Laut China selatan (dispute) semakin meyakinkan China, setelah didemonstrasikan effektifitas milisi maritim ini, murahnya ”ongkos” pembinaan dan  kapabel mengontrol kekuatan maritim besar. Topik “panas” di laut China selatan menjadi (sesungguhnya) pertarungan kekuatan maritim formal versus aktor hybrid milisia yang ambigu ini. Kekuatan ini membuktikan kegigihannya (dan koersifnya) sewaktu mengawal kekuatan armada nelayan China di-perairan tradisional China versus negara negara pantai, mencegat kekuatan Armada Pasifik AS di area yang sama beberapa kali, dan seringnya terjadi insiden dengan negara-negara penuntut (claimant states) di wilayah Asia Tenggara. Misinya berperilaku koersif dimasa damai sampai dengan dukungan (kombatan) bagi PLA(N) dimasa perang. Kekuatan milisia ini berkisar antara 750.000-an dengan platform terbesar berada di kapal ikannya yakni sebanyak 140.000 kapalnya. Kekuatan hybrid kekuatan PLA(N) sipil yang berintegrasi resmi sebagai konstabulari dan bantu militer dibawah PLA(N). Ikut aktif berperan dimasa damai mendukung diplomasi di-laut China selatan melawan Jepang, Vietnam, dan Philipina.

Kapal-kapal ini secara sepihak melindungi kapal ikan illegal China (zone legal fishing traditional?,pen) di-laut China selatan, membantu pengawal pantai China (Coast Guard) serta menerima pelatihan militer (usia personil maksimum 55 tahun) dengan konsentrasi terbesar adalah Armada  kapal ikannya[42]. Mencermati hadirnya kekuatan milisia (dan diaspora Russia) perlu kaji ulang hukum perang dilaut yang memberikan peluang melibat kapal-kapal ikan sipil yang membantu kekuatan laut musuh. Sungguh sulit membedakan kapal ikan yang sah dengan kapal ikan yang tergabung dalam PLA(N) sebagai kapal bantu. Tidaklah menutup mata bahwa kapal ikan bisa berperan “mematikan” (lethality) namun kehadirannya di-mandala perang cukup “menjengkelkan” dan dilematik bagi yang akan mengatasinya.

Tumbuh pesatnya milisia maritim[43] baik kualitas maupun kuantitas per setiap wilayah; paralel dengan pertumbuhan kekuatan induk semangnya (PLA(N)) yang berambisi menjadi kekuatan martim nomer dua—membuat cemas Delhi dan Washington. Ambisi luar biasa dan transformasi kekuatan martim China menjadi kekuatan tempur dilaut[44]. Apakah kehadiran “little green soldiers” Russia ataupun “little green sailors” China memiliki justifikasi legal sebagai bentuk intervensi militer langsung[45]. Atau melawan dengan kekuatan ber-kapasitas atau ukuran yang relatif sama seperti dimiliki mereka, misal dengan membentuk para-militer atau pasukan ekstra. Hadirnya “little green soldiers” (diaspora, passus Russia) atau “little green sailors” (pengawal pantai, milisia maritim China) membuat komplikasi ruang tempur (battlespace), degradasi proses pengambilan keputusan pemerintah dan munculnya dilemma politik à berita buruknya situasi medan di-kontrol aktor hybrid[46]. Operator lapangan hybrid seperti diaspora Russia, dan milisia maritim China benar-benar format effisiensi unit “laga” dan kontrol effektif terhadap pemerintah yang lebih kuat[47] atau “merendah” menjadi strategi AA/AD[48] yang effektif? Doktrin, strategi baru, dan pengalaman Russia sebagai “mastermind” hybrid diberikan kepada China atau memang sejalan konsepnya namun dengan cara yang agak berbeda?

Peperangan abu-abu dari waktu ke waktu … sekilas.

… “The success of any major operation or campaign depends on the free movement of one’s forces in the theatre. Without the ability to conduct large-scale movements on land, at sea, and in the air, operational warfare is essentially an empty concepts[49].

                                                                                                                             Dr. Milan Vego

Zona abu-abu adalah ruang operasi agresor yang ambigu dan berada di-antara perang dan damai dalam wadah spektrum konflik. Lingkungan operasi yang diaduk-aduk dengan isu politik, sosial, dan kompetisi sekuriti tentunya memerlukan perhatian terus menerus[50]. Banyak kritik tentang perang ini[51], bahkan  disebut sebagai dengungan lebah, namun hampir semua literatur menunjuk aktor Russia dibalik ambigu ini. Literatur banyak menyebut aksi militer Russia di-negara ex-negara bagian Uni Soviet (Georgia, Ukraina, Crimea, dll), dan ekspansi China di-laut China selatan benar-benar menyedot perhatian akademisi dan pemikir militer tentang konflik dan kompetisi diruang antara damai dan perang[52].

Kajian Freier dengan menyebut tambahan aktor hybrid lainnya adalah Iran, selain Russia dan China sebagai negara yang agresif, revisionis dan telah mencermati zona abu-abu ini melalui lima (5) kacamata kejadian mendasar yakni di-tiga (3) negara kompetitor (China, Russia dan Iran), sedangkan satu aktor dengan lingkungan amburadul di-Timur tengah, terakhir AS. Umumnya hybrid mencoba menyembunyikan kehadirannya,  menghindari kekuatan besar lawan atau kompetitor, menciptakan keputusan asimetrik, kapabilitas, dan persepsi risiko yang membingungkan dan sulit direspons effektif[53]. Sebelum Freier dan peneliti lainnya; ada studi tentang perang aneh yang merupakan gabungan integrasi, fusi taktik peperangan tidak beraturan ini dan taktik konvensional yang terdefinisi sebagai peperangan hybrid.

Ancaman hybrid menurut definisi Frank G.Hoffman[54] mungkin lebih baik, … when an adversary simultaneously and adaptively employs a fused mix of conventional weapons, irregular tactics, terrorism and criminal behavior in the battle space to obtain their political objectives. Model hybrid, ciptaan Gordon McCormick yang disebut “Diamond” mungkin bisa membantu peperanagn hybrid ini dengan menggambarkan ruang, luasnya lingkungan, pengaruh horizontal & vertikal, aktor yang bermain serta interkoneksi antar pemain. Model ini sungguh penting diketahui politisi, elit sipil & militer dan pengambil kebijakan agar memahami bahaya dan risiko diruang antara konflik dan damai ini[55]. Bisa dikatakan bahwa perang (wars) abu-abu merupakan kumpulan dari peperangan (warfare) hybrid[56]—perang abu-abu beranggotakan banyak peperangan hybrid.

Hybrid sebenarnya lebih bersifat operasional dibandingkan strategy. Hybrid membawa majikannya langsung menuju ends state. Sedangkan proksi lebih kepada taktik dibandingkan hybrid. Hoffman[57], melanjutkan definisi ancaman hybrid:… Hybrid threats[58] incorporate a full range of different modes of warfare including conventional capabilities, irregular tactics and formations, terrorist act including indiscriminate violence and coercion, and criminal disorder.…. can be conducted by both states and a variety of non-state actors. Sebagai multi-modal activities can be conducted by separate units, or even by the same unit, but are generally operationally and tactically directed and coordinated within the main battlespace to achieve synergistics effects in the physical and psychological dimensions of conflict. The effect can be gained at all levels of war. Bagi Chambers; ancaman hybrid terbagi dua (2), yakni “open warfare hybrid threats” dan “gray-zone hybrid threats[59]. Modelnya seperti dibawah [60]:

Mengimbangi aktivitas Russia, sikap dan niat strategik NATO di-bentangan domain peperangan hybrid (udara, laut, darat, ruang angkasa, cyber, informasi dan pengetahuan) sejalan dengan menyatunya ruang tempur, ruang sekuriti, dan ruang informasi serta sikap bersama dan prioritas membangun kapasitas baru kekuatan NATO, didukung dengan K2 dalam waktu singkat, sebagai sentra respons dan ketanggapannya[61]. Putin yang dianggap “inisiator” operasional hybrid memerintahkan untuk mengkaji ulang performa kekuatan militer Russia setelah invasi (buruknya) ke-Georgia tahun 2008. Invasi[62] buruk yang menyita dan menarik perhatian pengamat militer dan strategi Barat, utamanya. “Stigma” aktor hybrid masih melekat pada Kremlin semenjak invasi ke Georgia dan dilanjutkannya kampanye di-Krimea kemudian Ukraina bagian timur dan sekarang Syria tahun 2008 dengan pola gado-gado gaya berperang yang disebut peperangan hybrid atau non linear itu[63].

Sepertinya (masih diperdebatkan) bagi Barat konsep hybrid identik dengan non-linear warfare versi Moskwa adalah refleksi pemikiran baru atau pembaharuan konsep. Jelasnya bukan strategi atau konsep strategik. Legitimasi doktrin Russia adalah teori operasi mendalam (deep operation theory) dan teori kontrol refleksi dalam rangka mengaburkan dampak operasi “blitzkrieg”[64]. Sejalan dengan “maunya” Gerosimov tentang landskap ancaman abad 21 mengait pembaharuan konsep itu, dijelaskan: … the contemporary Russian military thinking shifts away from traditional military method, in which military action follows strategic deployment and declaration of war, large ground units conduct frontal clashes under strict hierarchies and manpower/firepower remain the main determinants of war. Now,…The New Russian[65] military thought focuses on “non-contact clashes between highly maneuverable units” within undeclared wars, peace-time military action, use of “armed civilians” and “management of troops in a unified informational sphere”. Program modernisasi tahun 2010 sampai dengan 2012 dan 2014, mengkaji ulang strategi Russia dengan sentra operasi hybrid dan doktrin taktik militer. Doktrin baru ini menggabungkan desepsi politik di-mandala perang dengan cara militer & non militer serta membuat keseimbangan means, ways dan ends—Russia menyebutnya sebagai Strategic Maskirovka[66]. Tekanan diberikan pada keunggulan udara, intelijen, S&R[67], mobilitas tinggi, gempuran presisi, dan memperkuat K2[68]. Putin mungkin benar, bahwa peperangan hybrid (Russia menyebut peperangan non-linear) bukan menandai berakhirnya perang tradisional atau konvensional, tetapi justru awal dari semakin sulitnya membangun kekuatan militer yang adaptif. Bisa jadi Putin[69] tidak terlalu benar, mengingat peperangan ini signifikan berbeda satu kasus ke kasus yang lain, dari satu tempat ketempat lain. Dibenarkan thesis Maj USMC Nemeth[70]; menyebut peperangan hybrid adalah bentuk peperangan gerilya kontemporer plus teknologi dan methoda mobilisasi modern. Nemeth mencontohkan gerilyawan Cechnya yang mudah mentransformasi dari perang konvensional menjadi perang gerilya dan bahkan taktik mereka jauh diluar peperangan gerilya dan terorisme.

Akhirnya …

Perang abu-abu membahas dua (2) aktor paling kontemporer yakni Russia dan China, setelah Hezbollah, Hamas, dan Iran. Perang abu-abu adalah strategik, dengan sekumpulan operasi vs ancaman hybrid (peperangan hybrid) dan masing-masing kegiatan operasional ini didukung oleh aksi taktis proksi.  Sudah hadirkah aktor abu-abu dengan kawanannya (swarming) seperti aktor hybrid dan aktor proksi di-negeri tercinta ini? Perang abu-abu sebaiknya dikenalkan di-Lemdik lanjut pra-Sesko, agar kematangan dan pemahaman (crafting) peperangan ambigu ini sudah dibangun sedini mungkin. Legislatif nampaknya memberikan justifikasi peran TNI dalam salah satu peperangan hybrid, yakni anti terror.

TNI, Polri dan Pemda mengantisipasi menyusun opsgab sipil-militer dan pelatihan lebih intensif. Intelijen banyak membutuhkan personil humint dibarengi kursus memahami perilaku aktor hybrid bekerja. Lemdik mempertajam budaya literasi (baca:keprihatinan) yang mulai didengung-dengungkan secara nasional dengan menciptakan banyak kertas berkualitas “master candidates”[71] dengan referensi yang paling terkinikan. Perpustakaan Lemdik harus banyak berburu buku via internet dan dengan jejaring antar perpustakaan (kerjasama), situs akademik, situs strategik, situs militer sebanyak mungkin[72]. Angkatan mulai mendalami perang abu-abu, peperangan hybrid dan bentangan proksi yang bisa dilakukan aktor hybrid di-bumi NKRI. Melebarnya bentangan proksi dan pola hybrid yang bisa dilakukan siapa saja dan dimana saja inilah yang mendorong pejabat daerah (plus aparat intel) harus memahami bahaya aktor hybrid ini di-daerah.

 


[1] Isaiah Wilson, III & Scot Smitson, Are Our Strategic Models Flawed? Solving America’s Gray – Zone Puzzle, Parameters 46(4) 2016-17, halaman 55. …dikatakan bahwa Sebastian Gorka menuliskan tentang ISL atau ISIS di Syria sebagai … the world’s first transnational and multiregional insurgency, as opposed to Al-Qaeda, which just an international terrorist group.

[2] Antullio J. Echevarria II, Operating in the Gray Zone: An Alternative Paradigm for US Military Strategy, (Strategic Studies Institute & US Army War College Press, April 2016), halaman 1.

[3] Christopher R Chivvis, Understanding Russian “Hybrid Warfare” and What Can Be Done About It, (RAND Corpt, Speech before the Committee on Armed Services Forces, 2017), halaman 1. … as use today in reference to Russia, “hybrid warfare” refers to Moskow’s use of a broad range of subversive instruments, many of which are nonmilitary, to further Russian national interests. Moskow seeks to use hybrid warfare to ensure compliance on a number of specific policy questions; to divide and weaken NATO; to subvert pro-Western goverments; to create pretexts for war; to annex territory; and to ensure access to European markets on its own terms.

[4] Green soldiers/men (litle) adalah julukan diaspora Russia (sipil), pasukan khusus Russia dalam aneksasi di Ukraina dan Crimea. Green sailors (sipil) julukan kekuatan kelima Angkatan Laut China (para-militer atau milisia) berupa kapal ikan beserta anak buahnya yang begitu militant, terlatih dan terorganisir. Nampaknya sedikit literatur yang membahas PLA(N) sebagai induk semang kekuatan milisia ini. Pertanyaannya, kekuatan militer seperti apa yang “pas” mengatasi format ancaman yang ambigu ini, pen.

[5] Periksa Giuseppe Caforio, Handbook of the Sociology of the Military, (Springer, 2006), halaman 405, tulisan Christopher Dandeker, Building Flexible Forces for the 21 St Century, merujuk pernyataan Rt. Hon. Geoffrey Hoon, UK Sectretary of State Defence: “ … for the future, what we need are flexible forces configured to be able to deal with many different scenarios (pentingnya menciptakan Skenario) …In the future, we may be engaged across a different, and potentially ….

[6] Antullio J. Echevarria II, Operating in the Gray Zone: An Alternative Paradigm for US Military Strategy, (Strategic Studies Institute & US Army War College Press, April 2016), halaman 2.

[7] Ibid, halaman 6.

[8] Julian L French (reporter), NATO and New Ways of Warfare: Defeating Hybrid Threats, (NATO Defence College, Conference, Rome, 2015), halaman 5.

[9] Konsep seperti ini sama seperti konsep terorisme, asimetrik, AA/AD atau gerilya…from the weaks against the strong.

[10] Antullio J. Echevarria II, Operating in the Gray Zone: An Alternative Paradigm for US Military Strategy, (Strategic Studies Institute & US Army War College Press, April 2016), halaman 4.

[11] Ibid, halaman 4, … whatever these terms might convey to today’s readers, Russian aggression and Chinese coercion have highlighted weakness in the U.S. military’s conceptual framework for planning campaigns in support of strategies. Kaitannya dengan hybrid atau abu-abu. Cara Russia memanfaatkan kelompok diaspora di Ukraina atau Armenia dalam rangka aneksasi, pengamat barat menyebutnya sebagai “little green soldiers/men”, sebaliknya versus China dengan kekuatan PLA kelimanya (Phantom Fleet ~ Armada kapal ikan (sipil)) disebutnya sebagai “little green sailors”.  Format baru kekuatan militer (sipil) yang tidak jelas dibawah hukum perang yang mana —- bagaimana cara mengantisipasi atau melawannya?

[12] Faktanya dalam peperangan konvensional sendiri tidaklah semurni itu, didalamnya ada bergiat peperangan tidak beraturan lainnya.

[13] Kebanyakan dari mereka jelas melawan pemerintah, sehingga tepatlah kalau literatur menulis sebagai kelompok insurjensi, bukan gerakan (movement). Menyebut pok insurjensi sebagai gerakan terkesan membenarkan gerakan mereka.

[14] Ibid, halaman 8.

[15] Ibid, halaman 10.

[16] Ibid, halaman 10.

[17] Ibid, halaman 10.

[18] Ibid, halaman 11.

[19] Proxy adalah bagian hybrid, dan fokus negara adalah menangkal ancaman hybrid, tidak langsung mengurai atau terlalu peduli (konteknya) dari negara mana atau actor yang mengatur serangan (menjadi induk semang atau pengatur atau boss proxy).  Kosen-nya bagaimana menanggulangi ancaman ini diwilayah sendiri.

[20] Frank G Hoffman, Conflict in the 21 st Century: The Rise of Hybrid Wars; (PIPS, 2007), halaman 38.

[21] International Law, Dept, US Naval War College, vol 88, Non International Armed Conflict in the 21 St Century, by Kenneth Watkin & Andrew J Norris, vol 88, Ch.XIII.Twenty-First Century Challenges: The Use of Military Forces to Combat Criminal Threats, by .Juan Carlos Gomez, halaman 279.

[22] No Pol-No Strat-No Act —tidak ada kebijakan – tidak akan muncul strategi – dan kelangkaan strategi tidak memungkinkan munculya operasi/aksi yang pantas dilakukan.

[23] Ibid, halaman 12.

[24] Antullio J. Echevarria II, Operating in the Gray Zone: An Alternative Paradigm for US Military Strategy, (Strategic Studies Institute & US Army War College Press, April 2016), halaman 12.

[25] Ibid, halaman 13.

[26] William G.Pierce, et-all, 3 persons, Countering Gray-Zone Wars: Understanding Coercive Gradualism, (Journal US Army War Coll, Parameters, vol 45, no.3, Autumn 2015), halaman 51…definisi gradualism coercive (US DoD) …. A state employing the  instruments of national power in a synchronized an integrated fashion to achieve national or multinational objectives by incremental steps.

[27] Antullio J. Echevarria II, Operating in the Gray Zone: An Alternative Paradigm for US Military Strategy, (Strategic Studies Institute & US Army War College Press, April 2016), halaman 12…problemnya legalitas hukum mana dan seperti apa versus musuh yang tidak jelas ini?, pen.

[28] US Army War College, 2016, US Army War College Assesment on Russian Strategy in Eastern Europe a Recommendation on How to leverage Landpower to Maintain the Peace, halaman 22, …to befuddle and confuse Western decision making.

[29] Christopher S. Chivvis; Understanding Russian “Hybrid Warfare”: And What Can Be Done About It, (RAND Corpt, CT-468, Testimony presented before the House Armed Services Committee on March 22,2017), halaman 2.

[30] Kata obyektif (sebenarnya lebih ke ends atau goal) yang digunakan dalam RO, Policy atau kebijakan atau Strategy adalah tujuan physik yang diharapkan (berpeluang besar) tercapai dengan suatu ukuran tertentu (effektifitas atau MOE ~ measures of effectiveness) misalnya menduduki teritori A dalam tempo x jam, mempengaruhi populasi area B sejumlah 70 %. Membangun kekuatan cadangan darat sebesar 15 %, laut 5 % dan udara 2 %. Berbeda dengan kalimat maksud dan tujuan yang kadang kadang sulit diterjemahkan, bahkan sangat abstrak dan kabur.

[31] Michael Kofman, et-all, Lessons from Russia’s Operations in Crimea and Eastern Ukraine, (RAND Corpt, 2017), halaman 8, … In early 2012, Russia formed a new special-forces unit called KSO. This is a small unit modeled closer to Delta Force in the US, designed to operate independently and abroad. By contrast, the Spetsnaz (Passus lama) are military reconnassaince and saboteur units intended to operate alongside conventional formations and more representative of elite infantry.

[32] Christopher S. Chivvis; Understanding Russian “Hybrid Warfare”: And What Can Be Done About It, (RAND Corpt, CT-468, Testimony presented before the House Armed Services Committee on March 22,2017), halaman 2.

 

 

[33] Ibid, halaman 3.

[34] Julian L French (reporter), NATO and New Ways of Warfare: Defeating Hybrid Threats, (NATO Defence College, Conference, Rome, 2015), halaman 5.

[35] Geng bersepeda bisa saja menjadi operator proksi, apalagi geng motor yang lebih besar jumlahnya dan mobil, pen.

[36] Christopher S. Chivvis; Understanding Russian “Hybrid Warfare”: And What Can Be Done About It, (RAND Corpt, CT-468, Testimony presented before the House Armed Services Committee on March 22,2017), halaman 4.

[37] Michael Freeman & Hy Rothstein, US Naval Postgraduate School, Gangs and Guerrillas: Ideas from Counterinsurgency (COIN) and Counterrorism, (US Naval Postgraduate School, Dept Of Defense Analysis, March 2011), halaman 13, … Can COIN strategies be used to fight urban gangs? This Q was discussed in a conversation ….it become apparent during that discussion that they were many similarities between insurgent behavior and gang behavior …. make more rigorous analysis worthwhile….

[38] Kata kata ability sering diterima sebagai kata kemampuan padahal tingkatannya masih dibawah kemampuan. BIla sudah teruji dan ada harga uji tersebut, maka system tersebut akan memperoleh harga kemampuannya atau kapabilitas. Sebaliknya menuliskan mampu atau kemampuan diyakini system tersebut sudah teruji dan benar benar mampu. Capability = Ability + Outcome (hsl experiments). Sebaliknya kalau belum teruji, jangan katakan mampu atau kapabel.

[39] DoD, JP (Joint Publication) 1-02, Department of the Defense Dictionary of Military and Associated Terms, 12 April 2001, halaman 140, … mungkin bisa dibandingkan dengan peran Passus AS yang bisa saja bergerak masuk ke negara lain dengan fungsi yang disebut DA (direct actions), pen.

[40] Christopher S. Chivvis; Understanding Russian “Hybrid Warfare”: And What Can Be Done About It, (RAND Corpt, CT-468, Testimony presented before the House Armed Services Committee on March 22,2017), halaman 4.

[41] Beberapa LSM dan kelompok media Indonesia pernah diundang Beijing berkunjung (dan jalan-jalan) ke China, pen.

[42] Connor Kennedy, Maritime Militia: The Unofficial Maritime Agency, (US Naval War Coll, CMSI), slide # 1.

[43] International Law, Dept, US Naval War College, vol 91, tahun 2015, The Law of Naval Warfare and China’s Maritime Militia, by James Kraska & Michael Monti, halaman 451.

[44] China membangun kapal-kapal pengawal pantainya (coast guard) yang dipersenjatai modern dan dilatih oleh PLA (N) nya, mereka juga ditetapkan sebagai kekuatan cadangan yang siap bertempur di laut sebagaimana halnya induknya (PLA(N)). Jadi ada dua (2) komponen aktif cadangan kekuatan maritim China. Tidak mengherankan setiap insiden dilaut mereka selalu bisa hadir dimana-mana (Phantom fleet)?, pen.

[45] “Green soldiers” (little green men) adalah sebutan bagi kekuatan diaspora Russia di-Ukraina yang dicurigai sebagai aktor serangan cyber ke kantor pemerintah Ukraina (dan melumpuhkan) yang konon dibantu pasukan khusus Russia berpakaian preman (atau separatis Ukraine pro Russia yang dikontrol Moskow) — bentuk peperangan tidak beraturan bahkan semakin tidak jelas bentuk pelibatan atau ancaman-nya (atau abu-abu). Baca Russia Displays a New Military Prowess in Ukraine’s East, Journal Military Analysis, Europe, oleh Michael R Gordon, April 21, 2014. “Green sailors” adalah kekuatan militer laut China (Angkatan ke-5?) seperti Armada kapal ikan (Phantom’s Fleet) yang militant atau armada kapal pengawal pantainya (Coast Guard). Periksa Law Dept, US Naval War College, International Law Studies, volume 88, Ch.XIII.Twenty-First-Century  Challenges: The Use of Military Forces to Combat Criminal Threats; oleh : Juan Carlos Gomez; … China operates a distributed network of fisihing vessels that are organized into a maritime militia to support the PLA (N). The militia is positioned to conduct a “people’s war at sea” in any future conflict. This strategy exploits a seam in the law of naval warfare, which protects coastal fishing vessels from capture or attack unless they are integrated into the enemy’s naval force. The maritime militia forms an irregular naval force that provides the PLA(N) with an inexpensive force multiplier, raising operational, legal and political challenges for any opponent..   

[46] US Army War College, 2016, US Army War College Assesment on Russian Strategy in Eastern Europe an Recommendation on How to leverage Landpower to Maintain the Peace, halaman 36,37, … furthermore, for the first time in history, the Ukrainian Armed Force (UAF) is fighting a “hybrid war” on its territory. This is characterized by the insurgent’s disregard of humanitarian law, moral principles, human rights, and the needs of the civilian population. Additionaly, there was massive use of Artillery and MLRS by the insurgents, including targeting populated areas to discredit the UAF. They also use large scale sabotage warfare, including mining, sniper, and radio-electronic and informational warfare.

[47] Nampak sekali unit tempur aktor hybrid ini benar-benar militant, terorganisir dan terlatih baik.

[48] Maj Cristhoper J McCarthy, USAF, Anti-Access/Area Denial: The Evolution of Modern Warfare, Paper, halaman 2. …. Today, China has emerged as a regional power with robust Anti-Access/Area Denial (AA/AD) capabilities and unclear and military intentions. In 2003, CSBA defined anti-access as enemy actions which inhibit movement into theatre and area-denial operations as activities that seeks to deny freedom of action within areas under the enemy’s control.  Strategi AA/AD adalah strategi yang kokoh dan khusus dibuat China untuk menganggu masuknya (disrupt) kekuatan militer AS.

[49] Ibid, halaman 2.

[50] John Chambers, Cpt US Army, Countering Gray-Zone Hybrid Threats: An Analysis of Russia’s New Generation Warfare and Implications for the US Army, (Modern War Institute, at West Point, Oct 18, 2016), halaman 4.

[51] Andrew Radin, Hybrid Warfare in the Baltics: Threat and Responses, (RAND Corpt, 2017), halaman 5.

[52] Ibid, halaman 4…sebenarnya peperangan hybrid dan perang abu-abu ini terjadi juga dimedan laga Timur tengah, antara Israel versus Hamas, dan sering diakui bahwa gaya perang Hamas sering berubah-rubah dan mengejudkan, pen

[53] Nathan Freier (Director), et-all; Outplayed: Regaining Strategic Initiative in the Gray Zone, (Monograph, US Army War Coll, June 2016), halaman 4.

[54] Ibid, halaman 4.

[55] Michael Freeman & Hy Rothstein, US Naval Postgraduate School, Gangs and Guerrillas: Ideas from Counterinsurgency (COIN) and Counterrorism, (US Naval Postgraduate School, Dept Of Defense Analysis, March 2011), halaman 28. …model “Diamond”, lengkapnya Gordon McCormick’s “Diamond” Counterinsurgency (atau disingkat COIN) model.

[56] Betina Rez & Hanna Smith, Russia and Hybrid Warfare—Going Beyond the Label, (Alexanteries Paper, I/2016), halaman 11, …Sebenarnya mengapa timbul kata Hybrid, disebut Betina karena hadirnya pendekatan militer dan non-militer.

[57] Frank G Hoffman (ex USMC), Conflict in the 21 st century: The Rise of Hybrid Wars, (Potomac Institute for Policy Studies, Arlington, Virgnia, juga di USMC Warfighting Lab, Quantico), Hoffman di-sebut-sebut sebagai …on the front edge of advanced concept design and experimentation distributed operations, urban reconnassaince and surveillance, counter-sniper and anti-improvised explosive device (IED) tactics, and technologies, halaman 8.

[58] Termasuk premanisme dan persekusi tentunya.

[59] John Chambers, Cpt US Army, Countering Gray-Zone Hybrid Threats: An Analysis of Russia’s New Generation Warfare and Implications for the US Army, (Modern War Institute, at West Point, Oct 18, 2016), halaman 4.

[60] Ibid, halaman 5.

[61] Christopher S. Chivvis; Understanding Russian “Hybrid Warfare”: And What Can Be Done About It, (RAND Corpt, CT-468, Testimony presented before the House Armed Services Committee on March 22,2017), halaman 10.

[62] Can Kasapoglu, Russia’s Renewed Military hinking: Non-Linear Warfare and Reflexive Control; (Research Paper, NATO Defense College, Rome, Nov 2015), halaman 1.

[63] Ibid, halaman 2 … pakar militer Russia. Andrew Korybko menyebut sebagai peperangan tidak langsung (indirect), mungkin relatif mirip dengan sangkaan Barat yang menyebut peperangan tersebut mirip mirip dengan peperangan tidak beraturan (irregular warfare).

[64] Ibid, halaman 3.

[65] Ibid, halaman 3, …. Informational sphere mungkin yang dimaksud adalah medan peperangan jejaring sentrik (networks centric warfare), pen.

[66] Christopher S. Chivvis; Understanding Russian “Hybrid Warfare”: And What Can Be Done About It, (RAND Corpt, CT-468, Testimony presented before the House Armed Services Committee on March 22,2017), halaman 10.

[67] S & R, surveillance and reconnasaince.

[68] K2 adalah komando dan kontrolà  komando dan pengendalian (kodal).  Kontrol    Pengendalian. Bahwa kontrol adalah bagian dari kegiatan pengedalian bisa-bisa saja.

[69] Bahkan peperangan gerilya-pun sudah sama sekali berubah perilaku dan penanganan-nya, gerilya RI zaman kemerdekaan jauh lebih klasik dibandingkan gerilya Vietnam era tahun 65-an, berbeda jauh baik manuevra maupun rute pelariannya dan penanganannya. Gerilya perkotaan (urban warfare) tentu saja lebih berbeda jauh, disini problem sniper dan anti sniper menjadi masalah utama.

[70] William J. Nemeth, Maj USMC, Future War and Chechnya: A Case for Hybrid Warfare, (Thesis US NPS, MA in National Security Affairs, June 2002).

[71] Kualitas ini diorganisir oleh Sesko Angkatan mengingat Lemdik ini resmi menyandang pemberi gelar kesarjanaan setara S-2 bagi alumni-nya. Budaya literasi yang didengung-dengungkan barangkali tepat mengingat jumlah kertas karya bidang pertahanan nasional dalam jurnal internasional hampir dikata tidak ada. Bandingkan Malaysia atau Singgapore. Padahal jumlah dan kualitas penulisan jurnal nasional dan internasional mempengaruhi indeks kualitas perguruan tinggi yang memiliki progdi yang berorientasi pertahanan nasional.

[72] Mungkin memprihatinkan apabila perpustakaan hanya memiliki referensi yang terbatas dan produk di-bawah tahun 2000-an. Disisi lain referensi yang bisa digunakan sebagai kamus mliter/TNI/Han belum ada dan hampir pasti sangat diperlukan sebagai referensi yang mendasar.

 

[1] Giuseppe Caforio, Handbook of the Sociology of the Military, (Springer, 2006), halaman 3…zona abu-abu seharusnya menjadi konsen bukan hanya bagi militer (baca elit) juga sipil atau sebaliknya, sebaiknya konsen bersama-sama, pen.

[2] Dept of International Law, US Naval War Coll, vol 88, Ch. XIII. Twenty-First-Century Challenges: The Use of Military Forces to Combat  Criminal Threats,oleh Juan Carlos Gomez, halaman 279,280. … isinya membahas pentingnya kekuatan militer diturunkan guna membantu pemerintah mengatasi ancaman kriminal yang bertransformasi menjadi ancaman yang berbahaya di ruang “homeland security” (kamtibmas, kamdagri). Bagi Indonesia menjadi penting mengingat terbatasnya kekuatan polisi dan seperti diungkap Panglima TNI bahkan oleh Sidney Jones, bahwa kekuatan militant radikalisme dan intoleransi seperti sel yang tidur (sewaktu-waktu bangkit), sudah berada disejumlah besar propinsi di-negeri ini, pen.

[3] Kyle, M. Spade, Maj USA; Plan Colombo; A Case for political Warfare to Defeat Transnational Criminal Organizations in the Gray Zone, Monograph US Army War Coll, 2016, halaman 2. …bagi Indonesia bisa ditambah kelompok radikalisme, dan sungguh wajar kalau pok-pok kriminal itu akan bergabung guna saling melindungi kepentingan masing-masing, pen. Julian L French (reporter), NATO and New Ways of Warfare: Defeating Hybrid Threats, (NATO Defence College, Conference, Rome, 2015), halaman 8, … Elements of this mix (counter hybrid threats, pen) would include enhanced cyber-defence and the defeat of corruption that could enable adversaries to disaggregate NATO’s….dst.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap