1. Pendahuluan
Pernyataan Presiden RI tentang keterlibatan TNI menghadapi aksi terorisme kembali menjadi polemik. Pro kontra kembali mencuat dengan berbagai persepsinya. Berandai-andai, paradigma manajemen nasional atau manajemen strategik sudah lama dibincangkan bersama DPR-RI, barangkali tidaklah seseru polemik yang mencuat. Bayangkan seandainya kepentingan nasional sudah dideklarasikan,diturunkan menjadi strategi keamamanan nasional, berikutnya strategi-strategi DIME (diplomatik, informasional,militer nasional/pertahanan dan ekonomi nasional) dan semuanya disetujui DPR-RI,akan lain lagi ceritanya.
2. Diskusi
Pilar manajemen nasional menjadi kokoh, konkrit dan tidak akan ada lagi ganjalan antara legislatif dan eksekutif. Bukankah anggota Dewan ikut mendengarkan setiap paparan pemerintah tentang masing-masing blok manajemen strategik di atas tadi? Setuju atau tidak setuju, segala sesuatu bisa diperbaiki. Dampaknya Undang-undang bukan saja berperan sebagai payung, akan tetapi menjamin tercapainya tujuan masing-masing strategi strategi yang terbangun itu.
Artinya UU akan lebih optimal muatannya apabila sudah diketahui apa maunya strategi nasional sebagai pemiliknya. Contoh, Undang-undang Pertahanan akan lebih mantap apabila diketahui apa maunya strategi pertahanan. Begitu pula Undang-undang TNI, akan lebih mantap lagi apabila diketahui strategi militer nasionalnya. Pun Undang-undang informasional [kalau ada] akan lebih mantap lagi kalau diketahui strategi informasionalnya dan seterusnya.
Pastilah isu-isu terorisme atau bahasa dunianya ancaman asimetrik sudah akan terdiskusikan jauh sebelumnya. Penggunaan TNI dalam kegiatan tempur lawan terorisme (combating terrorism), mungkin saja dengan alasan, pertama adanya klausul OMSP (operasi militer selain perang) dalam UU TNI. Kedua, dukungan unit intelijen dan dukungan aksi konstabulari, yang mungkin cocok diperankan oleh unit polisi militer. Ketiga, klausul OMSP apabila dikembangkan, sebagaimana laiknya di negara lain, akan memungkinkan terciptanya prosedur operasi gabungan sipil-militer (Joint civil-military operations).
Keempat, prosedur operasi gabungan sipil-militer ini memungkinkan terciptanya jejaring pembagian kerja pencari data, pengumpul data, analisis data, utamanya pengambil keputusan disetiap tingkat bahaya anti teror. Tidaklah terlalu mementingkan ada Koter atau tidak, yang paling penting adalah aksi atau respon yang cepat.
Aksi atau respon akan cepat apabila semua pelaku operasi gabungan ini terlatih,dan didukung dengan kerangka analisis prediksi manuvra teroris (analytic tools assessment framework, analysis prediction, connecting the dot, dll). Menjadi pertanyaan, waktu antara BomBaliI dan II, pernahkah dibuat simulasi dengan berbagai skenario, utamanya menguji dan mengukur prosedur sistem keputusan, kejelasan keputusan dan tindakan antara Desk dengan otoritas anti teror di daerah atau pusat disetiap tingkat bahaya anti teror, pembagian kerja unit intelijen( siapa yang mengumpulkan, mengolah dan menganalisis, dst) dan seri kampanye kegiatan anti teror (respon sesudahnya).
3. Penutup
Demikian kajian ini dibuat untuk digunakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah berkaitan dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut di masa depan.