Oleh: Willy F. Sumakul
1. Latar Belakang
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang terikat secara politis, ekonomi dan budaya di dalam ASEAN, yang hampir seluruhnya adalah negara maritim yang berbentuk negara pantai atau negara kepulauan, menyadari sepenuhnya bahwa laut/lautan adalah bagian dari kehidupan yang sangat menentukan bagi eksistensi negara dan bangsa masing-masing. Bagi negara-negara tersebut, laut merupakan faktor fundamental penentu yang akan selalu mewarnai kebijaksanaan pemerintah dalam seluruh aspek kehidupan utamanya di bidang politik, ekonomi dan keamanan.
Oleh karena itu dapat dipahami apabila kepentingan nasional (national interest) negara-negara tersebut yang berkaitan dengan laut, amat mengemuka dalam interaksi dengan negara lain. Suatu fakta geografis menunjukkan bahwa negara-negara ASEAN, wilayah teritorialnya berbatasan langsung dengan satu atau lebih negara tetangganya lewat laut. Konsekuensi logis dari fakta ini adalah batas wilayah teritorial serta kepemilikannya harus jelas dan benar serta disepakati oleh kedua negara bertetangga tersebut (sesuai ketentuan UNCLOS 1982).
Kepentingan nasional kemudian diterjemahkan ke dalam strategi keamanan nasional yang seterusnya dielaborasikan dalam strategi-strategi nasional sesuai bidang, antara lain strategi pertahanan dan strategi militer/angkatan. Dari sini pula kemudian disusun operasi militer, taktik, bahkan aturan pelibatan (rule of engagement). Dari alur berpikir seperti ini dapat dipahami bahwa sesungguhnya di suatu negara maju yang demokratis dewasa ini, tidak ada satupun kegiatan/penggunaan kekuatan militer yang tidak diarahkan untuk mencapai tujuan politik apapun wujudnya, baik di masa perang maupun di masa damai.
Oleh karena itu, sebagai kekuatan militer/TNI Angkatan Laut dalam menjalin kerjasama pertahanan dengan Angkatan Laut negara-negara ASEAN, hendaknya mengacu kepada Kepentingan Nasional Indonesia yang berkaitan dengan laut, agar membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi bangsa dan negara. Hal tersebut hanya dapat dicapai apabila kerjasama pertahanan dimaksud dapat dilaksanakan secara efektif.
Banyak faktor yang menjadi pendorong atau kendala baik di bidang politik, keamanan, ekonomi maupun sosial budaya bagi tercapainya kerjasama pertahanan/Angkatan Laut yang efektif. Apa yang kini dirasakan bahwa kerjasama pertahanan/Angkatan Laut di kalangan negara-negara ASEAN baik yang dilakukan secara bilateral maupun multilateral, masih perlu ditingkatkan untuk menjawab tantangan lingkungan keamanan dewasa ini. Fakta empiris menunjukkan sering terjadi insiden di lapangan yang melibatkan unsur-unsur/kapal perang negara berbatasan, namun tidak ada penyelesaian yang tuntas dalam masalah tersebut.
2. Perbandingan Bentuk Kerjasama Yang Sudah Ada
Indonesia telah memiliki kerjasama pertahanan/AngkatanL aut dengan sebagian besar negara- negara ASEAN maupun dengan negara-negara non ASEAN sekawasan lainnya, bahkan dengan India di Samudera India. Apabila ditelaah satu persatu, maka bentuk kerjasama tersebut berbeda-beda tingkatan dan kadar dari dasar pelaksanaannya, sehingga dalam implementasinya secara operasional/taktis berbeda-beda pula. Menjadi perhatian kita, apakah kerjasama tersebut efektif dalam pengertian dengan menggunakan kekuatan yang ada dan tepat, dapat diperoleh hasil yang menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan.
Kerjasama antar Angkatan Laut dapat dibagi menurut tingkatan/strata kebijakan sebagai dasar pelaksanaan dapat digambarkan secara singkat sebagai berikut.
Pertama, kerjasama yang dibangun sebatas antar Angkatan Laut yang tentunya diimplementasikan hanya pada kegiatan dalam strata operasional dan taktis. Antara kedua belah pihak belum ada perjanjian kerjasama pertahanan/militer yang mengikat kedua pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan. Pelaksanaan kerjasama kedua Angkatan Laut didasarkan pada hubungan baik dalam bingkai semangat ASEAN, serta saling percaya antar kedua Panglima Angkatan Bersenjata negara masing-masing.
Karena itu pelibatan unsur-unsur Angkatan Laut dalam Combined Operations atau Combined Exercises hanya didasarkan pada rencana operasi atau rencana latihan yang disepakati bersama di suatu daerah dan dalam waktu yang terbatas pula. Kedua belah pihak belum dapat melakukan kerjasama pada tingkat strategis. Dengan kata lain, lingkup kerjasama ini benar-benar berada dalam domain militer.
Contoh bentuk kerjasama pada tingkat ini adalah dengan Thailand dan Brunei Darussalam, yang mana TNI Angkatan Laut telah menjalin kerjasama dengan baik. Khususnya dalam bidang pendidikan dan latihan baik secara individu/personil, port visit (saling mengunjungi), maupun latihan unsur (kapal perang), seperti keikutsertaan TNI Angkatan Laut dalam latihan dengan sandi COBRA GOLD. Termasuk dalam kategori ini adalah kerjasama dengan Angkatan Laut Filipina yang wujudnya berupa Joint Patrol Commitee (JPC) di perbatasan kedua negara di Laut Sulawesi.
Kedua, bentuk kerjasama Angkatan Laut yang didasarkan pada persetujuan antar pemerintah/Departemen Pertahanan atau Departemen Luar Negeri, biasanya diwujudkan dalam bentuk MoU atau Defense Agreement. Dibandingkan dengan pola yang pertama, bentuk kerjasama ini dapat dikatakan setingkat lebih tinggi karena sudah berada dalam domain pemerintahan (sipil), oleh karena itu sebenarnya memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam hal pelibatan kekuatan. Hubungan pertahanan yang dijalin antar pemerintah memberikan peluang yang lebih luas untuk dikembangkan karena dapat mencakup kekuatan non militer/Angkatan Laut, seperti misalnya Coast Guard.
Contoh bentuk kerjasama seperti ini adalah dengan Malaysia dan Singapura. Namun dalam prakteknya kerjasama pertahanan ketiga negara tersebut belum sejauh yang diharapkan, tetapi hanya terbatas pada patroli bersama disuatu kawasan laut tertentu (Selat Malaka) dengan sandi Patkor Indosin dan Patkor Malindo.
Ketiga, dengan negara-negara ASEAN lainnya Indonesia belum memiliki suatu wadah atau kerangka kerjasama pertahanan maupun antar Angkatan Laut. Sejauh yang menyangkut masalah pertahanan bersama, negara-negara ASEAN baru mempunyai wadah yang disebut ASEAN Defense Minister Meeting (ADMM), di mana para Menteri Pertahanan bertemu dan berdialog tentang masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama di bidang pertahanan dan militer.
Dalam masalah keamanan yang lebih luas, negara-negara ASEAN bersama dengan beberapa negara mitra dialog lainnya secara berkala bertemu dalam forum yang disebut ASEAN Regional Forum (ARF). Kedua forum tersebut yang nota bene berada dalam domain politik dan sudah mulai menyentuh pada bentuk konkrit. Misalnya ASEAN Regional Forum Mairitime Shore Exercise pada 22-23 Januari 2007 di Singapura.
Keempat, kerjasama yang dibangun antara Indonesia dengan negara-negara non ASEAN, namun mempunyai pengaruh besar terhadap lingkungan keamanan di Asia Tenggara, bahkan di kawasan Asia Pasifik pada umumnya. Seperti dengan Cina, Amerika Serikat, India dan Australia. Sesuai dengan karakteristik hubungan bilateral dengan Indonesia, dari keempat negara besar ini pun dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu, dengan Cina dan Amerika Serikat dan India dan Australia.
Dengan Cina, kedua negara sepakat berkomitmen membangun strategic partnership yang tingkatnya antar pemerintah, ditandai dengan kesepakatan bersama antara Presiden S.B. Yudhoyono dengan Presiden Cina pada bulan Mei 2005. Terkandung niat dalam hubungan seperti ini untuk dikembangkan di masa depan dalam bentuk penggunaan kekuatan Angkatan Bersenjata sejauh kepentingan nasional kedua negara berjalan serasi dan seimbang. Kerjasama TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut Cina merupakan sesuatu perkembangan baru dalam hubungan kedua negara, karena dari segi waktu baru dimulai dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini terutama didorong oleh adanya perkembangan lingkungan keamanan (security environment) dewasa ini yang terutama dimotivasi oleh masalah ekonomi dan perdagangan global. Yaitu terjaminnya keamanan dan keselamatan pelayaran kapal-kapal yang mengangkut komoditi strategis dan barang-barang hasil industri lainnya. Kegiatannya yang telah diawali dengan melakukan Navy to Navy Talks di Jakarta pada awal 2008 dapat dianggap sebagai penjajagan bagi suatu kerjasama yang lebih luas di kemudian hari.
Kerjasama militer antara Indonesia dengan Amerika Serikat dapat dikatakan spesifik dan telah mentradisi karena sudah berlangsung lama. Hal ini didasarkan pada hubungan baik antara kedua pemerintah yang direalisasikan dalam berbagai kegiatan kesatuan-kesatuan militer kedua negara, seperti bidang pendidikan, intelijen, latihan, operasi maupun sosial kemanusiaan.
Baru pada 2006 lalu kerjasama pertahanan ini dipertegas melalui kesepakatan antara Presiden S.B. Yudhoyono dan Presiden George W. Bush membentuk strategic partnership. Selain itu, kedua negara telah menyusun suatu forum dialog yang disebut USIDBDD (United States-Indonesia Bilateral Defense Dialogue), namun hingga saat ini kerjasama militer kedua negara belum ada peningkatan berarti ke arah strategi militer yang lebih luas.
Secara statistik dibandingkan dengan negara lain, keterlibatan unsur-unsur TNI Angkatan Laut dalam operasi maupun latihan dengan unsur-unsur dari U.S. Navy adalah yang terbanyak misalnya dalam latihan SEACAT, CARAT, PASSEX, maupun Latihan Pos Komando yang telah memiliki jadwal kegiatan tahunan yang terencana dan baku. TNI Angkatan Laut dan U.S. Navy juga telah mempunyai Standard Operating Procedure (SOP) sebagai pegangan dalam melakukan latihan bersama (combined exercises).
Melalui inisiatif dari U.S. Navy, kegiatan latihan maupun operasi bersama akhir-akhir ini semakin intensif dilakukan, karena didorong oleh keadaan lingkungan keamanan maritim di Asia Tenggara dewasa ini. Dalam kaitan dengan isu keamanan maritim ini pula, TNI Angkatan Laut (atas desakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat) ikut serta dalam Proliferation Security Initiative, Container Security Initiative dan Maritime Security Operations pada tingkat operasional, sekalipun pada tingkat politik dan strategi keamanan Amerika Serikat, pemerintah Indonesia enggan melibatkan diri.
Melihat kenyataan ini, timbul pertanyaan mengapa antara Indonesia dan Amerika Serikat sampai saat belum ada perjanjian kerjasama pertahanan? Atau apakah perjanjian tersebut diperlukan atau tidak oleh Indonesia? Atau apakah karena Indonesia hanya dianggap sebagai mitra dan bukan sahabat oleh Amerika Serikat, sehingga perlakuannya berbeda dengan negara lain sekawasan? (Fakta menunjukkan bahwa dalam hubungan bilateral dengan negara lain, Amerika Serikat membatasi dalam beberapa kategori, yaitu sekutu, mitra, sahabat, rouges dan musuh, sekalipun mereka tidak pernah menyebutkannya).
Bentuk kerjasama yang lain adalah dengan India, negara maritim besar di Samudera India. India menaruh perhatian besar di kawasan itu terutama dari segi keamanan perdagangan di Selat Malaka, yang tercermin dalam strateginya, ”being on the shortest sea route connecting the Persian Gulf with East Asia and USA it is a crtitical choke point in the Indian Ocean Region”. Dengan adanya perjanjian kerjasama pertahanan antara pemerintah Indonesia dan India, kerjasama dalam bentuk operasional telah melibatkan unsur-unsur kekuatan Angkatan Laut kedua negara, melalui kegiatan saling mengunjungi kapal perang kedua negara dan latihan bersama.
Payung politiknya adalah perjanjian pertahanan antara Indonesia dengan India yang disebut Cooperatives Activities in the field of Defense yang kemudian diratifikasi melalui Undang-undang No.21 tahun 2006. Sangat menarik untuk dianalisa mengapa Indonesia menjalin kerjasama pertahanan, justru dengan India yang secara geografis sebenarnya tidak terletak di Asia Tenggara. Perjanjian seperti ini membuka peluang yang lebih luas untuk dikembangkan ke arah yang lebih mengikat.
Ditinjau dari luasnya bidang kerjasama pertahanan, maka perjanjian antara Indonesia dan Australia dapat dianggap yang terlengkap dibanding dengan negara lain. Dalam Lombok Agreement pada 2006 telah ditandatangani oleh masing-masing Menteri Luar Negeri apa yang dikenal dengan Agreement Between The Republic Of Indonesia And Australia On The Framework For Security Cooperation. Sesuai dengan namanya, perjanjian ini tidak hanya dibidang pertahanan, akan tetapi mencakup suatu area kerjasama yang lebih luas yaitu masalah keamanan pada umumnya.
Selain itu, perjanjian tersebut juga secara jelas menentukan tujuan (objectives) yang akan dicapai, prinsip-prinsip yang harus dianut, bidang-bidang dan bentuk (forms) kerjasama dan lain-lain telah diatur secara terperinci. Sebagai contoh, bidang keamanan maritim, pertahanan, kontra terorisme dan intelijen adalah area dan bentuk kerjasama yang disepakati kedua negara, di samping bidang-bidang yang lain. Dalam implementasinya pun, kenyataan menunjukkan bahwaAustralia sangat intensif ”mengajak”Indonesia melakukan patroli dan latihan bersama unsur-unsur Angkatan Laut dalam kerangka keamanan maritim di wilayah laut perbatasan kedua negara.
Pada bulan Mei 2007 telah disusun suatu draf ”Joint Guidance For TNI-AL- RAN Relationship ”, yang mengatur prinsip-prinsip pelibatan kedua Angkatan Laut yang bermanfaat dan saling menguntungkan. Kedua Kepala Staf Angkatan Laut sepakat untuk memprioritaskan hal-hal sebagai berikut, yaitu mutual understanding, regional security, cooperation, interoperability dan measurable outcomes. Hal yang terakhir ini ditujukan untuk menganalisis secara objektif dan keefektifannya sesuai dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Sarana utama yang akan dijadikan pedoman oleh kedua pihak adalah TNI AL-RAN Navy To Navy Talks.
3. Kerjasama Yang Efektif
Setiap negara tentunya berharap kerjasama dengan negara lain di bidang keamanan (dan pertahanan), akan terlaksana secara efektif, dalam arti berdaya guna yang membawa keuntungan bersama bagi tercapainya kepentingan nasional masing-masing. Demikian pula di kalangan negara-negara ASEAN, kerjasama bilateral maupun multilateral untuk menjaga stabilitas keamanan kawasan sudah menjadi kebutuhan bersama.
Oleh karena itu salah satu turunannya yaitu kerjasama Angkatan Laut, diharapkan akan membawa manfaat bersama. Baik terhadap tugas yang diemban maupun terhadap pembangunan kekuatan Angkatan Laut itu sendiri yang mencakup alat utama, sumberdaya manusia, informasi dan lain-lain. Secara makro untuk mengukur apakah kerjasama Angkatan Laut dapat berjalan efektif dalam arti luas, dapat ditinjau dari dasar kesepakatan (politik?) yang dibuat oleh negara-negara yang terlibat. Kesepakatan itu penting mengingat pelibatan kekuatan militer dalam segala bentuk merupakan keputusan politik dan akan selalu diabdikan bagi kepentingan nasional negara masing-masing seperti yang diuraikan.
Mengacu pada pemahaman ini, kerjasama Angkatan Laut antaraIndonesiadengan beberapa negara tetangga yang hanya didasarkan pada kesepakatan tingkat Mabes Angkatan Bersenjata, dapat dipastikan tidak akan efektif sesuai harapan karena:
- Pengerahan kekuatan unsur-unsur Angkatan Laut hanya akan berada pada strata operasional, seperti patroli bersama dengan waktu dan ruang yang terbatas dan tidak dapat ditingkatkan dalam strata strategis yang mencakup area yang lebih luas, waktu yang lebih lama dengan melibatkan asset yang lebih besar.
- Kepentingan nasional yang mengait batas teritorial wilayah laut antar negara agaknya masih menjadi ganjalan untuk meningkatkan kerjasama Angkatan Bersenjata pada tingkat yang lebih tinggi.
- Kerjasama di bidang pembangunan kekuatan, masih sangat minim karena hampir semua negara ASEAN adalah ”pembeli” dan bukan ”pembuat” alat utama, peralatan dan persenjataan militer.
Selanjutnya, kerjasama yang dilandasi oleh Defense Agreement ataupun MOU antar pemerintah walaupun memiliki peluang yang lebih besar untuk dikembangkan, namun dalam kenyataannya belum efektif dilakukan dan berhenti pada tingkat operasional taktis saja. Hal ini mungkin disebabkan oleh:
- Persepsi ancaman yang tidak sama, sangat mewarnai hubungan negara-negara ASEAN dengan negara-negara maritim besar di luar kawasan seperti Amerika Serikat. Contohnya, di antara negara ASEAN, hanya Singapura yang menandatangani keikutsertaan dalam PSI gagasan Amerika Serikat. Demikian pula Malaysia dan Singapura sebagai negara anggota Commonwealth menjadi anggota Five Power Defence Arrangement (FPDA).
- Tidak dapat dipungkiri bahwa pengaruh negara adidaya Amerika Serikat sangat menentukan dalam kebijaksanaan pertahanan beberapa negara ASEAN. Amerika Serikat mempunyai sekutu kuat di ASEAN yaitu dengan Thailand dan Filipina serta mempunyai mitra terpercaya yaitu dengan Singapura.
- Konsep Admiral Mike Mullen, (mantan) Chief of Naval Operation U.S. Navy, tentang Redefine Sea Power for the New Era yang mempromosikan Thousand-ship Navy pada 2006, mendapat tanggapan beragam dari negara-negara ASEAN. Filipina sangat mendukung rencana tersebut mengingat kemampuan kekuatan maritimnya yang lemah, sedangkan Indonesia dan Malaysia melihat konsep itu sebagai perluasan dari Regional Maritime Security Initiative (RMSI), yang berupaya memiliterisasi perairan regional, khususnya Selat Malaka.
- Faktor Cina yang semakin intens memberi perhatian ke Asia Tenggara, menempatkan negara-negara ASEAN pada posisi sulit, karena tidak mau merusak kedekatan dengan Amerika Serikat. Seperti yang dikatakan Walter Lohman dari Asian Studies Center, ”Joint China–ASEAN military exercises raise serious concerns about the transfer of US military doctrine, technology, and techniques”.
- Dalam kaitan dengan masalah tersebut, tampaknya sulit untuk mengorganisir suatu latihan ataupun operasi bersama yang melibatkan seluruh atau sebagian besar negara-negara ASEAN.
- Confidence Building Measures (CBM) yang diupayakan bersama, sejauh ini masih berupa slogan dan belum banyak dirasakan manfaatnya karena masih banyak ganjalan, utamanya di bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya.
Perjanjian kerjasama pertahanan antara Indonesiadengan Australiadan Indiayang notabene bukan negara ASEAN, justru memiliki landasan yang kokoh. Dalam Lombok Agreement denganAustralia, mengandung komitmen pemerintah kedua negara menjaga stabilitas keamanan kawasan perbatasan, yang berisikan kerangka kerjasama bilateral serta mekanisme konsultasi dalam menghadapi masalah keamanan bersama. Di samping itu kedua negara sepakat menganut prinsip kesetaraan dan saling menghormati kedaulatan dan integritas teritorial masing-masing.
Dalam perjanjian tersebut juga telah dirinci bidang-bidang kerjasama yang perlu dikembangkan, termasuk mengidentifikasi serta menyamakan persepsi tentang ancaman yang dihadapi. Masalah keamanan maritim menjadi salah satu perhatian mengingat kedua negara berbatasan langsung lewat laut. Jika perjanjian ini dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, dapat diprediksi akan membawa manfaat yang besar, khususnya stabilitas keamanan di daerah perbatasan. Intensitas patroli dan latihan bersama antara unsur-unsur Angkatan Laut kedua negara akhir-akhir ini semakin digalakkan dan karena perangkat hukumnya sudah jelas dan rinci termasuk SOP, maka ke depan kerjasama Angkatan Laut berpeluang untuk dikembangkan lebih luas lagi.
Sama halnya dengan Australia, kerjasama dengan India juga cukup memiliki landasan politik yang kuat, sehingga implementasi dalam bentuk pengerahan kekuatan termasuk kekuatan Angkatan Laut, akan lebih terarah dan jelas.
Dari fakta sejarah, kerjasama pertahanan yang paling efektif di dunia adalah melalui pakta pertahanan. Faktor penentu utama yang mengikat negara-negara yang tergabung dalam pakta adalah faktor politik, di mana setiap negara mempunyai persepsi ancaman yang sama. Sehingga andaikata terjadi serangan militer terhadap salah satu negara anggota, maka negara anggota yang lain wajib membantu. Pakta pertahanan bukan sesuatu yang baru, tetapi sudah dilakukan sejak jaman militer kuno (waktu itu istilahnya bisa lain), misalnya Perang Peloponesus, Perang Yunani melawan Persia, Perang unifikasi Jerman, Perang Napoleon, Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Seusai Perang Dunia Kedua, beberapa negara di Asia Tenggara bergabung dalam SEATO (Southeast Asia Treaty Organization). Namun seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan lingkungan keamanan menyebabkan negara anggotanya menempuh arah kebijakan politik masing-masing, maka pakta pertahanan itu pun bubar. Pakta Warsawa negeri itu runtuh dan pecah, kemudian negara–negara anggotanya mencari jalan politik sendiri-sendiri.
Satu-satunya pakta pertahanan yang masih kokoh berdiri hingga saat ini hanyalah NATO (North Atlantic Treaty Organization) ditinjau dari intensitas kegiatan. Sekalipun Perang Dingin telah berlalu, namun NATO justru berkembang sedemikian rupa, baik keanggotaannya yang bertambah maupun tugas-tugasnya yang meluas, antara lain melakukan peace keeping dan peace building operations.
Pakta pertahanan memiliki dua sisi yang sama kuat mengikat para anggotanya, yaitu sisi politik dan sisi militer. Sebagai suatu organisasi pertahanan, pakta mempunyai garis komando yang jelas, markas yang tetap dan dalam pengerahan kekuatan mengacu pada keputusan politik yang satu, Strategi militer yang sama bahkan dapat melakukan interoperability pada tingkat operasional dan tactical. Karena itu hasil-hasilnya pun dapat diukur (measurable) keefektifannya dihadapkan pada sasaran dan tujuan yang ditetapkan.
4. Penutup
Perkembangan lingkungan keamanan (security environment) di Asia Tenggara dewasa ini khususnya lingkungan maritim, memerlukan kerjasama Angkatan Laut yang kuat dan berkelanjutan di antara negara-negara ASEAN. Kerjasama tersebut perlu ditingkatkan karena dirasakan apa yang sudah dilakukan selama ini belum efektif dan maksimal, yang berakibat munculnya intervensi negara maritim besar untuk ikut serta menanggulangi masalah keamanan di kawasan ini.
Untuk mencapai kerjasama yang efektif ternyata menghadapi banyak kendala, baik yang berasal dari intra negara ASEAN maupun dari luar ASEAN. Kendala politik agaknya yang paling dominan, terbukti dari belum adanya suatu bentuk perjanjian keamanan/pertahanan yang dapat dijadikan payung hukum dan acuan bagi perencanaan dan pelibatan kekuatan Angkatan Laut. Dengan adanya berbagai perbedaan antar negara-negara ASEAN, maka pakta pertahanan tidak mungkin dibentuk di antara negara-negara itu.
Kendala lain yang tidak kalah penting adalah kepentingan nasional, khususnya yang terkait domain maritim yang kadang kala tidak sejalan, lalu tercermin dalam hubungan dengan negara maritim kuat seperti Amerika Serikat.
Intervensi dan pengaruh negara besar di kawasan Asia Tenggara selalu ditanggapi secara beragam oleh negara-negara ASEAN akibat perbedaan pandangan dalam masalah keamanan. Bila situasi ini tidak berubah, maka kerjasama TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut negara ASEAN juga akan tetap seperti yang sudah dilakukan selama ini. Dengan kata lain tidak akan berkembang dan itu artinya tidak efektif. Sebaliknya bentuk kerjasama pertahanan antara Indonesia dengan negara non ASEAN, yaitu dengan Australia dan India justru memiliki landasan politik yang cukup baik, sehingga para pengambil keputusan militer dapat menerjemahkannya dalam penggunaan kekuatan, termasuk kekuatan TNI Angkatan Laut.
Referensi :
- Peraturan Presiden No.7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara.
- India’s Maritime Military Strategy.
- Agreement between theRepublicofIndonesiaandAustraliaon the Framework for security Cooperation.
- Walter Lohman, ”The Trap of China- Asean Military Cooperation”.
- Vijay Sakhuya, ”Any Asian takers for a 1000-Ship Navy?”
- Joint Guidance for TNI-AL RAN Relationship (draf).