TINJAUAN STRATEGIK: PILIHAN PEMBANGUNAN DAYA PUKUL ANGKATAN LAUT (NAVAL FIRE POWER)

1. Latar belakang

Kepentingan nasional di dalam peningkatan war fighting capabilities untuk TNI, adalah suatu prioritas kepentingan yang tidak dapat di tunda, namun perlu memperhitungkan berbagai faktor yang sangat berpengaruh. Misalnya-kondisi keuangan nasional, prioritas kebutuhan operasional dan last but not least adalah pengaruh lingkungan strategik.

Tidak sulit untuk mengatakan bahwa, pilihan untuk peningkatan naval fire power TNI AL, adalah hasil perhitungan yang sangat beresiko oleh karena dampaknya antara lain:

(i) akan mengundang response dari pihak lain yang sudah jelas akan mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya,
(ii) pilihannya bisa relative sangat mahal, dan yang ke-
(iii) ada kemungkinan tidak efektif sebagaimana diharapkan oleh karena berbagai faktor hasil rekayasa.

2. Lingkungan Strategik

Perubahan lingkungan strategik telah berubah secara drastic, yang semula berawal dengan runtuhnya Uni Soviet dan berdampak pada perimbangan pagelaran kekuatan strategik di seluruh muka bumi.

Di lapangan hanya ada satu kekuatan yang memposisikan dirinya sebagai polisi dunia, yaitu AS dengan otot militernya (salah satunya adalah US PACOM). Perubahan kedua terjadi setelah peristiwa11 September 2001, yaitu pada saat kedua gedung kembar WTC roboh dihantam teroris. Peristiwa tersebut sepertinya memberikan “mandat” kepada “sang polisi dunia” untuk mengambil langkah-langkah pengamanan dunia terhadap ancaman teroris. Masalahnya adalah, AS melaksanakan “mandat” tersebut sesuai dengan bingkai kepentingan nasional mereka, dilakukan secara agresif, koersif dengan otot militer dan kegiatan intelijen.

Ke depan, nampaknya AS tidak lagi berbicara secara lunak tetapi cenderung mempraktekkan “big stick and no longer speaking softly”. Pidato Presiden G.W.Bush pada tanggal 16 Agustus 2004 menjelaskan sikap dan “apa maunya AS”. Sikap tersebut sebetulnya saudah lama terpendam (embedded) di dalam prinsip pembangunan dan penggunaan kekuatan yaitu enhance national capabilities but reduce multilateral capabilities. Di mandala Asia Pasifik, ada beberapa gagasan yang dikembangkan oleh AS, yaitu:

Pertama, Konsep littoral strategy yang intinya ialah US Navy akan menggunakan meriam 16 inci untuk menghancurkan sasaran di negara pantai yang umumnya berada dekat pantai atau dalam jangkauan meriam 16 inci.

Kedua, AS akan meningkatkan kemampuan untuk menggelar  constabulary operation dan menggalakkan peran US Navy di dalam counter-insurgency. 

Ketiga, adalah meningkatkan kemampuan Special Operation Forces, sebagai bagian dari operasi kapal selam. Platform yang digunakan adalah kapal selam kelas Ohio-SSBN yang selain dilengkapi dengan Tomahawk blok-III juga dibekali ASDS-minisub untuk melancarkan operasi khusus.

Menarik untuk dicermati adalah “kerelaan” pihak As kepada Australia, untuk memberikan teknologi sonar dan peralatan lainnya untuk meningkatkan kemampuan peperangan bawah air. Australiamembelanjakan US $355 juta untuk melengkapi ke enam kapal selam kelas Collins dan kini secara sepihak, mereka mengklaim bahwa sekarang ini kapal selam Australiarules under the waves. 

Ada tiga komponen lainnya yang tidak dapat diabaikan oleh pihakIndonesia, yaitu:

a. Keberadaan Five Defense Power Arrangements (Australia, United Kingdom, New Zealand, Singapura, Malaysia), berikutnya Proliferation Security Initiatives (awalnya terdiri dari 11 negara) yang di sponsori oleh AS dan yang terakhir adalah “perjanjian” Missile Control Regime Technology. Mengenai FPDA adalah pakta militer warisan perang dingin yang masih aktif dan latihan terakhir berlangsung di laut China Selatan pada bulan Juni 2004.

b. Mengenai PSI, PSI adalah bukan suatu pakta militer tetapi melaksanakan operasi militer gabungan di darat-laut-udara, yang intinya adalah interdict and boarding, untuk mencari weapon of mass destruction, missile-related equipment and technologies, yang menuju ke atau dari negara yang dicap melakukan kegiatan terorisme (state-sponsored terrorism).

c. Tentang MTCR, yaitu suatu kesepakatan beberapa negara maju (bukan produk PBB) yang tujuannya ialah membatasi teknologi misil (war heads-min 500 kg payloads, delivery system-min range 300 km, and software) agar tidak jatuh kepada negara-negara yang dikategorikan sebagai perusak hak azazi manusia , dan kini diarahkan kepada negara-negara yang terkait terorisme. Ada perjanjian lainnya seperti Wassenaar Arrangement yang menjurus pada conventional arms, sehingga secara teoritik ada dua jepitan yang potensial diterapkan kepada pihak end users yang tidak berkenaan di mata dunia internasional (baca:AS). Memang benar ada lubang-lubang pada treaties tersebut dan ada juga negara yang tidak masuk dalam perjanjian-perjanjian yang berbasis non-proliferation, arms control, disarmament, akan tetapi hegemoni AS masih demikian dominannya sehingga masih sulit untuk di lawan oleh pihak-pihak tersebut.

Pilihan strategic bagi Indonesiauntuk meningkatkan war fighting capabilities, tentunya akan berada pada spektrum: sensing, mobility, fire power, C4ISR, bisa saja membatasi pada salah satu unsur tetapi bisa juga kombinasi keseluruhannya sebagai satu sistem. Upaya peningkatan tersebut sudah jelas tidak akan luput dari pengamatan berbagai pihak terutama AS dan sekutunya. Reaksinya ada tiga kemungkinan, yaitu: (i) mereka menentang dan berbuat sesuatu yang tujuannya untuk menggagalkan (ii) setuju dan memberikan dorongan yang sifatnya membantu, atau (iii) tidak ambil pusing.

Untuk meraba sikap AS berada dimana, tentunya dengan melihat berbagai pernyataan politik dan “manovra” mesin politik yang berkembang belakangan ini.

2. Pilihan Strategik dan resikonya

Adabeberapa pilihan yang dapat ditempuh, naumun diskusi pada kajian ini akan lebih fokus pada dua model, yaitu model A dan model M.

Yang dimaksud dengan model A adalah pilihan alutsista yang parameternya adalah:

(i) Satuatau dua platform yang bertehnologi canggih,
(ii) Arsenalnya tergolong state of the art dari satu pihak produsen,
(iii) Mampu memberikan pukulan yang menghancurkan,
(iv) Sehingga ada efek deterrence.

Model A ini akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan, mulai dengan tersedianya dana. Apabila dana dapat diatasi, maka pertanyaan yang segera muncul ialah pilihan arsenalnya dan pasokannya. Pada masa lalu (Trikora) armada TNI AL sudah punya flotilla MTB tetapi tidak ada torpedo karena di blokir. Pengalaman tersebut sangat pahit tetapi pelajaran berharga yang tidak dapat diabaikan, yaitu ketergantungan pada pihak supplier. Bisa saja the history repeat it self, yaitu platformnya bisa dibeli tetapi senjata andalannya tidak ada karena diblokir dikarenakan tekanan dari pihak ketiga.

Pertanyaan yang kedua ialah alutsista dengan kecanggihan yang sangat relative tersebut diskenariokan untuk melawan siapa? Maksudnya efek deterrence ditujukan kepada siapa? Jawabannya tentu sangat sulit dan bentangan relativitasnya sangat lebar. Barangkali pihak perancang maksudnya untuk sekadar memenuhi kebutuhan pertahanan sebagai hak untuk bela diri, akan tetapi peningkatan war fighting capabilities tersebut dapat dibaca sebagai “duri” didalam area or responsibility (AOR) dari US PACOM.

Yang dimaksud dengan pilihan model M adalah alutsista yang terdiri dari beberapa platform, dengan parameternya adalah:

(i) Basis teknologi yang belum masuk kategori state of the art,
(ii) Pilihan arsenalnya yang “masih konvensional” tetapi produk mutakhir,
(iii) Mampu memberikan pukulan menghancurkan secara terbatas,
(iv) dan masih memiliki efek deterrence. 

Kajian terhadap model M akan berhadapan dengan beberapa pertanyaan, mulai dengan platform seperti apa itu dan basis teknologi seperti apapula. Pilihannya memang tidak banyak, akan tetapi dengan menggunakan measure of effectiveness dan cost benefit analyze, maka beberapa opsi dari beberapa produk yang tersedia di pasaran, akan (relative) mudah di dalam menentukan pilihan. Keuntungannya ialah pihak lain terutama yang punya big stick di kawasan Asia Pasifik tidak melihat ada peningkatan war fighting capabilities secara drastic.

Barangkali ada pertanyaan lain yang muncul di benak para perencana, yaitu apa urusannya dengan US PACOM dan pihak lain? Urusan pertahanan adalah urusan domestik dan hak setiap negara yang berdaulat, semua pihak sudah seharusnya maklum. Terlebih pula alutsistaIndonesiasudah tergolong tua, tidak andal dan tidak cukup untuk meliput yurisdiksi nasional. Adalah tindakan yang wajar apabilaIndonesiamembenahi mesin pertahanan di dalam rangka melindungi dirinya sendiri. Argumentasi tersebut memang benar adanya, akan tetapi hegemoni AS (dan sekutunya) adalah hal yang nyata dan mereka sangat mampu berbuat sesuatu.

Paling tidak, ada spektrum kemungkinannya berada dalam tiga aspek yaitu politik, ekonomi dan keamanan. Dalam bidang politik seperti Indonesiaada masalah dalam banyak hal, misalnya dalam hal good governance, otonomi daerah dan kadar nasionalisme dari 220 juta jiwa yang terdiri dari 400-an suku. Dalam biang ekonomi, juga bentangan masalahnya demikian kompleks seperti benang kusut, misalnya masalah energi, nilai tukar rupiah, pengangguran dan seterusnya. Lalu dalam bidang keamanan , disini bentangan masalahnya lebih komplikasi dan peluang intervensi pihak luar sangat terbuka lebar. Misalnya, masalah Ambalat, Papua. Aceh, Poso, Maluku, Kerawanan di Selat Malaka (Baca: choke point) dan isu terorisme. Sebagai catatan tambahan, Adm. (Ret) Dennis Blair mantan Panglima US PACOM sekarang ini menjabat Chairman pada Task Force Papua yang berada di bawah Council On Foreign Relation, suatu LSM yang mampu mewarnai kebijakan politik luar negeri AS.

Tidak sulit untuk mengatakan bahwa otot militer dan mesin intelijen AS sangat mampu “berbuat” sesuatu yang dampaknya sangat berat untuk dipikul olehIndonesia. Mereka mampu menyerap sekian data, apakah itu kelemahan yang melekat pada kebijakan pada berbagai bidang, sampai pada kerawanan dan kelemahan pada system birokrasi. Singkatnya dari masalah gula sampai denganFreeport, dari masalah silahturahmi internal partai sampai dengan otonomi daerah. Pada masa lalu, ada kasus sederhana berupa pernyataan yang bernada arogan dari Jakarta yang mengeluarkan komentar “kurang pas” dan harus dibayar dengan “dipulangkan” 400 kontainer kerajinan dari Jepara. Belum lagi bicara ekspor tuna, kuota tekstil dan sebagainya. Ilustrasi tersebut, bermaksud untuk memberikan masukan mengenai faktor “polisi dunia” yang nyatanya sangat mampu “menggoyang” stabilitas politik ekonomi dan keamanan NKRI.

Sebagai masukan untuk menjadikan bahan pertimbangan di dalam menentukan pilihan strategik, nampaknya faktor lingkungan strategik perlu di perhitungkan. Miskomunikasi dapat diatasi dengan meningkatkan intensitas frekuensi komunikasi, tentunya dengan memperhitungkan muatan (interest and message) yang akan disampaikan pada per-kesempatan.

Sebagai iliustrasi pelengkap, lepasnya Timor Timur dankonflik Ambalat, ada kesan bahwaIndonesia“berkelahi” sendirian dan tidak butuh kawan. Mudah-mudahan pelajaran berharga tersebut tidak berulang lagi oleh karenaIndonesiamasih menyimpan sejumlah masalah. Misalnya saja untuk menangani Papua dan Maluku, sudah pastiIndonesiaperlu membangun kerjasama yang saling menguntungkan dengan banyak pihak.

Demikian kajian ini dibuat untuk digunakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah berkaitan dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut di masa depan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap