The Possibilities of the Kra Canal:
Why it Matters to Indonesia
Oleh: Heni Sugihartini
- Introduction
Dalam dunai pelayaran dan dari segi ekonomi, pencarian jalur transportasi laut dengan rute terpendek, tercepat dan teraman dari pelabuhan asal ke pelabuhan yang dituju adalah suatu hal yang prinsipal. Hal ini mengingat biaya dan resiko perjalanan melalui laut yang secara alamiah memang lebih mahal dan tinggi dibandingkan dengan rute darat. Kebutuhan akan hal tersebut pun semakin meningkat terutama dengan meningkatnya globalisasi dimana kapal-kapal yang membawa orang, barang ataupun komoditas lainnya semakin hari semakin besar ukuran dan nilainya. Berkenaan dengan itu pula, pembangunan infrastruktur transportasi maritim dipandang sebagai salah satu solusi yang tepat, terutama untuk wilayah-wilayah perairan yang rentan terhadap ancaman pelayaran.
Secara tradisional, pembangunan infrastruktur transportasi juga dipandang sebagai faktor penting dalam pembentukan aset finansial untuk pertumbuhan ekonomi. Fasilitas transfortasi yang baik akan mendorong konektifitas dan akses menuju rute perdagangan lebih besar serta dapat meningkatkan daya tarik dari area tersebut di mata investor (Gauthie, 1970). Disisi lain, keterhubungan insfrastruktur transportasi yang efisien juga dapat membantu memupuk perdagangan dan kerjasama antara bangsa-bangsa yang lebih baik di kawasan sekitarnya. Hal ini adalah salah satu yang menjadi daya tarik dan dasar rasional dari ide pembangunan kanal di tanah genting Kra, Thailand.
Ide untuk membangunan kanal Kra itu sendiri telah muncul sejak pertangahan abad ke-16. Namun pembangunan kanal belum pernah dapat benar-benar direalisasikan, walaupun sangatlah dimungkinkan dan dinantikan. Ide pembangunan Kanal tersebut terus muncul dan tenggelam karena banyak faktor yang kerap menjadi perdebatan, mulai dari masih belum tersedianya teknologi, biaya pembangunan yang fantastis, kekhawatiran ancaman terhadap keamanan nasional maupun regional, pertimbangan hubungan politik/diplomatik dan ekonomi dengan negaa lain hingga masalah kerusakan lingkungan yang akan ditimbulkan.
Jikapun demikian, wacana realisasi pembangunan kanal Kra tetap hidup hingga hari ini. Pada tahun 2005, sebuah laporan internal Menteri Pertahanan AS Donald H. Rumsfeld berjudul “Energy Futures in Asia” diterima oleh Washington Times. Laporan tersebut di terima dari US defense contractor firm, Boos Allen Hamilton, yang juga merekerut dan memperkerjakan Edward Snowden (wikileaks) diperusahannya. Di dalam dokumen tersebut disebutkan bahwa:
“China is building strategic relationships along the sea lanes from the Middle East to the South China Sea in ways that suggest defensive and offensive positioning to protect China’s energy interests, but also to serve broad security objectives,”[1].
Berkenaan dengan kanal Kra, disebutkan bahwa:
“China is considering funding construction of a $20 billion canal across the Kra Isthmus that would allow ships to bypass the Strait of Malacca. The canal project would give China port facilities, warehouses and other infrastructure in Thailand aimed at enhancing Chinese influence in the region”[2].
Di tahun 2015, tepatnya tanggal 17 Mei, wacana realisasi pembangunan Kanal Kra kembali muncul dalam media massa Hongkong, Wen Wei Po. Di dalam artikel, yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Inggris oleh chinadailymail.com, disebutkan bahwa pembangunan ‘the long awaited canal’ atau “an international golden waterway” (成为国际黄金水道) di Thailand mungkin akan menjadi kenyataan dengan bantuan uang dari China. Disebutkan pula bahwa Thailand dan China telah menandatangani “Memorandum of Cooperation on the Development on the Kra Canal” seharga 28 USD di Guangzhou, China.[3] Berita tersebut disanggah oleh juru bicara Kementerian Luar negeri China, Hong lei, bahwa China tidak pernah terlibat dalam studi atau kerjasama apapun dalam kanal Kra. Namun sejumlah wartawan menyebutkan bahwa ketika ditanya apakah ada bentuk kerjasama di pihak swasta, Hong lei tidak memberikan respon apapun. Sejumlah pakar berargumen bahwa China tidak akan berbicara dengan mudah mengenai proyek seperti ini, mengingat dampak politik dan bilateral yang juga tidak bisa dipandang remeh.
Menarik melihat dua berita dari dua sumber yang berbeda tersebut. Washington Times jelas menggambarkan berita dari sudut pandang Amerika, dan Wen Wei Po (Hongkong) adalah satu dari dua media outlet yang cenderung pro pemerintah China. Dari dua berita tersebut juga kita mungkin dapat memprediksi bahwa kemungkinan realisasi pembangunan kanal Kra memiliki potensi yang besar. Hal tersebut pula yang melatar belakangi penulisan tulisan ini, khususnya mengenai dampak strategis dari kemungkinan terealisasikkanya Kanal Kra terhadap geoplitik negara besar, kawasan dan khususnya Indonesia yang akan dibagi kedalam tiga poin besar, yakni: a) the Kra Canal: Dynamics ; b) China and It’s Strategic Interest as a Possible Game Changer; c) Why It Is Matter to Indonesia.
- The Kra Canal: Dynamics
Penamaan kanal Kra diambil dari tanah genting Kra di Thailand, bagian tersempit dari semenanjung Malaya. Tanah genting Kra telah sejak lama di kenal sebagai lokasi paling pas untuk pembangunan kanal yang menghubungkan Teluk Thailand dengan Samudra Hindia (Lihat gambar 2.2).
Gambar 2.1. Isthmus Kra
Wacana dan usulan untuk penggalian sebuah Kanal di tanah genting Kra telah muncul dan tenggelam sejak pertengahan abad ke-16, namun hingga hari ini langkah nyata pembangunan mega proyek tersebut masih belum nampak. Oleh karena itu wajar jika banyak pihak cenderung skeptis bahwa pembangunan kanal ini akan benar- benar terlaksana. Namun, bisa jadi hal tersebut adalah poin pentingnya. Jikapun mengalami pasang suru, namun ide untuk pembangunan Kanal Kra tetap hidup hingga abad ke-21 ini. Hal tersebut berarti nilai kanal Kra bagi sejumlah pihak masih sangat menjanjikan dan merupakan pilihan yang patut untuk terus dipertimbangkan. Terlebih, tidak hanya menjajikan rute pelayaran yang lebih singkat dibandingkan harus melalui dan mengantri di Selat Malaka. Pembangunan kanal Kra pun diperhitungkan akan mampu mendorong pekembangan dan pembangunan ekonomi, untuk Thailand dan kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan.
Ide penggalian untuk sebuah kanal di tanah genting Kra telah muncul sejak pertengahan abad ke-16. Pada masa kekuasaan Raja Narai, Kerajaan Siam (Thailand) telah mengalami perkembangan pesat dan menjadi pusat perdagangan penting di Asia Tenggara. Pada masa itu pula Siam mulai membuka diri terhadap pedagang bangsa Eropa -Portugis dan Belanda kemudian disusul oleh bangsa Inggris dan Perancis- dan memiliki kedekatan spesial dengan bangsa Perancis. Dari kedekatannya tersebut Perancis meminta izin untuk melakukan penelitian untuk menemukan rute perdagangan baru yang dapat menghubungkan Teluk Thailand dan samudra Hindia. Adalah seorang insinyur Perancis, De LaMar, yang pertama kali memunculkan ide untuk penggalian sebuah kanal di tanah genting Kra, dari Satun hingga Songkla (Lihat Gambar 2.2 dan 2.3). Namun sebelum pembangunan tersebut dapat dilaksanakan, Raja Narai meninggal dunia dan hubungan Siam-Perancis mulai memburuk. Hingga akhirnya pada tahun 1688 semua bangsa Perancis kemudian diusir dari Ayyuttaya (Ayodya- ibukota Siam) dan pembangunan Kanal Kra pun tidak pernah terlaksana.[4]
Gambar 2.2 Kerajaan Ayyuthaya Gambar 2.3 Cra Cannal Map
Pengajuan untuk pembangunan kanal Kra kembali muncul pada tahun 1793 oleh saudara laki-laki Raja Rama I, Phra Rajawangborworn. Ia berargumen bahwa Kanal Kra akan mampu menyediakan jalan tercepat untuk mengirimkan kekuatan militer bantuan dan logistik dari bangkok untuk membantu kota-kota dipesisir laut Andaman dari invasi Burma. Ini juga merupakan pertama kalinya tujuan keamanan nasional menjadi pendorong digalinya kanal di Kra. Namun ancaman dari Burma kemudian hilang, karena Burma di invasi oleh bangsa Cina. Sehingga tujuan pembangunan kanal pun menjadi tidak relevan lagi dan akhirnya kembali terlupakan[5].
Barulah pada masa kekuasaan Raha Rama V, ide untuk membangun kanal Kra kembali muncul atas inisiasi dari Inggris. Inggris pun meminta izin untuk melakukan penggalian dari Ranong hingga Chumporn, yang merupakan rute terpendek untuk Kra. Namun rencana tersebut dibatalkan karena banyaknya tantangan untuk penggalian dan prediksi biaya yang sangat tinggi. Selain itu, pada dasarnya Inggris pun telah mempunyai dan cukup diuntungkan dari Singapura.
Di tahun 1882 Preancis kembali mendekati Thailand dan menginisiasi kembali pembangunan kanal Kra. Perancis mengirimkan Ferdinand De Lesseps, seorang insinyur yang berhasil membangun Kanal Suez (selesai tahun 1869) untuk meminta izin penggalian kanal. Namun Raja Siam, Raja Rama V, menolak usulan tersebut. Selain karena tidak mau merusak hubungan dengan Inggris yang sebelumnya juga datang, pengaruh Perancis dan negara-negara kolonial lainnnya secara umum dipandang sebagai ancaman terhadap kedaulatan Siam, dibandingkan sebagai aliansi potensial. Kekhawatiran tersebut kemudian terbuktikan ketika perang Perancis-Siam (Franco-Siamese War) pecah, dan pada 1893 Siam dipaksa untuk melepaskan Laos ketangan Perancis.
Pengajuan pembanguan kanal Kra pun berlanjut hingga periode konstitusional di Thailand. Di tahun 1935 dan pemikiran yang mendorong usulan tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun ide tersebut gagal karena pada saat itu Thailand tidak memiliki cukup dana untuk melaksanakan proyek kanal. Memasuki perang dunia II, Thailand menghadapi ancaman dari Jepang yang mulai memperluas pengaruhnya di asia tenggara. Namun pada akhirnya Thailand memilih untuk beraliansi dengan Jepang dan mendeklarasikan perang dengan Inggris. Setelah perang dunia berakhir (Jepang kalah), tidak hanya harus mengirimkan beras untuk kebutuhan perang Inggris, Thailand pun harus menandatangani perjanjian perdamaian dengan Inggris (dan India -1942). Dan pada pasal ketujuh perjanjian tersebut disebutkan “Siam undertakes to construct no canal linking the Indian Ocean and the Gulf of Siam (i.e, across the Kra Isthmus) without British consent“[6]. Pembangunan Kanal Kra pun kembali tertunda.
Setelah masa perjanjian dengan Inggris berakhir pada 1954, empat tahun kemudian proyek Kanal Kra kembali diangkat. Pemerintah Thailand kemudian memberikan izin penelitian untuk proyek Kra pada Mr. Chow dari perusahaan penyuling minyak Thailand, Leam Thong Phattana Co, Ltd. Namun proyek tersebut tidak disetujui oleh Dewan Keamanan Nasional Thailand karena masalah keamanan nasional. Pada tahun 1970, ketika terjadi kenaikan harga minyak dunia dan perlambatamn ekonomi global, usulan pembangunan kanal untuk meningkatkan ekonomi Thailand dan kawasan secara keseluruhan kembali mengemuka. Izin penelitian kembali diberikan kepada Mr. Chow untuk kedua kalinya. Namun, walaupun penelitian telah berhasil diselesaikan, ekspakasi tidak dapat dimulai karena instabilitas politik di Thailand terus terjadi.
Pada oktober 1983, kembali, usul pembuatan kanal muncul ke publik dan kala itu diusulkan oleh Kementerian Transportasi Thailand dalam sebuah seminar yang disponsori oleh Executive Intelligence Review (EIR) dan Fusion Energy Foundation (Billington 2011). Konseptualisasi dan penelitian untuk pembangunan Kanal Kra pada waktu itu adalah LaRouche dan Mistubishi Research Institute. Namun sekali lagi hasil penelitian yang dilakukan pun tidak sempat diimplementasikan karena instabilitas politik. Begitupun pada tahun 1999 (oleh Jepan Global Infrastucture Fund) tidak sempat direalisasikan karena estimasi biaya pembangunan yang fantastis (sekurang-kurangnya 20 milyar USD kala itu).[7]
Tahun 2001 ide itu kembali muncul dibawah pemerintahan PM Sinwatra. Namun gagal karena kemudian terjadi kudeta. Namun pada tahun 2007 akhirnya usulan pembangunan disetujui sementara oleh senat. Jikapun implementasi nyata untuk pembangunan Kanal tersebut tidak ada. Dan ditahun 2011 ide kanal Kra ini juga kembali muncul ketika masa pemilihan umum. Partai Pheu Thai dan Yingluck Sinawatra memenangkan kursi sebagai Perdana Menteri baru dan mengutarakan komitmenya untuk sejumlah pembangunan termasuk Kanal Kra. Namun kembali tidak dapat diimplementasikan karena sejumlah hal termasuk aspek keamanan, ekonomi dan finansial serta lingkungan.
Perkembangan terkahir mengenai rencana pembangunan kanal Kra ini adalah bocoran laporan Menteri Pertahanan AS di Era George W. Bush, tahun 2005 bahwa China tengah mempertimbangkan untuk mendanai pembangunan kanal Kra untuk kebutuhan supply energy-nya. Dan munculnya artikel di Wen Wei Po, media outlet Hongkong, tahun 2015 yang juga menyebutkan bahwa China dan Thailand telah menandatangani MOU terkait proyek pembangunan kanal Kra. Jikapun kebenaran dari berita tersebut kemudian disanggah oleh China, namun berdasarkan sejumlah media massa Singapura, kesepakatan diperkiran memang telah terjadi, namun tidak dilakukan oleh pemerintah, melainkan pihak swasta dari kedua negara. Hal ini dapat dipahami mengingat sensitifnya isu mengenai mega proyek ini, tidak hanya bagi Thailand tetapi juga kawasan dan global. Sehingga baik China maupun Thailand akan sangat hati-hati ketika membicarakan isu tersebut.
Dari pemaparan diatas dapat dilihat bahwa jikapun wacana pembangunan Kanal Kra kerap naik dan tenggelam, namun ide-nya itu sendiri tidaklah benar-benar hilang hingga hari ini. Selain itu, China yang saat ini tengah aktif melancarkan pengaruhnya dengan berbagai strategi dan inisiatif pembangunan yang ditawarkannya, berpotensi besar menjadi ‘game changer’ dari pembangunan kanal Kra (dibahas pada poin selanjutnya). Bagi Thailand, terlepas dari berbagai perdabatan yang terus menjadi pertimbangan, proyek kanal Kra adalah mimpi yang telah lama dirindukan, terutama untuk pembangunan ekonominya. Berikut adalah beberapa hal yang menyebabkan ide pembangunan Kanal Kra nampaknya tetap menjadi pertimbangan pilihan yang menjanjikan bagi sejumlah pihak.
- Keuntungan bagi Thailand.
Ide pembangunan kanal Kra hampir selalu muncul ketika pemerintahan baru di Thailand dibentuk. Dengan harapan bahwa Kra dapat menjadi batu loncatan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Thailand ditengah-tengah kesulitan ekonomi yang dihadapi. Beberapa diantaranya bahwa pembangunan kanal Kra tidak hanya akan memberikan keuntungan bagi Thailand terutama dari jasa dan industri berkaitan yang mendukung Kanal dan lalu lintas kapal yang melalui-nya. Misalnya saja adalah jasa pemanduan (hak negara), seperti Mesir yang mendapatkan banyak keuntungan dari kanal Suez, transhipment dan banyak hal lainnya. Hal tersebut berpotensi untuk mentransformasi pertumbuhan ekonomi Thailand dan menyulapnya menjadi pusat perdagangan dan aktifitas maritim di Asia Tenggara.
Berdasarkan penelitian sebuah kelompok riset dari Mistubishi GIF (Global Infrastucture Fund), Kanal Kra akan diuntungkan dari pertukaran perdagangan hingga 280 juta USD mengingat ia berapa di wilayah dengan populasi tinggi. Selain itu, pemeritah Thailand tentunya akan mampu mengumpulkan penghasilan dari aktifitas-aktifitas yang berkaitan dengan penggunaan kanal, apaka itu biaya navigasi dan toll, pajak masuk dan tarif ekspor serta aktifitas perkapalan. Berdasarkan website resmi dari Komite Studi Proyek Kanal Kra, proyeksi keuntungan dari keseluruhan proyek termasuk pengembangan Peabuhan Songkhla, pertumbuhan industri lokal dan pembangunan real estate.[8]
Walaupun terdapat kekhawatiran bahwa dengan terbelahnya fisik Thailand menjadi dua bagian oleh kanal Kra akan membuat Thailand kehilangan Yala, Pattani dan Narathiwat kepada kelompok separatis. Terlebih dengan adanya isu bahwa kelompok separatis tersebut juga kerap mendapatkan kucuran dana dari negara-negara muslim. Namun sejumlah ahli yang mendukung pembangunan kanal Kra menilai bahwa dengan pembangunan ekonomi yang cukup maka isu separatisme di selatan Thailand pun perlahan akan dapat ditekan dan mereda. Selain itu, masalah sosial dan imigrasi illegal terutama dari Myanmar, yang mayoritas didorong oleh kebutuhan ekonomi dan kesempatan kerja, perlahan akan dapat tertasi. Dengan dibukanya kanal Kra yang juga akan berdampak positif terhadap perekonomian Laos akan menekan jumlah imigran illegal Laos yang mencari pekerjaan di Thailand.
Disisi lain, untuk urusan militer, diharapkan dengan dibangunnya kanal Kra tersebut dapat membantu Thailand menyadari pentingnya pembangunan kekuatan Royal Thai Navy agar daat menjamin keamanan kanal dan aktifitas di dalamnya dan kemanan nasional Thailand secara keseluruhan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun dan memperkuat pangkalan Angkatan Laut di kedua sisi kanal, baik untuk kebutuhan perang maupun damai. Jikapun demikian, melihat kondisi saat ini barangkali Thailand masih akan harus bergantung pada kekuatan asing untuk pengamanan di kanal Kra, mengingat kekuatan Angkatan Laut Thailand saat ini relatif masih sangat minim.
Secara keseluruhan pembanggunan Kanal Kra terebut berpotensi besar untuk menjadi pendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi Thailand, terutama Thailand bagian selatan yang selama ini masih jauh tertinggal dibandingkan wilayah Thailand lainnya. Selain itu, ada pula gagasan bahwa diharapkan dengan dibukanya kanal Kra, secara perlahan dapat membantu Thailand menyadari dan menjalankan pengaruhnya atas laut oleh karena posisi Thailand yang strategis antara samudra Hindia dan Laut China Selatan.
- Pertumbuhan Transportasi dan Proyeksi Keuntungan bagi Kawasan
Selat Malaka sebagai salah satu choke point terpenting di Asia merupakan salah satu rute perdagangan energi terpenting di dunia. Hampir satu pertiga minyak mentah global dan seperdua gas alam melalui Selat Malaka pertahunnya. Berdasarkan data dari EIA (Energy Information Administration) per tahun Mei 2017 sebanyak 15.2 juta barel perhari minyak mentah melalui dan/atau transit di Selat Selat Malaka. Dan diperhitungkan lebih dari 60.000 kapal transit di Selat Malaka setiap tahunnya[9].
Karena semakin padatnya lalu lintas kapal di Selat Malaka, kapal -kapal dengan ukuran yang lebih besar harus berlayar jauh ke Selatan menuju Selat Sunda ataupun Selat Lombok. Namun hal itu juga berarti biaya dan waktu tempuh kapal akan menjadi lebih tinggi. Dari perspektif ini dapat dilihat bahwa pembangunan kanal Kra akan menguntungkan negara-negara yang saat ini menggunakan dan tergantung pada Selat Malaka, seperti China, yang berpotensi untuk menjadi game changer dalam pembangunan Kanal Kra. Oleh karena, dari perspektif pelayaran dan dari segi ekonomi, adalah hal yang prinsipal bagi kapal-kapal untuk mencaru rute pelayaran yang terdekat dan teraman menuju pelabuhan yang dituju.
Selain itu, pembangunan Kanal Kra juga kerap digadang-gadang akan menguntungkan dan membantu pertumbuhan ekonomi tidak hanya bagi Thailand tetapi juga kawasan Asia Tenggara. Hal ini didorong oleh interdependensi ekonomi dan politik global dalam hubungan antarnegara yang telah menjadi trend dewasa ini. Bahwa setiap negara dewasa ini sudah tidak bisa hidup dan berjalan sendiri-sendiri karena adanya salingketergantungan satu sama lain. Dibukanya kanal Kra dan berbagai fasilitasnya seperti pusat industri di kedua sisi kanal, ataupun transhipment yang memungkinkan terjadinya aktifitas bongkar muat dan ekspor-impor tentu akan berdamapk positif terhadap perekonomian negara-negara di radius terdekat kanal. Seperti negara land-locked di ASEAN, Laos, yang selama ini harus meminta izin Bangkok untuk akses perdagangan ekspor-impornya, Myanmar, Kamboja dan Vietnam.
Begitu pula sebaliknya, interdependensi ekonomi dan politik global pun dapat mempengaruhi bahkan mungkin memaikan peran penting dalam proses pembuatan keputusan Thailand mengenai Kanal Kra. Dari pemahaman ini pula kita dapat melihat bagaimana situasi ekonomi dan politik kawasan akan mempengaruhi terlaksana atau tidaknya proyek kanal Kra ini. Misalnya, negara-negara tetangga Thailand mendorong Thailand untuk membuka kanal Kra.
- Resiko dan Kekhawatiran Kanal Kra
Berbicara mengenai resiko dan kekhawatiran, tidak ada proyek mana pun di dunia, termasuk kanal Kra, yang tidak memiliki resiko yang besar dan kekhawatiran-kwkhawatiran yang selalu dipertimbangkan. Beberapa diantaranya bahwa Asia tenggara, sebagaimana kita ketahui terdiri dari negara-negara yang relatif muda dan kerap dicap sebagai area beresiko tinggi diakibatkan oleh konflik suku-agama yang terus berlangsung dan masih banyak isu perbatasan negara yang belum diselesaikan hingga hari ini. Walaupun kemudian ASEAN muncul sebagai organisasi regional, namun upaya yang dilakukan ASEAN dan keuntungan ekonomi terhadap negara anggotanya belum dapat menghasilkan mekanisme yang nyata dan efektif serta memberikan keuntungan sebagaimana diharapkan. Dengan kompleksitas sejarah dan sengketa di kawasan serta kondisi politik saat ini, terutama pasca isu di Laut China Selatan, maka dikhawatirkan pembangunan Kanal Kra dapat menciptakan resiko sosial-politik baru bagi ASEAN secara keseluruhan, dan khususnya bagi Thailand sebagai ‘pengetok pintu’ mega proyek tersebut.
Disisi lain, akan tetapi, interdependensi ekonomi-politik kawasan juga yang dapat mendorong pembangunan Kanal Kra menjadi kenyataan. Melihat perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini dengan China dan pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara -diakui atau tidak-, bukanlah hal yang mustahil jika China mampu mendorong negara-negara terutama ASEAN-daratan (Myanmar. Laos Kamboja da Vietnam) yang akan diuntungkan oleh Kanal Kra untuk mendorong Thailand untuk ‘meng-goal-kan’ proyeknya. Penulis berpendapat demikian karena berkaca dari event-event yang terjadi beberapa waktu yang lalu dimana bahkan ditengah sengketa yang berpotensi pecah pada perang terbuka (LCS dan pasca putusan PCA di LCS), China berhasil membuat bungkam negara-negara ASEAN, menggeser ‘haluan’ sejumlah negara (Filipina, Malaysia dan dalam tingkat tertentu barang kali Indonesia juga) dan memecah suara ASEAN terhadap isu tersebut.
Dalam perkembangan terakhir, China bahkan berhasil menarik dan mengumpulkan negara-negara ASEAN dalam konferensi Belt and Road Initiative-nya (atau OBOR), seolah membuat lupa dan ‘membuai’ negara-negara ASEAN terhadap isu keamanan dan kedaulatan yang terjadi di LCS. Jikapun memang, hingga hari ini wacana pembangunan Kanal Kra belum masuk atau dimasukkan secara resmi dalam progam Inisiatif tersebut, namun kepentingan dan intensi China disana cukup jelas dan kuat (akan dibahas lebih mendalam dalam poin selanjutnya). Perlu disadari juga bahwa sebuah strategi nasional sebuah negara umumnya dibuat berjangka, dari jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Begitupun barangkali dengan China.
Hal lain yang selalu menjadi pertimbangan bagi Thailand, dan mungkin dalam tingkat tertentu bagi China, utamanya mengenai Kanal Kra ini adalah mengenai instabilitas politik dan resiko keamanan domestik keamanan di Thailand. Hal ini tentu tidak boleh hilang dari upaya pemahaman kita tentang kemungkinan realisasi pembangunan kanal Kra sebesar apapun optimisme lingkungan terhadap pembangunan kanal Kra. Sebagaimana kita ketahui Thailand telah sejak lama menghadapi isu keamanan dan ancaman dari kelompok separatis dan kelompok kekerasan terutama disekitar ibukota, Bangkok dan di bagian selatan provinsi Yala, Narathiwat dan Pattani. Ancaman-ancaman tersebut mereprensentasikan faktor resiko politik, dapat bereskalasi dan mengganggu stabilitas nasional yang merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan kanal Kra atau sebuah mega proyek dimanapun.
Selain itu, managemen pembangunan kanal Kra, selain membutuhkan dana besar dan kondisi ekonomi yang stabil, membutuhkan pula dukungan pemerintah dan proses pembuatan keputusan yang jelas dan transparan. Ancaman dari dari kelompok kekerasan dan seperatis tidak hanya dapat berdampak pada instabilitas politik dan keamanan, namun juga bencana dan hutang yang luar biasa besar bagi Thailand, jika tidak dapat dimanage dengan tepat. Hal ini juga akan diperparah jika Bangkok tidak mampu memanage perhatian internasional yang tidak diiginkan dari instabilitas politik dan keamanan domestiknya. Karena hal tersebut berpotensi mengusir ketertarikan investor ataupun para calon pengguna kanal Kra.
Namun pada perkembangan terakhir, pasca meninggalnya Raja Bhumibol (oktober 2016), dikabarkan Raja Thailand yang baru, Raja Vajilalongkorn, adalah pihak yang mendukung realisasi kanal Kra dan juga ia didukung oleh kelompok yang selama ini pendukung proyek kanal Kra. Oleh karena itu, barangkali ada sedikit titik terang dan hal yang dapat diantisipasi dari domestik Thailand dalam tahun-tahun kedepan mengenai mega proyek yang telah berabad lamanya dinantikan tersebut. Hal itu berarti, antisipasi terhadap berbagai kemungkinan perubahan yang dibawa sebagai dampak dari pembangunan kanal Kra pun harus tetap dan segera mendapatkan perhatian.
- China and It’s Strategic Interest as a Possible Game Changer
Disebutkan sebelumnya bahwa kekuatan negara besar (the new rising or global power) berpotensi menjadi game changer bagi terealisasikannya pembangunan kanal Kra. China dalam hal ini adalah the so called new global power tersebut, dimana sejak kenaikan China di panggung internasional, maka secara natural orientasi, kepentingan luar negeri dan kepentingan keamanan nasional China pun akan semakin meningkat. Baik Orientasi kepentingan yang sifatnya ke dalam (domestik) maupun kepentingan yang sifatnya ke luar (ditujukan untuk aktor negara/aktor internasional lainnya).
Arnold Wolfers (1952) mendefinsikan bahwa (tujuan) keamanan sangatlah universal, yakni ‘ketiadaan ancaman terhadap nilai-nilai yang diperoleh’ atau ‘the absence of threats to acquired values’. Dengan demikian berdasarkan pendefinisian Wolfers, keamanan (security) adalah lebih dari sekedar kebijakan pertahanan dan physical survival, melainkan mencakup juga masalah kejahteraan ekonomi, keamanan individual, stabilitas sistem politik, termasuk energy security yang nampaknya menjadi concern pemerintah China sejak beberapa tahun terakhir.
Selanjutnya, secara teoritis, energy security merupakan konsep yang multidimensional. Jika pada umumnya energy security didefinisikan sebagai “reliabale supplies at a reasonable price” atau dari tiga aspek atau segitiga kebijakan energi, yakni: supply security-sustainability-competitiveness[10]. Namun jika pahami lebih mendalam energy security lebih dari sekedar itu. Memahami energi security ini juga tidak cukup jika hanya dilihat dari aspek ekonomi atau bisnis semata. Bagi negara-negara yang bergantung terhadap sumber energi asing seperti China, semakin tinggi tingkat ketergantungan terhadap sumber minyak asing akan menyebabkan ketidakpastian (uncertainty), jika tidak insecurity.
Sederhananya, energy security (atau stabilitas supply energi) sangatlah erat dengan aspek lainnya dalam keamanan nasional. Gangguan terhadap arus dan jumlah energi akan berdampak besar dan merusak output ekonomi negara, stabilitas politik dan kesejahteraan masyarakat didalamnya. Hal tersebut dapat dipahami karena hampir semua aktifitas masyarakat dewasa ini sangat bergantung pada energy, misal untuk kendaraan dan listrik, dan tidak hanya untuk kebutuhan rumah tangga melainkan juga perusahaan jasa, sektor-sektor bisnis dan tentunya pusat-pusat industri. Kelangkaan energy, bagi China, dapat mendorong terjadinya social unrest dan ketidakpuasan terhadap pemerintah China –Partai Komunis China atau CCP.
Kebutuhan akan stabilitas supply energy tersebutlah, salah satunya, yang mendorong ketertarikan China terhadap kanal Kra. Sejak reformasi Den Xiaoping dan terbukanya China terhadap perekonomian global, industri-industri di China tumbuh dengan sangat pesat dan berhasil mentransformasi China menjadi salah satu kekuatan ekonomi global dalam satu dekade terakhir. Namun hal tersebut tidak seluruhnya berdampak positif terhadap China. Industrialisasi China mendatangkan konsekuensi energy bagi China.
Jikapun hampir 65% pasokan energi China berasal dari batu bara yang utamanya berasal dari Australia dan Indonesia, ketergantungan China terhadap minyak mentah dari Timur Tengah pun semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dari data impor minyak mentah dunia, bahwa bahkan hari ini China menempati posisi pertama sebagai pengimpor minyak mentah terbesar di dunia (17.3%), menggeser Amerika Serikat.[11]Dan untuk mendistrubusikan kurang lebih 85% impor minyak mentah-nya dari Timur Tengah dan Afrika, China bergantung dengan Selat Malaka. Begitupun dengan impor sumber daya untuk kebutuhan produksi serta ekspornya produk-produknya.
Akan tetapi, sebagaimana dialami juga negara pengguna lainnya, Selat Malaka memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi. Selain masalah kepadatan, keamanan dan keselamatan pelayaran, aspek polusi lingkungan, satu hal lain yang membuat Selat Malaka sangat rentan bagi China adalah kekhawatiran China akan blokade perdagangan oleh Amerika Serikat di Selat Malaka. Mengingat rivalitas global China dengan Amerika Serikat. Belum lagi China menilai bahwa negara-negara pantai di Selat Malaka ada dibawah pengaruh Amerika Serikat. Hal inilah yang kemudian dikenal sebagai ‘Malacca Dilemma’ yang diungkapkan oleh Presiden Hu Jintao di tahun 2011.
Oleh karena itu pula, di tahun 2012 kita ketahui pemerintah China mengumumkan China’s Energy Policy 2012, yang bertujuan untuk memperdalam dan mereformasi struktur energi China dan mentransformasi pola pembangunannya dengan menekankan pembangunan sumber daya yang akan membawa pada ‘environmentally friendly society‘. Beberapa hal lain yang dibahas dalam dokumen kebijakan tersebut adalah tantangan-tantangan ang dihadapi ketahanan energi China dan salah satunya membahas Malacca Dilemma.
Dari pemaparan tersebut dapat dilihat bagaimana posisi Selat Malaka sangatlah krusial dalam energi security China. Oleh karena itu pula, pembangunan Kanal Kra dapat menjadi solusi proyek pembangunan yang paling rasional yang dapat membantu China mengurangi ketergantungnnya terhadap Selat Malacca. Tidak hanya itu, menurut laporan internal Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Booz Allen Hamilton (2005) yang bocor ke Washington Post. Untuk menjamin keamanan energi-nya, China telah mempersiapkan startegi yang sangat luas dan komprehensif, yang beberapa diantaranya kita kenal dengan istilah ‘the strings of pearls’ (istilah yang digunakan AS). Bahwa China tengah membangun strategic sea lanes dari Laut China Selatan hingga Timur Tengah dan Afrika Selatan, dengan membangun pelabuhan-pelabuhan yang menjadi jalur suppai energi China dan dilengkapi dengan fasilitas militer (salah satunya yang telah di bangun adalah di Kolombo- Sri Lanka) untuk menjamin keamanannya. Dari bocoran laporan tersebut, salah satu rencana ambisius China adalah mengenai kanal Kra. Dari pemaparan tersebut, kita melihat bahwa ketertarikan China untuk merealisasikan kanal Kra sangatlah besar dan patut kita pertimbangkan.
Hal tersebut diatas juga kita kenal dengan -yang kemudian diperkenalkan dan dikembangkan pada masa pemerintahan Xi Jinping – visi ( atau policy China ?) ‘the New Silk Road’-nya. Tidak hanya mencakup isu energy security China, the New Silk Road mengandung kepentingan dan strategic intention China yang lebih luas lagi sebagai kekuatan regional dan global baru. Visi tersebut dibagi kedalam dua strategi yang kita kenal dengan Overland Silk Road dan the 21st Century Maritime Silk Road. Dan untuk membantu melancarkan upaya pencapaian kepentingan China dalam strateginya tersebut, termasuk untuk energy security-nya, China pun memperkenalkan One Belt One Road atau the Belt and Road Initiative, sebagai program inisiatif pembangunannya, dan membentuk AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) untuk mendanai-nya. China pun semakin bergiat mendekati negara-negara yang dilalui kepentingannya – pelabuhan kapal selam di Kolombo, Sri Lanka; pelabuhan Gwadar di Pakistan; dan kereta cepat dari China hingga Eropa untuk Overland Silk Road-nya. Kita ketahui pula bahwa China hingga hari ini tengah memperkuat kapabilitas dan logistik untuk PLA/Navy di Laut China Selatan.
The New Silk Road dan One Belt One Road Initiative -atau Belt and Road Initiative– seperti diungkapkan sebelumnya adalah strategi nasional China yang telah dirancang dengan sangat komprehensif, yang didalamnya juga memuat kepentingan strategis untuk energy security China. Yakni ditujukan untuk membantu men-diversifikasi sumber energy China dan ketergantungan terhadap minyak dari Timur Tengah dan Selat Malaka. Kita ketahui China berusaha melakukan pendekatan dengan Rusia agar mendapatkan akses untuk batu bara dari Rusia (jalur darat), rencana pembangunan pipa-pipa lintas benua dan jalur kereta yang dapat menghubungkan China dengan Eropa (Eurasia). China bahkan mengincar sumber daya energi di Arctic dan menjadi satu-satunya negara Asia yang menjadi anggota Arctic Council.
Selain itu, Belt and Road Initiative atau OBOR, sebagai bagian penting dari strategi China, memiliki tujuang jangka pendek dan jangka panjang. Untuk jangka pendek, Overland Silk Road diharapkan dalam mendorong pembangunan disejumlah provinsi yang land-locked di China seperti Yunnan, Inner Mongolia dan provinsi ras Uighur, Xinjiang. Sedangkan untuk jangka panjang, Overland Silk Road ditujukan untuk menghidupkan kembali Jalur Sutra Darat, image-building China sebagai the peaceful and cooperative rising power serta memperluas pengaruh (soft power) China di Eurasia.
Sedangkan Maritime Silk Road, untuk jangka pendek, ditujukan untuk kepentingan strategis pusat-pusat industri di pesisir China guna mendorong peningkatan nilai ekonomi di daratan China. Dan untuk jangka panjang, BRI dan Maritime Silk Road juga diciptakan untuk image-building China sebagai the peaceful and cooperative rising-power, membangun hubungan baik, teruatma dengan negara-negara Asia Tenggara yang saat ini tengah memanas oleh isu di Laut China Selatan. Selain itu, ditujukan juga untuk membangun akses pasar di Asia Tenggara, khususnya, hingga Afrika Selatan. Oleh karena itu, China terutama akan cenderung berhati-hati –jika tidak sekretif- mengenai intensi dan ketertarikannya terhadap kanal Kra.
Dari pemaparan diatas, poin yang utamanya ingin disampaikan penulis adalah melihat kuat dan besarnya intensi china terhadap kanal Kra, yang merupakan bagian penting dari keseluruhan kepentingan china yang begitu komprehensif (menyangkut kepentingan mengenai kedaulatan, keamanan energi, keamanan ekonomi, keamanan sosial dan stabilitas domestik, kepentingan pertahanan dan militer) maka bukanlah mustahil jika China akan ‘cukup gila’ dan ‘keukeuh’ untuk benar-benar merealisasikan pembangunan kanal Kra, jikapun harus menunggu dan bersabar. Hal tersebut diatas salah satunya karena upaya pembangunan kanal Kra atau Belt and Intiative itu sendiri secara keseluruhan, tentu tidak akan berjalan dengan mulus dan tanpa hambatan. Terutama dari Amerika Serikat, negara-negara di kawasan (baik itu Asia Tenggara maupun kawasan lainnya) dan new rising power lainnya seperti India dan Rusia.
- Conclusion: Why It Matter for Indonesia
Dari pemaparan panjang diatas, dapat disimpulkan bahwa jelas kemungkinan atau rencana realisasi pembangunan kanal Kra sangatlah penting bagi Indonesia. Kanal Kra, yang diperkiran akan memakan waktu setidaknya satu 10-12 tahun, maka secara alamiah akan mengubah SLOC (Sea Lanes of Communication) dunia khususnya yang melewati Asia Tenggara. Bila hal ini benar terjadi, maka tidak bisa dihindari pula perubahan SLOC tersebut akan mempengaruhi geopolitik negara-negara besar (major power) dan pada gilirannya akan mempengaruhi kepentingan maritim dan kepentingan keamanan maritim Indonesia. Singkatnya akan terjadi perubahan yang sangat besar -baik secara geopolitik, geoekonomi, geostrategi dst.- dunia, khususnya ASEAN dan utamanya Indonesia.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, jikapun pembangunan kanal Kra diprediksi akan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi regional. Namun bagi sebagian Negara ASEAN, pembangunan kanal Kra akan menjadi mimpi buruk yang nyata. Bagi Singapura, misalnya saja, pembangunan kanal Kra jelas menjadi ancaman terhadap kelangsungan hidup negaranya. Karena selama ini sebagian besar hidup-nya berasal dari jasa-jasa maritim yang Singapura bangun dan sediakan di Selat Malaka. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa potensi dampak yang akan ditimbulkan dari dibukanya kanal Kra tersebut, bagi kawasan, adalah kanal Kra akan menjadi simbol terpecah ASEAN secara fisik menjadi ASEAN yang daratan (Mainland ASEAN) dan ASEAN yang maritime (Maritime ASEAN).
Konflik etno-religius yang terjadi di Thailand pun berpotensi akan semakin membesar dan menyebabkan spill over terhadap Malaysia, jika tidak memperburuk hubungan antara Malaysia-Thailand. Dan pergeseran lalu lintas maritim tentunya akan sangat merugikan negara-negara littoral Selat Malaka- Indonesia, Malaysia dan Singapura, sebagimana dipaparkan sebelumnya. Hal tersebut tentunya akan berpotensi memperkeruh hubungan antar negara ASEAN dan kesatuan suara ASEAN sebagai satu-satunya organisasi regional di Asia Tenggara. Selain itu, kemungkinan China sebagai the game changer kanal Kra, yang artinya berpotensi untuk menguasi dan mengambil alih kontrol alur laut dan rute perdagangan yang sangat penting tersebut, akan mendatangkan perhatian dan kekhawatiran banya pihak dikawasan, khususnya Amerika Serikat.
Indonesia- sebagai negara kepulauan, negara terbesar di ASEAN dengan visi-nya untuk mengembalikan kejayaan Maritim bangsa dan menjadi Poros Maritim Dunia- tentu akan dihadapakan pada posisi yang sulit dan dirugikan dengan dibukanya kanal Kra. Terutama dari aspek komersial dan jasa maritim. Sebagai contoh bahwa berkurangnya kapal kargo yang singgah di Indonesia secara perlahan akan mematikan industri, jasa, dan pusat-pusat layanan kargo di Indonesia, seperti di Tanjung Priuk, Tanjung Perak, Belawan, Makassar dsb, sehingga menurunkan pendapatan nasional.
Dari segi politik dan diplomasi (dalam arti umum), pembukaan kanal Kra pun akan berdampak terhadap kepentingan dan politik luar negeri Indonesia sendiri kedepannya. Apakah Indonesia akan ikut atau ‘condong’ ke China ; atau Indonesia akan ‘condong’ ke barat; ataukah Indonesia akan berdiri sendiri dengan politik ‘bebas dan aktif’-nya?. Namun barangkali satu yang pasti, bahwa pada akhirnya, dari segala dinamika politik yang terjadi dikawasan tinggal Indonesia sendiri yang akan berhadapan dengan China secara langsung, salah satunya adalah mengenai Natuna – yang hingga hari ini belum mendapatkan kepastian yang konkrit.
Disisi lain adalah suatu realita yang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia merupakan satu-satunya ‘firdaus’ di khatulistiwa. Artinya, jikapun kanal Kra benar dibangun dan dibuka, daya tarik Indonesia di dalam geopolitik, geoekonomi dan geostrategi dunia masih akan sangatlah besar. Oleh karena Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang luar biasa kaya, sumber daya manusia dan potensi pasar yang besar, dll. Yang mungkin akan berbeda adalah Indonesia tidak akan lagi menjadi negara yang dijadikan rute alternatif prioritas untuk pelayaran dan perdagangan global. Tetapi yang perlu dikhawatirkan adalah bagaimana untuk mengantisipasi kemungkinan Indonesia hanya akan menjadi ‘tok’ sebagai destinasi perdagangan global. Hal itu juga berarti ‘mimpi besar’ Indonesia untuk menjadi Poros Maritim Dunia (utamanya untuk meraup keuntungan dari bidang jasa pelayaran dan komersil dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional) dapat menghilang.
Selain itu, dari segi militer dan pertahanan, terbukanya terusan Kra artinya ‘mayoritas’ kapal yang akan melalui perairan Indonesia adalah kapal perang, battle group dsj., baik itu dari Pasifik (Australia, Amerika Serikat) ke Utara (ex. Laut China Timur), ataupun dari Jepang dan China dari Utara ke Pasifik maupun Hindia. Jika dilihat di dalam peta barangkali kita juga bisa melihat ‘kepadatan’ alur tersebut utamanya akan terjadi melalui ALKI II dan ALKI III. Hal tersebut berarti, perencanaan pembangunan pertahanan nasional, khususnya pembangunan dan rencana operasi TNI AL harus ada perubahan, yang tidak akan sedikit.
Jika demikian, kemungkian realisasi pembangunan Kanal Kra tersebut tidak dapat dipandang sebelah mata dan perlu diantisipasi dengan serius. Terutama karena dampaknya bagi geopolitik dunia, kawasan dan utamanya Indonesia akan membutuhkan pemahaman yang dalam dan perlu ditinjau secara holistik dan komprehensif dengan pendekatan seefektif mungkin. Yakni tentang akan seperti apa posisi Indonesia, apa kepentingan nasional Indonesia, apa yang diinginkan Indonesia dengan terdefinisikan sebaik mungkin, dari sudut pandang geopolitik, geokonomi, geostrategi, aspek pertahanan dan aspek hukumnya. Dan alangkah baiknya jika Indonesia pun memiliki perencanaan pembangunan, strategi nasional (strategi keamanan nasional) yang komprehensif sebagaimana China punya dalam visi (atau policy ?) the New Silk Road-nya tersebut.
Referensi
Baumann. 2008. Energy Security as Multidimentional Concept. Diakses dari:< www.cap.lmu.de/download/2008/CAP-Policy-Analysis-2008-01.pdf>
Chankai. 2015. China Announces Strategically Important Kra Isthmus Canal in Thailand. Diakses dari: https://chinadailymail.com/2015/05/17/china-announces-strategically-important-kra-isthmus-canal-in-thailand/>
Chulikpongse, Sommart. 1985. The Alternative Shorter Sea Routes via Isthmus of Kra: the Land Bridge Approach. Diakses dari: < eprints.utas.edu.au/18937/1/whole_ChulikpongseSommart1985_thesis.pdf>
Tanapura, Sophie. 1986. Thailand’s Kra Canal Project Takes a Big Setp Forward. Diakses dari: http://www.larouchepub.com/eiw/public/1986/eirv13n46-19861121/eirv13n46-19861121_010-thailands_kra_canal_project_take.pdf
The Washington Times. 2005. China Builds Up Strategic Sea Lanes. Diakses dari: < http://www.washingtontimes.com/news/2005/jan/17/20050117-115550-1929r/>
EIA. 2017. Daily Transit Volume through world maritime oil chokepoints.Diakses dari:<https://www.eia.gov/todayinenergy/detail.php?id=18991>
Crude Oil Imports by Country. 2017. Diakses dari: <www.worldstopexports.com>
Zhong, Yu. 2016. The Importance of the Malacca Dilemma in The Belt and Road Initiative. Journal of Policy Sciences Ristumeikan University. Diakses dari:< r-cube.ritsumei.ac.jp/bitstream/10367/7507/1/JPS10_05_zhong.pdf>
[1] The Washington Times. 2005. China Builds Up Strategic Sea Lanes. Diakses dari: < http://www.washingtontimes.com/news/2005/jan/17/20050117-115550-1929r/>
[2] Ibid.
[3] Chankai. 2015. China Announces Strategically Important Kra Isthmus Canal in Thailand. Diakses dari: <https://chinadailymail.com/2015/05/17/china-announces-strategically-important-kra-isthmus-canal-in-thailand/>
[4] Chulikpongse, Sommart. 1985. The Alternative Shorter Sea Routes via Isthmus of Kra: the Land Bridge Approach. Diakses dari: <eprints.utas.edu.au/18937/1/whole_ChulikpongseSommart1985_thesis.pdf>
[5] Ibid.
[6] Ibid
[7] Tanapura, Sophie. 1986. Thailand’s Kra Canal Project Takes a Big Step Forward. Diakses dari: <http://www.larouchepub.com/eiw/public/1986/eirv13n46-19861121/eirv13n46-19861121_010-thailands_kra_canal_project_take.pdf>
[8] Ibid.
[9] EIA. 2017. Daily Transit Volume through world maritime oil chokepoints.Diakses dari:<https://www.eia.gov/todayinenergy/detail.php?id=18991>
[10] Baumann. 2008. Energy Security as Multidimentional Concept. Diakses dari:< www.cap.lmu.de/download/2008/CAP-Policy-Analysis-2008-01.pdf>
[11] Crude Oil Imports by Country. 2017. Diakses dari: <www.worldstopexports.com>