Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Untuk merespon peningkatan ancaman terhadap keamanan maritim, berbagai inisiatif dan kerjasama dilancarkan oleh para pemangku kepentingan, baik aktor negara maupun non negara. Salah satu inisiatif itu adalah maritime domain awareness (MDA), dimunculkan oleh Amerika Serikat pasca serangan 11 September 2001. Meskipun MDA dirancang untuk mengamankan kepentingan nasional negeri tersebut, tetapi di sisi lain sebagai dampak dari globalisasi, upaya untuk mewujudkan keamanan maritim memerlukan kerjasama lintas negara. Oleh sebab itu, Amerika Serikat berupaya mengajak negara-negara lain untuk mengembangkan MDA melalui berbagai cara.
Indonesia termasuk negara yang dirangkul oleh Amerika Serikat guna mengembangkan MDA, yang tak lepas dari perannya yang vital dalam keamanan maritim dunia. Hal itu dapat dilihat dari bantuan yang diberikan berdasarkan Section 1206 FY2006 dan 2007, berupa program Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) di Selat Malaka dan Selat Makassar. Berangkat dari situ, Indonesia sepertinya perlu untuk memahami tentang MDA dalam rangka mengamankan kepentingan nasionalnya. Sebab meskipun MDA dirancang dalam bingkai kepentingan nasional Amerika Serikat, tetapi banyak gagasan dari konsep itu dapat diterapkan oleh Indonesia guna menjamin keamanan maritim nasional.
Peluang untuk menerapkan MDA di Indonesia terbuka lebar, karena manajemen keamanan maritim nasional membutuhkan penataan kembali. Dalam penataan itu, alangkah baiknya bila MDA versi Indonesia dapat dikembangkan untuk peningkatan pengamanan perairan yurisdiksi. Peningkatan itu bukan saja berdampak pada aspek sipil yaitu keamanan navigasi, tetapi juga pada aspek militer (baca: Angkatan Laut) yaitu meningkatnya kemampuan TNI Angkatan Laut dalam mengindera perairan yurisdiksi. Tulisan ini akan membahas tentang peluang dan tantangan untuk menerapkan MDA di Indonesia.
2. Maritime Domain Awareness
Menurut definisi yang dikembangkan di Amerika Serikat, MDA is the collection, fusion and dissemination of enormous quantities of data — intelligence and information — drawn from U.S. joint forces, U.S. government agencies, international coalition partners and forces, and commercial entities.[i] Informasi yang dikumpulkan dari beragam sumber itu selanjutnya diolah untuk menghasilkan common operating picture (COP). COP itu akan didistribusikan kepada pihak-pihak pengguna (khususnya pengambil keputusan dan aparat keamanan maritim) untuk kepentingan pengamanan maritim.
Tujuan dari MDA adalah membangkitkan data intelijen yang dapat diaksi (to generate actionable intelligence). Sebab tanpa itu, operasi-operasi pengamanan maritim akan jarang berhasil. Menurut sejumlah literatur, MDA merupakan penjumlahan dari situational awareness + intelligence.
Dalam penerapannya di Amerika Serikat, MDA melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan dengan domain maritim. Selain tentu saja aparat keamanan, MDA juga mencakup perusahaan pelayaran, perusahaan logistik, pengelola pelabuhan, Departemen terkait seperti Departemen Transportasi, Departemen Keuangan, Departemen Kehakiman dan Departemen Luar Negeri, bahkan pemerintah asing.
Melalui MDA, Amerika Serikat menginginkan adanya pertukaran informasi dan perencanaan kolaboratif untuk menciptakan COP antara semua pihak yang berkepentingan dengan domain maritim, guna mengetahui peristiwa yang terjadi di laut dan sekitarnya. Apabila terjadi peristiwa yang mengancam keamanan maritim, pihak-pihak terkait dapat segera memberikan respon dengan cepat. Peristiwa yang dianggap mengancam keamanan maritim tidak terbatas pada perompakan, pembajakan dan terorisme maritim belaka, tetapi juga meliputi proliferasi senjata pemusnah massal, imigran ilegal dan penyelundupan narkotika dan obat-obatan terlarang.
Sebagai konsep dalam keamanan maritim, MDA tidak dapat dilepaskan pula dari aspek politik. Tanpa disadari oleh banyak pihak, MDA selama ini telah bertindak selaku key enabler (”kopling”) dalam sejumlah inisiatif yang diluncurkan oleh Amerika Serikat, seperti Profeliration Security Initiative (PSI), Container Security Initiative (CSI) dan thousand-ship Navy/Global Maritime Partnerships. Begitu pula dalam kerjasama keamanan maritim yang bersifat bilateral. Upaya Amerika Serikat untuk merangkul negara-negara lain dalam mengembangkan MDA memang tidak lepas dari kepentingannya yang mengglobal.
Pesan yang ingin disampaikan, MDA bukan semata-mata konsep teknis yang bebas dari agenda politik. Sebaliknya, MDA merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk mengamankan kepentingan politik Amerika Serikat di seluruh dunia. Dengan kata lain, MDA bagaikan dua sisi dari koin yang sama.
Di samping berfungsi sebagai salah satu instrumen keamanan maritim dalam kerjasama antara negara, MDA ternyata berfungsi pula sebagai ”wadah” konvergensi kepentingan antara aktor negara dengan aktor non negara. Sebagai contoh, kerja sama antara Angkatan Laut Amerika Serikat dengan Maersk Line melalui pemasangan peralatan automatic identification systems (AIS) untuk melacak posisi kapal ketika berlayar. Dengan pemasangan peralatan itu, Maersk Line dapat meminta pertolongan kepada armada Angkatan Laut Amerika Serikat di seluruh dunia ketika distress. Sementara di Inggris, Maersk bekerja sama dengan Kementerian Pertahanan guna memasang alat serupa pada kapal-kapal milik Maersk yang disewa untuk memuat peralatan militer Inggris ke luar negeri.
Memperhatikan penerapan MDA selama ini, tidak dipungkiri bahwa konsep itu sangat identik dengan penggunaan teknologi yang terkait dengan penginderaan dan pertukaran informasi. Namun ada baiknya bila dipandang pula dari sisi lain, yaitu MDA membutuhkan ”pembenahan” yang bersifat non fisik. Sebab kata kunci MDA adalah awareness semua pihak yang berkepentingan terhadap peristiwa yang terjadi di domain maritim. Dan masalah awareness bukan semata terkait perangkat keras, namun juga paradigma semua pemangku kepentingan maritim.
3. Pembenahan Terpadu
Secara konseptual MDA dibangun di atas fondasi kepentingan politik AS. Namun bukan berarti MDA tidak dapat diaplikasikan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia misalnya, sebab konsep itu dapat diterapkan di negara lain dengan sejumlah penyesuaian. Penyesuaian itu selain pada bingkai politik yang membentuknya, juga pada tingkat teknologi yang digunakan dan kesiapan sistem nasional, termasuk para pemangku kepentingan maritim.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, kata kunci MDA adalah awareness terhadap domain maritim. Masalah awareness merupakan hal mendasar yang harus dibenahi di Indonesia. Masih rendahnya awareness bukan saja disebabkan oleh aspek politik, namun juga tak lepas aspek budaya. Dari sini dapat ditarik asumsi awal bahwa upaya membangun awareness terhadap domain maritim memerlukan waktu yang tidak sedikit.
Meningat luasnya cakupan untuk membangun awareness, salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah meningkatkan awareness pada para pemangku kepentingan maritim terlebih dahulu. Hal ini penting sebab tingkat awareness pada tingkat pemangku kepentingan maritim belum sama, sehingga secara tidak langsung berkontribusi terhadap keamanan maritim itu sendiri. Sebagai contoh kasus adalah ketidaksamaan sikap di antara para pemangku kepentingan terhadap isu Coast Guard.
Padahal eksistensi Coast Guard bukan lagi sebatas kebutuhan nasional, tetapi juga tuntutan internasional. Bahkan yang sangat disayangkan, ada beberapa pemangku kepentingan yang terkesan kurang senang dengan kehadiran Coast Guard.
Meskipun pangkal masalah dari pro kontraCoast Guard adalah manajemen keamanan maritim nasional, akan tetapi hal itu tidak bisa dilepaskan begitu saja dari awareness terhadap domain maritim.
Masalah awareness terhadap domain maritim bagi para pemangku kepentingan di antara menyangkut pula pada birokrasi manajemen keamanan maritim. Seperti diketahui, saat ini terdapat 10 instansi pemerintah yang mempunyai kewenangan sektoral di laut, yang dalam prakteknya mempunyai tingkat awareness yang berbeda terhadap domain maritim. Perbedaan demikian berpotensi menjadi faktor penghambat dalam implementasi MDA, karena konsep itu menekankan pada pendekatan komprehensif dan bukan pada pendekatan sektoral.
Oleh sebab itu, pembenahan manajemen keamanan maritim merupakan pekerjaan rumah mendesak saat ini, termasuk pula bila Indonesiaingin menerapkan MDA secara bertahap. Disahkannya Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dapat dijadikan sebagai pintu masuk pembenahan manajemen keamanan maritim. Seperti diketahui, Undang-undang No.17 Tahun 2008 secara eksplisit menegaskan (ulang) kehadiran Coast Guard di Indonesia untuk menangani keamanan dan keselamatan maritim.
Melalui pembenahan dimaksud, diharapkan awareness pemangku kepentingan maritim, khususnya dari unsur pemerintah/aktor negara, jauh lebih baik dibandingkan saat ini. Isu awareness pada aktor negara sangat mendasar, sebab mereka adalah ujung tombak pengamanan maritim. Selama awareness mereka masih rendah, sepertinya sulit untuk meningkatkan kualitas keamanan maritim, walaupun sudah didukung oleh perangkat penginderaan yang komunikasi yang modern dan terintegrasi.
Berikutnya menyangkut integrasi sistem penginderaan dan komunikasi, yang merupakan tantangan lain dalam penerapan MDA. Saat ini, TNI Angkatan Laut tengah mengembangkan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) dengan bantuan Amerika Serikat di Selat Malaka dan Selat Makasssar. Pada saat yang sama, Departemen Perhubungan tengah merencanakan untuk memasang sejumlah radar pengamatan maritim di beberapa tempat hingga beberapa tahun ke depan.
Tujuan dari kedua program itu pada dasarnya sama, yaitu meningkatkan awareness Indonesia melalui penggunaan perangkat penginderaan. Tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan kedua sistem itu sehingga menjadi sebuah national common operating picture. Mungkin diperlukan semacam Puskodal Keamanan Maritim Nasional yang berada di bawah Coast Guard, yang mana Puskodal itu mengintegrasikan semua data dan informasi dari unsur penginderaan militer dan non militer. Seperti diketahui, dari kalangan pengguna perairanIndonesia (komunitas maritim internasional) selama ini ada keengganan untuk “mengakui” Puskodal yang dioperasikan oleh TNI Angkatan Laut.
Program IMSS maupun yang dilaksanakan oleh Departemen Perhubungan pada dasarnya dapat dijadikan sebagai cikal bakal dari penerapan MDA di Indonesia secara komprehensif. Akan tetapi hal itu belum cukup bila tidak ditunjang oleh peran pemangku kepentingan maritim lainnya, misalnya para pengusaha pelayaran. Selama ini, pemasangan AIS pada armada niaga nasional sepertinya belum bersifat mandatory, namun baru sebatas voluntary. Untuk mendukung pengembangan sistem penginderaan maritim yang dikembangkan oleh TNI Angkatan Laut dan Departemen Perhubungan, sudah saatnya pemerintah, dalam hal ini Departemen Perhubungan mewajibkan semua armada niaga nasional untuk memasang AIS pada setiap kapal-kapalnya.
Dari uraian sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan setidaknya diperlukan tiga langkah untuk menerapkan MDA di Indonesia secara bertahap. Pertama, peningkatan awareness terhadap domain maritim. Kedua, pembenahan manajemen keamanan maritim. Ketiga, integrasi sistem di antara para pemangku kepentingan maritim.
4. Penutup
Walaupun MDA digagas dalam bingkai kepentingan Amerika Serikat, tidak berarti konsep itu tak bisa diterapkan di Indonesia. Penerapannya di Indonesia merupakan keniscayaan, sepanjang disesuaikan dengan kemampuan Indonesia dari aspek teknologi dan pembenahan pada sejumlah bidang terkait. MDA dalam konteks kepentingan nasional Indonesia merupakan kebutuhan, karena di dalamnya menyiratkan pentingnya kontribusi semua pihak, khususnya para pemangku kepentingan, untuk menciptakan keamanan maritim.
[i]. Morgan, VAdm John and Wimmer, Cmdr “Bud”, “Enhancing Awareness in the Maritime Domain”. CHIP, April-June 2005, hal.14