TANTANGAN DALAM PEMBANGUNAN KEKUATAN TNI ANGKATAN LAUT PERIODE 2010-2014

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan 

Rencana pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut dalamlimatahun ke depan telah ditetapkan dalam Rancangan Rencana Strategis TNI Angkatan Laut 2010-2014. Salah satu program dalam Renstra adalah pengembangan material matra laut untuklimatahun ke depan. Program tersebut tidak lain adalah pengadaan sejumlah alutsista TNI Angkatan Laut, baik kapal perang, pesawat udara dan sarana pendukungnya serta berbagai peralatan tempur Marinir.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pembangunan kekuatan tidak berada di alam vakum. Kegiatan tersebut dipengaruhi oleh beragam faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal yang dimaksud di sini yaitu atmosfir politik, ekonomi dan keamanan di dalam negeri, sedangkan faktor eksternal terkait dengan hubungan Indonesia, baik aktor negara maupun non negara.

Dengan mengacu pada pelaksanaan Renstra TNI Angkatan Laut 2005-2009, salah satu pelajaran yang dapat diambil adalah tidak terlaksananya sejumlah kegiatan yang tercantum dalam program pengembangan material matra laut karena faktor internal maupun eksternal. Terkait dengan hal tersebut, pengulangan pola demikian pada pelaksanaan Rancangan Renstra TNI Angkatan Laut 2010-2014 hendaknya dapat diantisipasi sejak dini. Oleh sebab itu, perlu diidentifikasi tantangan yang dihadapi oleh TNI Angkatan Laut nantinya dalam mewujudkan renstra itu.

2. Lima Tantangan 

Terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh TNI Angkatan Laut untuk mewujudkan Rancangan Renstra TNI Angkatan Laut 2010-2014, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan-tantangan itu meliputi sebagai berikut.

Pertama, kebijakan politik. Renstra TNI Angkatan Laut merupakan implementasi dari kebijakan pertahanan yang telah ditetapkan oleh Departemen Pertahanan, khususnya Postur Pertahanan Negara 2010-2029. Namun demikian, hendaknya tidak diabaikan pula bahwa pelaksanaan kebijakan pertahanan berada dalam ruang nasional yang sarat dengan berbagai kepentingan. Kadang kala kepentingan-kepentingan tersebut tidak selalu mengacu pada kepentingan nasional.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pelaksanaan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang diputuskan oleh pemimpin nasional. Meskipun secara tertulis pembangunan kekuatan telah diperinci dalam kerangka waktu tertentu beserta besaran kebutuhan anggaran yang diperlukan, dukungan dari pemimpin nasional tidak dapat diabaikan begitu saja. Sebab pada akhirnya, meskipun semua instansi pemerintah yang terkait dengan program pengembangan material telah menyetujui pengadaan sejumlah alutsista bagi Angkatan Laut, keputusan akhir berada pada pemimpin nasional.

Kedua, kebijakan ekonomi. Selama ini, alokasi anggaran pertahanan dalam APBN secara ril nilainya sebenarnya kecil. Meskipun pada APBN Tahun Anggaran 2010 anggaran pertahanan menduduki pos ketiga terbesar dalam alokasi APBN, namun sesungguhnya lebih dari 60 persen dari anggaran pertahanan terserap untuk alokasi belanja pegawai. Adapun prosentase untuk pengadaan alutsista tergolong kecil sekali. Oleh sebab itu, sebagian besar dukungan anggaran untuk pengadaan alutsista masih bertumpu pada kredit luar negeri, baik kredit ekspor maupun kredit negara.

Masih bergolaknya ekonomi negara-negara maju akan terus berimplikasi negatif terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Hal ini tidak bisa dihindari dalam era globalisasi yang menciptakan interdependensi ekonomi antar bangsa. Terpengaruhnya  kinerja ekonomi Indonesia dipastikan akan berdampak pula pada besaran anggaran pertahanan yang dialokasi dalam APBN tahun-tahun mendatang. Bisa saja secara nominal jumlah anggaran pertahanan akan terus meningkat dalam periode 2010-2014, tetapi perlu diperhitungkan pula nilai tukar rupiah terhadap dollar maupun euro sebagai dua alat pembayaran utama dalam pengadaan alutsista.

Ketiga, faktor birokrasi. Birokrasi dalam pengadaan alutsista selama ini cukup panjang dan rumit. Pada satu sisi, situasi demikian diciptakan untuk mengurangi sebesar mungkin potensi kerugian negara akibat pengadaan alutsista yang tidak tepat guna dan sasaran. Tetapi pada sisi lain, rantai birokrasi yang panjang secara tidak langsung menciptakan pula masuknya beragam kepentingan pihak-pihak terkait yang seringkali tidak selaras dengan kebutuhan pengadaan alutsista yang diinginkan oleh TNI Angkatan Laut.

Selama ini, masalah birokrasi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terlaksananya pengadaan alutsista sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam Renstra. Masih terkait dengan birokrasi yaitu belum memadainya kemampuan Departemen Pertahanan untuk melaksanakan penilaian (assessment) terhadap pengajuan pengadaan dari Angkatan, sehingga terkadang perdebatan terhadap usulan dari Angkatan tidak menyentuh pokok permasalahan. Faktor birokrasi makin rumit ketika sudah memasuki ranah politik, yaitu persetujuan dari parlemen untuk penganggarannya.

Keempat, tekanan dari luar negeri.Indonesiasebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan kawasan Asia Tenggara sangat diperhitungkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu, pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut selalu mendapat perhatian khusus dari negara-negara yang berkepentingan. Karena pengadaan sistem senjata masih mengandalkan pada buatan asing, seringkali tekanan politik dari pihak-pihak asing tertentu tidak terhindarkan ketika TNI Angkatan Laut hendak mengakuisisi satu jenis senjata.

Tekanan tersebut bukan semata aspek komersial, tetapi mencakup pula aspek politik. Khususnya ketikaIndonesiahendak membeli sistem senjata dari negara lain yang tidak satu  aliran politik dengan kekuatan besar di kawasan Asia Pasifik. Hal itu bisa dilihat dalam pelaksanaan Renstra TNI Angkatan Laut 2005-2009, khususnya pada program pengembangan material matra laut.

Kondisi seperti itu kurang menguntungkan bagiIndonesia, terlebih lagi apabilaIndonesiatidak bisa bersikap taktis pada tataran politik dan operasional. Sebagai contoh, apabilaIndonesiamemutuskan untuk membeli sebagian alutsista TNI dari Rusia, kebijakan itu harus diimbangi dengan tetap menjaga kerjasama yang telah terjalin dengan Amerika Serikatnya. Misalnya meningkatkan kualitas interaksi militer kedua negara, baik penambahan frekuensi latihan dan lain sebagainya. Tindakan tersebut dilaksanakan untuk menepis kekhawatiran bahwa pengadaan alutsista dari Rusia seolah-olah akan digunakan mengancam kepentingan Amerika Serikat di kawasan.

Kelima, ketidaksiapan industri pertahanan dalam negeri. Kebijakan transfer of technology yang telah dicanangkan oleh Departemen Pertahanan dalam pengadaan alutsista perlu dikaji secara seksama. Apakah kebijakan itu selaras dengan kebijakan luar negeri yang saat ini dianut olehIndonesia? Pertanyaan ini diajukan sebab transfer teknologi dalam prakteknya bukan suatu hal yang bebas nilai, melainkan sarat dengan kepentingan politik dari negara pemilik teknologi.

Di samping itu, kesiapan industri pertahanan dalam negeri juga harus mendukung. Mengacu pada pengalaman beberapa negara berkembang lainnya yang di antaranya menganut kebijakan transfer of technology dalam pembangunan kekuatan lautnya, proses pengadaan dari galangan luar negeri harus didukung pula oleh kesiapan industri perkapalan nasional. Tanpa itu maka kebijakan tersebut sebatas konsep yang tidak dapat dilaksanakan di lapangan.

Selama ini belum ada sinkronisasi antara kebijakan pertahanan, khususnya tentang pembangunan kekuatan ke depan dengan kebijakan pemerintah tentang perusahaan BUMN bidang pertahanan. Sebagai contoh, apabila dalam satu kurun renstra Departemen Pertahanan menyetujui pengadaan kapal perang yang sebagian di antaranya harus diproduksi di galangan perkapalan nasional lewat mekanisme co-production, sudah  sewajarnya  bila hal itu  melibatkan  dengan  Kementerian BUMN dan BUMN bidang pertahanan yang terkait. Dengan demikian BUMN bersangkutan dapat mempersiapkan diri sejak dini, sehingga tidak terjadi lagi kasus terlambatnya penyerahan kapal perang karena ketidaksiapan dari BUMN bersangkutan.

Kesiapan yang dimaksud di sini tidak sekedar meliputi kesiapan fasilitas produksi, tetapi mencakup pula aspek perencanaan, kesiapan teknologi dan sumber daya manusia. Tiga aspek yang terakhir patut untuk diperhatikan, sebab kebijakan pemerintah selama ini untuk BUMN bidang pertahanan terkesan hanya meminta mereka memberikan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memperhatikan bagaimana kesiapan terhadap ketiga aspek.

Sebagai contoh, harus ada perencanaan berjangka panjang yang sinkron antara kebijakan pertahanan dengan kebijakan BUMN. Sinkronisasi kebijakan tersebut penting, sebab dengan demikian BUMN industri pertahanan dapat mempersiapkan kapasitas produksi mereka dan menghitung proyeksi pertumbuhan industrinya dengan adanya kebijakan pertahanan yang konsisten, khususnya dalam masalah pembangunan kekuatan. Ketidakkonsistenan pelaksanaan pembangunan kekuatan selama ini turut menyumbang pula pada ketidaksiapan BUMN industri pertahanan untuk mendukung kebutuhan alutsista TNI. Di samping itu, harus diakui pula bahwa pasca reformasi, pemerintah tidak lagi sepenuhnya memberikan perhatian khusus terhadap BUMN industri pertahanan sehingga perkembangan industri-industri tersebut tersendat.

3. Langkah Pendekatan 

Kelima faktor yang telah disebutkan merupakan tantangan dalam pembangunan kekuatan TNI Angkatan Lautlimatahun ke depan sesuai dengan Renstra. Menghadapi situasi demikian, tentu saja diperlukan sejumlah terobosan agar pelaksanaan Rancangan Renstra TNI Angkatan Laut 2010-2014, khususnya tentang pengembangan material matra laut dapat terlaksana sesuai dengan yang telah direncanakan. Sebab hal itu  terkait dengan makin bertambahnya usia alutsista TNI Angkatan Laut yang sudah seharusnya dihapus dari susunan tempur, karena selain tertinggal secara teknologi juga biaya pemeliharaannya sudah tidak ekonomis lagi.

Kini menjadi pertanyaan pendekatan seperti apa yang sebaiknya ditempuh  oleh TNI Angkatan Laut agar pembangunan kekuatan dalamlimatahun ke depan mengalami kemajuan dibandingkanlimatahun sebelumnya. Untuk menghadapi beberapa tantangan tersebut, beberapa langkah pendekatan dapat ditempuh.

Pertama, terkait kebijakan politik dan ekonomi serta birokrasi. Guna menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan secara intensif sesuai dengan jenjang hirarkis yang tersedia guna menyampaikan aspirasi TNI Angkatan Laut sebagai telah tercantum dalam renstra itu. Satu hal penting yang sebaiknya dikemukakan adalah resiko politik dan keamanan apabila Rancangan Renstra TNI Angkatan Laut 2010-2014 tidak tercapai. Adalah fakta bahwa sejak 1990-an negara-negara lain sekawasan Asia Pasifik secara intensif membangun kekuatan laut mereka.

Ada indikasi kuat bahwa di kawasan ini tengah terjadi naval arms race. Sementara ituIndonesia sejak 1990-an belum melaksanakan modernisasi kekuatan secara besar-besaran dan berakibat pada menurunnya kesiapan alutsista TNI Angkatan Laut untuk melaksanakan tugas pokoknya. Bahkan bila kekuatan TNI Angkatan Laut tidak dimodernisasi dalam jangkalima tahun ke depan, cepat atau lambat pengalaman TNI Angkatan Laut di era pasca 1965 akan kembali terulang.

Selain itu, TNI Angkatan Laut perlu mengantisipasi agenda ASEAN di bidang kerjasama maritim. Untuk dapat melaksanakan amanat tersebut secara optimal, salah satu kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi adalah modernisasi kekuatan Angkatan Laut. Tanpa modernisasi itu, terdapat kekhawatiran bahwaIndonesiatidak dapat meraih keuntungan yang sebanyak-banyaknya dari kerjasama tersebut dan lebih banyak menjadi obyek. Padahal secara geografisIndonesiamerupakan negara dengan wilayah perairan terluas di Asia Tenggara.

Dari situ tergambar sejumlah resiko yang akan dihadapi apabila program pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut. Resiko tersebut bisa berupa prestise dan martabat bangsaIndonesia, dapat pula kerugian ekonomi yang dialami olehIndonesiadan negara-negara lain yang SLOC-nya berada di perairan yurisdiksiIndonesia. Tentu saja dari resiko yang tergambarIndonesiasesungguhnya tidak siap untuk menanggungnya. Terkait dengan kebijakan ekonomi dan faktor birokratis, pendekatan yang bisa ditempuh berupa pelaksanaan lobi dilakukan terhadap instansi-instansi seperti Departemen Pertahanan, Departemen Keuangan, Bappenas dan DPR.

Dalam domain tersebut, lobi personal turut berkontribusi besar bagi tercapainya sasaran yang ingin dituju. Terlebih lagi ketika masalah sudah menyangkut pada alokasi anggaran untuk pengadaan alutsista, yang mana di situ banyak pihak yang berkepentingan. Perlu disadari pula bahwa di balik layar masih ada upaya-upaya untuk menghambat pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut, khususnya pengadaan alutsista. Oleh sebab itu, TNI Angkatan Laut sebaiknya melaksanakan pendekatan kepada berbagai pihak yang terkait secara intensif sekaligus sebagai counter lobby terhadap pihak-pihak yang berbeda kepentingan dengan TNI Angkatan Laut.

Adapun untuk menghadapi tekanan dari luar negeri, pendekatan yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan jalur diplomasi, baik dalam konteks antar Angkatan Laut, antar pemerintah maupun wadah lainnya. Dalam ruang diplomasi ini, TNI Angkatan Laut dapat memberikan pandangan mengapa pembangunan kekuatan perlu untuk dilaksanakan dan harus mampu pula meyakinkan pihak lain bahwa pembangunan tersebut bukan ditujukan untuk mengancam kepentingan pihak manapun.

Sebaliknya, pembangunan ditujukan untuk meningkatkan kemampuan Indonesiadalam menjaga stabilitas perdamaian dan keamanan kawasan. Diplomasi dalam konteks Angkatan Laut dapat menggunakan wadah seperti pertemuan bilateral atau multilateral antar para Kepala Staf Angkatan di kawasan Asia Pasifik, Navy to Navy Talks maupun kegiatan lainnya yang sejenis.

Sesungguhnya agenda ini dapat pula dititipkan kepada Departemen Luar Negeri untuk meyakinkan beberapa negara lain yang memberikan perhatian khusus terhadap pembangunan TNI Angkatan Laut selama ini. Namun untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan komunikasi intensif antar kedua instansi untuk mencapai persepsi yang sama. Sebab karakteristik kedua lembaga yang berbeda terkadang mempengaruhi pula persepsi masing-masing pihak dalam memandang suatu isu.

Wadah lainnya untuk menyampaikan maksud dan tujuan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut adalah melalui diplomasi publik. Misalnya diundang menjadi pembicara pada forum seminar atau simposium di kawasan Asia Pasifik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga kajian terkemuka yang membahas tentang keamanan kawasan. Forum-forum seperti itu perlu dimanfaatkan secara optimal oleh TNI Angkatan Laut, sehingga tidak muncul persepsi negatif terhadap pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut ke depan.

Sedangkan untuk menghadapi tantangan ketidaksiapan industri pertahanan dalam negeri dalam rangka mendukung pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut, pendekatan yang dapat ditempuh TNI Angkatan Laut hendaknya menggunakan jalur lewat Departemen Pertahanan. Sebab masalah ini merupakan domain Departemen Pertahanan, khususnya Direktorat Jenderal Sarana Pertahanan. Karena terkait dengan BUMN, pilihan yang tersedia bagi Departemen Pertahanan adalah berkoordinasi dengan Kementerian BUMN.

Dalam masalah ini, posisi TNI Angkatan Laut adalah pengguna alutsista yang disediakan oleh Departemen Pertahanan. Departemen Pertahanan pun sebagian membelinya dari industri perkapalan nasional. Penting untuk diketahui bahwa tantangan seperti ini bukan cuma dihadapi oleh TNI Angkatan Laut, tetapi juga oleh matra TNI lainnya.

4. Penutup 

TNI Angkatan Laut sebagai instrumen operasional kepentingan nasional yang terkait  dengan  domain  maritim  kini  sangat  membutuhkan modernisasi kekuatan, mengingat usia alutsistanya mayoritas di atas 30 tahun. Program modernisasi yang tercantum dalam Rancangan Renstra TNI Angkatan Laut 2010-2014 dipastikan akan mengalami sejumlah tantangan dengan memperhatikan pelaksanaan Renstra TNI Angkatan Laut 2005-2009. Untuk menghadapi tantangan tersebut, sebaiknya sejumlah pendekatan perlu ditempuh oleh TNI Angkatan Laut.

Pendekatan kepada pihak-pihak yang terkait tersebut perlu untuk dilaksanakan sehingga realisasi Rancangan Renstra TNI Angkatan Laut 2010-2014, khususnya menyangkut program pengembangan material matra laut dapat berjalan lebih cepat dan lebih lancar dibandingkan renstra sebelumnya. Sebab seiring dengan berjalannya waktu, maka makin bertambah pula alutsista dalam susunan tempur TNI Angkatan Laut yang sudah mencapai batas siklus hidupnya. Untuk menggantikan alutsista tersebut, satu-satunya cara adalah melalui modernisasi kekuatan mengikuti rancangan renstra yang tengah diusulkan kepada Mabes TNI dan Departemen Pertahanan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap