Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Angkatan Laut merupakan suatu matra yang memiliki karakteristik berbeda dengan Angkatan lainnya. Dengan tiga peran yang diembannya yaitu peran militer, konstabulari dan diplomasi, Angkatan Laut mempunyai derajat kebebasan yang luar biasa untuk hadir di laut, baik perairan yurisdiksi maupun perairan internasional, guna mengamankan kepentingan nasional. Tidak heran bila di banyak negara, Angkatan Laut diposisikan sebagai primus inter pares di antara kekuatan militer lainnya.
Kehadiran Angkatan Laut di laut sebagai simbol dari kehadiran negara tidak dapat dilepaskan dari suatu kerangka nasional, khususnya strategi maritim. Strategi maritim merupakan turunan dari strategi pertahanan dan strategi militer nasional. Dengan dinamika konteks strategis yang berubah dengan cepat, banyak negara yang merevisi strategi maritim mereka.
Bila sebelum 1990-an strategi maritim diarahkan untuk menghadapi ancaman simetris yang sangat jelas dan monolitik, di masa sekarang strategi maritim dirancang guna menghadapi ancaman dan tantangan simetris dan asimetris sekaligus. Tulisan ini akan membahas tentang wacana budaya strategis Angkatan Laut, yang mana budaya tersebut berpengaruh terhadap strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut yang dihasilkan.
2. Budaya Strategis
Menurut Roger W. Barnett, Angkatan Laut mempunyai lima budaya strategis yang sangat mempengaruhi strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut.[i] Kelima budaya strategis itu mencakup konteks (context), pendekatan sistem (system approach), ekspedisionari (expeditionary), kemampuan beradaptasi (adaptability) dan ketidakpastian dan resiko (uncertainty and risk). Kelima budaya tersebut mempengaruhi belief and attitudes organisasi Angkatan Laut dalam merancang strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut yang sesuai dengan kebutuhan.
Pertama, konteks mempunyai kaitan erat dengan pengaruh lingkungan strategis, karena lingkungan strategis akan mempengaruhi how naval forces can operate and how the do operate.[ii] Lingkungan strategis yang dimaksud tidak terbatas pada perkembangan politik, ekonomi dan sebagainya, namun juga mencakup situasi lingkungan laut di mana Angkatan Laut beroperasi. Dengan kata lain, konteks memiliki kaitan erat pula dengan situational awareness maupun battlespace awareness.
Laut sebagai medan terbuka merupakan suatu lingkungan nonlinear. Di sana tak ada batas alamiah atau buatan untuk mengorganisasikan pengintaian, pengamatan atau pertempuran seperti halnya di darat. Di laut tak ada pula medan lindung, medan tinjau, garis depan, garis belakang, lambung dan lain sebagainya. Dengan kondisi demikian, missions can be executed simultaneously or sequentially.[iii]
Kondisi lingkungan maritim demikian menempatkan konsep lebih penting bagi para ahli strategi Angkatan Laut dibandingkan dengan doktrin. Menurut Barnett, hal itu membuat konsep dan doktrin cenderung berseberangan. Concept are undefined, not clearly bounded, changing and changeable; doctrine is defined, bounded, difficult to change, and relatively inflexible.[iv] Apabila didalami, inilah salah satu perbedaan antara Angkatan Laut dan Angkatan lainnya dalam ”memperlakukan” konsep dan doktrin.
Kedua, pendekatan sistem. Dalam peperangan laut, pendekatan yang mengedepan adalah pendekatan sistem. Mengutip Barnett, ”When the admiral arrives on the scene, he has no thought at all of where things are or who is supplying them. He is thinking in terms of air defense systems, antisubmarine systems, of mine warfare, amphibious, logistics, and strike system.[v] Dengan kata lain, sejak pendidikan pertama, setiap perwira Angkatan Laut dididik dan dilatih untuk ”hidup” di lingkungan yang menggunakan pendekatan sistem.
Sehingga sangat lumrah bila para perwira Angkatan Laut sangat familiar dengan sistem elektronik dan jaringan, yang merupakan embrio awal dari network-centric warfare yang dikenal saat ini. Di era masa kini seiring dengan revolution in military affairs, semua operasi maritim dilaksanakan menggunakan network-centric warfare dalam bingkai jointness.
Network-centric warfare merupakan hal yang tak bisa dihindari seiring dengan kemajuan teknologi informasi yang mampu merajut unsur-unsur militer yang berbeda (darat, laut dan udara) dan saling terpisah oleh jarak untuk beroperasi bersama untuk mencapai tujuan militer dan politik yang telah ditetapkan. Dengan jaringan teknologi informasi, unsur-unsur yang berbeda tersebut dapat berbagi informasi menyangkut hal-hal taktis dan teknis operasional, seperti sensing, mobility, fire power maupun C4ISR.
Ketiga, ekspedisionari. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa kekuatan Angkatan Laut merupakan kekuatan yang senantiasa menyebar kemana saja (mobile) dan tidak statis di suatu tempat. Ekspedisionari merupakan sesuatu yang melekat pada setiap Angkatan Laut. Secara definisi, terdapat pengertian yang berbeda-beda tentang operasi ekpedisionari Angkatan Laut, akan tetapi ciri-cirinya adalah (i) operasi militer yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut, (ii) untuk mencapai tujuan spesifik yang ditetapkan pemerintah (iii) dengan durasi singkat (iv) di luar negeri.[vi]
Sebenarnya tidak ada hal baru bila berdiskusi tentang operasi ekspedisionari Angkatan Laut, karena operasi itu telah dilaksanakan selama ratusan tahun. Saat ini operasi ekspedisionari yang merupakan bagian dari proyeksi kekuatan sangat menonjol dilaksanakan oleh Angkatan Laut, disebabkan oleh dua hal yaitu (i) ketidakstabilan keamanan internasional dan (ii) globalisasi.[vii] Dalam era globalisasi, ketidakstabilan terhadap suatu negara atau kawasan dapat berimplikasi terhadap negara atau kawasan lainnya, sebab di era ini terjadi interdependensi keamanan.
Menonjolnya operasi ekspedisionari mendorong banyak Angkatan Laut melakukan transformasi, yang berada dalam bingkai transformasi Angkatan Laut. Transformasi di dalam Angkatan Laut yang terkait dengan ekspedisionari berupa perubahan dari kekuatan ekspedisionari yang siap untuk bertempur di tengah laut menghadapi ancaman simetris dari aktor negara, menjadi kekuatan ekspedisionari yang siap beroperasi di littoral menghadapi ancaman simetris dan asimetris.
Keempat, kemampuan beradaptasi. Operasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut berada dalam suatu strategi yang telah dirancang sebelumnya. Di antara aspek utama dalam strategi adalah antisipasi, yang mana suatu strategi dapat dikatakan efektif bila bersifat adaptif untuk mencegah atau menetralisasi upaya tindakan balik (counterefforts) lawan. Mengutip Barnett, ways (strategies) exhibit various degrees of adaptability. Means (forces), on other hand, exhibit various degree of flexibility.[viii]
Kemampuan beradaptasi menuntut adanya kecepatan berpikir dan bertindak dari pelaksana strategi ketika menghadapi situasi yang berbeda dengan yang telah diskenariokan sebelumnya. Barnett menekankan pentingnya individual initiative and freedom of action dalam kemampuan beradaptasi.[ix] Kedua hal tersebut tidak dapat dilepaskan pula dari pengaruh budaya pada setiap negara, karena ada perbedaan pandangan mengenai hal tersebut dalam budaya Barat dan Timur.
Kelima, ketidakpastian dan resiko. Ketidakpastian senantiasa mewarnai operasi militer, bahkan peperangan itu sendiri. Kemajuan teknologi militer melalui penerapan revolution in military affairs ternyata tidak mampu menghilangkan ketidakpastian dimaksud, yang oleh Carl von Clausewitz disebut sebagai fog and friction. Dikaitkan dengan strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut, strategi itu harus membahas tentang ketidakpastian dan resiko serta mendeskripsikan bagaimana strategi dirancang untuk menghadapi kedua hal tersebut.
Ketidakpastian yang mempengaruhi strategi tidak terbatas pada lamanya pelibatan, kampanye atau konflik, tetapi juga tipe senjata yang akan digunakan oleh lawan, relevansi dan efektivitas latihan, moral pasukan, keandalan sistem senjata yang digunakan oleh pihak sendiri hingga efek dari kejutan operasional dan teknologi.[x] Kondisi ketidakpastian dipastikan berefek pada resiko yang akan timbul, sehingga merupakan tantangan bagi penyusun strategi untuk ”mengatasinya”. Para perancang strategi dituntut untuk expect the unexpected.
Dalam menghadapi ketidakpastian, strategi dapat dirancang menggunakan pendekatan skenario. Pendekatan skenario setidaknya mempunyai tiga perangkat, yaitu driving forces, predetermined elements dan critical uncertainties.[xi] Dengan adanya skenario, dapat membantu penyusun strategi untuk memilih alternatif course of action, sehingga apa saja means yang dibutuhkan dapat dihitung.
Ada baiknya bila dipahami bahwa scenario is a disciplined way of thinking, it not a formal methodology, nor are they predictions.[xii] Kelemahan dari pendekatan skenario apabila course of action yang diskenariokan tidak terjadi, sehingga dapat mengganggu strategi secara keseluruhan. Oleh karena itu, Barnett berpendapat bahwa “if strategy fails, it should be designed to fail gracefully and then recover”.[xiii]
3. Kebijakan Politik Luar Negeri
Lima budaya strategis Angkatan Laut yang telah diuraikan sebelumnya bersifat universal. Budaya tersebut pada dasarnya secara alamiah melekat pada setiap Angkatan Laut di dunia. Artinya, lima budaya strategis Angkatan Laut juga melekat pada TNI Angkatan Laut. Tantangannya adalah bagaimana budaya tersebut terus melekat pada Angkatan Laut di tengah dinamika politik yang penuh tantangan saat ini dan berimplikasi terhadap posisi Angkatan Laut di kancah nasional dan kawasan.
Dua dari lima budaya strategis yaitu konteks dan pendekatan sistem tidak perlu dibahas lebih dalam lagi, karena keduanya sangat melekat dalam setiap operasi regular yang dilaksanakan TNI Angkatan Laut untuk menjamin kepentingan nasional, termasuk keamanan maritim. Yang senantiasa menjadi tantangan adalah bagaimana menjaga profisiensi personel TNI Angkatan Laut dalam melaksanakan tugas pokoknya dikaitkan dengan keterbatasan anggaran pertahanan. Pemahaman tentang konteks dan pendekatan sistem tidak cukup diajarkan di kelas saja, namun harus lebih banyak dipraktekkan di laut dalam operasi yang digelar sehingga mampu meresap pada setiap sanubari personel.
Menyangkut budaya ekspedisionari, merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas. Menurut definisi, operasi ekspedisionari merupakan operasi militer yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut untuk mencapai tujuan spesifik yang ditetapkan pemerintah dengan durasi singkat di luar negeri. Operasi ekpedisionari yang merupakan bagian dari proyeksi kekuatan Angkatan Laut sebenarnya berada dalam bingkai kebijakan politik luar negeri pemerintah. Dalam hal ini, Angkatan Laut adalah salah satu instrumen politik luar negeri, bukan saja sebatas peran diplomasi, namun mencakup pula peran militer.
TNI Angkatan Laut dalam sebagian operasinya telah melaksanakan budaya ekspedisionari secara terbatas. Maksudnya, selama ini unsur-unsur TNI Angkatan Laut secara terus menerus melaksanakan operasi di berbagai perairan Indonesia yang kalau dihitung dari pangkalan induk armada di Surabaya maupun Jakarta, secara operasional dapat dikategorikan sebagai ekspedisionari. Misalnya operasi-operasi Koarmatim yang jangkauannya hingga perairan-perairan di sekitar Papua atau operasi-operasi Koarmabar yang menjangkau hingga Laut Natuna dan perbatasan Laut Cina Selatan.
Namun kalau dimasukkan ke dalam pengertian ekspedisionari murni yang merupakan proyeksi kekuatan ke luar wilayah yurisdiksi untuk mendukung kebijakan pemerintah, harus diakui bahwa TNI Angkatan Laut masih sangat jarang melaksanakannya. Penyebabnya adalah kebijakan politik luar negeri Indonesia belum memahami betul diplomasi pertahanan (defense diplomacy), sehingga terkesan diplomasi pertahanan (termasuk diplomasi Angkatan Laut) berada di luar bingkai kebijakan itu. Kondisi ini sesungguhnya merupakan kemunduran, karena pada 1960-an diplomasi pertahanan berada dalam kebijakan luar negeri dan dipraktekkan oleh pemerintah.
Peran diplomasi pertahanan dalam bingkai kebijakan luar negeri merupakan agenda yang belum banyak dipahami di Indonesia, apalagi dibenahi sehingga memberikan ruang kepada TNI Angkatan Laut untuk berperan lebih banyak di dalamnya. Jikalau diplomasi pertahanan sudah mendapat porsi yang tepat dalam kebijakan luar negeri, niscaya terbuka peran yang lebih besar bagi TNI Angkatan Laut untuk melaksanakan operasi ekspedisionari guna mendukung kebijakan pemerintah.
Kemampuan beradaptasi terkait dengan strategi yang disiapkan untuk kepentingan operasional. Untuk memperkuat iklim ini di tengah konteks operasional Angkatan Laut yang sangat khas, dituntut personel yang mampu beradaptasi dengan strategi serta dinamika di lapangan yang berkembang. Adanya ruang bagi personel untuk berinovasi terhadap strategi yang telah dirumuskan merupakan keharusan, dengan catatan bahwa inovasi tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dan arahnya tetap untuk mencapai ends yang sudah ditetapkan.
Tantangannya adalah bagaimana sebenarnya strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut yang dianut oleh Indonesia? Konteks strategi menunjukkan bahwa dinamika kawasan keamanan Asia Pasifik ditentukan pula oleh aspek keamanan maritim. Ancaman dan tantangan terhadap keamanan maritim di kawasan spektrumnya sangat lebar, membentang dari sumber simetris hingga asimetris. Indonesia sebagai negara kunci bagi keamanan regional karena lokasinya yang strategis dan mempunyai beberapa chokepoints, dituntut mempunyai strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut guna merespon dinamika demikian.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa hingga saat ini belum ada satu strategi maritim Indonesia. Hal itu disebabkan masih belum tertata dengan baiknya manajemen keamanan maritim, sehingga kurang jelas siapa yang harus merumuskan strategi tersebut. Strategi maritim masa kini harus menyeimbangkan antara aspirasi Angkatan Laut dengan aspirasi sipil, antara tantangan simetris dengan asimetris dan juga antara kepentingan nasional dengan kepentingan negara-negara lain.
Ketidakpastian dan resiko merupakan hal yang dihadapi sehari-hari. Dikaitkan dengan strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut, antisipasi merupakan satu-satunya cara menghadapinya. Pertanyaannya, seberapa siap menghadapi dinamika maritim yang sedemikian cepat, khususnya menyangkut keamanan maritim? Sudahkah dikembangkan skenario ancaman terhadap keamanan maritim di wilayah perairan yurisdiksi Indonesia? Mampukah dideteksi unsur-unsur apa saja yang bertindak sebagai driving forces, predetermined elements dan critical uncertainties menyangkut hal tersebut?
Untuk mendeteksi ketiganya, dibutuhkan organisasi intelijen maritim yang mampu mengikuti dinamika di luar dan memprakirakan course of action ke depan. Masukan dari organisasi intelijen maritim akan menjadi salah satu rujukan dalam mengembangkan skenario ancaman di tengah ketidakpastian lingkungan strategis. Dengan masukan yang tepat, maka ketidakpastian dapat dikurangi sehingga resiko pun mampu diminimalisasikan.
4. Penutup
Ancaman dan tantangan keamanan maritim saat ini berasal dari sumber simetris dan asimetris. Untuk menghadapi hal tersebut, dibutuhkan eksistensi strategi maritim dan atau strategi Angkatan Laut. Bagi Indonesia, kehadiran strategi itu mutlak karena belum terlambat untuk membangun maritime domain awareness. Apapun strategi maritim yang dirumuskan nantinya, dapat dipastikan akan terkait dengan budaya strategis Angkatan Laut yang bersifat universal. Dalam konteks Indonesia, wacana budaya itu ada baiknya didalami sehingga dapat berkontribusi terhadap kemajuan TNI Angkatan Laut.
[i]. Barnet, Robert W, “Strategic Culture and Its Relationship to Naval Strategy”. Naval War College Review, Winter 2007, Vol.60, No.1
[ii]. Ibid, hal.25
[iii]. Ibid
[iv]. Ibid, hal.26
[v]. Ibid, hal.27
[vi]. Till, Geoffrey, Seapower: A Guide for the Twenty First Century.London: Frank Cass, 2004, hal.237-238
[vii]. Ibid, hal.238
[viii]. Barnet, Op.cit hal.29
[ix]. Ibid
[x]. Ibid, hal.30
[xi]. Liotta, P.H and Somes, Timothy E, “The Art of Reperceiving Scenario and the Future”. Naval War College Review, Autumn 2003, Vol.LVI, No.4, hal.123
[xii]. Ibid
[xiii]. Barnett, Op.cit hal.30