SUATU PANDANGAN TENTANG PEMBANGUNAN KEKUATAN TNI ANGKATAN LAUT DI ERA KETIDAKPASTIAN

Oleh: Tim FKPM

1. Pendahuluan

Dinamika lingkungan stategis yang dihadapi Indonesia saat ini dan ke depan diliputi oleh ketidakpastian. Pada satu sisi, ancaman dan tantangan asimetris lebih mendominasi isu keamanan di kawasan Asia Pasifik, namun di sisi lain kawasan ini masih pula menyimpan sejumlah flash points ancaman dan tantangan simetris. Situasi yang demikian dihadapi pula oleh Indonesia, terlebih lagi dengan kondisi geografis Indonesia yang duapertiga didominasi oleh perairan.

Ketidakpastian pada aspek lingkungan strategis diikuti pula oleh ketidakpastian pada aspek ekonomi. Situasi ekonomi kawasan Asia Pasifik baru saja memasuki upaya pemulihan setelah terpukul akibat krisis ekonomi dunia 2008 yang berawal dari kejatuhan lembaga keuangan di Amerika Serikat. Meskipun Indonesia bersama dengan Cina dan India digolongkan sebagai tiga negara Asia Pasifik yang ekonominya anomali, dalam arti mencatat pertumbuhan ekonomi justru di saat negara-negara lain di dunia ekonominya mengalami konstraksi, akan tetapi pertumbuhan tersebut belum berkontribusi banyak terhadap untuk mendukung pembangunan kekuatan pertahanan.

Pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia, termasuk pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut, masih diliputi oleh ketidakpastian ekonomi. Untuk menghadapi situasi ketidakpastian itu, pemerintah mencanangkan minimum essential force (MEF) sebagai acuan dalam pembangunan kekuatan hingga 2024. Penetapan MEF setelah dikaji memang menimbulkan sejumlah resiko terhadap kemampuan pertahanan Indonesia, karena kebijakan itu masih jauh dari kekuatan standar yang ingin dicapai.

Dengan kondisi seperti itu, diperlukan paradigma baru dalam pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut dalam kerangka MEF. Paradigma baru tersebut dengan sendirinya harus mampu memberikan alternatif pendekatan mutakhir dalam pemikiran dalam pembangunan kekuatan dihadapkan dengan situasi sekarang. Sebab pendekatan lama dalam pembangunan kekuatan sepertinya kurang mampu memberikan jawaban yang memuaskan dihadapkan dengan MEF.

2. Karakteristik Konflik

Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut ke depan perlu mempertimbangkan beberapa dinamika dalam pemikiran tentang konflik yang kini berkembang. Kebijakan, strategi dan penggunaan kekuatan hendaknya mempertimbangkan dengan cermat dinamika tersebut. Menurut hemat FKPM, ciri-ciri konflik saat ini setidaknya ada tiga.

Pertama, mengandalkan pada teknologi tinggi. Seiring dengan kemajuan teknologi dan mulai meluasnya adopsi revolution in military affairs (RMA) di berbagai negara, suka atau tidak suka konflik yang terjadi kini dan ke depan sangat diwarnai dan dipengaruhi oleh eksploitasi teknologi tinggi. Pengunaan sistem senjata kendali dan berpresisi tinggi, adopsi yang meluas terhadap C4ISTAR (command, control, computer, communication, intelligence, surveillance, targeting acquisition and reconaissance) dan meluasnya pemakaian sistem senjata tanpa awak adalah beberapa ciri dominan dari makin dominannya teknologi tinggi dalam eksploitasi kekuatan pertahanan. Adopsi RMA mempengaruhi pula strategi pertahanan dan militer yang selama ini dianut.

Kedua, berdurasi singkat. Konflik yang berkembang masa kini, khususnya dalam konflik antar negara, lebih sering berdurasi singkat. Dengan tujuan perang atau kampanye militer yang ditetapkan dengan jelas dan terang untuk mengurangi kritikan masyarakat internasional, konflik saat ini dirancang untuk berlangsung singkat dan terbatas dengan sasaran pada sejumlah center of gravity lawan. Durasi konflik yang dipersingkat itu terkait pula dengan penggunaan berbagai sistem senjata berteknologi tinggi untuk melahirkan efek yang diharapkan. Meminjam istilah yang diperkenalkan oleh para perencana Pentagon di masa Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, shock and awe diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak berikutnya dari lawan, yaitu menyerah.

Ketiga, lebih mematikan. Konflik saat ini lebih mematikan dibandingkan dengan di masa sebelumnya. Dibandingkan dengan era 1970-an, daya rusak sistem senjata masa kini jauh lebih mematikan meskipun secara kuantitas jauh lebih sedikit. Perbandingan dalam eksploitasi sistem senjata berteknologi maju dalam Perang Vietnam vs Perang Irak telah membuktikan kebenaran akan hal tersebut. Dengan demikian, secara kuantitas dibutuhkan jumlah sistem senjata yang lebih sedikit utuk menghancurkan sebuah sasaran, meskipun secara nominal diperlukan anggaran yang lebih besar untuk membeli sistem senjata itu.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, pembangunan kekuatan pertahanan saat ini dihadapkan pada ketidakpastian. Kondisi ini bukan saja dihadapi oleh Indonesia, tetapi juga oleh negara-negara lain di dunia. Kekuatan pertahanan negara-negara di dunia dihadapkan pada pilihan sulit dalam pembangunan kekuatan, apakah memfokuskan pada ancaman dan tantangan asimetris yang berkembang ataukah tetap membangun kekuatan untuk memelihara kemampuan tradisional menghadapi ancaman militer.

Ancaman simetris yang dihadapi oleh banyak negara pada satu sisi berupa ancaman dari kekuatan militer negara lain, tetapi tidak dapat diabaikan pula ancaman counter-insurgency (COIN) dan war on terroris (WOT) pada sisi asimetris. Mencermati perkembangan terkini dalam pembangunan kekuatan pertahanan beberapa negara maju, mereka mengkombinasi dua ancaman dalam pembangunan itu sehingga dikenal istilah hybrid warfare sebagaimana tercantum dalam 2010 Quadrennial Defense Review (QDR). Hybrid warfare secara sederhana dapat diartikan sebagai perancangan kekuatan pertahanan untuk mampu menghadapi ancaman simetris dan asimetris sekaligus dalam ruang dan waktu yang sama. Dengan mengadopsi hybrid warfare, negara seperti Amerika Serikat telah berani menanggalkan konsep major regional conflict yang telah dianut sejak era Perang Dingin dan menggantikannya dengan tiga skenario yang menggabungkan antara ancaman simetris dan asimetris.

Pendekatan seperti hybrid warfare dianut karena spektrum ancaman ke depan tidak jelas. Ketidakjelasan itu disebabkan oleh dinamika lingkungan strategis yang penuh ketidakpastian. Dinamika demikian direspon antara lain dengan memberdayakan intelijen, yang mana tiga skenario yang diadopsi oleh Amerika Serikat untuk menggantikan major regional conflict antara lain sebagai hasil dari pemberdayaan intelijen tersebut. Terkait dengan domain maritim yang ancamannya berupa perompakan, pembajakan, terorisme maritim dan proliferasi senjata pemusnah massal, tidak sedikit Angkatan Laut yang mengembangkan konsep maritime domain awareness (MDA).

Maritime domain awareness apabila diperluas dan dikombinasikan dengan ranah lainnya untuk kepentingan pertahanan bertransformasi menjadi battlespace awareness. Dalam battlespace awareness, aspek yang terkait bukan semata aspek pertahanan, namun mencakup pula aspek politik dan ekonomi. Dengan demikian, untuk mendukung agar kekuatan pertahanan dapat mencapai tujuan kampanye atau operasi yang telah ditetapkan, peran dan kinerja dari domain politik dan ekonomi akan turut menentukan pula.

Dalam konteks Indonesia, aspek politik dan ekonomi saat ini nampaknya kurang berpihak terhadap pembangunan kekuatan pertahanan. Sebagai contoh, pada aspek politik masih ada residu masa lalu yang berakibat pada ketidaksukaan pihak-pihak sipil tertentu terhadap TNI dan pembangunan kekuatannya. Sedangkan pada aspek ekonomi, liberalisasi ekonomi yang tanpa kendali secara sadar atau tidak telah membukakan pintu seluas-luasnya bagi pihak asing untuk mengendalikan ekonomi Indonesia, semisal masuknya pemain asing seperti Petronas dalam pasar BBM nasional. Situasi itu menciptakan rongga yang nampaknya akan merugikan battlespace awareness Indonesia.

3. Effect-Based Operations 

Satu hal yang perlu dipahami pula adalah bahwa pelaksanaan perang saat ini telah beralih dari konsep lama yaitu yang dikenal dengan attrition-based warfare (ABW) menjadi effect-based operations (EBO). Perbedaan kedua konsep ini sangat mendasar, karena bila ABW melakukan pendekatan melalui upaya penghancuran kekuatan musuh secara fisik baik pasukannya, alat utamanya serta sarana pendukungnya. Sedangkan EBO lebih condong pada pendekatan penghancuran kekuatan musuh pada sasaran non fisik yaitu will, yang terdiri dari semangat, kemauan, militansi, moril musuh dengan tujuan agar musuh sampai pada fase untuk tidak mau melanjutkan perjuangan lagi dan akhirnya menyerah.

Pendekatan baru ini tidak muncul begitu saja melainkan merupakan suatu hasil kajian dari pengalaman-pengalaman perang masa lalu, di mana dapat disimpulkan sebenarnya terdapat dua dimensi utama yang harus dipahami benar oleh setiap pemimpin negara dan pemimpin militer bila terlibat atau terpaksa terjun dalam perang, yaitu dimensi fisik dan non fisik. Fisik yang dimaksud adalah sarana dan prasarana perang (alutsista, pendukung, personel dan lainnya) yang dalam strategi militer dikenal sebagai means, sedangkan non fisik adalah will yang mengandung semangat juang, patriotisme, moril yang tinggi, rela berkorban dan lain sebagainya.

Kemenangan dalam perang baru sempurna apabila dapat menaklukkan kedua faktor dominan ini. Tentunya hal ini tidak mudah dilakukan karena faktor-faktornya yang kompleks, sedangkan keduanya tidak mempunyai hubungan yang linier antara penghancuran secara fisik sampai pada tingkat tertentu dan proses psikologi yang berlangsung dalam alam pikiran manusia pada kurun waktu tertentu. Hubungan yang kompleks antara means dan will ini dapat dideteksi pada level politik dan strategi militer, akan tetapi dapat dipastikan akan muncul pada level operasional dan taktikal.

Penjelasan selanjutnya, dampak yang yang ditimbulkan dari penerapan kekuatan militer masa kini telah meluas menyangkut ke behavior musuh yang dihadapi dan bukan ditujukan pada penghancuran dan pengrusakan sasaran secara fisik. Inilah sebenarnya yang menjadi fokus utama dari EBO. Karena itu Departemen Pertahanan Amerika Serikat lewat The Command and Control Research Program (CCRP), mendefinisikan, “effects-based operations are coordinated sets of actions directed at shaping the behavior of friends, foes, and neutrals in peace, crisis and war.”

Bila mengacu pada definisi ini, konsep EBO yang menitikberatkan pada “seperangkat tindakan yang terkoordinasi” ditujukan pada perilaku manusia menuntut pelibatan seluruh aset militer, ditambah dengan kekuatan nasional yang lain. Selain itu, dampak yang diharapkan timbul tidak hanya pada pihak yang bermusuhan, tetapi juga terhadap siapa saja dan dapat terjadi pada tingkatan taktik, operasi, strategi militer dan geostrategis. Bahkan sampai pada area politik domestik maupun internasional.

Kedua faktor dominan tersebut akan memberikan gambaran bagaimana suatu konflik disebut simetris atau asimetris. Contoh konflik simetris yaitu bentuk-bentuk perang masa lampau di mana satu negara melawan negara atau koalisi negara lain masing-masing menggunakan sarana (means) yang dimiliki disertai dengan semangat juang (will) yang besar pula. Namun yang menjadi bahasan saat ini adalah konflik asimetris yang timbul karena ketidakseimbangan dalam kemampuan dan kekuatan militer dari pihak-pihak yang bertikai.

Oleh karena itu cukup mudah meramalkan bahwa hukum konflik akan berlaku di mana pihak yang memiliki kekuatan yang lebih besar akan berusaha mencari dan mengeksploitasi kelemahan pihak lawan agar kemenangan dapat dicapai. Dunia saat ini telah berada pada bentuk perang/konflik asimetris, di mana negara tidak lagi berperang melawan negara lain, tetapi berperang melawan aktor non negara seperti gerakan etnik untuk kemerdekaan, gerakan separatis, gerilya, bahkan teroris. Aktor non negara pada umumnya mempunyai kekuatan dan sarana perang (means) yang terbatas, akan tetapi mereka mempunyai militansi dan semangat juang bahkan ideologi (will) yang sangat tinggi.

Sebagai contoh, Amerika Serikat tidak mudah mematahkan kekuatan Al Qaida di Afganistan dan ABRI juga sulit memadamkan Gerakan Aceh Merdeka di Aceh (belakangan situasi keamanan di Aceh berangsur pulih karena pemerintah Indonesia dan TNI menerapkan pendekatan EBO, yaitu memenangkan behavior rakyat Aceh?), barangkali benar. Sekalipun konflik bentuk baru telah muncul, bukan berarti pola lama telah ditinggalkan. Hal ini karena faktor-faktor penentu tetap dinamis dan berkembang.

Sebagai contoh, semakin kuat ekonomi suatu negara, maka semakin besar pula peluangnya mengembangkan kekuatan angkatan bersenjatanya. CCRP di Amerika Serikat juga mengakui, “asymmetric conflict has not replaced symmetric conflict; it has come in addition to it”. Satu hal perlu dipahami ialah konflik asimetris tidak selamanya terjadi di kala perang saja. Oleh karena itu EBO dapat diterapkan dalam spektrum yang luas, dari masa damai, konflik maupun perang.

Aplikasi di masa damai adalah MOOTW (Military Operation Other Than War), operasi pemeliharaan perdamaian dan operasi-operasi yang berdampak sosial kesejahteraan masyarakat. Mungkin ini bagian dari soft power. Karena targetnya adalah human behaviour, maka ke depan tidak berlebihan jika peran media massa untuk membentuk opini publik akan semakin besar. Edward R Smith dari CCRP mengatakan, “effects-based operations are not simply a mode of warfare. They encompass the full range of actions that a nation may undertake in order to induce a particular reaction on the part of an opponent, ally, or neutral.

Dikaitkan dengan kemampuan keuangan Indonesia saat ini yang belum mampu membangun kekuatan Angkatan Bersenjata yang ideal, maka pendekatan penyelesaian konflik internal (andaikata terjadi), seyogyanya menerapkan pendekatan EBO sebagai salah satu alternatif dari kemampuan yang harus dikembangkan oleh TNI, khususnya TNI Angkatan Laut. Kemampuan tersebut hendaknya dibangun berbarengan dengan kemampuan lain dalam konsep pembangunan TNI Angkatan Laut berdasarkan perencanaan pembangunan berdasar kemampuan (capability-based planning).

Salah satu karya nyata yang telah dipraktekan oleh TNI Angkatan Laut selama ini adalah pelaksanaan Operasi Surya Baskara Jaya yang telah berhasil dengan baik menarik simpati masyarakat. Intinya adalah how to win the heart and mind of the people.

4. Capability-Based Planning 

Capability-based planning adalah suatu pendekatan baru dalam proses pembangunan kekuatan militer yang banyak dianut dewasa ini. Menurut The Technical Cooperation Program (Amerika Serikat), mendefinisikan capability-based planning sebagai, “planning under uncertainty, to provide capabilities suitable for a wide range of modern-day challenges and circumstances while working within an economic framework that necessitates choice”. Dari definisi ini tersirat pengertian pembangunan kekuatan Angkatan Bersenjata yang berkonsentrasi pada apa yang perlu dilakukan dan bukan pada kekuatan apa (Angkatan Laut: kapal perang) yang harus dimiliki. Terdapat beberapa faktor pendorong ditempuhnya pendekatan baru ini antara lain:

  1. Sebagai jawaban terhadap tantangan perkembangan lingkungan strategis dewasa ini yang tidak menentu, ditandai dengan spektrum ancaman yang sangat luas dan beragam.
  2. Suatu paradigma pemikiran yang beralih ke what do we need to do, bukan lagi what equipments are we replacing (purchacing).
  3. Pengertian “ancaman” telah bergeser dari pengertian klasik yaitu suatu serangan terbuka dengan menggunakan kekuatan militer konvensional dari suatu negara terhadap negara lain, kepada pengertian yang lebih luas yaitu musuh non negara.

Melemahnya kemampuan Indonesia untuk membiayai kekuatan pertahanan, mau tidak mau memaksa para pengambil keputusan di Departemen Pertahanan, Mabes TNI dan Angkatan untuk menyusun perencanaan pembangunan kekuatan jangka panjang sesuai dengan kondisi keuangan negara, namun harus tetap dapat menjawab tantangan masa kini. Sebagai bagian dari kekuatan TNI, TNI Angkatan Laut kiranya layak mulai memikirkan untuk menerapkan pendekatan ini dalam pembangunan kekuatan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Undang-Undang RI No 34 Tahun 2004 tentang TNI (Pasal 9, tugas TNI Angkatan Laut) dan kebijakan Pemerintah tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara yaitu Perpres No.7 Tahun 2008.
  2. Penentuan prioritas tergantung pada ancaman yang dihadapi, kehandalan teknologi dan sebagainya. Sebagai contoh, menjaga perbatasan terhadap pelanggaran wilayah dengan mengerahkan kapal-kapal tipe fregat atau memberantas illegal fishing dengan mengerahkan kapal-kapal patroli cepat ukuran menengah.
  3. Menentukan sasaran kemampuan yang akan dicapai, melalui cara membagi kemampuan terhadap aset yang dimiliki.
  4. Melakukan peninjauan ulang mulai dari tingkat strategi, operasi dan taktik. Misalnya dengan mempertimbangkan konfigurasi negara kepulauan, di mana jarak antara satu pulau dengan lainnya relatif dekat. Sehingga strategi Angkatan Laut yang kiranya lebih mengena adalah mengubah konsep dari pertanyaan what we can do at sea, menjadi what we can do from the sea to shore. Sebab “musuh” yang dihadapi sekarang seperti illegal fishing, pembalakan liar, penyelundupan barang dan narkoba dan lainnya, semuanya berawal dari daratan dan bermuara di daratan juga.
  5. Melakukan penilaian (assessment) terhadap kemampuan melalui cara mencari faktor-faktor ketidaksesuaian atau yang menjadi kendala, bahkan penghambat.
  6. Dari hasil penilaian tersebut dapatlah kemudian ditentukan pilihan-pilihan kekuatan yang dapat dibangun.

5. Penutup

Membangun kekuatan TNI Angkatan Laut di dalam era lingkungan strategis yang penuh ketidakpastian pada satu sisi dan keterbatasan anggaran pertahanan pada sisi lain memerlukan pendekatan dengan menggunakan paradigma baru. Paradigma baru tersebut antara lain menyangkut pemahaman terhadap karakteristik konflik yang berkembang, revolution in military affairs beserta dampaknya pada strategi pertahanan dan militer, battlespace awareness, effect-based operations dan capability-based planning. Memang tidak mudah bagi TNI Angkatan Laut untuk melaksanakan peran dan tugasnya di era saat ini, namun tidak berarti tak ada jalan keluar untuk menghadapi berbagai permasalahan yang terkait dengan pembangunan kekuatannya.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap