Oleh: Tim FKPM
1. Dinamika Mutakhir Diplomasi Angkatan Laut
Diplomasi Angkatan Laut merupakan bagian dari kebijakan nasional suatu negara. Meskipun kini arsitektur politik dan keamanan dunia lebih cair dengan adanya multipolaritas dalam hubungan antar bangsa, akan tetapi diplomasi Angkatan Laut (termasuk di dalamnya penggunaan kapal perang) tetap menjadi salah satu instrumen nasional bagi banyak kekuatan dunia. Beberapa dinamika mutakhir tentang diplomasi Angkatan Laut dapat diringkas sebagai berikut:
- Sikap Amerika Serikat. Pengembangan enam kemampuan inti oleh Amerika Serikat dalam A Cooperative Strategy for 21st Century Seapower, yang berfokus pada forward presence, deterrence, maritime security, sea control, power projection dan humanitarian assistance and disaster relief.
- Wacana di PBB. Di PBB berkembang wacana dengan mengacu pada Michael Pugh yang mengembangkan konsep peacekeeping and enforcement dan maintenance of good order sebagai dua kemampuan yang harus dimiliki oleh Angkatan Laut dunia, selain empat kemampuan fundamental yaitu power projection, sea control, sea denial dan naval presence. Meningkatnya peran Angkatan Laut dalam dua kemampuan terdahulu dapat dilihat di perairan sekitar Timur Tengah, baik di Laut Mediterania, Laut Arab maupun perairan sekitarSomalia.
- Pertemuan Bilateral Australia-Amerika Serikat. AUSMIN 2010 yang menjadi wadah pertemuan bilateral antar para Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dan Australia berfokus pada isu US Force Posture Review dan peningkatan penggunaan fasilitas militer Amerika Serikat di Australia. Kedua isu tersebut berada dalam bingkai kehadiran kekuatan militer Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik, yang simbolnya adalah Gugus Serang Ekspedisionari Kapal Induk (Expeditionary Strike Carrier Group).
Mengacu pada Hans J. Morgenthau, politik internasional adalah pertarungan untuk kekuatan.[i] Kekuatan politik (political power) dalam hubungan antar bangsa adalah hubungan bersifat psikologis antara pihak yang meng-exercise kekuatan tersebut dan pihak yang menjadi sasaran exercised tersebut.[ii] Penting untuk dipahami bahwa kekuatan politik adalah sarana (means) untuk mencapai tujuan (ends) suatu bangsa.
Dalam pertarungan untuk kekuatan, dikenal adanya kebijakan prestise.[iii] Terdapat dua cara pelaksanaan kebijakan tersebut, yaitu lewat praktek diplomasi dan penggunaan demonstrasi kekuatan militer.[iv] Menyangkut penggunaan demonstrasi kekuatan militer, penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk menunjukkan sikap politik suatu negara merupakan pilihan utama bagi banyak negara sejak berabad-abad silam. Hal ini tidak lepas dari karakteristik yang dimiliki oleh kapal perang yang tidak dimiliki oleh sistem senjata lainnya, seperti mobilitas dan visibilitas.
Demonstrasi kekuatan Angkatan Laut dalam hubungan antar bangsa tentu saja tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam bingkai kebijakan luar negeri. Dengan kata lain, demonstrasi kekuatan Angkatan Laut yang lebih dikenal sebagai diplomasi Angkatan Laut merupakan bagian dari kebijakan luar negeri itu sendiri. Kebijakan luar negeri sendiri bagaimanapun harus diabdikan untuk mendukung kepentingan nasional.
Kebijakan luar negeri ditempuh oleh para diplomat untuk kekuatan nasional pada masa damai dan strategi dan taktik militer oleh para pemimpin militer untuk kekuatan nasional pada masa perang.[v] Dikaitkan dengan pertarungan untuk kekuatan antar bangsa, salah satu faktor yang menciptakan kekuatan bagi suatu bangsa adalah kualitas diplomasi.[vi] Kualitas diplomasi inilah yang menentukan tercapai tidaknya kepentingan nasional, sebab diplomasi merupakan salah satu unsur kekuatan nasional. Tidak sedikit kalangan yang berpendapat bahwa salah satu tujuan diplomasi adalah mempromosikan kepentingan nasional melalui sarana-sarana damai.[vii] Menurut Morgenthau, terdapat empat tugas diplomasi.[viii]
Pertama, diplomasi harus menentukan tujuannya dikaitkan dengan kekuatan aktual dan potensial yang tersedia untuk mengejar tujuan tersebut. Kedua, diplomasi harus menilai tujuan bangsa-bangsa lain dan kekuatan aktual dan potensial yang tersedia untuk mengejar kepentingan mereka. Ketiga, diplomasi harus menentukan sampai sejauh mana tujuan-tujuan yang berbeda tersebut sepadan satu sama lain. Keempat, diplomasi harus menggunakan sarana-sarana yang tepat untuk mengejar tujuan-tujuannya.
Baik diplomasi maupun kekuatan militer adalah unsur dari instrumen kekuatan nasional. Oleh karena itu, pemaduan antara kedua unsur untuk mencapai dan mengamankan kepentingan nasional bukan merupakan hal baru. Pendekatan seperti ini sudah ditempuh sejak lebih dari seribu tahun silam oleh berbagai negara yang pernah eksis dan tengah eksis di muka bumi.
Dalam konteks Angkatan Laut, penggunaan kekuatan Angkatan Laut dalam masa damai dan perang untuk mendukung diplomasi adalah praktek yang lumrah. Oleh karena itu, dikenal istilah popular yaitu naval diplomacy (diplomasi Angkatan Laut) yang dalam situasi tertentu digunakan kekuatan kapal perang yang disebut gunboat diplomacy (diplomasi kapal perang). Menurut James Cable, gunboat diplomacy adalah senjata yang digunakan oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah, namun kekuatannya tidak terletak pada kekuatan potensial, tetapi pada kebisaan untuk mengaplikasikan kekuatan yang tepat (appropriate force) terhadap isu yang menjadi subyek perbedaan kedua belah pihak.[ix] Walaupun konstelasi geopolitik dunia kini telah berubah dibandingkan era Perang Dingin, akan tetapi praktek diplomasi Angkatan Laut melalui penggunaan kekuatan tetap ditempuh oleh berbagai negara di dunia.
Karena penggunaan kapal perang dalam rangka melaksanakan diplomasi Angkatan Laut berada dalam bingkai politik, penting untuk dipahami bahwa diplomasi Angkatan Laut adalah penyebaran kekuatan Angkatan Laut secara terbatas untuk mencapai tujuan politik yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Terkait dengan hal itu, dalam diplomasi Angkatan Laut terdapat empat hal yang harus senantiasa diperhatikan.[x] Yakni definitive force, purposeful force, catalytic force dan expressive force.
Mengapa keempat hal tersebut harus diperhatikan? Dalam diplomasi Angkatan Laut, terdapat unsur suasi (suasion). Mengacu pada Edward N. Luttwak, suasi Angkatan Laut terdiri dari latent naval suasion dan active naval suasion.[xi] Latent naval suasion mempunyai dua turunan yaitu deterrent mode dan supportive mode, adapun active naval suasion terdiri dari supportive dan coercive. Unsur coercive menurut Luttwak terdiri dari dua dimensi yaitu positif (compellence) dan negatif (deterrence).
Suasi merupakan unsur penting dalam diplomasi Angkatan Laut, sebab suasi mendefinisikan semua reaksi, baik secara politik atau taktis, yang ditimbulkan oleh semua pihak terhadap eksistensi, pameran, manipulasi atau penggunaan simbolis instrumen kekuatan militer, terlepas dari apakah reaksi merefleksikan niat yang disengaja atau tidak oleh pihak yang melaksanakan penyebaran kekuatan.[xii] Suasi laten muncul sebagai reaksi terhadap penyebaran kekuatan Angkatan Laut secara rutin tanpa suatu sasaran yang spesifik. Adapun suasi aktif adalah reaksi yang timbul dari penyebaran kekuatan laut dengan sasaran yang spesifik.
Definitive force harus ada dan nampak dalam diplomasi Angkatan Laut karena kekuatan itulah yang diharapkan mampu menciptakan faith accompli terhadap pihak yang menjadi sasaran diplomasi Angkatan Laut. Seberapa besar definitive force sebenarnya bersifat relatif, akan tetapi penting untuk dipahami kembali bahwa diplomasi Angkatan Laut adalah penggunaan kekuatan Angkatan Laut secara terbatas. Yang utama adalah kemampuan definitive force untuk menimbulkan unsur suasi.
Purposeful force yaitu diplomasi Angkatan Laut melalui penyebaran kapal perang memiliki tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Secara umum diplomasi Angkatan Laut digelar untuk mengubah kebijakan atau karakter kebijakan luar negeri pemerintahan asing yang menjadi sasaran.[xiii] Di sini ditekankan pentingnya perumusan tujuan dari penyebaran kapal perang dalam diplomasi Angkatan Laut, sebab tanpa tujuan yang jelas maka penyebaran itu cenderung tidak punya makna apa-apa. Tujuan yang jelas akan membantu menciptakan unsur suasi, baik suasi laten maupun suasi aktif.
Catalytic force yakni sifat diplomasi Angkatan Laut di mana kekuatan yang dilibatkan yaitu kapal perang memiliki sifat katalis yang sesuai dengan kebutuhan operasional. Sebagai ilustrasi, dalam penyebaran kapal perang guna melaksanakan diplomasi Angkatan Laut terdapat karakter fleksibel kapal perang, misalnya berada di perairan internasional yang berdekatan dengan perairan teritorial negara sasaran. Apabila dibutuhkan, kapal perang tersebut dalam segera melakukan intervensi (apapun bentuk intervensinya) terhadap negara sasaran dengan memasuki perairan teritorial negara tersebut secepatnya dan sesegera mungkin kembali ke perairan internasional setelah intervensi itu dilaksanakan. Inilah yang dimaksud sifat katalis dalam diplomasi Angkatan Laut dan karakter ini tidak dimiliki oleh sistem senjata lainnya.
Expressive force adalah karakter kekuatan kapal perang yang melaksanakan diplomasi Angkatan Laut, yang mana kapal perang itu digunakan untuk menekankan sikap-sikap dari negara yang bersangkutan.[xiv] Karakter itu terbentang dari yang bersifat lunak sampai keras, seperti sekedar pameran hingga hingga ancaman penggunaan kekuatan. Dalam expressive force, sangat jelas mengandung unsur suasi seperti yang telah dikemukakan oleh Luttwak.
2. Praktek Diplomasi Angkatan Laut
Berikut ini tabel yang menggambarkan praktek-praktek diplomasi Angkatan Laut:
3. Diplomasi TNI Angkatan Laut
Selama ini TNI Angkatan Laut telah melaksanakan peran diplomasi, namun nampaknya belum optimal. Sebagai salah satu tolak ukur, bisa dihitung berapa besar persentase pelaksanaan peran diplomasi yang diemban TNI Angkatan Laut dibandingkan dua peran lainnya yang juga melekat. Dihadapkan pada tantangan dinamika lingkungan strategis, menjadi tantangan bagi TNI Angkatan Laut untuk merumuskan kembali apa saja yang bisa dilakukan untuk mengoptimalkan peran diplomasi tersebut.
Untuk menuju ke arah tersebut, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun atau menginventarisasi kembali praktek peran diplomasi seperti apa yang selama ini telah dilakukan dan bagaimana dampak strategisnya terhadap kepentingan nasionalIndonesia. Selain itu, perlu diinventarisasi pula praktek peran diplomasi seperti apa yang kiranya pantas dan layak dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut ke depan yang selama ini belum diimplementasikan.
Sebagai gambaran, setidaknya terdapatlimaisu yang dewasa ini menjadi bahasan dalam forum diplomatik kawasan Asia Pasifik. Kelima isu itu adalah sebagai berikut:
- Counter terrorism,
- Keamanan maritim,
- Intelijen,
- Humanitarian Assistance and Disaster Relief
- Peace Operations and Humanitarian Protection
Diharapkan, TNI Angkatan Laut dapat berkontribusi lebih besar dalam kelima isu tersebut di kawasan melalui peningkatan peran diplomasinya.
[1]. Morgenthau, Hans J, Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, Fifth Edition, Revised,New York: Alfred A. Knopf, 1973, hal.29
[1]. Ibid, hal.30
[1]. Ibid, hal.77
[1]. Ibid, hal.78-84
[1]. Ibid, hal.146
[1]. Op.cit, hal.146
[1]. Ibid, hal.529
[1]. Ibid, hal.529-530
[1]. Cable, James, Gunboat Diplomacy 1919-1979: Political Application of Limited Naval Force,New York: St. Martin Press, 1981, hal.57
[1]. Cable, James, op.cit, hal.41-83
[1]. Luttwak, Edward N, The Political Uses of Sea Power, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1974, hal.7
[1]. Ibid, hal.10-11
[1]. Cable, James, op.cit, hal.57
[1]. Ibid, hal.81