Oleh: Willy F. Sumakul
1. Latar Belakang
Globalisasi yang melanda dunia dewasa ini ternyata memunculkan dua wajah perubahan yang mendasar. Yaitu di satu pihak adanya saling ketergantungan negara bangsa di bidang ekonomi, keterbukaan informasi, perdagangan bebas, penurunan tarif dan bea masuk, mengurangi proteksi komoditi tertentu, mengemukanya peranan perusahaan multinasional dan semakin berkurangnya peranan pemerintah dan lain sebagainya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa dunia saat ini sedang berkembang menuju dunia yang terbuka dan menyatu secara ekonomi.
Akan tetapi di lain pihak, globalisasi telah memunculkan fenomena baru di bidang politik yaitu perpecahan (fragmentasi) di dalam negara bangsa (nasional), maupun regional yang umumnya didorong oleh ikatan etnis/ keturunan, persamaan budaya dan bahasa, persamaan agama, kepentingan bersama karena senasib, bahkan karena persamaan warna kulit. Faktor-faktor inilah yang kemudian memunculkan gerakan separatisme dalam negara, yakni ingin memisahkan diri dan mendirikan negara sendiri berpisah dari negara induk.
Situasi demikian digambarkan oleh John Naisbitt di dalam bukunya yang berjudul Global Paradox. Naisbitt mengatakan, “semakin besar ekonomi dunia, semakin kuat para pemain kecilnya”. Dalam bidang politik, lebih jauh dia mengatakan bahwa virus tribalisme (sukuisme) mempunyai resiko menjadi AIDS dalam politik internasional, yang selama bertahun-tahun tertidur, kini meruyak untuk menghancurkan negara-negara. Singkatnya, semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan. Melalui penekanan pada kesukuan, maka mantra abad baru yang berbunyi ”berpikirlah global, bertindaklah lokal” telah terbalik menjadi ”berpikirlah lokal, bertindaklah global”.
Selain itu, sejauh yang menyangkut masalah keamanan (security), perkembangan ini memunculkan berbagai inisiatif untuk menjaga keamanan bersama. Inisiatif itu disponsori oleh negara-negara maju melalui pembentukan collective security, regional security, burden sharing, latihan militer bersama (combined exercises) dan lain-lain. Hal ini didorong oleh adanya pemahaman bahwa instabilitas keamanan di dalam suatu negara akan berimbas ke negara lain (tetangga). Lagi pula keamanan di suatu kawasan hanya dapat terjamin apabila ada kerjasama yang baik di antara negara satu kawasan.
Krisis energi yang sedang melanda dunia di era globalisasi malahan membuat negara bangsa semakin menonjolkan kepentingan nasionalnya demi untuk kesejahteraan bangsa dan rakyatnya masing-masing. Dalam kaitan dengan energi, eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi lepas pantai akan rawan menimbulkan konflik antar negara yang berbatasan. Khususnya di wilayah-wilayah sengketa (disputed area), karena perbatasan laut yurisdiksinya belum disepakati sesuai dengan hukum yang berlaku. Indonesia mempunyai potensi konflik dengan negara tetangga menyangkut masalah perbatasan.
Masalah mempertahankan keamanan negara bangsa saat ini pun semakin rumit, sebab disadari atau tidak dunia sudah berada pada era yang disebut peperangan generasi keempat (the fourth generation warfare). Artinya musuh yang dihadapi oleh negara saat ini sangat beragam, sulit diprediksi kapan munculnya dan dari mana arah datangnya. Negara tidak lagi selalu berhadapan dengan negara, akan tetapi berhadapan dengan organisasi atau gerakan non negara.
Singkatnya, dunia sekarang sudah memasuki era konflik asimetris. Kemajuan teknologi informasi adalah pemicu utama the fourth GW. Misalnya peralatan komunikasi semakin memudahkan dan mempercepat pelaksanaan komando dan pengendalian terhadap pasukan, berapa pun besarnya dengan lokasi yang jauh dan terpisah-pisah. Dihadapkan pada situasi ke depan yang demikian, tidak mudah untuk menyusun suatu strategi militer nasional, seterusnya strategi maritim yang dapat diterapkan dan diandalkan di Indonesia saat ini. Namun apapun situasi yang dihadapi, suatu strategi maritim/strategi Angkatan Laut seyogianya harus dapat disusun untuk mengamankan kepentingan nasional, khususnya di laut.
2. Perkembangan Konsep Strategi
Pada mulanya kata strategi hanya dikenal dan digunakan di kalangan militer saja, karena memang selalu berkonotasi dengan perang. Oleh sebab itu strategi sering didefinisikan dengan sesuatu yang berhubungan dengan sarana militer, kekuatan militer, medan tempur dan sebagainya. Sebagai contoh, Clausewitz mendefinisikan sebagai the deployment of the battle as the means toward the attainment of the object of war. Adapun Liddell Harts mendefinisikannya sebagai the art of distributing and applying military means to fulfill the ends of policy. Sedangkan menurut Napoleon, strategi diartikan sebagai taktik besar (grand tactic).
Dalam perkembangannya selama berabad-abad sampai dengan perang modern saat ini, salah seorang pemikirnya yaitu Laksamana Henry E. Eccles (U.S. Naval War College), memformulasikan strategi is the art of comprehensive direction of power to control the situation and area to achieve the political objective that has been stated. Dari berbagai contoh definisi tersebut, sekalipun telah berkembang sedemikian rupa sejalan dengan perkembangan jaman, strategi selalu mengandung tiga elemen dasar yang membangunnya. Yaitu ada tujuan (ends), ada sarana (means) dan ada cara (ways) untuk mencapainya. Lihat gambar di bawah ini.
Karena itu pula mengacu pada pengertian yang sederhana ini, kata strategi sekarang sudah digunakan secara luas dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Tidak terkecuali di Indonesia, baik politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan olah raga, di dalam institusi pemerintah maupun swasta. Karena semua orang berbicara tentang strategi (meskipun sebenarnya tidak tahu esensinya), akibatnya penggunaannya menjadi serampangan, sulit dimengerti dan bahkan membingungkan.
Yang paling menonjol adalah mencampuradukkan antara strategi dan taktik. Sebagai contoh, maksudnya mau berbicara tentang taktik bagaimana sepakbola menyerang, tetapi yang dikatakan adalah strategi. Padahal dalam kaitan ini pengertian strategi secara sederhana adalah bagaimana caranya memenangkan turnamen (merebut piala), sedangkan taktik adalah bagaimana memenangkan satu pertandingan. Akhirnya kita akan sepakat pada kata-kata para ahli strategi, strategy is a word that is often used, but little understood.
Dari berbagai rumusan para ahli tentang pengertian strategi seperti telah dijelaskan sebelumnya, jelas terlihat bahwa sarana (means), hanya terbatas pada kekuatan militer saja. Konsep strategi militer telah berkembang sedemikian pesat, setidaknya sejak era Carl Von Clausewitz (1831) sampai kini terdapat tiga perkembangan yang sangat esensial:
Pertama, konsep strategi telah mencakup tidak hanya sarana militer, tetapi telah mencakup keseluruhan kekuatan negara bangsa (all the national power of the state), baik politik, ekonomi, sosial, ideologi maupun teknologi. Karena perang/konflik terjadi antara negara melawan negara, maka seluruh kekuatan potensi bangsa dan negara dilibatkan, sehigga strategi untuk memenangkan perang diinterpretasikan menjadi the art of using the entire state power in the pursuit of victory. Jadi strategi di sini telah dikaitkan tidak hanya dengan pertempuran menggunakan senjata, tetapi juga strategi perang secara keseluruhan.
Kedua, konsep strategi berkembang tidak hanya diterapkan pada masa perang saja, tetapi telah mencakup seluruh kegiatan militer di masa damai. Perkembangan ini terjadi tidak lain karena pertimbangan faktor-faktor non militer yang terlibat, sehingga diartikan sebagai seni untuk mengendalikan seluruh sumber daya negara atau koalisi negara dengan tujuan untuk mengamankan dan memelihara kepentingan nasional terhadap musuh nyata ataupun musuh potensial. Berangkat dari pengertian ini, Robert E. Osgood memformulasikan strategi militer sebagai “keseluruhan rencana dalam hal penggunaan kekuatan bersenjata secara paksa bersama-sama dengan instrumen kekuatan non militer yang lain yakni ekonomi, diplomatik, psikologi, untuk mendukung kebijakan poltik luar negeri secara efektif, baik secara terang-terangan (overt), secara samar atau tersembunyi (covert), atau secara diam-diam (tacit)”.
Ketiga, konsep yang memperkenalkan suatu perluasan dari sarana (means) dan tujuan (ends). Strategi kadang-kadang diartikan sebagai penggunaan dari seluruh kekuatan negara atau merupakan gabungan dari kekuatan politik, ekonomi, ideologi, militer dan potensi lainnya, untuk mencapai keseluruhan dari tujuan politik. Tujuan politik dimaksud tidak lain adalah keamanan nasional yang sudah diperluas. Perbedaan dengan perkembangan kedua seperti telah dijelaskan, terletak pada tujuan yang akan dicapai yaitu tidak hanya untuk mencapai vital interest, tetapi diperluas pada pencapaian all the important interests.
Melalui pembahasan singkat tentang perkembangan strategi militer dari masa lalu sampai kini, dapat dimengerti bahwa seolah-olah konsep strategi militer telah diadopsi dan diangkat sedemikian rupa menjadi strategi pada level nasional menjadi strategi nasional. Cakupannya sekarang tidak hanya pada domain militer, tetapi telah meluas mencakup seluruh instrumen kekuatan nasional serta bertujuan untuk mengamankan kepentingan nasional secara keseluruhan.
Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, strategi nasional disebut juga sebagai Strategi Keamanan Nasional (National Security Strategy) yang merupakan kebijakan politik pemerintah. Merupakan kewajiban pemerintah untuk menetapkan tujuan keamanan nasional yang dikenal dengan national securityobjectives, baik pada masa perang/krisis ataupun pada masa damai. Tujuan sangat penting karena akan mendasari keseluruhan proses strategi ke bawah.
Penentuan tujuan yang kurang tepat, inkonsisten dan tidak mendapat dukungan seluruh komponen bangsa dan negara, akan berakibat sulitnya melaksanakan fungsi strategi di eselon yang lebih rendah. Kebetulan Indonesia belum pernah mengalami perang terbuka dengan negara lain, sehingga kebijakan pemerintah dalam hal penentuan tujuan keamanan nasional belum begitu teruji dan dirasakan.
Namun pengalaman negara lain seperti Jepang dalam Perang Dunia Kedua, Amerika Serikat dalam Perang Dunia Kedua, Perang Dingin, Perang Vietnam dan Perang Irak dan Inggris di Falkland telah membuktikan betapa pentingnya penentuan tujuan keamanan yang tegas, jelas, konsisten dan mendapat dukungan rakyat. Di Indonesia dalam masa damai seperti sekarang, namun potensi konflik tetap terbuka, penentuan strategi keamanan nasional termasuk tujuannya tetap urgen untuk ditetapkan oleh pemerintah, karena akan mendasari semua strategi bidang kehidupan bangsa, termasuk di dalamnya strategi militer.
Sesuai dengan derajat atau kadar dari tujuan keamanan nasional suatu negara, maka para penyusun strategi perlu melakukan identifikasi, perhitungan dan penentuan yang cermat terhadap seluruh instrumen kekuatan nasional yang diperlukan. Serta bagaimana kekuatan itu digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pada tingkatan inilah disusun grand national strategy atau disingkat grand strategy (strategi besar), yang oleh Dennis M. Drew didefinisikan sebagai the art of coordinating the development and use of the instruments of national power to achieve national security objectives.
Perlu dicatat bahwa dalam tingkatan tertentu dari keamanan nasional, tidak semua instrumen kekuatan dapat digunakan. Oleh karena itu, kata kunci penting dari definisi tersebut adalah coordination (koordinasi), development (pembangunan) dan use (penggunaan). Namun dari semua instrumen kekuatan, terdapat tiga kekuatan yang menjadi inti yang selalu diperhitungkan yaitu politik/diplomasi, ekonomi dan militer. Grand Strategy merupakan level tertinggi yang merupakan penghubung dan yang memadukan antara instrumen kekuatan non militer dan kekuatan militer, akan tetapi masih berada dalam domain politik/pemerintah.
Setelah melalui pembahasan ini, mungkin timbul pertanyaan yaitu di mana letak strategi militer dan selanjutnya strategi Angkatan Laut yang sesungguhnya. Strategi militer dan strategi matra (angkatan) merupakan penjabaran ke bawah dari strategi besar, yang disusun dan dilaksanakan bersama-sama dengan strategi bidang- bidang yang lain. Bedanya, sarana (means) yang digunakan adalah murni kekuatan militer, oleh karena itu menurut Dennis M. Drew, strategi militer didefinisikan sebagai the art and science of coordinating the development, deployment, and employment of military forces to achieve national security objectives. Dengan kata lain, strategi militer adalah aplikasi dari strategi besar di bidang militer.
3. Strategi Maritim/TNI Angkatan Laut
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, pada pasal 9 ditentukan bahwa Angkatan Laut bertugas:
- Melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan,
- Menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi,
- Melaksanakan tugas diplomasi Angkatan Laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah,
- Melaksanakan tugasTNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut,
- Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut.
Kata ”tugas” dalam Undang-Undang TNI lebih tepat diartikan sebagai ”peran” karena lazimnya suatu Undang-Undang tidak mengatur detil operasional. Pada titik 1 s/d 3, sangat sejalan dengan peran Angkatan Laut secara universal yaitu peran militer, diplomasi dan konstabulari (teori Kenneth Booth). Sedang titik 4 dan 5 menyangkut peran Angkatan Laut untuk membina kekuatan maritim non militer.
Di beberapa negara maritim maju di mana tradisi Angkatan Lautnya begitu kuat dan tua seperti Inggris, hampir tidak ada perbedaan antara strategi maritim dan strategi Angkatan Laut. Jika mengacu pada definisi Henry E. Eccles, sudah tentu sarana (means) di dalam strategi maritim adalah seluruh kekuatan maritim negara seperti armada niaga, armada perikanan, armada perhubungan, industri jasa maritim, armada Angkatan Laut dan lain-lain. Seluruh potensi bangsa dan negara di bidang maritim ini diarahkan untuk mencapai kepentingan keamanan nasional di laut.
Strategi Angkatan Laut penggunaan sarananya hanya terbatas pada kekuatan armada kapal perang beserta pendukungnya saja, sedangkan tujuan yang ingin dicapai tetap sama yaitu kepentingan keamanan nasional di laut. Jadi perbedaan antara strategi maritim dan strategi Angkatan Laut bila ditinjau dari ketiga elemen pembangun strategi, hanya terletak pada sarana (means) saja.
Dalam prakteknya, karena kekuatan Angkatan Laut sudah teruji dan terpercaya, maka Angkatan Laut akan mempelopori dan mengkoordinasikan kekuatan maritim yang lain untuk menyusun cara (ways) yang terbaik dan dapat diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penulis berpendapat bahwa pengertian ini pun dapat diterapkan di Indonesia, sehingga tidak perlu diperdebatkan perbedaan antara strategi maritim dan strategi Angkatan Laut. Oleh sebab itu pembahasan selanjutnya akan terfokus pada strategi Angkatan Laut.
Dengan memperhatikan posisi geografis, konfigurasi negara serta perkembangan lingkungan strategis dewasa ini, penulis berpendapat bahwa rumusan strategi yang disusun oleh Henry E. Eccles, cukup relevan diterapkan di Indonesia. Dari definisi yang terjemahannya adalah “pengarahan menyeluruh kekuatan untuk mengendalikan situasi dan daerah guna mencapai tujuan yang sudah ditetapkan”, terdapat beberapa kata kunci yang perlu dicermati.
Pertama, pengarahan (direction), mengandung pengertian penggunaan kekuatan dalam arti luas, misalnya ke mana dan terhadap siapa kekuatan itu digunakan (untuk ofensif atau untuk defensif). Jadi pengarahan tidak berkepentingan dengan detail dari operasi dan taktik (employment).
Kedua, kekuatan adalah seluruh komponen kekuatan TNI Angkatan Laut, termasuk pangkalan-pangkalan pendukung atau untuk situasi tertentu melibatkan seluruh potensi kekuatan maritim. Dalam pengertian ini termasuk bagaimana rencana pembangunan kekuatan (development) yang banyak tergantung dari ketersediaan sumber daya negara dan teknologi.
Ketiga, situasi jelas menyangkut ancaman dan potensi ancaman yang dihadapi. Termasuk menyangkut budaya negara bangsa yang merupakan kombinasi dari faktor-faktor pengalaman sejarah, geografi dan tradisi politik, termasuk sikap masyarakat terhadap penggunaan kekuatan militer. Diktum yang mengatakan bahwa geography is the bone of strategy, kiranya tepat diperhitungkan di Indonesia.
Daerah mengandung arti seluruh perairan yurisdiksi nasional, dengan penekanan pada garis-garis perhubungan laut penting, chokepoints, wilayah eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam serta perairan perbatasan yang masih dalam sengketa. Upaya untuk mengendalikan situasi dan daerah sangat berkaitan erat dengan istilah deployment of forces.
Dalam banyak konsep strategis, seringkali hanya menekankan pada serangkaian tindakan aksi yang harus dilakukan (ways), sedangkan tujuannya (ends/goals), tidak jelas atau tersamar. Menurut Soewarso MSc, untuk membantu perumusan konsep strategis, ada baiknya diikuti strategic catechism, yaitu pedoman untuk menyusun konsep strategis dengan mempertanyakan kadar parameter-parameter sebagai berikut:
- Apakah tujuan yang hendak dicapai?
- Situasi dan daerah mana yang hendak dikendalikan?
- Mengapa situasi dan daerah itu yang hendak dikendalikan dan bagaimana caranya?
- Kapan pengendalian dilakukan?
- Bagaimana susunan kekuatan yang hendak diarahkan secara menyeluruh?
Tujuan dari Strategi TNI Angkatan Laut tidak lain untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan nasional Indonesia di laut, yaitu:
- Stabilitas keamanan di seluruh perairan yurisdiksi nasional Indonesia
- Keamanan penggalian sumber daya alam laut hayati dan non hayati
- Keamanan perhubungan dan transportasi laut
- Laut sebagai wahana proyeksi kekuatan ke darat
Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, dengan sendirinya akan ditentukan pula prioritas sasaran dan penentuan jangka waktu pelaksanaannya (dengan asumsi tidak ada satu strategi yang berlaku tetap/abadi). Selain itu, menyangkut susunan kekuatan tidak lain berbicara tentang postur Angkatan Laut. Dalam Kajian FKPM No. Kj.15/V/2008, penulis membahas tentang pembangunan Postur TNI Angkatan Laut 10 tahun ke depan, yang sangat ditentukan oleh keadaan lingkungan strategis yang dihadapi Indonesia saat ini.
Ketiga peran Angkatan Laut berikut penjabaran masing-masing, dapat dijadikan dasar dalam membangun postur TNI Angkatan Laut. Dalam arti penentuan jenis-jenis kapal perang sesuai dengan tugas asasinya disesuaikan dengan tugas yang akan dihadapi. Peran konstabulari Angkatan Laut perlu lebih di kedepankan mengingat penegakan hukum di laut belum optimal, sedangkan kerugian negara akibat kegiatan ilegal di laut sangat besar.
Oleh karena itu, TNI Angkatan Laut lebih banyak membutuhkan kapal-kapal patroli dengan persenjataan sedang, serta didukung oleh pesawat-pesawat patroli maritim yang mampu melakukan patroli di seluruh perairan yurisdiksi nasional. Sekalipun suatu ketika Coast Guard Indonesia dapat diwujudkan, peran konstabulari tetap melekat pada TNI Angkatan Laut.
Peran militer dan peran diplomasi yang notabene membutuhkan jenis-jenis kapal perang besar (tipe fregat ke atas) dengan persenjataan strategis tetap dibutuhkan, namun dalam jumlah yang proporsional, mengingat kemampuan keuangan negara yang belum memadai. Pembagian peran ini hendaknya tidak diartikan pengkotak-kotakkan tugas kapal perang sesuai jenis secara tegas, melainkan demi untuk tujuan efektifitas dan efisiensi saja.
Tantangan keamanan yang dihadapi Indonesia saat ini bukanlah serangan konvensional dari pihak luar yang ingin merebut sebagian wilayah kedaulatan negara, akan tetapi Indonesia berada dalam situasi peperangan generasi keempat. Di mana musuh datangnya dari luar negeri dan dalam negeri yang akibat perusakannya sangat terasa dan terlihat, namun fisik musuh tidak kelihatan.
Untuk menjawab tantangan itu, seyogianya postur TNI Angkatan Laut ke depan dibangun tidak berdasarkan atas ancaman konvensional seperti masa lalu (threat based). Melainkan berdasarkan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh kesatuan-kesatuan Angkatan Laut di lapangan untuk dapat menanggulangi setiap bentuk ancaman asimetris (capability based). Tuntutan regional untuk membentuk kerjasama keamanan regional yang menekankan pada pencegahan terorisme di laut, termasuk penyebaran senjata pemusnah massal, lebih membutuhkan kapal-kapal patroli cepat untuk melakukan pencegatan dan pengejaran terhadap kapal yang dicurigai. Kondisi keuangan Indonesia untuk membiayai pertahanan masih jauh dari cukup, sehingga pendekatan capability based realistis untuk diterapkan.
Berdasarkan situasi dan kondisi demikian, secara gambaran besar postur TNI Angkatan Laut membutuhkan susunan kekuatan unsur-unsur kapal perang fregat, korvet dan kapal selam sebesar 15 persen kekuatan, kapal bantu, kapal angkut personil, kapal logistik dan sejenisnya 35 persen dan kapal patroli cepat ukuran sedang sebesar 50 persen kekuatan. Sedangkan kekuatan udara maritim idealnya dapat melakukan patroli udara yang dapat meliput seluruh kawasan udara di atas perairan yang rawan. Adapun kekuatan pasukan marinir beserta perlengkapan tempurnya dapat dipertahankan seperti saat ini sebesar 2 Pasmar.
4. Penutup
Strategi maritim/Angkatan Laut merupakan turunan/jabaran dari strategi militer di bidang maritim, yang tujuannya untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia di laut. Apapun konsep strategi, dalam hal ini ways untuk mencapainya, harus mengandung isi peran TNI Angkatan Laut sesuai dengan amanat dalam Undang-undang No.34 tahun 2004 tentang TNI. Yaitu peran militer, diplomasi dan konstabulari. Dihadapkan kepada tantangan situasi saat ini yang ditandai dengan konflik asimetris, maka susunan kekuatan TNI Angkatan Laut seyogianya proporsional sesuai prioritas tugas yang diembannya.
Referensi:
- Undang–undang No.34 Tahun 2004 tentang TNI.
- Julian Lider, Military Theory.
- Dennis M. Drew and Donald M. Snow, Making Twenty First–Century Strategy.
- Soewarso M.Sc, Kumpulan karangan tentang evolusi pemikiran Keangkatan Lautan.
- Royal Navy, The Fundamental of British Maritime Doctrine.
- Henry E. Eccles, Military Concept And Philosophy.
- John Naisbitt, Global Paradox.