STRATEGI CHAOS

1. Pendahuluan 

Sewaktu elit di negeri ini berpolemik mendefinisikan ancaman dengan aktor ancaman fisik, non fisik atau ancaman militer dan non-militer, prediksi intelijen malah menyatakan tidak ada ancaman militer. Dipertanyakan, sebenarnya siapa yang diancam? Pemikir strategik percaya, ancaman sebenarnya adalah figur pengganggu kepentingan nasional. Di manakah kepentingan nasional kita?

Kalau kepentingan nasional belum terdefinisi, bagaimana dapat menurunkan strategi keamanan nasional yang menjamin tercapainya kepentingan nasional? Pertanyaannya, sudah terdefinisikah kepentingan nasional secara formal oleh pemerintah dan disetujui DPR-RI? Dan mengapa diperlukan sekali?

2. Diskusi 

Menengok pasca Perang Dingin dengan menghilangnya kutub bipolar yang ditandai sentralisasi kekuatan militer di pihak AS dan sekutunya, tumbuhnya kekuatan militer non AS yang ambisius tapi dihadapkan berbagai dimensi proliferasi ditambah sanksi ekonomi, perdagangan dan embargo, membuat semakin mengecilnya peluang kekuatan potensial ancaman militer. Sudah lama dunia internasional merasionalisasikan ancaman dewasa ini, dengan atribut ancaman asimetrik,berskala  potensial sampai sangat potensial. Ancaman yang sulit diprediksi yang bukan berasal dari negara tertentu, melainkan aktor non-negara.

Pemikir strategik sekaligus pengancam asimetrik disebut “sebagai pakar strategi chaos”. Konsep operasinya sederhana yaitu yang lemah menyerang yang kuat, namun agak berbeda dengan gerilya. Pemikir dan personelnya dipastikan adalah aktor non-negara. Kelompok asimetrik yang paling berbahaya adalah para teroris.

Karena kecil dan lemah, mereka terpaksa memanipulasi dengan berinovasi menyerang sistem keputusan keamanan nasional, lebih potensial di tingkat kecemasan publik. Penciptaan pembom bunuh diri pada bom Bali II adalah demonstrasi produk “intifada” dengan manipulasi konsep kewahyuan, bahwa pembom bunuh diri dijamin surga.

Beberapa faktor kekuatan teroris yang ditengarai oleh analis RAND Corp adalah teknologi informasi yang canggih dan jaringannya yang sulit ditembus, penyandang dana besar dari negara induk semang (surrogate’s states) atau sponsornya (sponsored states). Pemimpin  kelompok juga ditengarai  karismatik, cerdas, tekun dan ulet. Sistem rekrut calon pemimpin mirip prasyarat calon penembak jitu (sniper), yaitu sangat sabar menunggu lawan lengah total. Beberapa faktor kritis yang mencolok dan sering dimanipulasi oleh para teroris untuk mengendalikan domain area dan manuvra adalah negara yang berstatus mendekati gagal (failed/failing states), mayoritas penduduk Islam, kepadatan penduduk tinggi,l emahnya kecurigaan kepada pendatang, aparat pemerintah mudah disogok, kemudahan beli komponen rakitan bom serta kurang terlatihnya infrastruktur anti terorisme.

Kalau isu-isu terorisme sudah cukup lama berlangsung, kenapa tidak belajar dari negeri lain? Apakah karena kekurangan dana? Negara kaya dan takut terorisme pasti sangat senang dimintai bantuannya. Kenapa badan intelijen yang selalu dijadikan sasaran kesalahan agregatis? Bila sasarannya adalah sistem keputusan keamanan nasional, adakah “dirigen” sistem keputusan keamanan nasional yang mengatur aksi mulai tingkat 4 sampai tingkat 1 keamanan nasional?

Kenapa tidak bersegera menyusun strategi keamaman nasional yang salah satunya memuat kebijakan keamanan nasional untuk memotong jejaring pendanaan teroris, memotong jejaring teknologi  informasi?  Bagaimana  dengan format anti teror,  apakah sentralisasi konsep dan desentralisasi eksekusi atau ada yang lainnya?

Adakah perangkat prediksi gerakan teroris bagi Desk anti teror (War On Terrorism analytic tools assessment framework)? Perangkat ini pasti butuh basis data yang cukup besar dan teknologi informasi yang canggih. Apakah Undang-undang Keamanan yang ada sudah beorientasi kepada ancaman paling serius ini? Bagaimana pembinaan penduduk agar tidak mudah direkrut sebagai calon”intifada”, kontrol sistem identifikasi penduduk, kecepatan sistem jejaring monitoring, jejaring laporan, sistem peringatan mulai dari pusat sampai daerah dan perbaikan perilaku penduduk.

Kalau ini masalah serius, kenapa tidak dijadikan rencana kampanye darurat nasional? Pekerjaan besar dan mahal untuk melakukan “rekayasa ulang” (reengineering) infrasruktur dan manajemen anti terorisme standar tinggi, berbasiskan kejadian pemboman dari awal sampai sekarang, namun akan jauh lebih mahal lagi kalau para intifada mencapai sukses besar. Fakta agregatis, sampai sekarang belum terdefinisi  mulai dari strategi militer nasional, strategi pertahanan nasional, strategi keamanan nasional dan kepentingan nasional.

3. Penutup 

Demikian kajian ini dibuat untuk digunakan sebagai masukan atau bahan pertimbangan dalam menentukan langkah-langkah berkaitan dengan pembangunan kekuatan Angkatan Laut di masa depan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap