Ada beberapa informasi yang dapat dirangkai menjadi satu ‘mosaik kecil’ dari ‘peta masalah’ di Papua. Informasinya adalah sebagai berikut;
- Pada bulan Agustus 2003 ada berita bahwa Adm Dennis Blair (Retd) mantan Panglima Komando Pasifik, diangkat menjadi Chairman Task Force Papua, dan sudah menerbitkan buku dalam bahasa Indonesia, ‘bagaimana’ mengurus Papua (baca: Irian Jaya). Dalam buku tersebut, nampaknya menyoroti secara khusus tiga hal yaitu nasionalisme, otonomi daerah, dan good governance. Sindirannya (hints) adalah pada tiga hal tersebut, terpendam tata masalah yang kompleks dan komplikasi.
- Tersebar berita bahwa di AS ada 120-an LSM yang menggalang Kongres untuk berupaya ‘membebaskan’ Papua, dan konon kabarnya ada kurang lebih 20 senator yang sudah menyuarakan kepada Pemerintah AS untuk meninjau kembali kebijakan AS sewaktu Pepera tahun 1960-an. Dan satu hal yang pasti ialah Pemerintah AS sulit untuk membendung keiingina para senator tersebut. (Sebagai informasi, pada kasus Timor Timur hanya 3 senator yang menggalang kekuatan politik untuk kepentingan tersebut).
- Pada tanggal 9 Juni 2005, Komite Relasi Internasional dari House of Representative, USA, menggolkan RUU yang berisi dukungan untuk kebebasan Papua, yang kemudian dikenal dengan HR 2601.
- Di Jakarta, tidak sulit bagi masyarakat luas untuk mendapatkan informasi mengenai korupsi, penyalahgunaan wewenang, kelaparan, dan sebagainya sampai pada pelanggaran HAM. Berita yang menonjol dalam bidang pelanggaran HAM yang menonjol belakangan ini adalah putusan bebas terhadap Brigjen Pol Johny Wainal Usman oleh Pengadilan HAM Makassar pada bulan September yang lalu.
Rangkaian masalah tersebut, merupakan ‘amunisi’ yang ampuh bagi pihak pro kemerdekaan Papua, untuk menggelorakan semangat (sementara) masyarakat Papua dalam rangka ‘lepas’ dari bingkai NKRI. Gebrakan tersebut sudah jelas mendapat ‘angin’ dari pihak luar, dan dapat diperkirakan bahwa akan terjalin kerjasama secara politik, dan gerakan di lapangan. Pengertian kerjasama di lapangan, bukan dalam konteks operasi gabungan, dukungan logistik, ataupun pasokan intelijen. Maksudnya adalah suatu gerakan di lapangan yang di informasikan kepada pihak lain agar di back up dalam bentuk lainnya. Misalnya dipublikasikan secara meluas mengenai intensitas perlawanan, diajukan ke sidang Kongres AS, mengerahkan NGOs dari luar, menekan (secara politis) kepada pihak Jakarta, dan seterusnya.
Porsi Angkatan Laut
Diskusi mengenai Papua, akan menyentuh beberapa hal, yaitu (i) ALKI timur memfasilitasi kepentingan Australia, (ii) pihak Australia memposisikan pihaknya sebagai “deputy sheriff” di kawasan tersebut, (iii) ada Freeport yang menyumbang devisa sangat besar bagi AS, (iv) ada Komando Pasifik yang memposisikan dirinya sebagai pihak, yang bertanggung jawab terhadap stabilitas keamanan dan perdamaian di Asia Pasifik. Dari pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa kepentingan AS di Papua sangat besar dan sudah pasti akan di’perhatikan‘ dengan seksama oleh kekuatan militer, khususnya Armada VII dan Komando Pasifik.
Pertemuan antar satuan operasi Angkatan Laut di lapangan sudah pasti tidak terelakkan dan perlu disikapi dengan tepat. Namun awalannya ialah perlu ‘bekal intelijen’ yang cukup untuk mendukung setiap upaya, misalnya untuk (i) navy to navy talk, (ii) pertemuan dalam forum internasional seperti WPNS, (iii) intelligence exchange, dan semua bentuk operasional di lapangan. Bekal intelijen meliputi beberapa hal, antara lain (i) dapat melihat dengan jelas peta permasalahan dilapangan dan mampu disampaikan dengan tepat, maksudnya tidak terkesan menutup-nutupi, (ii) mengerti kepentingan AS di sana dan apa saja bentuk pengamanannya, (iii) berusaha mengerti apa kepentingan operasional pihak AS, sehingga Mabesal dapat menyiapkan konsep counter balancing interest, (iv) ada pendekatan kepada Australia, yang tidak berat sebelah (maksudnya lebih menguntungkan mereka).
Bagi satuan di lapangan, ada beberapa saran yang ingin dikemukakan yaitu, (i) Lantama perlu mengetahui dengan jelas peta permasalahan setempat, (ii) mampu memperlihatkan jati diri sebagai institusi yang profesional, sehingga tidak kena terjebak dalam kasus-kasus pelanggaran HAM, (iii) ada kegiatan yang orientasinya mendukung penguatan tiga hal yaitu nasionalisme, otonomi daerah, dan good governance.
Penutup
Demikian kajian ini dibuat untuk digunakan sebagai masukan.