1. Latar Belakang
Revolusi Urusan Militer (RUM) atau lebih dikenal sebagai RMA (Revolution in Military Affairs). Perdebatan hangat terjadi kapan mulai diresmikan definisi ini.Adayang mengatakan sudah memasuki generasi kelima, bahkan ada sinisme mengatakan kemunculan baru pada dekade akhir ini. Apapun juga area perdebatannya, namun RUM lebih dikenal dan populer di negara maju. Di negeri ini mungkin sangatlah sedikit mereka yang mengenal tentang RUM ini. Lantas apa kepentingannya dan apa manfaatnya bagi TNI, khususnya TNI-AL.
2. Tujuan Kajian
Menjajaki RMA untuk dapatnya dimanfaatkan sebagai area aktivitas TNI-AL, sebagai sasaran antara dan jembatan menunggu peluang modernisasi kekuatan Armada dan pasukan ekpedisionari Marinir di kemudian hari.
3. Sepintas Tentang RMA
Banyak literatur tentang isu ini yang bercerita panjang lebar tentang materi teknologi dan sistem informasi yang menunjang sistem dari sistem (system of the systems). RMA mulai dikenal banyak orang pada era Perang Gurun 1991 (Desert Storm) dengan berita-berita tentang sistem senjata pintarnya (smart munitions) dipandu dengan teknologi pemanduan yang begitu nyaris sempurna (Cathleen, halaman 6).
Konon bahkan disebut-sebut dengan presisi tinggi sampai CEP (circular error probability di bawah 50 yards) yang paling minimal dan terkecil di dunia untuk sistem senjata lontar (stand-off) jarak jauh. Meskipun konsep RMA agak samar-samar dan menimbulkan persepsi yang berbeda-beda namun muaranya kokoh dan nyata menuju suatu bentuk teknologi tinggi dan modernisasi. Beberapa pakar menyebut-nyebut RMA memasuki generasi kelima, yang diawali dari terbentuknya infrastruktur tentara modern pada era Napoleon dengan pasukan rakyatnya (Levee en masse). Meskipun sebenarnya definisi resmi tentang RMA sendiri diawali dengan definisi yang diberikan Marshall Nikolai Orgakov, Kepala Staf Angkatan Perang Rusia pada tahun 1980 dengan sebutan MTR (Military Technical Revolution).
Angan-angan Orgakov ini dikembangkan Pentagon dan sampai sekarang dikenal sebagai RMA (Chapman, halaman 1). Sebagian pakar bahkan menyebutnya sebagai kelanjutan dari Manajemen Kualitas atau Total Quality Management (Murray, halaman 1). Namun ada beberapa pakar pertahanan nasional menyebut spesifik sebagai transformasi. Transformasi bisa diterima juga sebagai RMA, bukankah transformasi menuju bangunan manajemen militer yang modern, agar dapat bertempur dan mengalahkan musuh dengan cara yang paling murah. Sebagian lainnya menyebutnya sebagai modernisasi atau memanfaatkan teknologi. Sebagian menyebutnya sebagai manajemen pusat tampilan (display) data pertempuran yang “real” (real-time) — digitally network centric warfare, di mana setiap orang mudah mengakses apa saja situasi pertempuran, di mana saja, kapan saja, sampai dengan unit tempur terkecil.
Apapun juga pro kontra definisi dan muatannya, namun bisa ditarik suatu benang merah yaitu apa tujuan RMA ini? RMA mengajarkan setiap elit militer bagaimana memanfaatkan teknologi untuk kepentingan pembangunan militernya. Tentu saja dengan definisi dan persepsi seperti itu, hanya negara-negara kaya dan penuh inovatif yang mampu melaksanakan RMA. Bagaimana dengan negara yang sedang, akan dan berkembang memanfaatkan RMA. Mudah ditebak, memanfaatkan RMA dengan mengambil sisi yang “termurah“, yakni bagaimana memodernisasi pengetahuan bagi kepentingan militer yang mendasar. Dengan kata lain lebih baik memikirkan untuk menciptakan perwira TNI-AL menjadi lebih pintar rata-rata, berpengetahuan modern, strategik di tingkat Pamen, penulis, pengamat, analis yang unggul dan disegani.
4. Hambatan Kritis
Sebelum mencarikan jalan terbaik bagaimana memodernisasi pengetahuan bagi kepentingan militer yang mendasar, perlu dijajaki terlebih dahulu kendala-kendala yang mungkin sangat kritis di lingkungan TNI-AL bagi upaya menuju modernisasi pengetahuan ini.
Hambatan–hambatan tersebut secara hiphotesis adalah:
- Tidak ada pengembangan kurikulum di semua tingkat pendidikan, utamanya evaluasi tahunan dengan mencermati perubahan lingkungan strategis. Hal ini memberikan dampak materi ajaran yang diberikan berkisar itu itu saja. Efisiensi belum terlihat, meskipun secara jujur Sesko TNI pun belum berani menentukan lebih dari 75%-nya berbasis kurikulum gabungan, baik itu ops gab urusan sipil, ops gab sipil–militer dan opsgab militer, karena sampai sait ini baru pada tingkat opsgab militer saja. Ketegasan ini akan mewarnai kurikulum Sesko TNI-AL untuk memberikan bimbingan akademik lebih dari 75% berorientasi kepada kurikulum operasi laut baik untuk ops mil maupun untuk ops mil selain perang.
- Belum nampak kultur berbasiskan akademik (berbasiskan faktaàscience is facts) di dalam membuat telahan staf, Taskap, tulisan populer, diskusi, dan lain-lain sehingga tidak memberikan nilai guna (utility) yang maksimum, sehingga kultur budaya retorika masih tetap tinggi meskipun di lingkungan militer. Pembimbing atau penuntun akademik tidak berani memberikan kebebasan kepada setiap siswa untuk keluar dari pakem tradisional sejauh itu rasional dan mengikuti referensi yang kokoh. Keberanian untuk memberikan kebebasan akan memberikan inovasi kepada setiap siswa untuk mengembangkan rasionalisasinya, yang akan sangat bermanfaat dalam “-fight-nya untuk berdiskusi dengan perwira asing lainnya, maupun elit nasional di negeri ini. Sebagai ilustrasi tulisan perwira asing lebih berani dan tajam dan banyak berisikan kritik, saran dan rekomendasi hampir di semua tingkatan. Bisa saja kultur ini sangat dipengaruhi budaya Jawa dengan ungkapan “mikul dwur mendem njero”, namun konsep ini barangkali lebih banyak mudharatnya kepada organisasi dan biaya TN-AL. Dampak lain nilai guna Taskap perlu disurvei berapa persenkah yang cukup bermanfaat bagi TNI-AL dari sekian ribu tulisan yang ada semenjak Seskoal berdiri, sebagai bukti dampak pembinaan dan bimbingan akademik selama ini.
- Jumlah buku sebagai referensi yang digunakan entah itu berbentuk taskap (tesis), kertas karya (working paper), buletin, monograph, technicall report, dan lain-lain dapat dijadikan indikator termurah, tercepat dan terpercaya bagi pengamat militer yang mengunjungi lembaga militer negara lain untuk menyimpulkan bagaimana tingkat kualitas profesionalisme militer negara yang dikunjunginya. Dapat dibayangkan kalu rata-rata terbitan buku adalah tahun dibawah 1995-an, padahal RMA sudah memasuki generasi kelima.
5. Saran
Mohon dapatnya dijadikan kajian ini sebagai masukan untuk penajaman kebijakan KASAL tahunan (Naval Policy Review) sebagai pendamping (fokus kedua) arah dan sasaran TNI-AL menuju tahun 2024.
6. Penutup
Demikian kajian ini dibuat sebagai bahan masukan.
Referensi:
1.”An Introduction to The Revolution Of The Military Affairs “, Garry Chapman,LBJSchool,School Of Public Affairs,Texas University.
2.“Campaigning For Change :Organizational Processes,Govermental Politics,and the Revolution in Military Affairs”,LtCol Catleen M Conley, USAF, Air Power Journal, Fall 1998.
3.”Thinking About the Revolution in Military Affairs”, Prof. Williamson Murray, Joint Forces Quarterly,Summer 1997.