Revolusi Industri 4.0: Maritim dan Implikasi Keamanan – Pertahanan

  1. Pengantar

Zaman kini telah bergeser. Penggunaan istilah ‘millenials’ di kancah nasional kini juga begitu banyak didengungkan. Kita saat ini dihadapkan pada situasi dimana perang kadang nampak seperti masa damai dan masa damai terasa seperti perang. Fenomena post truth, fake news atau hoax juga merupakan fenomena sosial yang nampaknya begitu mengemuka tidak hanya di Indonesia tapi diberbagai belahan dunia, termasuk di negara-negara maju. Namun jika kita mencoba melihat lebih dalam, fenomena-fenomena tersebut merupakan salah satu bagian dari sebuah revolusi yang banyak menjadi perhatian para ahli sejak beberapa tahun terakhir. Dikatakan oleh seorang ahli bahwa saat ini kita akan menghadapi suatu perubahan baru dalam peradaban manusia. Apa yang mereka sebut sebagai The Fourth Industrial Revolution (FIR) atau Industrial Revolution 4.0(4IR – selanjutnya disebut revolusi industri 4.0). Sebuah revolusi industri pada dasarnya memang selalu datang bersamaan atau menimbulkan perubahan yang besar dalam kehidupan manusia. Namun berbeda dengan revolusi Industri sebelumnya, revolusi industri 4.0 ini menawarkan potensi yang luar biasa sekaligus potensi ancaman atau kerusakan yang luar biasa pula jika tidak bisa mempersiapkan diri dan menyikapinya secara arif. Karena revolusi industri ini, disinyalir, akan secara mendasar mengubah bagaimana kita hidup, bekerja dan berhubungan satu sama lain – bahkan identitas kita sebagai manusia.

Seperti diungkapkan sebelumnya, isu ini telah menjadi banyak perbincangan di kalangan ahli sains maupun akademisi bidang lainnya. Juga berbagai stakeholder di kancah global maupun lokal, mulai dari lembaga-lembaga pemerintah, ekonom, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. Sebagai contoh, dalam pertemuan World Economic Forum on ASEAN di Ha Noi, Vietman pada 11-13 September lalu – dimana salah satunya Menteri Indonesia juga menjadi narasumber- topik mengenai bagaimana tanggapan, persiapan dan kesiapan kawasan Asian Tenggara menghadapi revolusi industri 4.0 merupakan salah satu tema yang diangkat. Kemudian pada pembukaan Seminar Seskoal September lalu, oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, juga sedikit menyinggung isu 4IR ini, khususnya di bidang maritim dan rencana pemerintah kedepan untuk bidang pertahanan dan TNI AL. Lalu apakah yang dimaksud dengan 4IR atau Revolusi Industri 4.0? Apa potensi yang ditawarkan baik positif maupun negatif, khususnya bagi keamanan? Dan langkah- langkah apa saja yang harus kita persiapkan untuk menghadapi atau bahkan menjadi ‘champion’ di era Revolusi Industri 4.0 ini?. Tulisan ini dibuat dengan tujuan semata-mata untuk meningkatkan kesadaran atauawarenesskita mengenai isu apa itu revolusi industri 4.0 dan overview bagaimana implikasinya dalam bidang maritim, pertahanan dan keamanan nasional.

  1. Revolusi Industri 4.0: Apa dan Kenapa?

Revolusi, secara umum, dapat dipahami sebagai perubahan secara cepat atau mendasar dalam suatu bidang atau di suatu tempat. Sedangkan industri dipahami sebagai proses membuat atau menghasilkan suatu barang. Dengan demikian revolusi industri dapat dipahami sebagai perubahan secara cepat dan mendasar dalam proses produksi atau menghasilkan suatu barag. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Fiedrich Engels dan Louis Auguste Blanqui pada pertengahan abad ke-19 untuk menjelaskan perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika pada abad ke-18 dan ke-19.Sebelum kita mengenai istilah revolusi industri- yang pada dasarnya mayoritas menjelaskan perubahan yang terjadi di Eropa dan Amerika- peradaban manusia telah mengalami sejumlah perubahan besar lainnya yang mengubah secara dramatis gaya hidup mereka. Salah satunya adalah revolusi agraria dan domestifikasi hewan yang memungkinkan terciptanya komunitas atau kota-kota kecil yang tetap (tidak nomaden). Dari revolusi agraria tersebut kemudian diikuti dengan serangkaian revolusi industri seperti yang kita kenal hingga hari ini, yakni revolusi industri pertama, kedua, ketiga dan keempat.

Revolusi industri pertama (1760-1840) ditandai terutama dengan ditemukannya tenaga uap dan konstruksi rel kereta. Hal tersebut berhasil menggeser dari ketergantungan terhadap kekuatan hewan menuju mekanisasi produksi, transportasi dan komunikasi, termasuk di bidang-bidang lainnya seperti tekstil dst.  Kemudian revolusi industri kedua (sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20) ditandai dengan semakin pesatnya industrialisasi dengan ditemukannya pembangkit tenaga listrik, assembly line (manufaktur) dan motor pembakaran dalam (combustion engine) sehingga memungkinkan dilakukannya produksi massal. Di era ini juga ditemukan sejumlah teknologi baru seperti pesawat telepon, lampu, mobil, pesawat terbang dan sebagainya, yang tentu secara siginifikan mengubah wajah dunia pada saat itu.Kemudian Revolusi Industri Ketiga atau dikenal juga dengan digital revolution (1980-an) dengan berkembangnya teknologi yang mengubah teknologi analog dan alat mekanikal lainnya kepada teknologi digital, komputerisasi dan automatisasi seperti yang kita kenal saat ini. Perkembangan pada periode ini beberapa diantaranya adalah semakin populernya penggunaan personal komputer, internet dan teknologi informasi dan komunikasi yang tentunya juga mengubah bagaimana manusia berhubungan dan melakukan produksi. Seorang sosiolog Inggris berargumen bahwa revolusi digital ini diibaratkan proses pemapatan ruang dan waktu, dimana ruang dan waktu kini dipandang tidak lagi berjarak (real time).

Dari pemaparan diatas barangkali kita dapat menebak sedikitnya perkembangan apa yang memicu terjadinya revolusi industri keempat. Ya, semakin pesatnya perkembangan dan penggunaan smart devices atau smartphone adalah salah satu pemicunya. Istilah Fourth Industrial Revolution itu sendiri pertama kali mengemuka oleh Klaus Schwab, Founder dan Executive Chairman dari World Economic Forum (Forum Ekonomi Dunia) pada tahun 2016 dalam bukunya “The Fourth Industrial Revolution“.Ia meyakini bahwa saat ini kita tengah berada di awal dari revolusi industri keempat. Ini dibangun diatas revolusi digital yang ditandai dengan semakin menyebar dan mudahnya internet dengan sensor yang semakin kecil namun powerful juga semakin murah; kemudian semakin memungkinkan tercipta dan canggihnya kecerdasan buatan (AI) dan machine learning dengan semakin banyak dan engganged-nya kehidupan kita dengan dunia digital (jejak digital dari penggunaan personal komputer, sosial media atau aplikasi dan smartphone secara general). Lihat gambar 1.0 dibawah ini.

Ada tiga alasan yang mendasari klaim Schwab bahwa kita saat ini tengah menuju ke revolusi industri keempat, yakni (Schwab; p.8):

  1. Velocity: Dilihat dari sisi kecepatannya, berbeda dengan revolusi industri sebelum-sebelumnya, revolusi keempat ini berevolusi secara exponensial dibandingkan linear. Hal ini merupakan hasil dari semakin beragam (multifaceted) dan dalamnya interkoneksi dunia dimana kita hidup saat ini; dan fakta bahwa setiap teknologi baru akan melahirkan teknologi yang lebih baru dan lebih canggih lagi (cutting edge technology dan on demand technology).
  2. Breadth and depth: Revolusi industri keempat ini dibangun diatas revolusi digital dan mengkombinasikan berbagai teknologi yang akan mendorong terjadinya pergeseran paradigma yang luar biasa di bidang ekonomi, bisnis, masyarakat dan secara individu. Dengan demikian, dilihat dari luas dan dalamnya dampak dari perkembangan teknologi yang terjadi, revolusi industri 4.0 ini tidak hanya akan mengubah “apa” dan “bagaimana” kita melakukan sesuatu tetapi juga “siapa” atau identitas kita sebagai manusia.
  3. System Impact: Revolusi Industri Keempat ini melibatkan transformasi dari seluruh sistem, melintasi dan di dalam negara-negara, perusahaan, industri dan masyarakat secara keseluruhan.

Sebelum Schwab, seorang ahli dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), Prof Erick Brynjolfsson dan Andrew McAfee terkenal dengan bukunya dan penyebutan terhadap era ini sebagai “the second machine age”(2014). Mereka menyebutkan bahwa dunia saat ini tengah berada pada titik perubahan dimana dampak dari teknologi-teknologi digital tersebut akan bermanifestasi dengan “kekuatan penuh” dengan otomatisasi dan penciptaan hal-hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum itu, pada tahun 2011, di jerman dilakukan diskusi mengenai “Industri 4.0” yang intinya adalah kemungkinan dilakukannya terobosan baru seperti ‘smart factories’ yang memungkinkan dilakukannya kerjasama sistem manufaktur global yang menggabungkan sistem virtual dengan digital – contoh, additive manufacturing seperti 3D printing.

Namun menurut schwab, revolusi industri tidak hanya mengenai sistem dan mesin yang ‘smart’ dan terkoneksi satu sama lain. Oleh karena secara bersamaan terjadinya juga gelombang terobosan di bidang lainnya seperti:‘gene sequencing‘ hingga nanoteknologi; dari renewable ke quantum computing. Oleh karena itu Klaus Schwab mengklaim bahwa revolusi industri keempat ini adalah revolusi industri yang tidak pernah dihadapi peradaban manusia sebelumnya. Oleh karena revolusi ini merepresentasikan cara baru dimana teknologi menjadi melekat di dalam masyarakat -bahkan tubuh manusia-, mengaburkan batas antara dunia fisik, digital dan biologis- atau cyber-physical system. Era ini ditandai dengan dilakukannya sejumlah terobosan-terobosan  teknologi baru di berbagai bidang seperti 5G (5th gen wireless tech); Big Data cloud atau ruang penyimpanan data virtual dengan kapasitas raksasa; 3D printing; robotik danmachine learning atau kecerdasan buatan (AI); kendaraan dan senjata tanpa awak; nano teknologi; bioteknologi (termasuk rekayasa genetika; chip implat dsj), smartdevices dan social media (internet of things) dan sebagainya yang kesemuanya dilakukan berbasis digital. Lihat gambar 2.0 dibawah ini.

Revolusi Industri di Domain Maritim

Ketika kita berbicara maritim, maka kita perlu untuk membicarakan dan memperhatikan beberapa hal seperti diilustrasikan pada gambar 3.0 berikut ini.

 

Singkatnya, bahwa ketika kita berbicara maritim maka kita harus berbicara mengenai tiga elemen utama dari maritim, yakni: armada komersil (armada pelayaran, armada perdagangan dan termasuk armada perikanan di dalamnya); Industri dan Jasa maritim (meliputi banyak hal seperti pelabuhan dan segala fasilatasnya; galangan kapal hingga asuransi dst); dan Fighting Instrument atau armada penegakkan hukum (Angkatan Laut dan Coast Guard).  Sebelum itu, kita juga harus memahami terlebih dahulu mengenai tigas asas karakter laut bahwa laut itu bersifat universal, artinya terhubungan satu sama lain diseluruh belahan dunia, tidak seperti daratan; laut itu bersifat dinamis, dan; untuk ke laut itu dibutuhkan teknologi. Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, memindahkan aktifitas manusia ke laut itu (1) sarat teknologi tinggi; sehingga (2) mengelola dan memafaatkan laut itu membutuhkan dukungan finansial yang besar dan kuat; yang pada giliranya, selain harus tahu (dan mampu) cara mengelolanya, (3) kita pun harus tahu dan paham aturan (rules and regulations) mengelolanya; karena sifatnya yang universal, mahalnya modal/ finansial dan adanya aturan dan regulasi di laut tersebut, maka aktifitas atau pengelolaan dilaut juga akan memiliki konsekuensi politik.

Revolusi industri keempat yang berlangsung saat ini pada gilirannya akan berdampak pada dunia maritim.  Beberapa perkembangan yang terjadi diantaranya adalah: robotik dan automation of ship/ kapal tanpa awak- atau setidaknya mayoritas sudah dikendalikan secara otomatis;  cyber security; sistem dan data sharing yang semakin terbuka dan terintegrasi; internet of things at sea; cyber-physical system (semakin terkoneksi dan dapat dikendalikan dari/ di darat- dalam banyak hal); data analytics; augmented reality, dalam hal ini khususnya semakin canggih dan akuratnya GPS; simulation and optimization, dan; internet of services at sea. Namun, setidaknya hingga hari ini, yang mungkin paling pertama tersentuh adalah dua elemen yakni pelayaran (armada komersil) serta industri dan jasa maritim – disebut shipping 4.0. Secara umum, digitalisasi pelayaran dan industri dan jasa maritim meliputi digitalisasi administrasi; dan transportasi yang semakin terkoneksi dan otomatis atau “smart” – dalam arti: real time (mampu menyediakan infromasi real time dimanapun dan kapanpun); interaktif dan interaksi (komunikasi bi-direksional dengan sistem); portabel atau dapat diakses dalam bentuk alat komunikasi apapun, dimanapun, kapanpun dan dalam platform apapun; aktif (sistem mampu mengenali dan mendorong informasi kepada pengguna). Hal-hal seperti ini sedang terus dikembangkan terutama di negara-negara maritim besar di Eropa dan juga Korea. Perhatikan  ilustrasi pada gambar 4.0 dan 5.0. Bagaimana nasib Poros Maritim Dunia?

 

  1. Dampak terhadap Isu Keamanan

Ditengah optimisme dan semakin terasanya kemudahan yang ditawarkan di era menuju revolusi industri keempat ini, tentu hal tersebut tidak juga terlepas dari berbagai potensi resiko, kerentanan dan ancaman yang dapat ditimbulkan. Dalam poin ini akan dibahas mengenai bagaimana potensi dampak yang ditimbulkan oleh revolusi industri 4.0 terhadap keamanan secara umum, dibidang pertahanan dan khususnya untuk TNI AL. Karena sifatnya yang samar, maka dalam tulisan ini pun tidak akan dikelompokkan (level of analysis) secara jelas pembahasan mengenai keamanan internasional, keamanan nasional, pertahanan nasional atau, lebih mendalam lagi, ketahanan nasional. Namun mengikuti klasifikasi menurut Klaus Schwab bahwa revolusi industri 4.0 ini akan berdampak terhadap konekfitas masyarakat yang pada satu titik dapat menimbulkan fragmentasi yang berujung pada social unrest; perubahan karakter atau sifat dari konflik; cyberwarfare; dan kemungkinan perang tanpa awak.

  1. Konekfivitas, Fragmentasi dan Social Unrest

Sama seperti pembahasan mengenai revolusi industri pada umumnya (garis bawahi, revolusi industri), isu yang kerap menjadi pembahasan utama adalah mengenai aktifitas produksi manusia itu sendiri dan dampaknya terhadap tenaga kerja. Begitupun yang selalu mendapatkan highlight dalam diskusi mengenai revolusi industri 4.0 ini adalah mengenai pasar tenaga kerja atau motor perekonomian global maupun nasional secara umum. Hal tersebut dapat dipahami, karena roda perekonomian merupakan salah satu elemen yang mendasar dan paling penting bagi negara dewasa ini. Potensi menghilangnya sejumlah besar jenis pekerjaan oleh karena semakin masifnya automatisasi atau penggunaan teknologi generasi keempat pada umumnya seperti 3D printing, robot dan Artificial Intelligent dst, tentunya bukanlah yang menggembirakan.

Kesenjangan ekonomi dan penghasilan dapat menyebabkan marginalisasi dan pengelompokkan di dalam masyarakat. Hal tersebut dapat memicu terjadinya fragmentasi dan memotivasi radikalisme pemikiran yang dapat berujung pada ketidakpuasan terhadap elit atau pemerintah atau sistem yang ada dan menimbulkan chaos atau social unrest. Hal ini diperparah lagi karena saat ini kita hidup di dunia yang telah terkoneksi luar biasa (hyperconnected), dimana informasi, ide dan orang-orng dapat tersebar dan terkoneksi jauh lebih cepat dari sebelumnya. Kekacauan dan kebingunan dalam menentukan data dan informasi yang realiabel dan dapat dipertanggungjawabkan pun kini menjadi fenomena sudah banyak terjadi – fake news, hoaks dsj. Hal ini membawa kita pada salah satu dampak negatif dari era ini pada fenomen lebih lanjut, yakni post-truth. Yakni fenomena dimana orang atau masyarakat pada akhirnya menciptakan alternatif-alternatif ‘kebenaran’ sendiri, menurut persepsinya masing-masing.

Semakin besarnya marginalisasi sosial, semakin menantanggnya untuk mendapatkan sumber yang dapat dipercaya, dan kekecewaan terhadap elit atau struktur yang ada -baik hanya sekedar persepsi ataupun nampak nyata- dapat memotivasi gerakan-gerakan ektrimis dan memungkinkannya untuk merekrut massa untuk berjuang melawan sistem yang ada. Oleh karena hyperconnectivity tidak selalu datang bersamaan dengan kemampuan kita untuk beradaptasi dengan lebih cepat dan toleransi yang lebih tinggi. Barangkali sampai titik ini kita dapat melihat bagaimana dan seperti apa posisi Indonesia saat ini. Jikapun hal serupa juga terjadi diberbagai belahan dunia lainnya, bahkan di tengah masyarakat negara maju yang kerap dinilai memiliki budaya literasi yang lebih tinggi. Namun bagi negara yang multi ras, kultur, budaya dan agama seperti Indonesia, ditambah kondisi geografis, persebaran demografi, masih relatif tingginya kesenjangan pembagunan serta relatif masih lemahnya konektifitas antar pulau dan wilayah, menjadikan fenomena ini sebagai tantangan yang besar bagi negara besar seperti Indonesia ini. Boleh dikatakan, ini adalah kerentanan (vulnerability) atau center of gravity dalam stabilitas keamanan dan pertahanan nasional Indonesia – walaupun hal ini bukan lagi rahasi umum.

Namun demikian, tidak semua dampak dari FIR dan hyperconnectivityini begitu menakutkan dan gelap. Revolusi industri 4.0 dengan hyperconnectivity-nya ini tentu juga memiliki potensi yang besar. Dengan konektifitas yang semakin tinggi maka potensi untuk mencapai kesamaan dengan dasar keterbukaan dan saling memahami perbedaan akan membantu untuk menyatukan masyarakat. Dengan demikian, adalah tergantung dari kita sendiri apakah kita akan membawa era kerterbukaan dan konektifitas tingkat tinggi ini kearah yang lebih positif atau negatif.

  1. Perubahan Sifat Konflik

Dampak dari revolusi industri 4.0 lainnya adalah potensi berubahnya skala konflik dan juga karakternya. Perbedaan antara situasi perang dan damai juga siapa kombantan dan nonkombantan akan menjadi semakin kabur. Oleh karena siapapun dan dimanapun – baik itu aktor negara, kelompok tertentu atau bahkan individu- dapat melakukan ‘kerusakan’ terhadap siapapun (negara, kelompok ataupun individu) dimanapun juga. Hal tersebut menyebakan semakin kaburnya dan sulitnya untuk mengidentifikasi, bahkan tidak menyadari bahwa kita “sedang diserang” atau tidak, “Apa” yang diserang, “Siapa” yang menyerang, dan seterusnya.  Demikian juga arena perang saat ini yang batasan-batasannya juga semakin kabur -apakah lokal, transnasional atau global-sebagai akibat dari semakin tingginya konektifitas dunia saat ini. ISIS sebagai contoh, ISIS menggunakan platformdigital seperti media sosial untuk menyebarkan pengaruh dan melakukan perekrutan di berbagai belahan dunia. Dengan demikian, siapapun, dimanapun,  kapanpun dan melalui platform apapun – baik negara, kelompok tertentu bahkan seorang individu- dapat memiliki pengaruh besar bahkan menjadi gamechager dalam suatu isu.

Pada saat yang bersamaan, dengan semakin tinggi dan sulit di prediksinya fusi teknologi saat ini, maka besarnya potensi perubahan yang akan terjadi tentu bukanlah yang diharapkan. Oleh karena berbagai teknologi mematikan menjadi semakin mudah untuk di dapatkan, murah dan mudah untuk digunakan. Sebut saja potensi dari tersedianya 3D printing, dimana setiap orang akan dengan mudah menciptakan senjata sendiri di rumah; kemampuan komputer untuk meramu senjata biologis, atau: senjata atau robot yang memanfaatkan kecerdasan buatan, dsj. Hal itujuga berarti, siapapun, dimanapun,  kapanpun dan melalui platform apapun – baik negara, kelompok tertentu bahkan seorang individu – di era revolusi industri keempat ini, dapat menciptakan kerusakan yang besar. Namun tentu tidak semuanya berpotensi negatif. Perkembangan dan akses terhadap teknologi memungkinkan kita untuk mendapatkan tingkat ketepatan atau presisi yang lebih tinggi di arena perang, perangkat-perangkat pelindung yang lebih kuat dan seterusnya.

  1. Cyberwarfare

Pembahasan mengenai peperangan siber tentu bukanlah barang baru di kalangan akademisi dan stakeholder bidang keamanan. Namun di era revolusi industri keempat ini antensi terhadap dan potensi perang siber harus semakin diperkuat. Oleh karena hampir semua teknologi dan penemuan-penemuan baru di era ini bertumpu kuat dan mayoritas pada kekuatan siber. Pun demikian sumber-sumber data dan informasi mayoritas berada di dan tergatung pada kemampuan dan akses kita ke dunia digital. Tingginya akses dan konektifitas berbagai akifitas manusia dewasa ini dengan teknologi dan jasa berbasis digital, bagaikan dua mata pisau. Disatu sisi keterbukaan dan koneksifitas hampir berbagai macam aktifitas masyarakat dengan teknologi dan jasa digital- mulai dari aktifitas sosial di  media sosial, e-banking, uploading personal data, data kesehatan dan seterusnya- dapat menjadi potensi kerentanan baru. Tidak hanya kerentanan yang sifatnya personal seperti pencurian data, namun juga bagi ketahanan, keamanan dan pertahanan nasional suatu negara – contoh, pembentukan atau penggiringan opini (social construct); atau dibidang ekonomi, penggunaan cyrpto currency yang bisa berpengaruh pada sektor riil jika tidak dimanage dengan baik, dst.Namun disisi lain, tersedianya berbagai data dan informasi yang dapat semakin akurat berkat adanya analisis sistem (system analytics),  open system integrationdan kecerdasan buatan (AI), misalnya internet of things di laut atau smart shipping atau maritim 4.0 secara keseluruhan, tentu jika manfaatkan dengan arif dan baik, maka akan sangat membantu proses pengawasan dan pengamanan di laut oleh AL, Coast Guard ataupun lembaga/ instansi lain yang berkepentingan, misalnya. Bahkan untuk pengumpulan data untuk intelligen maupun ketika terjadi konflik/ perang.

Dualitas manfaat dari hyperconnected dan digital-based itulah yang memicu akan semakin tingginya potensi terjadinya cyberwarfare, baik yang tangibel maupun intangibel. Schwab mengklaim bahwadapat dipastikan bahwa di masa depan perang -terutama antar negara maju yang memiliki akses terhadap dan memiliki inovasi tenologi tinggi- bukan terjadi di dalam dimensi fisik namun dimensi siber. Entah itu berupa perang satelit (di ruang angkasa); digital hijacking or manipulating dan sejenisnya ataupun dalam bentuk-bentuk yang tidak konvensional seperti pengumpulan data elit-elit negara dan pembentukan persepsi melalui media sosial. Oleh karena tidak ada  satu ‘negara musuh’ yang tidak akan tergoda untuk menganggu, mengaburkan atau bahkan merusak sensor, komunikasi dan kapabilitas pembuatan keputusan dari musuhnya. Hal ini, sekali lagi, tidak hanya akan menurunkan ambang perang tetapi juga mengaburkan perbedaan antara kondisi perang dengan damai. Karena jaringan apapun atau alat-alat yang terhubungan apapun, dari sistem yang dimiliki militer maupun infrastruktur sipil seperti sumber energi, jaringan listrik, kontrol dan sistem lalu lintas dan transportasi serta kesehatan , atau sumber air dapat di hacked dan diserang oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Hal tersebut berdampak pada berubahnya definisi dari ‘adversary‘ atau musuh itu sendiri- atau potensi ancaman dan musuh. Berbeda dengan dulu, di era ini kita mungkin akan sulit untuk memnentukan siapa yang menyerang kita atau bahkan apakah kita diserang sama sekali seperti dipaparkan sebelumnya di poin dua.

 

  1. Peperangan Tanpa Awak

Yang terakhir adalah peperangan tanpa awak, termasuk potensi berkembangnya pemanfaatan teknologi seperti deployment military robot dan AI-powered automated waeponry atau persenjataan tanpa awak berkekuatan kecerdasan buatan. Hal ini pada dasarnya juga bukan barang baru. Pengembagan dan pengunaan drone atau flying robot; senjata tanpa awak, misalnya yang mengkombinasikan teknologi drone dengan kecerdasan buatan (AI) yang memiki potensi untuk memilih dan mengeksekusi target tanpa intervensi manusia -contoh, robot Samsung SGR-AI yang dikembangkan dan digunakan Korea Selatan di DMZ; atau Raptor atau Taranis stealth plane yang dikembangkan oleh Departemen Pertahanan Inggris- merupakan bentuk-bentuk awal dari potensi terjadinya peperangan tanpa awak. Schwab, dalam bukunya, mengidentifikasi beberapa perkembangan teknologi yang mentransformasi keamanan internasional, yakni: drone; senjata tanpa awak; militerisasi ruang angkasa; wearable devices[1]; additive manufacturing (3D Printing)[2]; renewable energy; nanotechnology[3]; senjata biologis; senjata bio-kimia; dan sosial media.

Perkembangan-perkembangan dan fusi teknologi tersebut akan terus mengalami perkembang secara eksponensial dan dalam prosesnya akan meningkatkan pertanyaan-pertanyaan kritis – di tataran global- mengenai geopolitik, strategi dan taktik militer serta regulasi dan etika perang.  Contoh yang paling nyata dan terbaru adalah US-led, France and UK missile strikedi Suriah yang berlangsung pada 14 april 2018 lalu. Dimana mereka melancarkan serangkaian serangan misil melibatkan pesawat tempur dan misil dari kapal tempur terhadap sejumlah situs pemerintahan Suriah yang jaraknya sangatlah jauh. Ketepatan menembak atau peluncuran misil tersebut sangat dimungkinkan karena berbagai teknologi penginderaan yang mereka miliki. Di satu sisi, teknologi memungkinkan untuk tercapainya tingkat presisi atau ketepatan sasaran yang lebih tinggi – dalam arti tingkat kerusakan dapat diminimalisir. Namun disisi lain, kita juga patut mempertanyakan moral dari penyerangan tersebut. Karena semakin banyak penggunaan teknologi di dalam perang semakin jauh (detached)  pula pengguna dari etika dan moral kemanusiaan. Prajurit yang menembak tidak tahu siapa saja yang di bunuh. Begitupun orang yang menjadi sasaran atau sipil yang juga ikut menjadi korban, mereka tidak tahu mengapa mereka tiba-tiba saja diserang dan mati.

  1. Simpulan dan Masukan

Dari paparan diatas, kita mengetahui sedikitnya mengenai apa itu revolusi industri 4.0 dan bagaimana implikasinya terhadap keamanan baik internasional, kawasan maupun nasional atau domestik. Dan hari ini, kita engah berada di awal fase revolusi industri 4.0 tersebut dimana dari segi keamanan ditandai dengan perkembangan dan terjadinya perubahan teknologi peperangan. Jikapun demikian -bahkan bagi negara maju dan pencipta teknologi itu sendiri seperti Amerika, China atau negara-negara Eropa-  bagaimana seseorang bertarung atau berperang tetap akan lebih didasarkan pada kepentingan atau aspek sosial, ekonomi dan politik dari masyarakatnya. Dan setiap negara atau kelompok masyarakat –bahkan mungkin individu- akan cenderung menggunakan tekonologi yang dimilikinya dengan caranya masing. Lebih lanjut, konflik yang terjadi juga tidak serta merta terjadi hanya karena satu aspek atau kepentingan dari satu negara atau kelompok masyarakat saja. Melainkan hasil interaksi dari semua kepentingan atau aspek masyakat dengan kepentingan dari negara atau kelompok masyarakat lain (di dalam konflik). Dengan demikian, konflik – termasuk di era revolusi industri 4.0 ini- tidak akan terbentuk karena teknologi, melainkan orang yang menggunakannya, baik itu aktor negara maupun non-negara.

Indonesia -secara resmi- boleh dikatakan tidak memiliki negara yang dipandang sebagai musuh. Walaupun demikian, tetap ada negara-negara yang dipandang memiliki kepentingan yang bertentangan atau mengancam kepentingan nasional Indonesia (baca, musuh potensial). Oleh karena itu penting bagi Indonesia untuk terus melakukan threat assesement di berbagai wilayah pertahanan Indonesia. Terlebih di era revolusi industri 4.0 ini yang cenderungan bersifat kabur. Oleh karena itu, seperti kita harus kembal pada rumus ancaman klasik. Lihat formula Llyod di bawah ini

Threat = Intentition (I) X Capability (C)  X Circumtances (C) X Vulnerabilities (V)

Menurut Llyod, sesuatu akan dipandang sebagai ancaman ketika dia memenuhi perkalian diatas, yakni; apakah dia mempunyai intensi atau niat burut atau apa tujuan/ kepentingan yang mendorong ‘niat’ dari potensi musuh tersebut; Kapabilitas apa yang dia punya untuk dapat mencapai kepentingan tersebut (termasuk didalamnya penggunaan atau teknologi apa yang dia miliki); Apakah situasi lingkungan (baik global dan/atau kawasan dan/atau nasional) dia dan kita mendukung untuk dilakukan upaya tersebut, dan; apakah kerentanan yang kita miliki yang bisa dikapitalisasi ‘musuh’ sehingga dapat mendukung upaya pencapaian kepentingannya. Dengan demikian, terlebih di era revolusi industri 4.0 yang semakin terbuka ini, Indonesia terus ditantang untuk terus mempersiapkan diri dalam menghadapi dan – jika memungkinkan- melakukan langkah detterence terhadap potensi-potensi ancaman dan musuh yang akan menggunakan berbagai cara, metode dan platform untuk mencapai kepentingannya yang bertentangan dengan kepentingan kita. Mulai dari cara-cara yang bersifat konvensional hingga inkonvensional atau surrogate approach, grayzone, hybrid dan seterusnya untuk menutupi kelemahannya (disadvantages).

Dari poin itu, maka penting juga bagi bagi kita untuk memperkuat pemahaman apa yang menjadi kepentingan nasional atau objektif kita? Karena kita harus mengenali ‘barang’ apa yang harus kita lindungi dan perjuangkan. Di domain maritim misalnya, secara tradsional, setidaknya ada tiga kepentingan Indonesia di domain maritim, yakni:

  • Sebagai pemersatu NKRI yang menyatukan 17.488 pulau-nya è sovereignty;
  • Sebagai sumber nafkah è economic, wealth and prosperity of the nation, dan;
  • Sebagai medium pertahanan untuk memelihara kedaulatan dan eksistensi NKRI è sovereignty, existence and dignity of the nation.

Dengan demikian, pemerintah Indonesia, khususnya TNI AL, harus mampu mempertahankan dan melindungi kepentingan-kepentingan Indonesia di domain maritim tersebut dari ancaman atau ‘musuh potensial’. Penting juga untuk mengidentifikasi ancaman dan potensi ancaman sebagaimana rumus Llyod diatas. Oleh karena setiap wilayah pertahanan armada Angkatan Laut Indonesia (Armada I, II dan II) memiliki potensi dan dimensi ancaman yang berbeda pula. Sehingga pendekatan yang diperlukan pun akan berbeda. Misalnya saja di wilayah Armada I, potensi ancaman yang kuat adalah ancaman negra versus negara di Laut China Selatan. Terlepas dengan berbagai upaya dan perkembangan yang dilakukan di level ASEAN maupun bilateral terkait isu ini, china saat ini telah memiliki, mendemonstrasikan dan terus mengembangkan berbagai kapabilitas yang dapat dikategorikan sebagai Anti Access/ Arena Denial (AA/AD). Kita ketahui pula bahwa perkembangan teknologi China dewasa ini bergitu luar biasa dan pesatnya. Dan di era revolusi industri 4.0 ini, maka kapabilitas-kapabilitas tersebut bisa menjadi semakin murah, cerdas dan beraneka ragam. Di satu sisi barangkali ini bisa menjadi keuntungan untuk negara dengan budget pertahan (relatif) kecil seperti Indonesia, namun disisi lain bayangkan bagaimana perluasan kapabilitas di area tersebut (AA/AD saja misalnya) bagi negara-negara yang memiliki akses yang lebih besar terhadap sumber teknologi tersebut seperti China. Intinya adalah, setiap negara atau aktor non negara akan menggunakan berbagai  metode dan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan strategisnya. Dengan demikian, bahkan di dalam situasi perang satu negara versus negara, di era ini akan sulit untuk mendefinisikan siapa musuh sebenarnya. Apakah kita sedang diserang atau tidak, apakah ini kondisi perang atau damai. Semakin rumitnya upaya untuk mempersiapkan diri untuk melawan negara dan cara-cara barunya, adalah semakin berkembangnya berbagai bentuk dan kapabilitas aktor non negara di era revolusi industri 4.0 dan smart-shipping atau maritim 4.0.

Secara keseluruhan, baik potensi ancaman atau kerusakan yang datang bersamaan atau sebagai konsekuensi dari revolusi industri 4.0 terhadap keamanan ini belum dapat kita bayangkan atau pegang secara utuh. Tidak hanya bagi negara-negara yang dinilai relatif lemah atau rentan terhadap potensi kerusakan yang akan ditimbulkan, yakni negara-negara berkembang seperti Indonesia. Namun juga bagi negara-negara maju yang telah beberapa langkah lebih maju dalam rancangan kebijakan dan strategi pertahanan dan keamanannya, serta memiliki akses terhadap teknologi-teknologi tersebut. Namun setidaknya ada tiga poin yang harus terus diperhatikan, yakni: kebutuhan untuk terus melakukan reassesment lingkungan strategis serta penguatan intelligent; Penting untuk terus melakukan evaluasi ulang terhadap program Reasearch dan Development (R&D), juga force structure dari keamanan nasional Indonesia secara keseluruhan; Semakin pentingnya koordinasi atau integrasi yang kuat namun fleksibel, tidak hanya diantara tiga matra yang ada dengan lembaga/kementerian terkait, tetapi juga dengan institusi-institusi sipil bahkan komersil lainnya. Salah satu yang mungkin sangat penting untuk dipertimbangkan dan segera di laksanakan adalah One Data services semacam Big Cloud atau Big Data yang mengumpulkan data secara terintegrasi dari berbagai elemen atau flatform digital (Internet of Things) yang tersedia baik itu yang berbasis sipil maupun komersil. Di domain maritime, khususnya untuk mendukung kinerja TNI AL, misalnya, sangatlah penting untuk segera merealisasikan IMSS (Integrated Maritime Surveillance System) guna mendukung terciptanya MDA (Maritime Domain Awareness). Oleh karena itu penajaman terhadap kemampuan (berfikir) intelligent juga merupakan faktor lain yang sangat vital ditengah sebaran informasi dan data yang ada.

 

 

Referensi

Schwab, Klaus. 2006. The Fourth Industrial Revolution. World Economic Forum

Hammes, T.X. Colonel (Ret.). 2017. Expeditionary Operations in the Fourth Industrial Revolutio. Marine Corps University Journal.

 

Kobylinski, Lech. 2016. Marine Transport and the Fourth Industrial Revolution.

 

[1] Alat / teknologi yang dapat mengoptimalkan performa dan kesehatan prajurit di tengah kondisi atau stress ekstrim; atau mampu menghasilkan exoskeleton yang memungkinkan manusia untuk memikul beban besar (90 kg) tanpa kesulitan

[2]Ini akan merevolusi rantai suplai dengan memungkinkan penggantian bagian-bagian tertentu (misal dalam senjata) untuk di manufaktur ulang di manapun (termasuk di medan perang) melalui design yang dikirimkan secara digital dan dengan memanfaatkan material yang secara lokal tersedia. Ini juga memungkinkan terjadinya perkembangan jenis warheads baru dengan kontrol yang lebih kuat.

[3]nanotechnology lahir dari meta materials atau smart materials yang memungkinkan untuk menciptakan senjata yang lebih baik, lebih ringan, lebih mobile, cerdas dan tepat sasaran, dan pada akhirnya dapat menghasilkan sistem yang dapat melakukan replikasi dan merakit sendiri.

0 0 votes
Article Rating

Heni Sugihartini

View posts by Heni Sugihartini
Heni Sugihartini, lahir di Sumedang 21 November 1993. Tahun 2011 menempuh pendidikan pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung. Memulai karirnya pada Juli 2016 sebagai staff redaksi dan analis di Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM).
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap