Robert Mangindaan
R.Adm (Retd)
PENDAHULUAN
Memahami arti pentingnya keamanan maritim bagi Indonesia, perlu diawali dengan meninjau wilayah geografi dan berbagai keunikan yang melekat di dalamnya. Lihat peta berikut ini;
Sepintas, terlihat beberapa poin yang menonjol, yaitu; (i) rangkaian dari lima pulau besar, puluhan pulau yang sedang, dan belasan ribu pulau kecil, (ii) laut berada di sekeliling semua pulau, (iii) tersimpan potensi kekayaan alam, baik yang berada di darat maupun di laut, dan (iv) akses yang terbuka untuk masuk posisi stratejik. Tinjuan yang lengkap, tentunya perlu juga mempelajari berbagai keunikan faktual yang seharusnya diperhatikan dalam membicarakan keamanan maritim Indonesia.
Keunikan tersebut, antara lain; (i) tempat pertemuan antara samudra India dan Samudra Pasifik, yang menjadikan perairan Nusantara ini memiliki kekayaan alam yang tidak ada tandingannya, (ii) ada laut di dalam laut wilayah, seperti Laut Jawa, Laut Banda, laut Seram, (iii) ada empat choke point, yaitu selat Malaka, selat Sunda, selat Lombok, dan selat Ombai, (iv) ada tiga archipelagic sea lane dan (v) ada sepuluh perbatasan di laut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa justru pada keunikan tersebut ada berbagai masalah yang harus dihadapi oleh Indonesia, dan sebagian besar sudah diantisipasi tetapi, sejujurnya—ada bagian yang tidak siap dihadapi secara sepihak. Misalnya isu penembakan rudal balistik oleh regime Korea Utara.
Dalam bidang keamanan maritim, Indonesia mengembangkan strategi: (1) peningkatan kemampuan pertahanan mencapai minimum essential force; (2) pemberdayaan industri pertahanan nasional; (3) pencegahan dan penanggulangan gangguan keamanan dan pelanggaran hukum di laut (perompakan, illegal fishing dan illegal logging); (4) peningkatan rasa aman dan ketertiban masyarakat; (5) modernisasi deteksi dini keamanan nasional; dan (6) peningkatan kualitas kebijakan keamanan nasional. [2]
Dari sudut pandang Indonesia—membicarakan keamanan maritim cenderung dipandang identik dengan membicarakan perairan yurisdiksi nasional Indonesia, oleh karena luasnya hampir duapertiga dari luas perairan kawasan Asia Tenggara. Dari sudut pandang tersebut, menyiratkan bahwa Indonesia mempunyai kewajiban untuk ikut memelihara stabilitas keamanan maritim kawasan. Hal ini sudah ditegaskan dalam konstitusi Republik Indonesia.
CRITICAL MARITIME SECURITY ISSUE.
Ada tiga isu kritis global yang harus dihadapi, yaitu (i) globalisasi, yang menekankan percepatan arus barang, (ii) energy security, menekankan keamanan transportasi lewat laut, dan (iii) perubahan iklim, yang membawa dampak besar bagi kegiatan di laut.
Globalisasi yang menekankan percepatan arus barang, kini menggunakan kapal-kapal besar seperti VLCC, ULCC yang berukuran diatas 300.000 dwt. Harga kapal dan muatannya sudah mencapai puluhan, malahan ratusan juta dollar. Tidaklah mengherankan apabila pemilik kapal dan cargo, menuntut upaya pengamanan yang prima dari semua pihak yang terkait dengan pelayaran untuk mengamankan aset mereka dari berbagai ancaman. Bentuk ancaman yang paling berbahaya adalah sea piracy and armed robbery.
Energy security, juga demikian—ukuran kapal tanker semakin besar dan otomatis harga kapal dan muatannya juga meningkat sangat tajam, dan menjadikan kapal-kapal tersebut menjadi sasaran utama dari bajak laut.
Dari perspektif globalisasi dan energy security, ada pandangan yang sama yaitu ancaman sea piracy and armed robbery harus dihadapi, dan menjadi agenda utama dalam strategi keamanan maritim dunia. Demikan juga halnya dengan perairan Asia Tenggara, ada bagian dari sea lane of communication lewat pada jalur yang relatif tetap yaitu di Selat Malaka dan keluar ke Laut China Selatan. Tetapi, dengan kapal-kapal berukuran besar tipe VLCC/ULCC maka jalur yang digunakan, melalui Selat Lombok—Selat Makassar—Laut Sulawesi dan keluar ke laut China Selatan. Lihat peta berikut ini;
Arif Havas Oegroseno
Dalam IMO Circulars yang dikeluarkan secara berkala, menunjuk perairan lepas pantai Somalia adalah area yang paling berbahaya[3], berikutnya perairan di Asia Tenggara, dan salah satunya di perairan Indonesia. Pihak Indonesia tentunya tidak duduk diam berpangku tangan, tetapi melaksanakan berbagai program, mulai dengan mengentaskan kemiskinan di pesisir pantai timur Sumatra, sampai dengan tindakan represif di lapangan.
Performance dari pihak Indonesia Navy dan berbagai pihak terkait keamanan pelayaran, ada nilai plus dan juga minus, tetapi secara keseluruhan dapat dikatakan cukup baik dan ada apresiasi dari IMO.
Pada sisi lain, ada pihak dalam hal ini IMB—memberitakan bahwa aksi bajak laut di perairan ini sangat tinggi. Kasus minor seperti pencurian arloji milik anak buah kapal yang hilang di atas kapal yang sedang berlabuh, ternyata dilaporkan sebagai tindak bajak laut. Nampaknya ada perbedaan referensi mengenai tindak piracy, konon pihak IMB tidak mengacu pada UNCLOS 1982, tetapi defines piracy as “an act of boarding or attempting to board any ship with the actual or apparent intention to commit theft or any other crime and with the apparent intent or capability to use force in furtherance of the act[4]. Penggunaan definisi yang berbeda dari UNCLOS 1982 akan membawa dampak dalam penanganan dan kerjasama keamanan maritim untuk menindak bajak laut.
Dari perspektif kepentingan nasional, Indonesia memandang kejahatan rompak laut adalah ancaman yang sangat membahayakan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Mengapa demikian? Alasannya hanya satu, yaitu—pelayaran adalah urat nadi bagi negara kepulauan, dan bagi Indonesia dengan 17.000 pulau sudah jelas memiliki life lines yang terpanjang di dunia. Arti penting keamanan life lines, berada dalam aras kepentingan nasional yang utama (survival of the state), dan Indonesia sudah menetapkan prinsip cabotage sebagai bagian dari perwujudan kedaulatan.
Kondisi nyata, ada sebagian life lines tumpang tindih dengan archipelagic sea lanes pada tiga perairan (lihat peta) dan berujung pada tiga choke point pula, yang perlu mendapatkan liputan keamanan maritim. Ada tekanan dari pihak negara pengguna agar penyelenggaraan keamanan maritim harus sesuai dengan berbagai konvensi terkait, dan berstandar internasional pula. Selengkapnya, ada tiga area yang ‘perlu’ dikerjasamakan adalah: (i) perumusan definisi keamanan maritim yang dipahami bersama, (ii) ruang lingkup marine scientific research, (iii) protokol untuk surveillance.
Perumusan definisi keamanan maritim, merupakan langkah awal untuk membangun kerjasama multilateral. Ada beberapa poin yang perlu dikemukakan, mulai dengan maritime awareness, atau maritime domain awareness, begitu pula dengan SLOC dan archipelagic sea lane, berikutnya persepsi ancaman mengenai rompak laut. Sebaiknya referensi yang digunakan adalah konvensi internasional yang sudah mengikat, seperti UNCLOS 1982 dan SOLAS. Memang benar ada kelemahan dalam konvensi tersebut, tetapi tidak bisa diartikan bahwa berarti negara pihak, dalam hal ini Indonesia, tidak menggunakannya dalam membangun kerjasama internasional.
Dalam hal marine scientific research, pihak Indonesia menyadari bahwa kepentingan tersebut adalah untuk kesejahteraan umat manusia, dan tentunya mendukung kerjasama dalam bidang tersebut. Akan tetapi, ada pengalaman pahit yang melihat bahwa proyek dengan inisial tersebut, tujuannya sudah menyimpang dan hanya untuk kepentingan pihak tertentu. Dalam segi marine environment protection, perairan Indonesia sudah kebanjiran bakteri, biota laut asing yang menumpang lunas kapal dari luar negeri, menjadi predator dan merusak kekayaan laut di perairan Indonesia. Perlu kerjasama dengan tujuan yang jelas dan protokol yang baku.
Mengenai surveillance, menurut pendapat penulis, poin ini adalah bagian yang paling sensitif dan perlu protokol yang jelas. Alasannya adalah sebagai berikut; yaitu (i) secara teknis—intrumen operasionalnya sangat beragam mulai dari remote sensing, radar, sampai pada intelijen maritim, (ii) daerah operasi bukan hanya Selat Malaka tetapi seluruh perairan Asia Tenggara, yang duapertiga adalah wilayah yurisdiksi Indonesia, tentunya sudah termasuk ALKI tengah dan ALKI timur, (iii) pusat informasi berada di Singapore.
Sudah pada tempatnya apabila Indonesia sangat berhati-hati dalam hal membangun kerjasama dalam tiga area yang ditawarkan oleh komunitas kawasan dan didukung oleh extra regional states. Pada sisi lain, Indonesia mengalami persoalan serius dengan dampak perubahan iklim yang sangat mempengaruhi kegiatan di laut, misalnya gangguan terhadap keselamatan pelayaran, penangkapan ikan, terjadi abrasi yang sangat menonjol, dan sebagainya. Indonesia memandang dampak perubahan iklim sebagai ancaman yang utama, dan sudah menelan korban jiwa ratusan ribu dalam lima tahun terakhir. Ancaman tersebut harus ditanggulangi, mulai dengan membangun kapasitas nasional, perkuat aset operasional dan tentunya kerjasama dengan pihak lain.
MARITIME SECURITY MEASURES
Secara sepihak, Indonesia mengembangkan upaya untuk menyelenggarakan keamanan maritim untuk mengamankan kepentingan nasional di laut, dan konstruksinya dapat dilihat pada pada kebijakan, arsitektur manajemen operasional dan kerjasama.
Kebijakan yang digariskan oleh pemerintah adalah modernisasi alutsista serta penggantian alutsista yang umur tehnisnya sudah tua, dan pendayagunaan industri pertahanan nasional bagi kemandirian pertahanan[5]. Kebijakan tersebut bertolak dari kondisi nyata dari aset nasional, yaitu kondisi kapal yang sudah tua dan jumlahnya pun sangat terbatas. Peremajaan kapal perang tersebut tidak bisa dilihat sebagai perlombaan kesenjataan di kawasan, tetapi untuk mengganti kapal kapal tua, dan tujuannya untuk membangun minimum essential force. Tidak ada peningkatan fire power, dan kapasitasnya diarahkan untuk menghadapi asymmetric threats, seperti sea piracy and armed robbery.
Kebijakan yang dikembangkan juga menyangkut penataan manajemen operasional yang sekarang ini dengan konsep multi agency—single task untuk menjadi single agency—multi task, yaitu Indonesia Sea and Coast Guard. Pekerjaan rumah tersebut tidak mudah untuk diselesaikan dalam satu dua tahun, tetapi ada komitmen yang kuat untuk segera mewujudkan. Sementara itu, diharapkan dukungan dari berbagai pihak untuk membantu penataan tersebut, bukan sebaliknya mencampuri yang berakibat melemahkan kinerja ‘mesin’ keamanan maritim Indonesia. Pihak-pihak tersebut adalah strategic partner dan diharapkan mereka bisa membantu dalam tiga hal, yaitu capacity building, information sharing dan logistic support.
Kecenderungan berkembang sekarang ini adalah ancaman asimetrik yang mewarnai peperangan generasi keempat (4th gereation warfare), pada sisi lain—taktik dan doktrin keamanan maritim masih terikat dengan perang dingin, ataupun peperangan generasi ketiga. Jajaran militer sudah menyiapkan langkah konkret, salah satunya adalah membangun kapabilitas untuk melaksanakan military operation other than war. Tetapi batasan mengenai MOTW itu sendiri masih belum seragam antar negara, bahkan inter-agency, dan hal tersebut berpengaruh dalam perumusan rule of engagement.
Menghadapi tindak rompak tidak akan sama, oleh karena ada perbedaan pemahaman terhadap tiga moda yang berbeda. Moda yang pertama—perompak yang naik ke kapal, merampok dan kemudian meninggalkan kapal. Bisa terjadi korban jiwa tetapi bisa juga tidak. Moda kedua—perompak naik ke kapal, menyandra seluruh kapal kemudian membawa lari kapal dan muatannya, sedangkan anak buah kapal bisa dibinasakan atau dibuang ke luar kapal. Moda ini dikenal sebagai panthom ship. Moda ketiga—seperti yang berkembang di Somalia, mereka membajak kapal beserta anak buah kapal, dan bawa keperairan Somalia, kemudian minta tebusan. Sejujurnya, sikap negara satu dengan yang lainnya belum tentu sama. Sikap Indonesia adalah menggunakan unit special forces untuk menyerang para perompak, tetapi ada pihak yang menyerahkan pada asuransi, ada pula pihak yang menggunakan private contract anti piracy security (PCAPS).
Pada sisi lain, banyak pihak mengkuatirkan ancaman maritime terrorist yang menjadikan kapal kapal besar sebagai primary target, apakah untuk menghancurkan dalam rangka merusak center of economic gravity, atau untuk mendapatkan uang tebusan. Sejauh ini, belum ada satu sikap yang konkrit untuk menghadapi tindak maritime teror, oleh karena kesepakatan universal mengenai aksi terror itu sendiri masih diperdebatkan tanpa akhir.
Perbedaan pemahaman tidak akan menghalangi Indonesia untuk membangun kerjasama dengan pihak lain, terutama dalam rumpun ASEAN, dengan pemikiran bahwa perlu meninjau (to review) kinerja dan prestasi yang sudah dicapai, juga perlu meninjau hambatan apa saja yang membatasi ruang gerak mesin keamanan maritim ASEAN untuk meningkatkan kinerjanya.
Dari pihak Indonesia, ingin mengembangkan kerjasama ke aras yang lebih operasional, tetapi tidak bersifat instan, dan tidak ada ‘titipan’ dari pihak luar. Awali dengan membangun pemahaman bersama mengenai maritime awareness, kemudian perkuat Confidence Building Measures, perjelas kaitan antara SLOC dan archipelagic sea lane, membangun landasan hukum yang kuat, membangun information center pada lokasi yang tepat, perkuat kerjasama bilateral yang sudah ada, eksplorasi kerangka kerjasama operasional untuk masa depan dan membangun perspesi ancaman yang relatif sama.
Pada kesempatan ini, penulis ingin urun-rembug mengenai langkah awal untuk membangun kerjasama yang konkrit, sebaiknya dengan langkah pertama—menyamakan persepsi ancaman yang paling mungkin dihadapi oleh rumpun bangsa ASEAN, seperti; (i) rompak laut, termasuk phantom ship, (ii) pencemaran lingkungan, misalnya dengan waste dumping di perairan tertentu di wilayah Indonesia, (iii) trans-national crime, (iv) dampak perubahan iklim.
Langkah kedua adalah mengidentifikasi kebutuhan untuk membangun kerjasama yang efektif, berikutnya membicarakan tindakan apa yang perlu ditempuh dan seragam, dengan mengacu pada undang-undang dan konvensi yang sudah mengikat. Sudah ada berbagai arrangement yang dihasilkan oleh Asean Political- Security Community, ADMM, ACDFIM, Asean Maritime Forum, tetapi bicara sejujurnya—ada berbagai kelemahan yang perlu ditinjau tanpa campur tangan pihak asing.
Langkah ketiga adalah membicarakan bentuk capacity building seperti apa yang diperlukan dan diprogramkan, untuk mendukung tindakan yang akan ditempuh. Pada langkah ini, juga meninjau kelemahan yang mengganggu arrangement yang sudah mengikat, dan mencari solusi untuk menutup kelemahan tersebut.
Di atas kertas, sangat mudah untuk mengelaborasi berbagai alternatif untuk mengembangkan kerjasama militer di kawasan, tetapi di lapangan situasinya akan berbeda. Tetapi bila berangkat dengan modal ketulusan dan saling percaya, penulis percaya akan ada terobosan yang positif untuk membangun kawasan Asia Tenggara yang aman untuk melayani kepentingan maritim semua pihak.(B-o8/IR/5-12)
[1] Pandangan pribadi, disampaikan pada Workshop on Maritime Security (NADI), 8-10 Mei 2012, di Bali.
[2] Presidential Regulation no.5/2010. RPJMN 2009-2014
[3] MSC.1/Circ.1337 4 August 2010 PIRACY AND ARMED ROBBERY AGAINST SHIPS IN WATERS OFF THE COAST OF SOMALIA
[4] Peter Chalk, Laurence Smallman, Nicholas Burger. “Countering Piracy in the Modern Era”, Published 2009 by the RAND Corporation 1776 Main Street, P.O. Box 2138, Santa Monica, CA 90407-2138.
[5] Ibid RPJMN