Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Dinamika lingkungan strategis pada 2010-2014 di kawasan Asia Pasifik akan mempengaruhi pula dinamika keamanan nasionalIndonesia. Karena sebagian besar kawasan Asia Pasifik didominasi oleh wilayah perairan, dipastikan isu-isu keamanan maritim akan cukup mendominasi. Begitu pula denganIndonesiayang dua pertiga wilayahnya adalah perairan, sehingga apa yang terjadi di kawasan akan dirasakan pula dampaknya.
Apapun isu yang nantinya berkembang di kawasan, yang lebih utama adalah bagaimana Indonesia merespon isu tersebut. Termasuk di dalamnya bagaimana merumuskan kebijakan yang tepat, dapat diaplikasikan dan senantiasa mengacu pada kepentingan nasional. Sebab masalah klasik yang dihadapi olehIndonesiadalam merespon dinamika lingkungan keamanan adalah bagaimana merumuskan kebijakan yang dapat menjawab permasalahan yang dihadapi.
2. Isu-isu Keamanan
Kawasan Asia Pasifik saat ini dalam bidang keamanan menghadapi sejumlah isu keamanan yang kompleks. Isu tersebut terbentang dari isu yang melibatkan aktor negara hingga aktor non negara. Secara garis besar, isu keamanan di kawasan ini dapat dikelompokkan dalam dua kelompok.
Pertama, isu keamanan konvensional. Isu keamanan konvensional melibatkan beberapa aktor besar kawasan dalam kerangka persaingan geopolitik. Hal tersebut meliputi masalah nuklir Korea Utara dan proliferasi senjata pemusnah massal, pembangunan kekuatan militer Cina dan respon negara-negara kawasan dan peningkatan peran keamanan India.
Kedua, isu keamanan non konvensional. Isu ini diwarnai oleh masalah ancaman asimetris yang dimunculkan oleh aktor non negara, semisal perompakan, pembajakan di laut, ancaman terorisme maritim, penyelundupan senjata, penyelundupan manusia dan lain sebagainya. Isu ini selain menghadapkan aktor non negara dengan aktor negara, juga berpotensi menghadapkan antar aktor negara apabila terdapat perbedaan pendekatan dalam menanganinya.
Masalah nuklir Korea Utara makin mendapat perhatian di kawasan Asia Pasifik setelah Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi UNSCR S/Res/1874 (2009) pada 12 Juni 2009. Dalam resolusi itu, selain mengutuk ujicoba nuklir Korea Utara pada 25 Mei 2009, Dewan Keamanan PBB juga meminta semua negara anggota PBB untuk mengimplementasinya kewajiban menegakkan resolusi UNSCR S/Res/1718 (2006).[i] Resolusi UNSCR S/Res/1874 (2009) mengamanatkan pula kepada semua negara anggota PBB untuk memeriksa kapal dan kargo dari dan ke Korea Utara yang dicurigai memuat bahan-bahan terlarang diatur dalam UNSCR S/Res/1718 (2006).[ii]
Amerika Serikat sebagai pihak yang paling berkepentingan dengan program nuklir Korea Utara menegaskan siap mengimplementasikan resolusi Dewan Keamanan PBB itu. Apabila dicermati, sebagian jiwa dari resolusi tersebut sejalan dengan program Proliferation Security Initiative (PSI) yang digagas oleh Amerika Serikat. Memperhatikan sikap Korea Utara selama ini, diprediksi ke depan negeri itu akan tetap keras kepala dan tidak patuh kepada resolusi Dewan Keamanan PBB dan tekanan berbagai negara maju. Sebab Cina nampaknya masih akan tetap menjadi pendukung rezim Korea Utara, baik dari aspek politik, ekonomi maupun militer.
Pembangunan kekuatan militer Cina masih akan mewarnai isu keamanan kawasan ke depan, sebab Amerika Serikat berkepentingan untuk terus menggemakan isu ini. Sesuai dengan kebijakan keamanan nasional yang dianut oleh Amerika Serikat, negeri itu tidak akan membiarkan lahirnya negara lain yang akan menjadi peer competitor. Oleh sebab itu, isu pembangunan kekuatan militer Cina akan terus digemakan olehnya agar memperoleh perhatian khusus di kawasan.
Isu pembangunan kekuatan militer Cina sebenarnya harus disikapi secara proporsional, sebab negara itu belum mempunyai pengalaman dalam membangun kekuatan militer yang mampu diproyeksikan jauh dari wilayahnya. Walaupun kini Cina telah mengirimkan beberapa kapal perangnya untuk melaksanakan operasi keamanan maritim di perairan Somalia, akan tetapi proyeksi demikian baru pada tahap awal dan penuh dengan trial and error. Lagipula bila berkaca pada pengalaman Angkatan Laut negara-negara maju lainnya pada abad ke-20 dalam melaksanakan proyeksi kekuatan, terbukti semua Angkatan Laut itu hanya mampu melaksanakan proyeksi kekuatan yang terbatas dan tidak mencakup seluruh wilayah perairan dunia. Sebab kemampuan proyeksi kekuatan Angkatan Laut bukan semata-mata kesiapan sistem pada kapal perang dan sumber daya manusia pengawaknya, akan tetapi mempunyai keterkaitan dengan kemampuan ekonomi nasional.
India yang terus tumbuh sebagai kekuatan ekonomi baru di Asiajuga mulai melaksanakan ambisi yang dipendam sejak 1940-an untuk menjadi aktor utama di kawasan Samudera India. Diterbitkannya dokumen bertajuk Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy pada Mei 2007 menguraikan tentang aspirasi geopolitik India hingga strategi employment di masa damai dan konflik serta strategi pembangunan kekuatan (Angkatan Laut India). Salah satu kata kunci dalam Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy adalah India ingin menata kawasan Samudera India sesuai dengan Indian political system.[iii]
KebangkitanIndiauntuk melaksanakan aspirasi politiknya tidak perlu disikapi secara berlebihan, sebab bagaimana pun tindak-tanduk negara itu akan senantiasa diperhatikan oleh Amerika Serikat. Sejauh ini Amerika Serikat telah berhasil merangkulIndiauntuk bekerjasama di bidang pertahanan, yang sebagian di antaranya merupakan bagian dari agenda besar Amerika Serikat menghadapi kebangkitan Cina. Hal itu bisa dilihat dari makin intensifnya latihan Angkatan Laut kedua negara bersandi Malabar Exercise dalam beberapa tahun terakhir, dengan lokasi di Samudera India dan Laut Filipina di dekat wilayah Cina. Dengan kata lain, apapun aspirasi politikIndiadi kawasan SamuderaIndia, pencapaiannya tidak akan dilakukan dengan cara-cara yang merusak stabilitas kawasan.
Masih ada beberapa isu keamanan lainnya di kawasan Asia Pasifik yang melibatkan aktor negara, seperti sengketa batas maritim. Akan tetapi diprediksi sengketa itu tidak akan menjadi konflik terbuka, karena selain resikonya besar, juga peran aktor-aktor utama kawasan untuk menekan pihak-pihak yang bersengketa. Kasus-kasus itu setidaknya akan tetap status quo, bahkan dalam kasus tertentu peluang untuk diselesaikan dengan cara-cara damai jauh lebih besar kemungkinannya.
Menyangkut isu keamanan non konvensional, memperhatikan bahwa kawasan Asia Pasifik didominasi oleh domain maritim, maka isu-isu keamanan maritim akan tetap menonjol. Meskipun secara umum dalam beberapa tahun terakhir masalah keamanan maritim seperti perompakan dan pembajakan di laut di kawasan ini relatif dapat dikendalikan, namun isu ini akan tetap mendapat tempat dalam tahun-tahun ke depan. Yang perlu dicermati adalah bagaimana respon dan kebijakan negara-negara yang berkepentingan. Kerjasama antar negara untuk menghadapi isu-isu keamanan maritim telah menjadi kesepakatan di kawasan, namun bagaimana bentuk kerjasamanya masih meninggalkan sejumlah ketidaksepakatan.
Ketidaksepakatan itu apabila tidak dikelola dengan baik berpotensi memunculkan ketegangan antara negara. Sebab sebagian besar negara di wilayah Asia Pasifik memandang isu-isu keamanan maritim mempunyai keterkaitan erat dengan kepentingan nasional mereka, khususnya SLOC yang menjadi jalur ekonomi dan militer mereka. Isu SLOC yang relevansinya dengan freedom of navigation akan berhadapan dengan isu kedaulatan yang menjadi sikap politik beberapa negara di kawasan.
Bertolak dari situ, meskipun isu keamanan non konvensional ke depan yang dilancarkan oleh aktor non negara tidak akan membuat aktor negara lumpuh dan tidak berdaya, namun perlu diwaspai eksesnya dalam hubungan antar negara. Dengan wilayah Asia Tenggara menjadi satu-satunya penghubung terdekat antara Samudera India dengan Samudera Pasifik dan sebaliknya, kawasan ini rawan akan intervensi kekuatan militer asing atas nama stabilitas kawasan saat negara-negara setempat dianggap tidak mampu menghadapi ancaman dan tantangan keamanan yang dimunculkan oleh aktor non negara.
3. Langkah Indonesia
Pada dasarnya, isu-isu keamanan yang akan dihadapi oleh Indonesiadalam periode 2010-2014 tidak akan jauh berbeda dengan situasi saat ini. Namun demikian, Indonesiaperlu melakukan sejumlah pembenahan pada aspek kebijakan untuk lebih siap dan responsif menghadapinya. Berdasarkan pengalaman selama ini, kebijakan yang ditempuh oleh Indonesiasebagai respon terhadap isu-isu keamanan yang berkembang lebih bersifat ad-hoc dan tidak menyentuh pada akar masalah (root cause). Menurut hemat penulis, setidaknya ada empat masalah krusial menyangkut respon dan kebijakanIndonesia terhadap isu-isu keamanan, termasuk keamanan maritim yang perlu segera dibenahi.
Pertama, kesamaan persepsi dalam memandang isu keamanan. Untuk menciptakan kesamaan persepsi dalam memandang isu keamanan harus mengacu pada kepentingan nasional. Sebab ancaman dan tantangan yang muncul dari isu-isu keamanan pada dasarnya ditujukan terhadap kepentingan nasional. Dari sini lantas muncul pertanyaan, yakni apakah kepentingan nasional telah dirumuskan?
Lepas dari pro dan kontra mengenai apa saja kategori kepentingan nasional bagi bangsa Indonesia, Peraturan Presiden No.7 Tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara secara umum telah merumuskan sejumlah kepentingan nasional. Yang diperlukan kini penegasan secara politik pada tingkat yang bagaimana suatu isu keamanan dapat dipersepsikan sebagai ancaman dan tantangan terhadap kepentingan nasionalIndonesia. Kesamaan persepsi ini penting, sebab hal itu menjadi dasar untuk mengambil respon dan kebijakan yang sama dan seirama terhadap isu keamanan yang berkembang.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa masih belum muncul kesamaan persepsi dalam memandang isu-isu keamanan dan keterkaitannya dengan kepentingan nasional. Akibatnya aktor-aktor yang merupakan bagian dari instrumen kekuatan nasional seringkali memberikan respon yang berbeda terhadap isu keamanan yang sama. Respon yang berbeda berimplikasi pada lahirnya kebijakan yang tidak sama pula, bahkan mungkin bertolak belakang.
Kedua, kebijakan nasional tentang keamanan nasional. Secara nasional,Indonesiabelum mempunyai konsepsi keamanan nasional. Walaupun sejak beberapa tahun lalu telah digaris untuk membangun konsepsi keamanan nasional, akan tetapi masih belum ada kesamaan dasar pemikiran terhadap hal tersebut.
Konsepsi keamanan nasional yang ditawarkan untuk dikembangkan menjadi konsepsi nasional masih menganut pendekatan sektoral atau pembagian lahan. Padahal dinamika keamanan kawasan menunjukkan bahwa isu-isu keamanan bersifat kompleks dan tidak dapat didekati dengan pendekatan sektoral.
Upaya untuk menciptakan konstruksi itu dalam beberapa tahun terakhir tidak berjalan dengan mulus karena adanya sejumlah hambatan yang bersifat sektoral. Pemisahan pertahanan dan keamanan dalam Tap MPR No.VI dan VII Tahun 2000 yang kemudian diterjemahkan menjadi Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara dan Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara merupakan pangkal dari masalah.
Menurut pendapat penulis, selama tidak ada peninjauan terhadap kondisi yang berlaku saat ini, sulit mengharapkan adanya respon dan kebijakan yang dapat menjawab ancaman dan tantangan dari isu-isu keamanan pada tahun-tahun mendatang. Diperlukan sebuah kemauan politik yang tegas untuk menyusun konstruksi keamanan nasional yang dapat merespon sekaligus dapat beradaptasi pada dinamika lingkungan keamanan.
Terlebih saat kebutuhan saat ini dan ke depan yang tidak terhindarkan terhadap kerjasama internasional untuk menghadapi isu-isu keamanan yang berkembang. Dalam kerjasama itu, negara-negara asing memerlukan kejelasan tentang siapa mitra mereka diIndonesia, sebab selama ini mereka cukup dibingungkan dengan hal yang terakhir disebut. Belum lagi perbedaan kebijakan dalam menangani isu-isu keamanan antara di kawasan dengan diIndonesia, dalam hal lembaga mana yan berwenang. Misalnya tidak sedikit isu keamanan di kawasan ditangani oleh lembaga militer, namun diIndonesiamalah ditangani oleh lembaga non militer.
Ketiga, restrukturisasi manajemen keamanan maritim. Karena isu-isu keamanan maritim masih akan dominan di kawasan dalam tahun-tahun mendatang, maka restrukturisasi manajemen keamanan maritim hendaknya memperoleh prioritas utama dari pemerintah. Walaupun eksistensi Indonesia Sea and Coast Guard telah diakui dalam Undang-undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, akan tetapi realisasi pembentukan lembaga itu harus diikuti dengan penataan manajemen keamanan maritim secara keseluruhan.
Restrukturisasi manajemen keamanan maritim dapat dilakukan dengan melakukan penyederhanaan aktor yang berkecimpung di laut. Penyederhanaan itu tidak secara ekstrim memangkas kewenangan instansi yang secara alamiah bukan unsur pemerintahan di laut, namun hanya membatasi area kewenangan mereka di laut, semisal 3 mil dari garis pantai. Mengacu pada TZMKO 1939 maupun peraturan internasional lainnya, secara universal hanya ada satu instansi sipil yang berhak menjalankan fungsi pemerintahan di laut yaitu Indonesia Sea and Coast Guard.
Indonesia hingga saat ini belum mempunyai Strategi Maritim Nasional. Dengan absennya strategi itu, sulit untuk merumuskan langkah-langkah apa yang harus ditempuh oleh aktor-aktor keamananan maritim dalam rangka mengamankan kepentingan nasional. Tidak jarang aktor-aktor keamanan maritim kesulitan untuk merespon tantangan keamanan yang berkembang, disebabkan oleh ketiadaan strategi maritim nasional. Makin kompleksnya isu keamanan pada domain maritim memerlukan suatu strategi nasional yang jelas dan kokoh.
4. Penutup
Menghadapi tantangan keamanan maritim lima tahun ke depan, Indonesia perlu menempuh langkah-langkah baru yang lebih responsif sekaligus dapat menjawab tantangan yang muncul dan meninggalkan pendekatan ad-hoc. Langkah-langkah baru itu bisa ditempuh apabila prasyarat sejumlah pembenahan pada manajemen keamanan nasional dan khususnya manajemen keamanan maritim telah dilakukan. Masalah yang melingkupi manajemen keamanan maritim sudah sejak lama dapat diidentifikasi penyebabnya, sehingga kini yang dibutuhkan adalah kemauan politik dari pengambil kebijakan nasional untuk membenahi penyebab masalah tersebut.