Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Dewan Keamanan PBB pada 2 Juni 2008 mengeluarkan resolusi S/Res/1816 (2008). Resolusi itu membahas tentang situasi di Somalia dengan fokus pada keamanan maritim di perairan Somalia. Dewan Keamanan menekankan pentingnya kerjasama semua negara, termasuk dengan International Maritime Organization (IMO), dengan Pemerintahan Transisi Federal Somalia untuk menghadapi masalah pembajakan dan perompakan bersenjata di negeri itu.
Terbitnya resolusi merupakan sebuah preseden baru di Dewan Keamanan PBB, karena selama ini masalah keamanan maritim dibahas dalam forum IMO. Hal demikian menandakan bahwa masalah keamanan maritim kini dimensi politiknya semakin meningkat di dunia internasional, sehingga setiap negara yang terkait dengan masalah itu harus mengelola keamanan maritimnya dengan baik. Tulisan ini akan membahas tentang implikasi resolusi itu terhadap Indonesia.
2. Failed State
Sejak jatuhnya rezim Mohammad Siad Barre pada awal 1990-an seiring berakhirnya Perang Dingin, Somalia yang berada di pantai Timur Afrika berubah wujud menjadi salah satu negara yang tidak stabil di dunia. Ketidakstabilan di negeri itu antara lain dipengaruhi oleh perebutan kekuasaan oleh etnis-etnis berbeda yang menceburkan Somalia ke dalam perang saudara. PBB pada awal 1990-an pernah menggelar operasi perdamaian di bawah bendera UNOSOM dan didukung penuh oleh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat, namun gagal untuk menstabilkan Somalia. Bahkan Somalia menjadi tempat untuk mempermalukan keperkasaan militer Amerika Serikat pada Oktober 1993, yang dilakukan oleh gerilyawan Somalia pimpinan Mohammad Farah Aidid, salah satu pentolan warlords di sana.
Sampai saat ini pertikaian masih terus terjadi di sana, meskipun negara-negara Afrika dibantu oleh beberapa anggota Dewan Keamanan PBB berupaya melakukan rekonsiliasi nasional melalui pembentukan Pemerintahan Transisi Federal Somalia. Secara de facto, Pemerintahan Transisi Federal Somalia kini berkuasa di Mogadishu setelah dibantu oleh militer Ethiopia untuk mengusir salah satu kelompok gerilyawan yang diduga kuat mempunyai kaitan dengan kelompok Al Qaidah.
Dengan kondisi keamanan Somalia yang carut-marut, banyak pihak menggolongkan negeri itu sebagai failed state. Situasi Somalia yang demikian menjalar pula ke laut, yang mana sejak lebih dari 10 tahun silam perairan Somalia dianggap sebagai perairan yang berbahaya bagi pelayaran oleh IMO dan organisasi maritim swasta lainnya. Hingga kini perompakan bersenjata dan pembajakan masih terus terjadi di Somalia, yang lebih banyak bermotif ekonomi yaitu pemberian uang tebusan. Namun tidak sedikit pula korban jiwa dari awak kapal yang dibajak.
Kekhawatiran tidak terbatas pada itu saja, namun meluas pada adanya kerjasama antara kelompok gerilyawan Somalia dengan kelompok Al Qaidah untuk menyerang sasaran-sasaran milik negara Barat di laut. Kasus serangan terhadap USS Cole dan MV Limburg menjadi preseden atas kekhawatiran itu. Oleh karena itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Inggris dan Prancis memberikan perhatian khusus terhadap keamanan maritim di sekitar Afrika Timur melalui gelar kekuatan laut di sana.
Amerika Serikat misalnya, membentuk Joint Task Force-Horn of Africa yang bertugas di perairan sekitar Jibouti hingga Somalia. Bahkan mengingat strategisnya Afrika, negara itu telah membentuk U.S. Africa Command (USAFRICOM) pada 1 Oktober 2007 dan akan beroperasi sepenuhnya pada 1 Oktober 2008. Sebelumnya wilayah Afrika terbagi dalam area of responsibility U.S. PACOM, U.S. CENTCOM dan U.S. EUCOM. Sementara Prancis aktif melaksanakan patroli keamanan maritim di perairan pantai timur Afrika lewat Armada Samudera India Prancis.
Meskipun sejumlah upaya telah dilakukan untuk mencegah dan menghentikan perompakan bersenjata dan pembajakan di perairan Somalia, namun hal itu belum berarti banyak. Perairan Somalia tetap merupakan perairan yang paling berbahaya di dunia, yang dalam perkembangan terakhir para pelaku perompakan bersenjata dan pembajakan telah menyerang kapal-kapal yang dioperasikan oleh World Food Program (lembaga PBB) guna memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk negeri itu yang kekurangan pangan. Peristiwa penyerangan terhadap kapal-kapal WFP memicu Amerika Serikat dan negara-negara besar lain untuk membawa isu itu ke Dewan Keamanan PBB dan berujung pada lahirnya resolusi S/Res/1816 (2008).
Resolusi S/Res/1816 memberikan kuasa selama periode enam bulan sejak resolusi dikeluarkan, kepada negara-negara yang terlibat kerjasama dengan Pemerintahan Transisi dalam perang terhadap pembajakan dan perompakan bersenjata di perairan Somalia, dengan pemberitahuan terlebih dahulu dari Pemerintahan Transisi kepada Sekretaris Jenderal PBB, untuk:
- memasuki perairan teritorial Somalia dengan tujuan menindas pembajakan dan perompakan bersenjata di laut
- menggunakan segala sumber daya yang tersedia untuk menindas pembajakan dan perompakan bersenjata
Isi resolusi yang sangat gamblang merupakan respon dari negara negara maju terhadap ketidakmampuan pemerintah Somalia menjamin keamanan maritim di perairannya sendiri. Berdasarkan resolusi itu, negara-negara yang berkepentingan langsung terhadap keamanan maritim di perairan Somalia dapat memasuki perairan negeri itu untuk menindas semua kegiatan yang mengancam keamanan maritim.
3. Dialog Shangri-La
Pada 30-31 Mei 2008 berlangsung The 7th IISS Asia Security Summit Shangri-La Dialogue di Singapura. Dialog Shangri-La kini merupakan wadah pertemuan informal tahunan para Menteri Pertahanan Asia Pasifik untuk membahas isu-isu keamanan yang mengemuka. Pertemuan ini juga menjadi wadah bagi Amerika Serikat untuk menyampaikan pandangannya terhadap keamanan kawasan, suatu pandangan yang “wajib” dipahami oleh negara-negara lain.
Oleh karena itu, merupakan hal yang lumrah bila Menteri Pertahanan Amerika Serikat menjadi pembicara tetap tahunan dalam kegiatan itu. Tahun ini pembicaranya adalah Robert M. Gates, yang dalam pidatonya menggarisbawahi tiga butir pesan Amerika Serikat untuk negara-negara di kawasan.
Pertama, Amerika Serikat adalah bangsa Pasifik dengan peran abadi di Asia. Kedua, Amerika Serikat menekankan pada keterbukaan, melawan eksklusivitas dan berpihak untuk keuntungan bagi penggunaan bersama terhadap ruang bersama (in favor of common use of common space) secara bertanggung jawab guna menjaga dan mendorong kesejahteraan saling menguntungkan yang berkelanjutan. Ketiga, jaminan bahwa siapa pun Presiden Amerika Serikat mendatang, kebijakan keamanannya di kawasan tidak akan berubah.
Dari tiga butir pesan tersebut, salah satu yang perlu didalami adalah menyangkut tentang common use of common space? Apa yang dimaksud dengan common space tersebut? Mencermati pidato Gates secara keseluruhan, sang menteri menekankan pentingnya melindungi dan memelihara (protecting and preserving) common space di laut lepas, ruang angkasa dan ruang cyber.
Dalam pidatonya, secara implisit Gates menyindir Cina tentang penggunaan bersama terhadap common space. Sebab contoh kasus yang diangkat adalah perebutan klaim di Laut Cina Selatan dan transparansi AS saat menembak jatuh satelit militernya yang rusak bulan April 2008 di atas Samudera Pasifik.
4. Skenario Ke Depan
Ada benang merah antara resolusi S/Res/1816 (2008) dengan penekanan Menteri Pertahanan Amerika Serikat tentang common space dalam Dialog Shangri-La. Terbitnya resolusi tentang pembajakan dan perompakan di laut di perairan Somalia menandakan bahwa kepentingan negara-negara besar terganggu di sana. Perairan Somalia merupakan penghubung antara kawasan Timur Tengah/Mediterania dengan negara-negara pantai timur Afrika.
Terdapat kekhawatiran yang besar dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa akan terciptanya persamaan kepentingan antara kelompok pembajak dan perompak di laut dengan kelompok Al Qaidah. Sehingga sejak awal tahun 2000-an kekuatan laut negara-negara tersebut menyebarkan kekuatan di sekitar perairan Tanduk Afrika hingga pantai timur Afrika untuk menjamin keamanan maritim.
Terbitnya resolusi S/Res/1816 (2008) melalui proses yang alot di Dewan Keamanan, karena beberapa negara anggota tidak tetap menentang keras draf awal resolusi karena dipandang bertentangan dengan UNCLOS 1982. Dalam draf awal, selain menyinggung soal keamanan maritim di perairan Somalia, juga meminta Sekretaris Jenderal PBB untuk melaporkan situasi perompakan dan tindak kriminal di laut di wilayah lainnya. Draf awal juga menafikan kedaulatan negara pantai untuk menangani perompakan di laut dan diperbolehkannya negara-negara besar menerapkan rezim hukum laut bebas di mana saja.
Adanya preseden keterlibatan Dewan Keamanan PBB dalam masalah keamanan maritim bagi Indonesia perlu diwaspadai. Pada satu sisi, hal itu merupakan tantangan bagi pemerintah untuk bekerja lebih keras dalam mengamankan perairan yurisdiksi, baik dari aspek kebijakan maupun operasional. Pada sisi lain, apa yang terjadi di perairan Somalia dapat pula terjadi di perairan yurisdiksi Indonesia. Bukan tidak mungkin suatu ketika nanti Dewan Keamanan PBB akan mengeluarkan resolusi serupa dengan resolusi S/Res/1816 (2008), apabila kepentingan Amerika Serikat di perairan yurisdiksi Indonesia terganggu, baik di Selat Malaka maupun beberapa chokepoints lain.
Seperti diketahui, Amerika Serikat terus mendesak Indonesia agar menetapkan ALKI Timur-Barat yang membentang dari Laut Arafuru hingga ke Laut Jawa. Eksistensi ALKI yang didasari untuk memberikan tempat lintasan kapal perang menimbulkan dilema bagi Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terkesan pernah “berjanji” akan menetapkan ALKI lain di samping ALKI Utara-Selatan. Tetapi di sisi lain, ALKI Timur-Barat akan ”membagi” Indonesia ke dalam delapan kompartemen yang pasti akan mempengaruhi aspek pertahanan.
Pesan Gates di Singapura hendaknya dibaca pula dalam konteks desakan penetapan ALKI Timur-Barat. Sebagai kekuatan militer global, Angkatan Laut Amerika Serikat membutuhkan akses tak terganggu dalam penyebaran kekuatan ke seluruh dunia. Sehingga tuntutan akan kebebasan bernavigasi terhadap semua perairan, termasuk perairan yurisdiksi negara lain, merupakan hal yang lumrah bagi negeri itu. Sebab kini paradigma kekuatan militer Amerika Serikat adalah place, not base, yang menempatkan nilai strategis kekuatan laut dibandingkan kekuatan lainnya.
Kondisi keamanan maritim dipengaruhi oleh berbagai aspek, antara lain politik dan ekonomi. Apabila ditarik ke dalam konteks Indonesia, ada sejumlah masalah internal yang berpotensi mengganggu keamanan maritim seperti Aceh, Maluku dan Papua. Walaupun saat ini kondisi ketiga daerah itu relatif stabil, namun kondisi ke depan masih dipenuhi sejumlah ketidakpastian. Padahal secara geografis ketiga wilayah berada pada lintasan pelayaran internasional.
5. Penutup
Mencermati perkembangan terakhir, ada kecenderungan bahwa Amerika Serikat kini mulai menggunakan IMO untuk menegaskan “otoritas” atau kepentingannya. Meskipun Amerika Serikat menolak meratifikasi UNCLOS 1982, namun demi kepentingannya negeri itu menggunakan standar ganda. Keluarnya resolusi Dewan Keamanan, apapun isinya, selalu tak lepas dari kepentingan negara-negara anggota tetap dewan itu. Perkembangan demikian merupakan tantangan bagi Indonesia untuk mengamankan perairannya, karena bukan tidak mungkin akan keluar resolusi serupa tentang keamanan maritim di perairan yurisdiksi Indonesia.