REPOSISI PANGKALAN KE GUAM: TANTANGAN TERHADAP INDONESIA

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan 

Dalam beberapa tahun terakhir, Amerika Serikat tengah mereposisi kekuatan militernya ke Pulau Guam, Samudera Pasifik berdasarkan hasil dari Global Defense Posture Review (GDPR). Reposisi ke Guam merupakan bagian dari program Base Realignment and Closure (BRAC) yang dicanangkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat selama era Presiden George W. Bush. Kebijakan tersebut dengan sendirinya kembali menempatkan Guam bernilai strategis dalam peta keamanan dan stabilitas kawasan Asia Pasifik, setelah perannya menurun pasca Perang Vietnam.

Secara geografis, Guam terletak tidak jauh dari Indonesia yaitu sekitar 1.600 mil laut, dibandingkan dengan pangkalan militer Amerika Serikat di Pearl Harbor, Kepulauan Hawaii misalnya. Posisi Guam yang berada di sebelah timur Filipina dan di sebelah utara Propinsi Papua, Indonesia menempatkan kawasan Nusantara dan Asia Tenggara berada dalam jangkauan operasional dari pulau itu. Artinya, reposisi kekuatan militer Amerika Serikat ke pulau itu melahirkan tantangan terhadap Indonesia. Tulisan ini akan membahas tentang tantangan tersebut, dikaitkan dengan konteks strategis kawasan Asia Pasifik.

2. Konteks Strategis Asia Pasifik  

Kawasan Asia Pasifik mempunyai nilai strategis bagi kepentingan nasional Amerika Serikat. Di kawasan inilah sang adidaya pernah mengalami beberapa kali pengalaman pahit[i], yaitu diserang Jepang pada 7 Desember 1941 dan mengalami kekalahan dalam Perang Vietnam 1963-1975. Oleh karena itu, bagi Amerika Serikat keamanan dan stabilitas kawasan ini sangat penting, karena menjadi landasan bagi kemajuan ekonomi yang pesat selama lebih tiga dekade terakhir.[ii] Dalam konteks kekinian, terdapat tiga perkembangan yang menjadi hirauan negeri itu di kawasan, meliputi ambisi Cina di bidang politik, ekonomi dan militer, tantangan politik dan keamanan terkait perang global terhadap terorisme dan ancaman militer dari Korea Utara.[iii] Ketiga perkembangan merupakan tantangan terhadap Amerika Serikat yang hadir melalui U.S. Pacific Command (U.S. Pacom), yang bertujuan to create the conditions for security and prosperity across the entire region, leading to peace and political liberalization. This requires forward-based U.S. forces that will prevail in any conflict as well as operate and cooperate with regional allies, partners, and friends.[iv] 

Cina yang tengah menikmati pertumbuhan ekonomi sekitar 10 persen per tahun, terus mengembangkan kemampuan militernya. Hirauan Amerika Serikat terhadap pembangunan militer Cina bukan sekadar karena isu Selat Taiwan karena berkewajiban menghadapi ancaman agresi militer Cina terhadap Taiwan sesuai Taiwan Relations Act, namun juga disebabkan Cina terus membangun kekuatan lautnya menuju status blue water navy yang mampu diproyeksikan ke kawasan. Seperti dinyatakan oleh Panglima U.S. Pacom Laksamana Timothy J. Keating, ”China’s military is growing: They are operating in areas of the Pacific where they had not operated before, and they are developing systems and platforms that are, while not at the same level of capability of ours, not insignificant in their capability and capacity and volume. So we’re watching very carefully the Chinese military’s tactics, techniques, and procedures”.[v]

Selain mencoba membangun kapal induk dengan menggunakan platform kapal induk Varyag eks Rusia, Cina juga mengembangkan kemampuan peperangan bawah air, khususnya kapal selam. Negeri itu mengembangkan kapal selam nuklir berpeluru kendali balistik (SSBN) kelas Jin (Type-094) dan kapal selam nuklir serang (SSN) kelas Shang (Type-093) dan baru saja mengoperasikan delapan kapal selam diesel elektrik kelas Kilo asal Rusia yang dipersenjatai dengan rudal jelajah supersonik anti kapal atas air SS-N-27 ASCM.[vi] Sedang diproduksi pula kapal selam diesel elektrik kelas Song yang mampu meluncurkan rudal jelajah dari bawah air.[vii]

Isu perang terhadap terorisme merupakan hirauan berikutnya, karena kawasan Asia Tenggara merupakan tempat aktivitas kelompok teroris Jemaah Islamiyah yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Meskipun dalam dua tahun terakhir jaringan kelompok tersebut diobrak-abrik oleh aparat keamanan kawasan, namun Amerika Serikat masih mengkhawatirkan aksi terorisme lanjutan di masa depan. Terlebih wilayah Thailand Selatan dan Filipina Selatan masih terus bergolak, yang diduga tidak lepas dari campur tangan kelompok teroris.

Kawasan Asia Tenggara juga dinilai rawan terhadap terorisme maritim. Meskipun belum ada preseden aksi terorisme maritim di Selat Malaka, namun Amerika Serikat senantiasa mewaspadai kemungkinan tersebut. Selain di Selat Malaka, sejak 2005 negara itu juga mewaspadai kegiatan terorisme di Laut Sulawesi.[viii] Tidak heran bila dalam FY2006 dan FY2007 National Defense Authorization Act  terdapat Section 1206 ”train and equip” yang ditujukan kepada Indonesia, Malaysia dan Filipina untuk meningkatkan kapasitas aparat keamanan menghadapi ancaman keamanan maritim.

Ancaman militer dari Korea Utara masih dirasakan nyata, meskipun hasil pertemuan enam negara mengenai program nuklir Korea Utara telah berhasil mendorong negeri itu untuk menghentikan program nuklirnya. Terdapat kekhawatiran Amerika Serikat akan sikap Korea Utara, sebab dari sudut pandangnya, ”North Korea remains an enigma with unknown intentions, particularly with its nuclear and missile programs”.[ix] Di samping isu nuklir, situasi keamanan di Semenanjung Korea masih rawan karena status yang berlaku di sepanjang perbatasan Korea Utara-Korea Selatan adalah gencatan senjata.

Selain ketiga perkembangan itu, kebangkitan kembali Rusia dipastikan akan mempengaruhi konstelasi keamanan kawasan Asia Pasifik. Presiden Vladimir Putin telah mengaktifkan kembali patroli udara strategis Rusia, mengundurkan diri dari Conventional Force in Europe Treaty dan tengah mempersiapkan Armada Pasifik Rusia untuk kembali hadir di Samudera Pasifik dan Samudera India seperti di era Perang  Dingin. Rusia  berupaya   pula   memperkuat   pengaruhnya   di   kawasan, di antaranya melalui peningkatan kerjasama pertahanan dan peningkatan kunjungan muhibah Angkatan Laut. Negeri itu juga akan segera mempunyai footprint di Pulau Biak, Indonesia yang berada di Samudera Pasifik melalui fasilitas stasiun peluncuran roket.

Amerika Serikat terus hirau pula pada isu proliferasi senjata pemusnah massal. Melalui Proliferation Security Initiatives (PSI), berbagai negara di dunia dan khususnya kawasan Asia Pasifik aktif digalang untuk mendukung inisiatif yang diawali oleh Insiden MV So San asal Korea Utara pada Desember 2002 dan Insiden MV BBC China berbendera Jerman pada Oktober 2003. Hirauan terhadap isu tersebut bukan saja soal proliferasi terhadap sesama aktor negara, tetapi juga pada aktor non negara karena dianggap dapat mengancam kepentingan negara adidaya itu.

3. Reposisi Pangkalan 

Pasca Perang Dingin dan terlebih lagi setelah serangan 11 September 2001, Amerika Serikat menghadapi ancaman baru dari sumber yang baru pula, yaitu aktor non negara. Sehingga suatu hal yang wajar bila negara itu menempatkan empat tantangan terhadap keamanan nasionalnya, meliputi traditional challenges, irregular challenges, catastrophic challenges dan disruptive challenges.[x] Untuk menghadapi ancaman dan tantangan baru, para perencana pertahanan Amerika Serikat yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan (saat itu) Donald Rumsfeld melakukan pembenahan terhadap defense establishment.

Pembenahan mencakup pula to rethink, redesign, and reposition the U.S military posture at home and abroad according to a rational design reflecting contemporary security condition[xi] yang dilaksanakan melalui GDPR. Terdapat tiga isu penting dalam GDPR, yaitu (i) penyesuaian kehadiran di Eropa melalui pemisahan dari struktur warisan Perang Dingin, (ii) perubahan (reforming) kekuatan di Pasifik, dengan peningkatan penekanan pada kemampuan untuk menjamin sekutu lebih efektif, dissuade pesaing potensial, menangkal agresor dan mengalahkan musuh bila diharuskan demikian, dan (iii) mengembangkan fleksibilitas operasi dan keragaman dalam pilihan yang dibutuhkan untuk menghadapi ketidakpastian di ”arc of instability” —dari Afrika Utara hingga Timur Tengah dan Asia Selatan hingga Asia Tenggara.[xii]

Proses rethink, redesign and reposition postur militer tidak dapat dilepaskan dari situasi dunia pasca Perang Dingin. Di masa Perang Dingin, Amerika Serikat membutuhkan pangkalan (base) bagi kekuatan militer yang berat (heavy forces) di kawasan di mana mereka diharapkan bertempur, yaitu Eropa Tengah dan Korea. Kini sang adidaya membutuhkan tempat (place) bagi kekuatannya, karena transformasi pertahanan yang dilaksanakan oleh Rumsfeld menekankan pada kekuatan yang smallerlightermore mobile forces.[xiii]

Terkait dengan itu, Doktrin Angkatan Laut Amerika Serikat beralih dari Forward…From The Sea menjadi Sea Power 21 yang salah satu elemennya adalah sea base, di mana sea base adalah inti dari doktrin tersebut. Sea basing merupakan pilihan masa kini menggantikan forward presence/basing yang digunakan di masa lalu.[xiv] Perubahan demikian melahirkan paradigma “place, not base“ yang diperkenalkan oleh Quadrennial Defense Review (QDR) 2001.

Lahirnya paradigma “place,not base” membuat Amerika Serikat meninjau ulang eksistensi pangkalannya di seluruh dunia. Beberapa pangkalan di wilayah-wilayah kritis tetap dipertahankan, lainnya ditutup, namun ada pula penambahan di kawasan tertentu, seperti di Asia Tengah. Status semua pangkalan di luar negeri terbagi dalam tiga tipe yaitu main operating base (MOB), forward operating site (FOS) dan cooperative security location (CSL).[xv]

MOB adalah pangkalan yang ditempati oleh pasukan secara permanen dengan infrastruktur yang lengkap, misalnya pangkalan di Jerman, Jepang dan Korea Selatan. FOS merupakan pangkalan dengan “warm facilities”, yaitu fasilitas yang relatif lengkap, terdapat propositioned equipment, namun hanya diawaki secara permanen  oleh  personel  militer dengan jumlah terbatas, seperti di Singapura. CSL yaitu fasilitas dengan kehadiran permanen personel militer Amerika Serikat yang sangat terbatas atau bahkan tidak sama sekali dan pemeliharaannya dilakukan oleh kontraktor pertahanan atau negara tuan rumah, contohnya di Senegal.[xvi]

Walaupun masih mempertahankan eksistensi sejumlah pangkalan di luar negeri, akan tetapi pangkalan itu telah mengalami penyesuaian, seperti pengawakannya yang tidak semasif era Perang Dingin. Secara umum, respon dari negara-negara sekutu dan sahabat pada dasarnya positif terhadap GDPR, meskipun pangkalan Amerika Serikat yang berada di wilayah-wilayah mereka mengalami penyesuaian. Respon demikian tak lepas dari diplomasi yang dilakukan oleh Departemen Pertahanan dan Departemen Luar Negeri untuk menjelaskan tentang GDPR.

Sebagai implementasi GDPR, disusunlah program BRAC. Pada tanggal 16 Agustus 2004, Presiden Bush mengumumkan rencana membawa pulang sekitar 60.000 hingga 70.000 personel militer dan sekitar 100.000 anggota keluarga personel dan pegawai sipil dari pangkalan-pangkalan di luar negeri dalam jangka waktu 10 tahun mendatang.[xvii] Rencana pemulangan merupakan bagian dari BRAC dan sekaligus respon terhadap rekomendasi GDPR mengenai kendala-kendala penggunaan pangkalan di luar negeri.Ada dua kendala yang menonjol, yaitu akses politik dan akses geografis.

Kendala politik muncul dari sikap politik negara tuan rumah terhadap penggunaan kekuatan militer Amerika Serikat dari pangkalan di negara itu, misalnya kekhawatiran akan kerugian politik dan ekonomi yang diakibatkan. Misalnya Jepang yang sangat mungkin menghadapi ancaman dari Cina apabila memberikan ijin kepada Amerika Serikat untuk menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan depan menghadapi konflik di Selat Taiwan. Sedangkan kendala geografis terkait dengan tidak adanya pangkalan terdekat di sekitar wilayah yang menjadi sasaran operasi militer. Seperti dalam serangan ke Afghanistan Oktober 2001,Pakistantidak memberikan akses terhadap pangkalan dan ruang udaranya bagi militer Amerika Serikat.

Di situlah sebenarnya paradigma “placenot base” tetap relevan bagi Amerika Serikat. Sebagai contoh, dalam serangan keAfghanistan dan Irak, sebagian besar serangan dilancarkan dari kapal induk dan kapal atas air yang berada di perairan internasional. Bahkan sejumlah kegiatan pemboman strategis dilakukan oleh pesawat B-2 yang bertolak dan mendarat dari/di pangkalan udara di wilayah Amerika Serikat sendiri.

Pemulangan sekitar 60.000 hingga 70.000 personel militer ke Amerika Serikat seperti diumumkan oleh Presiden Bush termasuk pula reposisi pangkalan ke Guam. Konteks strategis kawasan Asia Pasifik bersamaan munculnya dengan ketidakpastian dukungan dari negara-negara kawasan yang menjadi tuan rumah pangkalan Amerika Serikat. Sejak 1990-an terjadi peningkatan sentimen anti pangkalan asing di Jepang dan Korea Selatan, yang disebabkan konflik antara pangkalan dengan penduduk sekitar, seperti pelecahan seksual, kasus tabrak lari dan kebisingan yang ditimbulkan oleh beragam aktivitas di pangkalan. Di samping itu, suatu penilaian (assessment) yang dilaksanakan oleh militer Cina menyatakan, ”dependence on foreign-hosted bases and extended lines of logistical support for sustained combat operations in the Western Pacific represent a major American vulnerability”.[xviii]

Pilihan reposisi ke Guamdidasarkan pada pertimbangan bahwa Guamadalah wilayah kedaulatan Amerika Serikat, sehingga tidak akan menghadapi isu (keengganan) kerjasama dari sekutu dan hak akses seperti pangkalan yang berada di luar negeri. Meskipun Guam terletak lebih jauh dari flashpoint kawasan dibandingkan pangkalan di Jepang dan Korea Selatan, namun pulau itu tetap memainkan peran dukungan kritis.[xix] Saat ini, di Guam sudah terdapat sejumlah fasilitas militer yang memadai, seperti Pangkalan Angkatan Laut Apra Harbor yang mampu mendukung operasi kapal induk dan kapal selam beserta depo arsenal Angkatan Laut dan Pangkalan Udara Andersen yang mempunyai depo bahan bakar dan arsenal terbesar di kawasan Asia Pasifik.

Terkait dengan konflik antara pangkalan Marinir di Okinawa dengan penduduk setempat, Amerika Serikat dan Jepang pada 2006 mencapai kesepakatan untuk merelokasi 8.000 personel III Marine Expeditionary Force dari Okinawa ke Guam. Program relokasi yang sebagian di antaranya dibiayai oleh pemerintah Jepang direncanakan rampung pada 2014. Seperti dinyatakan oleh Laksamana Keating, ”We will improve our ability to respond in an agile, flexible, powerfull manner by moving some forces out of Okinawa and down to Guam”.[xx]

Reposisi ke Guam seiring pula dengan penegasan QDR 2006, bahwa armada Angkatan Laut akan hadir lebih besar di Samudera Pasifik, yang mana direncanakan penyesuaian postur dan pangkalan untuk menghadirkan setidaknya enam kapal induk dan 60 persen kekuatan kapal selam ke kawasan itu untuk mendukung pelibatan, kehadiran dan penangkalan.[xxi]Sedangkan Angkatan Laut Amerika Serikat sejak 2003 mengadopsi Fleet Response Plan (FRP) dalam perencanaan operasi. FRP menggarisbawahi bahwa pada saat kontinjensi, Angkatan Laut dalam waktu tiga belas hari harus mampu menyusun enam induk dan tiga puluh atau empat puluh kapal kombatan atas air.[xxii]

Kebijakan pertahanan Amerika Serikat yang memperkuat kembali nilai strategis Guam melalui reposisi pangkalan akan dirasakan efeknya di kawasan dalam tahun-tahun ke depan. Dengan kebijakan tersebut, Indonesia yang berada dalam jangkauan operasional U.S. Pacom dari Guam harus bersiap terhadap implikasinya. Meskipun reposisi tersebut terlalu dini untuk dikategorikan sebagai ancaman, namun Indonesia dipastikan menghadapi sejumlah tantangan terkait hal itu.

4. Tantangan Terhadap Indonesia 

Hubungan Indonesia-Amerika Serikat di awal abad ke-21 kembali berada pada titik balik setelah pada dekade terakhir abad ke-20 mengalami kemunduran. Titik balik terjadi karena adanya ”healthy engagement” dari kedua negara, khususnya pada sejumlah isu keamanan kawasan. Dalam beberapa tahun terakhir, kerjasama di bidang pertahanan kedua negara berlangsung lebih erat, misalnya lewat CARAT, NEA dan Iron Flash. Bahkan lebih dari itu, Amerika Serikat mulai memberikan bantuan perlengkapan secara selektif, seperti radar pengamatan maritim.

Meningkatnya kerjasama disebabkan Kongres menyetujui program Section 1206 ”train and equip” dalam anggaran pertahanan Amerika Serikat. Lewat Section 1206, militer Indonesia khususnya TNI Angkatan Laut, mendapatkan sejumlah paket untuk meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman keamanan maritim. Isu keamanan maritim merupakan satu dari beberapa tantangan terhadap Indonesia seiring dengan reposisi pangkalan Amerika Serikat ke Guam.

Reposisi ke Guam dengan sendirinya meningkatkan arti penting sekaligus posisi kritis ALKI II dan ALKI III bagi kepentingan Amerika Serikat di kawasan. ALKI II dan ALKI III merupakan jalur perlintasan tetap Gugus Tugas Armada Pasifik dalam patroli rutin di wilayah tanggung jawab (area of responsibility) U.S. Pacom. Seperti dijelaskan sebelumnya, Amerika Serikat sejak 2005 mulai mewaspadai aktivitas teroris di Laut Sulawesi yang merupakan pintu keluar masuk ALKI II bagian utara.

Tak heran bila dalam beberapa tahun terakhir negara itu selalu meminta kepada Indonesia (TNI/TNI-AL) untuk mengadakan latihan bersama dengan materi berupa Extended Maritime Interdiction Operations (E-MIO), seperti visit,  boardsearch and seizure (VBSS). Di samping itu, Amerika Serikat juga memberikan bantuan pemasangan radar pengawasan maritim pada tiga lokasi di sekitar Selat Makassar, seperti halnya program Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) di sepanjang Selat Malaka sisi Indonesia. Dengan berbagai bantuan tersebut, secara tersirat Indonesia dituntut untuk bertanggung jawab atas keamanan maritim di wilayahnya sendiri.

Pada sisi lain, meskipun kapal niaga dan kapal tanker yang menggunakan ALKI II volumenya belum sebesar Selat Malaka, namun diprediksi akan terus meningkat dalam tahun-tahun mendatang seiring dengan bertambahnya jumlah kapal bertipe ULCS di dunia. Selain itu, meningkatnya volume perdagangan antara Australia dengan negara-negara di Asia Timur, khususnya Cina berarti menambah jumlah lalu lintas niaga yang melewati ALKI II. Perlu diketahui bahwa Cina saat ini merupakan salah satu mitra dagang terbesar Australia, meskipun dalam bidang politik dan keamanan, kedua negara masih menemui banyak ketidaksepakatan.

Berikutnya adalah kerjasama pertahanan Amerika Serikat-Australia. ALKI II dan ALKI III menempati nilai strategis sekaligus kritis dalam kerjasama pertahanan Amerika Serikat-Australia. Meskipun terjadi perubahan pemerintahan di Australia sebagai hasil pemilu 24 November 2007, akan tetapi pemerintahan Partai Buruh di bawah kepemimpinan PM Kevin Rudd tetap menempatkan aliansi dengan Amerika Serikat sebagai satu dari tiga pilar pertahanan Australia. Pilar lainnya adalah keanggotaan di PBB dan pelibatan komprehensif di kawasan Asia Timur dan Asia Pasifik yang lebih luas.[xxiii]

Salah satu kesepakatan kerjasama pertahanan kedua negara di masa PM John Howard adalah dijadikannya wilayah Australia Utara sebagai tempat latihan bagi militer Amerika Serikat. Salah satu unsur yang menggunakan fasilitas tersebut adalah Marine Expeditionary Unit (SOC/Special Operations Capable) yang sehari-hari berada di laut (afloat) dalam Gugus Tugas Expeditionary Strike Group. Fasilitas di Australia Utara digunakan oleh MEU (SOC) sebagai tempat latihan di sela-sela penyebaran mereka ke kawasan Asia Pasifik yang rata-rata berjangka enam bulan.

Posisi Guam secara geografis lebih dekat dengan Australia dibandingkan dengan pangkalan Amerika Serikat di Asia Timur. Untuk itu, jaminan akan keamanan ALKI II dan ALKI III merupakan suatu hal yang tidak bisa ditawar-tawar bagi Amerika Serikat. Terkait dengan hal tersebut, Indonesia sudah seharusnya menjamin stabilitas keamanan nasional di wilayah-wilayah sekitar kedua ALKI.

Eksistensi sejumlah Lantamal di sekitar kedua ALKI merupakan modal awal yang bagus bagi Indonesia, meskipun pendiriannya didasarkan pada kepentingan nasional Indonesia dan sama sekali tidak mengacu pada kepentingan negara lain. Tantangannya adalah bagaimana kehadiran sejumlah Lantamal tersebut mampu dirasakan oleh negara lain, dalam arti menunjukkan bahwa Indonesia mampu mengamankan perairannya sekaligus tidak ingin dilecehkan oleh siapa pun.

Kinerja di bidang pertahanan harus didukung pula oleh instrumen kekuatan nasional lainnya, khususnya di sekitar ALKI II dan ALKI III. Hal ini merupakan tantangan ketiga terhadap Indonesia, karena terkait dengan isu stabilitas nasional. Wilayah ALKI III masih rentan terhadap instabilitas disebabkan masalah lokal maupun hubungan pusat dengan daerah.

5. Penutup 

Konsep reposisi pangkalan Amerika Serikat ke Guam, merupakan bagian dari penekanan pada peninjauan fungsi pangkalan oleh negara itu. Di balik reposisi tersebut terdapat pelajaran yang dapat ditarik oleh Indonesia, yaitu penguatan fungsi pangkalan (Angkatan Laut) untuk dapat merespons krisis di bidang keamanan yang berimplikasi terhadap kepentingan nasional.

[i]. Calder, Kent E. Pacific Defense: Arms, Energy, and America’s Future in Asia,New York: William Morrow and Company, Inc, 1996.
[ii]. Keating, Timothy J and McCaffrey III, Terrance J, “Moving the Throttle Forward in the Pacific”. Joint Forces Quarterly, issue 47, 4th Quarter 2007, hal.57
[iii]. Erickson, Andrew S and Mikolay, Justin D, “A Place and a Base: Guam and the American Presence in East Asia”, dalam Lord, Carness (et.al), Reposturing the Force: U.S. Overseas Presence in the Twenty First Century, Naval War College Newport Papers 26.Newport,Rhode Island: Naval War College Press, 2006, hal.72
[iv]. Keating, Op.cit hal.59
[v]. “An Interview with Timothy J. Keating”. Joint Forces Quarterly, issue 47,4th Quarter 2007, hal.55
[vi]. McVadon, RAdm Eric A, “China’s Maturing Navy”, Naval War College Review, Spring 2006, Vol.59, No.2 hal.93. Menurut laporan Annual Report to Congress: The Military Power of The People’s Republic of China 2007 yang dikeluarkan oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Cina mengoperasikan 12 kapal selam kelas Kilo.
[vii]. U.S Department of Defense. Annual Report to Congress: The Military Power of the People’s Republic of China 2005. WashingtonDC: 2005, hal.5
[viii]. Statement of Admiral William J. Fallon, U.S. Navy, Commander, U.S. Pacific Command, Before The Senate Armed Forces Committee on U.S. Pacific Command Posture, 7 March 2006, hal.5
[ix]. Keating, Op.cit hal.59
[x]. U.S Department of Defense, The National Defense Strategy.Washington: March 2005, hal.1
[xi]. Bloomfield, Lincoln P, Jr, “Politics and Diplomacy of the Global Defense Posture Review”, dalam Lord, Carness (et.al), Reposturing the Force: U.S. Overseas Presence in the Twenty First Century, Naval War College Newport Papers 26.Newport,Rhode Island: Naval War College Press, 2006, hal.50
[xii]. Henry, Ryan, “Transforming the U.S. Global Defense Posture”, dalam Lord, Carness (et.al), Reposturing the Force: U.S. Overseas Presence in the Twenty First Century, Naval War College Newport Papers 26.Newport,Rhode Island: Naval War College Press, 2006, hal.38
[xiii]. Harkavy, Robert E, “Thinking About Basing”, dalam Lord, Carness (et.al), Reposturing the Force: U.S. Overseas Presence in the Twenty First Century, Naval War College Newport Papers 26.Newport,Rhode Island: Naval War College Press, 2006, hal.19
[xiv]. Ibid, hal.19-20
[xv]. Ibid, hal.20
[xvi]. Henry, Op,cit   hal.43
[xvii].Bloomfield, Op.cit hal.54
[xviii]. Erickson, Op.cit hal.65, dikutip dari Paul H.B. Godwin, “China’s Defense Establishment: The Hard Lessons of Incomplete Modernization”, in The Lesson of History: The Chinese People’s Liberation Army at 75, ed. Laura Burkitt et al, Carlisle, Penna: Strategic Studies Institute, US Army War College, 2002, hal.35
[xix]. Ibid hal.66
[xx]. “An Interview with Timothy J. Keating”, hal.56
[xxi]. U.S. Department of Defense, Quadrennial Defense Review Report 2006, hal.47
[xxii]. Work, Robert O, “On Sea Basing”, dalam Lord, Carness (et.al), Reposturing the Force: U.S. Overseas Presence in the Twenty First Century, Naval War College Newport Papers 26.Newport,Rhode Island: Naval War College Press, 2006, hal.106
[xxiii]http://www.alp.org.au/media/1107/dsidefloo120.php, diakses pada 30 November 2007 pukul 10.15 WIB.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap