1. Latar Belakang
Temuan 180 pucuk yang terdiri dari beberapa jenis senjata api dan amunisi (plus granat) di kediaman almarhum Kusmayadi pada bulan ini, tidak pelak lagi telah menyita perhatian publik. Muncul berbagai pertanyaan, spekulasi, gosip, yang ingin mengetahui apa latar belakang dan apa pula tujuan penumpukan senjata sekian banyak. Semua bentuk pertanyaan sepertinya mengarah pada tiga ‘barangkali’ yaitu, (i) untuk kepentingan pribadi, misalnya hobby koleksi sampai pada keinginan untuk memperkaya diri sendiri, (ii) sebagai sel di dalam jaringan untuk mendukung kepentingan organisasi (clandestine) tertentu, (iii) atau bagian dari suatu konspirasi untuk persiapan kudeta. Masih banyak ‘barangkali’ yang lebih seram lagi, dan hal itu merupakan hal yang lumrah oleh karena sudah bercampur (bias) dengan kepentingan politik banyak pihak.
Akan tetapi, ada temuan lainnya yang terungkap yaitu Indonesiaternyata tidak punya national policy yang konkrit mengenai penanganan peredaran senjata api. Benar ada KUHAP dan ada pula berbagai aturan pada instansi-instansi yang memiliki senjata api, akan tetapi kasus Kusmayadi mengungkapkan bahwa aturan-aturan tersebut, bekerja secara sektoral dan nyata sekali banyak celah yang ‘sangat lebar’, yang memungkinkan peredaran gelap senjata api (akan) tetap berlangsung di Indonesia.
Atensi Indonesia terhadap illicit small arms trafficking and light weapons, sebetulnya sangatlah besar dan terbukti dengan intensitas kegiatan Deplu mengikuti berbagai sidang internasional dan regional. Nampaknya—lain di luar lain pula di dalam negeri.
2. Sikap Internasional-Regional
Menonjol untuk dicermati upaya PBB untuk menangani peredaran gelap senjata ringan dan kaliber kecil, yang dituangkan dalam Report of the United Nations Conference on the Illicit Trade in small arms and Light Weapons in All Its Aspect, New York, 9-20 July 2001. Pada laporan tersebut, sudah dicanangkan Program of Action yang harus dikembangkan pada tingkat nasional (22 items), regional (8 items), dan global (10 items).Ada pula kesepakatan yang di capai pada pertemuan tersebut, yaitu akan meninjau perkembangan yang dicapai selamalima tahun, dan akan diadakan pertemuan pada tahun 2006.
Pada bulan Juni 2006, PBB melaksanakan pertemuan selama dua minggu untuk menilai perkembangan upaya memerangi perdagangan gelap senjata kecil, sejak dicanangkan Program of Action pada tahun 2001. Laporan pertemuan tersebut diawali dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa, benar ada kemajuan yang berarti akan tetapi persoalannya masih tetapi merisaukan. Sekjen PBB Koffi Annan memperkirakan bahwa seperempat dari empat milyar dollar perdagangan senjata pada tingkat global, adalah perdagangan gelap sehingga senjata kecil. Kenyataan di lapangan memperlihatkan bahwa senjata kecil mudah untuk di peroleh, mudah pula dibawa kemana-mana oleh karena gampang disembunyikan. Intisari pertemuan tersebut adalah, kembali menekankan perlunya upaya yang intensif dari semua pihak untuk memerangi perdagangan gelap senjata ringan dan kaliber kecil.
Pada tingkat global, upaya untuk memerangi peredaran gelap senjata ringan dan kaliber kecil, nampaknya mendapatkan perhatian yang serius dan konsisten. Hasilnya (setidak-tidaknya) ada tiga instrumen penting untuk menjadi acuan, yaitu; (i) Draft International Instrument to Enable States to Identify and Trace, in Timely and Reliable Manner, Illicit Small Arms and Light Weapons (Marking an Tracing Convention), (ii) UN Program of Action to Prevent, Combat and Eradicate the Illicit Trade in Small Arms and Light Weapons in All Its Aspects (UN Program in Action), (iii) Protocol against the Illicit Manufacturing of and Trafficking in Firearms, Theirs Parts and Components and Ammunition, supplementing the United Nations Convention against Transnational Organized Crime (Fire Arms Protocol).
Pada tingkat regional, nampaknya ada inisiatif yang di kembangkan oleh ASEAN, Asean Regional Forum, yang intinya adalah perlu upaya yang intens untuk memerangi peredaran gelap senjata api, dan menjalin kerjasama untuk untuk kepentingan tersebut. Adabeberapa pertemuan yang dilaksanakan di Indonesia, misalnya Jakarta Regional Meeting (Mei, 2000), Pertemuan ke-25 Kepala Polisi se-ASEAN diBali (2005). Ilustrasi sederhana tersebut, bermaksud memberikan gambaran bahwa, respons kawasan ini terhadap ketiga intrumen internasional tersebut di atas, adalah cukup intens dan bersifat proaktif.
3. Sikap Nasional
Bicara tentang upaya untuk memerangi peredaran gelap senjata ringan dan kaliber kecil di Indonesia, sepertinya membicarakan suatu makhluk yang sepertinya di ketahui padahal tidak dikenal. Konon hanya pihak Deplu (barangkali keliru), yang sangat gencar menggugah agar illicit small arms trafficking agar ditangani dengan benar. Pihak tersebut sudah menyelenggarakan berbagai seminar, baik berskala nasional (Bogor, 3-4 Juli 2001) maupun berkolaborasi dengan pihak PBB dan pihak lainnya. Ada pula CSIS juga menyelenggarakan beberapa kali seminar, plus beberapa tulisan (Vermonte, 2002) yang menghimbau ke sana kemari, tetapi hasilnya tetap square one, artinya—tidak ke mana-mana. Buktinya? Seperti terlihat kasus Kusmayadi. Akan tetapi kasus tersebut ibaratnya sama dengan jarum di tengah jerami yang kebetulan menguak keluar.
Tidak mustahil masih banyak senjata api yang ‘aman’ tersimpan di tempat-tempat lain, aman pula ‘dipindahkan’ dari tempat resmi ketempat yang tidak seharusnya. Buktinya? Nampak dalam konflik di Aceh, di Ambon, di Poso, di Papua. Suatu kenyataan bahwa pihak-pihak tertentu di daerah konflik mudah mendapatkan senjata api (small arms and light weapons), yang kabarnya bisa dibeli dari berbagai ‘pihak’ ada pula yang diselundupkan dari luar. Memang benar bahwa sulit untuk mendeteksi dan melacak peredarannya. Hal ini di sebabkan oleh berbagai faktor, misalnya panjangnya perbatasan, panjangnya pantai, kurangnya sarana patroli dan sarana deteksi, dan masih banyak lagi kekurangan ini-itu. Akan tetapi bukan berarti bahwaIndonesiahanya berpangku tangan dan tidak dapat berbuat sesuatu.
Bicara secara terbuka, sebetulnya Indonesiakekurangan satu hal (yang sangat prinsipiil), yaitu tidak ada sikap nasional dan kemauan politik yang tegas untuk menangani illicit small arms trafficking. Pelajaran pahit dari lapangan sudah bertumpuk-tumpuk, lagi pula ada ancaman intra-state conflict dan trans-national crime yang harus dihadapi, lalu tunggu apa lagi?
4. Upaya Ke Depan
Diawali dengan langkah sederhana yaitu memahami judulnya; illicit trafficking of small arms and light weapons, nantinya akan ketemu beberapa hal, yaitu pengertian tentang (i) small arms, apa batasannya dan pengertian secara nasional, (ii) light weapons, apa batasannya dan apa pula pengertiannya secara nasional, (iii) illicit trafficking, apa yang di maksud dengan peredaran gelap dan pemahaman tersebut perlu dibakukan menjadi sikap nasional. Selengkapnya, judulnya adalah The Illicit trade in Small Arms and Light Weapons in All its Aspects. Artinya—perlu juga dipahami apa itu legal transfer, black market, illegal arms brokers, illicit small arms sales, dan semua aspek terkait.
Langkah berikutnya adalah; (i) perumusan kebijakan nasional, (ii) perlu ada otoritas nasional yang menangani hal ini (dan ada point of contact), (iii) perumusan code of conduct dan tertib aturannya, (iv) sosialisasi dan penguatan sanksi, (v) tentu ada program of action nasional yang mengacu pada Program of Action yang di canangkan oleh PBB.
Di kalangan masyarakat kita, sudah ada beberapa orang yang secara pribadi mendalami materi tersebut, dan kini mereka sudah menjadi pakar.Adabaiknya mereka didesak untuk bersikap vokal di dalam rangka sosialisasi arti pentingnya memerangi peredaran gelap senjata ringan dan kaliber kecil. Masyarakat luas perlu dilibatkan oleh karena banyak potensi yang bisa dimanfaatkan untuk memperkecil ruang gerak peredaran senjata ringan dan kaliber kecil. Ada persepsi di masyarakat bahwa urusan senjata adalah urusan militer dan polisi, sehingga diasumsikan bahwa pihak lain tidak perlu mencampurinya.
Pandangan demikian adalah tidak tepat oleh karena masalah ini terkait dengan banyak hal, yaitu pembuatannya yang materialnya mudah diperoleh di pasar umum, pengangkutannya juga banyak menggunakan angkutan umum, penyimpanannya tidak selalu di depo arsenal militer. Singkatnya—banyak potensi di masyarakat luas yang dapat dimanfaatkan untuk memerangi peredaran gelap senjata api. Mereka itu adalah masyarakat awam seperti Ketua RT, pengusaha jasa angkutan dan titipan, pemangku adat, pemuka agama, kalangan DPR dan DPRD, akademisi (terutama di daerah), LSM, sampai pada mediamassa.
Tanpa dukungan masyarakat luas, dapat dipastikan bahwa Indonesia akan tetap berada pada square-one, tidak kemana-mana dan potensial menjadi sasaran perdagangan (ada ancaman intra—state conflict dan trans—national crime), bisa pula menjadi pedagang gelap (illegal arms brokers), atau paling tidak jadi sasaran antara. Bertolak dari kasus Kusmayadi, momentum tersebut dapat dimanfaatkan sebagai window of opportunity untuk menggalakkan upaya nasional, dalam rangka memerangi perdagangan dan peredaran gelap senjata api (small arms and light weapons). Crash program yang dapat segera dikerjakan adalah ‘memperkuat’ semua institusi yang memiliki inventaris senjata api, mulai dengan membenahi procurement procedures, inventory system, dan prosedur pemindahan. Situasi ke depan akan menjadi lebih sulit dan sangat kompleks, apabila perdagangan dan peredaran gelap senjata api di Indonesia, tidak disikapi secara tegas dan konsisten. Ke luar, Indonesia sudah punya sikap yang sangat jelas dan tegas, akan tetapi ke dalam? Masyarakat luas akan menilai apakah pemerintah dapat mengembangkan satu sikap dan satu tindakan. Dikembangkan atau tidak, masyarakat global dan regional akan mengatakan inilah potret Indonesia.