Oleh: Robert Mangindaan
1. Pendahuluan
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa membangun postur Angkatan Laut bukan perkara yang mudah dan sudah pasti tidak juga murah. Dikatakan tidak mudah oleh karena banyak faktor berpengaruh yang sangat menentukan bagi pemerintah dan bangsanya, untuk membangun Angkatan Laut yang kuat. Alfred Thayer Mahan mengatakan bahwa membangun kekuatan laut, dibutuhkan enam elemen pokok, yaitu (i) geographical position, (ii) physical confirmation, (iii) extent of territory, (iv) number of population, (v) character of the people, dan (vi) character of the government.[i]
Benar bahwa karya besar tersebut (sepertinya) sudah ketinggalan zaman, akan tetapi esensinya masih relevan sampai sekarang. Keenam elemen tersebut dapat digunakan sebagai barometer untuk menakar, apakahIndonesiadapat membangun kekuatan laut yang kuat atau bagaimana? Dari elemen yang pertama sampai keempat (kecuali yang ketiga), sudah pasti ada di Indonesia.
Pertanyaan kritis mengarah pada dua elemen yang terakhir, mulai dengan elemen kelima, apakah budaya bangsa mendukung atau tidak? Dulunya, nenek moyangku orang pelaut. Tapak sejarah memperlihatkan lebensraum bangsa Indonesia, ternyata sangat luas. Ada tapak sejarah di Afrika Selatan, Madagaskar, India, sampai ke Cina, Palau, pulau-pulau di Pasifik Selatan, dan Australia utara. Tetapi pada era kolonial yang berlangsung tiga abad lebih, budaya tersebut dikikis halus secara sistematik.[ii]
Unsur budaya merupakan modal utama didalam membangun negara maritim dan para navalism sangat menyadari bahwa membangun kapal perang dibutuhkan tiga tahun, tetapi membangun budaya maritim membutuhkan tiga setengah abad. Tidak mengherankan apabila ada pihak-pihak termasuk elite militer yang mengatakan, lebih baik mencetak sawah daripada membeli kapal perang. Benarlah nyanyian itu, nenek moyangku orang pelaut, tetapi sebenarnya ingin mengatakan ‘sekarang kami ini tidak lagi berjiwa pelaut..’.
Lalu bagaimana dengan elemen keenam yaitu character of the goverment? Jawabannya, silahkan pelajari di GBHN, yang sekarang ada di Rencana Pembangunan (berjangka) Indonesia. Dokumen tersebut dengan jelas mengungkapkan semua aspirasiIndonesia memanfaatkan laut bagi kesejahteraan dan keamanan bangsa. Ada alasan kuat dan tidak terbantahkan yaitu keterbatasan anggaran belanja negara, merupakan faktor yang menentukan postur kekuatan lautIndonesia. Sementara itu, sudah berkembang berbagai wacana yang mengangkat postur TNI Angkatan Laut, apakah sebaiknya berwarna hijau, atau biru, atau coklat, atau barangkali abu-abu.
2. Geopolitik
Ada beberapa postur Angkatan Laut yang sudah dikenal luas, misalnya blue water navy, ada pula brown water navy, dan (sepertinya) Indonesia mengarah pada green water navy. Barangkali benar bahwa, tidak ada patokan internasional yang baku mengenai struktur kekuatan blue water navy harus seperti apa, begitu pula dengan dua postur lainnya. Yang menjadi ‘patokan’ adalah jangkauan operasional, apakah bertaraf global reach atau regional, atau cuma sebatas di pantai dan digolongkan sebagai coastal navy.
Setiap pilihan tentunya didasarkan pada tiga faktor penting, yaitu kepentingan nasional, strategi pertahanan, dan fiscal reality. Lihat saja pemerintah Amerika Serikat, di dalam menentukan postur blue water navy, sangat dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut. Postur Angkatan Laut mereka dirancang untuk menopang posisi Amerika Serikat sebagai global sheriff, kemudian strategi pertahanannya disiapkan untuk berperang di luar wilayah nasional, dan ekonomi nasional memang sangat mampu untuk mendukung postur yang di inginkan.
Lihat juga Inggris (baca United Kingdom) yang masih kental dengan semboyan ‘rules Britain rules the waves’, kini mengembangkan postur Angkatan Laut yang tidak lagi untuk to control the seven seas. Berbeda dengan sikap Jepang, mereka membangun Angkatan Laut yang disiapkan untuk mampu mengamankan garis suplai BBM dari Timur Tengah ke Jepang. Sikap Cina juga demikian, mereka membangun strategi chain of pearl, yang tujuannya adalah mengamankan jalur suplai BBM dari Timur Tengah ke Cina.
Bagaimana dengan Indonesia? Posisi geografik dan konfigurasi ‘habitat’ bangsa Indonesia memperlihatkan tiga physical confirmity, yaitu pertama—Indonesia adalah negara kepulauan yang terbesar di dunia, dengan luas perairan berkisar lima juta km persegi (teritorial dan ZEEI), dan garis pantai sepanjang 81.000 km. Kedua—Indonesia memiliki life lines yang terpanjang di dunia, menghubungkan 17.508 pulau dengan kondisi laut yang berbeda pada setiap musimnya. Sebagian life lines nyatanya tumpang tindih dengan tiga ALKI dan ada pula empat choke points yang strategik untuk lalu lintas internasional. Yang ketiga—ada laut di dalam wilayah teritorial NKRI, dengan karaktermedan yang tidak bisa dipersamakan dengan selat atau sungai, baik secara teknis maupun hukum.
Dalam hal merancang strategi pertahanan nasional, sudah jelas akan mengacu pada kepentingan nasional, yang nuansanya tidak ekspansionistik, tidak juga ada keinginan untuk mengembangkan Angkatan Laut menjadi regional power. Singkatnya, tidak ada niat untuk melanglang buana sampai ke tujuh samudra, tidak juga ada niat untuk menyiapkan long distance naval operations, yang mencapai bagian timur Samudera India, atau ke bagian timur Samudera Pasifik, atau sampai ke bagian utara Pasifik. Bagi Indonesia, kepentingannya adalah TNI Angkatan Laut mampu mengamankan kepentingan nasional dan jangkauan naval presence yang sangat diinginkan adalah mampu hadir di seluruh perairan Nusantara pada segala musim.
Sepertinya, koridor geopolitik telah menyederhanakan rancang bangun postur TNI Angkatan Laut, akan tetapi situasi di lapangan memberikan masukan yang sangat kompleks. Physical conformity memberikan masukan bahwa kedudukan pada jalan silang dunia, mengakibatkan ada implikasi yang harus diatasi. Yaitu pengamanan ketiga ALKI oleh karena akan hadir kepentingan luar dan sudah pasti akan diproteksi oleh kekuatan laut yang lebih superior daripada kekuatan laut nasional.
Adalah tugas Angkatan Laut masing-masing pihak untuk melindungi kepentingan nasional dimana saja, termasuk sewaktu melintasi ketiga ALKI. Tugas pokoknya adalah melindungi dari berbagai ancaman seperti sea piracy, armed robbery dan maritime terrorism dan tentunya kemampuan bertempur mereka sudah dirancang memiliki precision engagement. Sadar atau tidak, kekuatan tersebut juga sudah dirancang untuk memiliki kemampuan dominant maneuver di mana pun mereka berada. Skenario tersebut akan berlangsung sepanjang tahun dan sudah jelas perlu memperhatikan seberapa jauh perimbangan kekuatan yang berlaku.
Physical conformity juga menyadarkan kepada Indonesia, bahwa pengamanan perbatasan laut perlu mendapatkan perhatian yang serius. Ada sepuluh perbatasan di laut dan konon di sana ada sejumlah masalah, antara lain Areas of Overlapping Claims to Maritime Jurisdiction.[iii] Penanganan konflik perbatasan dan klaim teritorial barangkali sudah tidak popular menggunakan moda perang laut yang klasik, akan tetapi penggunaan unsur kekuatan laut masih akan sangat sering dihadapi.
Modanya adalah humiliation (kasus Ambalat) dan surgical operations (kasus Bawean) yang sangat intens digunakan oleh pihak-pihak tertentu. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa intelijen militer Indonesia agak kerepotan, akan tetapi kasus atau insiden tersebut (sepertinya) didiamkan saja atau barangkali dicuekin. Besar kemungkinannya, mereka tidak tahu harus diapakan, oleh karena tidak ada sesuatu untuk berbuat sesuatu.
3. Pembangunan Kekuatan
Setiap alumnus Seskoal pasti akrab dengan teori Lloyd-Lorenzini mengenai force planning. Diagramnya adalah sebagai berikut;
Diagram tersebut, sudah sangat membantu bagi perencana strategi untuk merancang postur (force structure, capability, deployment). Esensi materi yang terkandung pada setiap kotak, mulai dengan kepentingan nasional sampai pada tersedianya kekuatan, nyatanya masih sangat relevan sampai sekarang. Arahannya ialah—diskusikan setiap kotak secara kritis. Dari sudut pandang penulis, ada tiga bagian yang perlu dikaji dengan lebih kritis lagi, yaitu mengenai; (i) threats, (ii) assessment, deficiency and risk, dan (iii) allies, friendly nations, international institutions.
Di kampus atau di seminar dan sebagainya, sangatlah mudah dan lancar untuk merumuskan spektrum ancaman. Akan tetapi berbeda dengan di alam nyata, di sanaada birokrasi, ada otoritas sipil, ada pula pressure group, belum terhitung faktor x, y, z, maka formulasi sosok ancaman, bukanlah perkara yang mudah. Mengapa demikian? Diagram Lloyd secara tegas menjelaskan bahwa formulasi ancaman akan turun dari kepentingan nasional, dan bukan dari kepentingan pihak atau golongan tertentu.
Di kampus atau di seminar, sudah pasti tidak kekurangan pakar untuk mendisuksi assessment—deficiency—risk, akan tetapi outcome-nya tidak akan jernih apabila harus memperhatikan masukan atau ‘titipan’ dari berbagai pihak. Sudah pasti hasilnya akan sangat bias. Mengenai allies—friendly nations—international institutes, masukan tersebut perlu diindahkan oleh karena strategi tidak bekerja di alam yang vakum. Ada kekuatan nyata dengan dukungan teknologi maju, mereka berada di sekeliling Nusantara, malahan lalu lalang di tiga alur kepulauan yang berlangsung sepanjang tahun dan juga pernah masuk dengan ’baju’ disaster relief.
Belakangan, teori Lloyd—Lorenzini tersebut di tinjau oleh DR. Liotta (2006) dan keluarannya memperlihatkan bahwa ada penambahan pada kolom kanan (allies, friendly nations, international institutes) dengan satu kata yaitu non-state actor. Nampaknya, Liotta ingin memberikan masukan bahwa kehadiran non-state actor perlu dicermati.
Ada contoh kasus yaitu pada perang Libanon (Juli 2006) terbukti bahwa Hizbullah, mampu berperang melawan satu negara termodern dan sangat terlatih, dan skornya adalah sejumlah kerusakan (damage) terjadi pada tiga matra di pihak Israel. Ada juga contoh di Srilanka, separatis Tamil Eelam ternyata mampu memiliki kekuatan udara dan laut (sekalipun dengan teknologi seadanya) dan telah pula menimbulkan kerusakan pada pihak pemerintah.
Pembangunan kekuatan akan berbenturan dengan biaya tinggi dan hal tersebut sangat dimaklumi oleh semua pihak. Belajar dari negara maju, mereka sudah mengembangkan berbagai kiat, salah satunya adalah revolution in military affairs (RMA). Intinya akan berkaitan dengan tiga aspek, yaitu teknologi, manajemen operasional, dan doktrin.
Ketiga aspek tersebut akan diotak-atik sehingga menghasilkan keluaran yang dapat meningkatkan kinerja satops agar optimal, efektif dan ekonomik. Benar diskusinya akan berawal dengan kebutuhan teknologi alut sista, yang memang semakin mahal dan banyak persyaratan (politik) untuk pengadaannya. Tinjauan terhadap aspek teknologi yang diinginkan, sudah jelas akan bertemu dengan berbagai pilihan pula.
Pada situasi yang tidak bisa dihindari (given), maka teknologi akan bersifat konstanta sehingga peluang yang akan didiskusikan, lebih difokuskan pada dua aspek lainnya yaitu manajemen operasional dan doktrin. Mapping pertemuan berbagai aspek tersebut, dapat diterakan dalam bentuk matrik sebagai berikut;
Dengan anggaran yang terbatas, pilihan akan mempertanyakan aspek apa yang akan diprioritaskan, apakah teknologi untuk keperluan sensing atau fire power, atau yang mana. Apabila dana tidak memadai, maka diskusi akan fokus pada dua aspek lainnya untuk meningkatkan kinerja keempat komponen dasar. Misalnya saja—manajemen operasional electronic warfare, apakah perlu di bawah satu atap agar kinerja lebih optimal, efektif, dan ekonomik. Contoh lainnya—doktrin seperti apa yang diperlukan untuk mendongkrak kinerja inteljen agar lebih tajam (terpercaya), apakah tetap tertutup dengan mengandalkan kemampuan ’orang dalam’ atau, bongkar doktrinnya agar ada peluang untuk memanfaatkan outsource.
Pembangunan kekuatan tentunya masih perlu berkiblat pada tiga fungsi universal yaitu military, constabulary, dan diplomatic mission. Dengan demikian, pilihan komponen dasar yang akan disiapkan, sudah jelas akan terkait ketiga fungsi tersebut. Misalnya saja—untuk melaksanakan fungsi diplomatik, pilihan kapal kecil sudah pasti merupakan opsi yang sudah sangat terpaksa. Idealnya, kapal kapal besar yang layak melaksanakan pameran bendera, tetapi harga dan biaya perawatan kapal-kapal tersebut sudah jelas cukup besar.
Lalu bagaimana dengan peran kapal-kapal kecil, yang harganya relatif murah dan operasional cost juga relatif rendah? Aset tersebut dapat mengemban ada dua fungsi lainnya yaitu military dan constabulary. Persoalannya akan berkisar pada mobility dan fire power, seperti apa yang dapat dibawa oleh platform kecil, dan yang mempunyai efek deterrence.[iv] Kedua fungsi tersebut akan dapat dilaksanakan secara efektif dan ekonomik, apabila unsur sensing dan C4ISR dapat menunjang secara memadai.
Salah satu pengetahuan militer yang berkembang sekarang ini adalah mengenai capability-based planning, yang mengenyampingkan threat-based planning. Indonesia sudah mengadopsi konsep tersebut yang dikukuhkan dengan Peraturan Presiden RI No.7Tahun2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Intinya adalah membangun kemampuan militer agar lebih efektif menangani berbagai bentuk ancaman. Penggarisan tersebut telah mengarahkan, agar Departemen Pertahanan menyiapkan (sejumlah) varian kemampuan pertahanan yang diperlukan pada masa mendatang dan penjabarannya tertuang dalam berbagai fungsi.
Misalnya saja, dalam fungsi defense diplomacy, kemampuan apa saja yang perlu dibangun, atau misalnya dalam peperangan eletronik—varian kemampuan apa saja yang perlu diprioritaskan, agar disiapkan secara cermat dan reliable. Pengarahan tersebut akan mempengaruhi desain postur yang akan dikembangkan, yang harus mampu menjawab tantangan di masa depan. Apabila kajian dari Kanada mengatakan bahwa insurjensi sekarang ini telah menjelma menjadi peperangan generasi keempat,[v] maka postur TNI Angkatan Laut harus memiliki satu varian kemampuan yaitu counterinsurgency yang berpola peperangan generasi keempat.
Order of battle TNI Angkatan Laut masih menggunakan SSAT, artinya postur yang dirancang untuk 5-10 tahun mendatang perlu mengacu pada OOB yang berlaku, kecuali kajian RMA akan menentukan perubahan OOB. Selengkapnya—secara deskriptif, desain postur akan memperhatikan beberapa hal, yaitu; (i) optimalisasi OOB yang berlaku dan diperkirakan masih efektif digunakan pada masa mendatang, (ii) bertumpu pada kekuatan nyata yang eksis ditambah dengan sejumlah aset (alutsista) yang sudah diprogram dalam kurun waktu sepuluh tahun mendatang, (iii) merupakan tatanan kemampuan yang andal untuk mendukung fungsi, (iv) berorientasi pada effect based approach yang mengacu pada assessment, deficiency and risk.
Sepertinya, kerangka bangunan strukturnya tidak lagi menjadi penting, tetapi tatanan kemampuan yang andal, efektif, dan siap menjawab tantangan di masa depan yang menjadi ukuran utama. Di panggung kerjasama kawasan Asia Tenggara, tidak ada pihak yang akan mempersoalkan apakah angkatan biru, hijau, coklat, atau abu-abu, yang penting adalah ukuran kemampuannya. Memang benar, bahwa bicara tentang postur akan menyentuh struktur, kemampuan dan pagelarannya, tetapi era ke depan akan lebih menyoroti aspek kemampuan dan pagelarannya.
4. Penutup
Aspek geografik, posisi dan physical confirmity wilayah Indonesia, sudah mempunyai keunikan yang tidak ada duanya. Implikasinya—Indonesia perlu mencari format, model, maupun konsep pertahanan yang spesifik dan barangkali juga unik, tetapi yang pas dengan kondisi habitatnya. Ada model blue water navy, ada pula green, brown, konon ada pula istilah coastal atau littoral navy, kesemuanya belum tentu pas dengan kondisi geografi dan core values bangsa Indonesia.
Konsepsinya adalah harus mampu mengantisipasi peperangan pada masa depan yang akan berlangsung singkat, sangat menghancurkan dan cenderung asimetrik. Bisa saja satu pihak mengklaim bahwa kami mempunyai green water navy, akan tetapi pada kenyataannya tidak memiliki kemampuan untuk digelar, dalam rangka menghadapi semua bentuk peperangan di masa mendatang. Sebaliknya—akan berbeda situasinya dengan pihak yang mengklaim sebagai coastal navy, tetapi memiliki berbagai kemampuan yang dibutuhkan untuk menghadapi peperangan di masa mendatang.
[i] AT.Mahan – “The Influence of Sea Power Upon History”, Dover Publications, Inc.New York. 1987
[ii] Capt. H. Supit: “Kerangka Acuan Pemerintah dengan fokus Pembentukan Penjaga Laut dan Pantai RepublikIndonesia”-hal 12. makalah pada seminar tentang pembentukan ISCG di Jakarta pada tgl 24 Juli 2008.
[iii] DR Robert Beckman –“Cooperative Mechanisms and Maritime Security in Areas of Overlapping Claims to Maritime Jurisdiction”.University ofWollongong.
[iv] Perlu diskusi tersendiri mengenai konsep deterrence. Baca buku Geoffrey Till : Small and Medium Navy:
[v] Thomas Hammes: ‘Insurgency: Modern Warfare Evolve to 4th Generation Warfare”, Strategic Forum No.214, April 2005, Institute for National StrategicStudiesNationalDefenseUniversity.
indonesia cukup membuat PKR yg dipersenjatai dgn yakhont dan rudal anti pesawat jarak jauh dan radar yg paling mutahir sebanyak 15 kri , itu sdh dpt melawan destroyer yg akan lebih lamban beroperasi di wilayah laut dangkal di indonesia . kombinasi PKR , kilo dan S35 sebagai cover perlindungan armada akan membuat taring tni al jadi sangat tajam.