Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Mengacu pada paradigma Lloyd, pembangunan kekuatan militer senantiasa dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal.[i] Salah satu faktor eksternal itu adalah kebijakan luar negeri, yang mempunyai kaitan dengan geopolitik keamanan kawasan dan konstelasi penguasaan dan pengendalian teknologi pertahanan dunia. Peran kebijakan luar negeri untuk sukses tidaknya pembangunan kekuatan cukup signifikan, terlebih lagi dalam dunia yang semakin interdependen antara satu negara dengan negara lainnya.
Tercapai tidaknya Postur TNI Angkatan Laut 2010-2029 nantinya, akan dipengaruhi pula oleh kebijakan luar negeri. Seperti digambarkan dalam paradigma Lloyd, komponen dari kebijakan luar negeri mencakup sekutu, negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga internasional. Ketiga komponen itu akan terkait pula dengan aspek teknologi, yang juga terdapat dalam paradigma Lloyd. Tulisan ini akan membahas tentang peran kebijakan luar negeri dalam rangka mendukung tercapainya pembangunan postur TNI Angkatan Laut.
2. Geopolitik Kawasan
Konstelasi geopolitik kawasan Asia Pasifik mengalami perkembangan baru dalam tiga tahun terakhir, dengan peran Amerika Serikat yang tetap dominan. Dalam rangka melakukan engagement terhadap Cina, pemerintahan George W. Bush membuat sebuah ikatan keamanan baru yang dikenal sebagai quadrilateral security partnership. Ikatan itu beranggotakan empat negara demokrasi utama di kawasan, yaitu Amerika Serikat, Australia, India dan Jepang. Adakemungkinan quadrilateral security partnership akan diinstitusionalkan apabila John McCain selaku kandidat Presiden dari Partai Republik memenangkan pemilu Presiden pada November 2008.[ii]
Salah satu bukti konkret dari quadrilateral security partnership adalah MALABAR Exercise 07-1 dan 07-2 yang diikuti oleh keempat negara plus Singapura. Meskipun tidak secara gamblang dinyatakan siapa sasaran yang ingin dituju dari latihan militer itu, namun dengan melihat lokasi latihan, skenario latihan dan siapa saja yang terlibat, sulit menghindarkan kesan bahwa manuver itu merupakan sinyal yang ditujukan kepada Cina. Di samping latihan militer multilateral, masing-masing negara yang tergabung dalam ikatan itu juga mempunyai sejumlah latihan militer bilateral dengan Amerika Serikat.
Semakin menguatnya quadrilateral security partnership akan mengarah pada terciptanya kekuatan-kekuatan kawasan yang saling bersaing untuk kepentingannya masing-masing. Selain memperhatikan dengan seksama kebangkitan Cina di segala bidang, Amerika Serikat juga dituntut untuk mengikuti kebangkitan kembali Rusia. Secara politik, keberhasilan Amerika Serikat membentuk quadrilateral security partnership merupakan kemajuan baginya untuk menghimpun kekuatan-kekuatan kawasan guna membendung manuver politik Cina dan Rusia di kawasan Asia Pasifik.
Dengan adanya quadrilateral security partnership, dari perspektif strategi maritim berarti Amerika Serikat telah berhasil secara politik mengendalikan SLOC yang terbentang dari Samudera India hingga Laut Jepang. Artinya upaya untuk membendung Cina akan lebih mudah, terlebih lagi Cina mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap laut. Dari tahun ke tahun, Amerika Serikat terus mengikuti dengan seksama pembangunan kekuatan militer Cina, khususnya pada kekuatan laut dan udara yang mempunyai potensi untuk diproyeksikan ke kawasan.[iii]
Sementara Rusia sejak Agustus 2007 kembali menunjukkan kekuatan militernya dengan menggelar lagi patroli pembom strategis Angkatan Udaranya ke kawasan Samudera Atlantik, Samudera Pasifik dan Laut Artik. Di kawasan Asia Pasifik, patroli strategis Angkatan Udara Rusia telah mencapai ruang udara di sekitar Pulau Guam yang merupakan pangkalan kekuatan laut Amerika Serikat. Di samping itu, kapal-kapal perang armada Rusia juga kembali menunjukkan kehadirannya di perairan-perairan internasional.
Salah satu tempat strategis di Asia Pasifik yang menjadi perebutan pengaruh kekuatan-kekuatan besar adalah Asia Tenggara, karena di sini terdapat sejumlah selat strategis dan chokepoints. Meskipun secara de facto Asia Tenggara berada di bawah pengaruh Amerika Serikat, akan tetapi Cina dan Rusia berupaya menanamkan pengaruhnya di sini lewat sektor ekonomi dan militer (penjualan senjata). Dalam 10 tahun terakhir, penetrasi kedua negara ke Asia Tenggara melalui kedua sektor terus mengalami peningkatan.[iv]
Dari konstelasi geopolitik kawasan tergambar bahwa terjadi persaingan politik dan keamanan antara Amerika Serikat dan sekutunya dengan Cina dan Rusia. Cina dan Rusia tidak dapat dikatakan sepenuhnya berada pada kubu yang sama, namun dalam banyak hal keduanya mempunyai posisi yang sama menghadapi manuver politik Amerika Serikat di kawasan. Hubungan Rusia-Cina juga mempunyai nilai khusus, sebab selain keduanya merupakan pilar dalam Shanghai Cooperation Organization (SCO) guna membendung penetrasi Amerika Serikat di Eurasia, Rusia juga merupakan pemasok utama alutsista bagi pembangunan kekuatan militer Cina.
Di kawasan Asia Tenggara, Rusia dan Cina juga tercatat sebagai mitra dialog ASEAN dalam ASEAN Regional Forum (ARF). ASEAN sebagai organisasi kawasan bukanlah suatu organisasi yang solid, khususnya ketika dihadapkan pada isu-isu politik yang berkaitan dengan kekuatan ekstra kawasan. Meskipun selama eksistensinya ASEAN mampu menjamin stabilitas keamanan Asia Tenggara yang ditandai dengan tidak adanya konflik militer di wilayah ini, namun masing-masing negara anggota mempunyai kecondongan politik sendiri-sendiri. Seperti diketahui, terdapat negara-negara ASEAN yang condong kepada Amerika Serikat, tetapi ada pula yang ingin menjaga jarak dengan kekuatan besar mana pun.
Akibatnya ASEAN belum mampu untuk menjaga organisasi kawasan yang mampu menata keamanan kawasan seperti halnya NATO dan Uni Eropa di Eropa atau Organization of African Union (OAU) di Afrika. Sementara Bab VIII Piagam PBB memberikan peluang kepada negara-negara kawasan di dunia untuk menata keamanan di kawasannya masing-masing. ASEAN selama 40 tahun eksistensinya hanya bergerak pada aspek politik, ekonomi dan sosial budaya, namun enggan memasuki aspek keamanan.
Tidak solidnya ASEAN merupakan pintu masuk bagi kekuatan ekstra kawasan guna “menitipkan” kepentingannya di wilayah ini, sekaligus menata keamanan kawasan sesuai dengan kepentingannya. Misalnya dalam isu pengamanan Selat Malaka dan Proliferation Security Initiative (PSI). Dengan kondisi demikian, peran ASEAN dalam menata konstelasi politik dan keamanan kawasan Asia Tenggara belum terlaksana sesuai harapan sebagian pihak, karena masih ada “ketergantungan” pada aktor luar kawasan.
3. Bipolarisasi Teknologi
Multipolarisasi geopolitik kawasan dengan Amerika Serikat sebagai pemain utama ternyata tidak sebangun dalam penguasaan dan pengendalian teknologi pertahanan pada tingkat global. Pada bidang ini, yang terjadi adalah bipolarisasi kekuatan seperti halnya di masa Perang Dingin. Kubu pertama adalah Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Brazil dan juga (ada kecenderungan) India.
Sedangkan kubu kedua beranggotakan negara-negara yang cenderung bertentangan dengan Amerika Serikat, yaitu Rusia dan Cina. Meskipun demikian, terkadang ada kesamaan kepentingan antara kedua kubu yang menempatkan keduanya berada pada posisi yang sama dalam isu-isu tertentu. Misalnya dalam isu pengendalian transfer teknologi roket, meskipun Cina tidak termasuk satu dari 34 anggota Missile Technology Control Regime (MTCR), tetapi negara itu menyatakan abide dengan MTCR Guidelines and Annex.
Dari dua kubu tersebut, tercermin bahwa sebagian besar anggotanya merupakan negara-negara maju dan hanya sedikit negara-negara berkembang yang tergabung di dalamnya. Negara-negara maju meliputi Amerika Serikat, Uni Eropa dan Rusia yang dapat dikategorikan sebagai pemain utama. Adapun pemain lapis mencakup Cina, Brazil dan India, merupakan negara-negara berkembang yang mulai merambah pasar teknologi pertahanan dunia.
Bipolarisasi dalam penguasaan dan pengendalian teknologi pertahanan dilengkapi pula dengan sejumlah rezim internasional yang mereka terapkan terhadap negara konsumen. Rezim itu mencakup MTCR, The Waassenar Arragement dan The U.N. Register of Conventional Arms (UNROCA).[v] Belum lagi sejumlah kesepakatan bilateral antar negara, termasuk di dalamnya end-use control. Penerapan end-use control bukan semata terbatas pada alutsista ofensif, namun juga pada sistem pendukungnya seperti unmanned aerial vehicles (UAV).
Terciptanya bipolarisasi bagi negara-negara produsen senjata cukup menguntungkan mereka. Sebab mereka dapat menjadikan kebijakan ekspor senjata ke negara-negara konsumen sebagai bargaining power sekaligus alat penekan kepentingannya. Sementara bagi negara-negara berkembang, bipolarisasi menguntungkan sebagian pihak dan merugikan sebagian lainnya.
Negara-negara berkembang yang diuntungkan adalah mereka yang mempunyai sikap politik yang condong (belong to) kepada salah satu dari dua kubu besar tersebut. Statusnya bisa sebagai sekutu, dapat pula sebagai sahabat. Adapun negara-negara berkembang lainnya lebih sering dirugikan, karena secara sadar memilih untuk tidak condong kepada kubu mana pun. Akibatnya, mereka harus melalui jalan yang berliku untuk dapat membeli senjata dari salah satu kubu dimaksud.
Memperhatikan pembangunan kekuatan laut negara-negara di sekitar Indonesia seperti Australia, Malaysia dan Singapura, dapat ditangkap kesan bahwa pembangunan itu sepertinya lancar tanpa banyak halangan. Lancarnya pembangunan demikian tidak semata-mata didukung oleh anggaran pertahanan mereka yang lebih besar daripada Indonesia, namun lebih banyak ditunjang oleh status negara-negara itu sebagai sekutu dan sahabat Amerika Serikat. Ketiga negara merupakan anggota Five Power Defence Arrangement (FPDA) yang dipimpin Inggris dan Inggris adalah sekutu tradisional Amerika Serikat.
Dari situ dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam pengadaan alutsista, pertimbangan politik selalu mengalahkan ketersediaan anggaran. Artinya, uang bukanlah faktor utama dalam pengadaan alutsista dari negara produsen kepada negara konsumen. Diberikan tidaknya alutsista bukan karena pertimbangan seberapa besar uang yang dipunyai oleh calon konsumen, tetapi pertimbangan politik. Dengan kata lain, pencapaian pembangunan kekuatan laut ketiga negara tersebut ditentukan pula oleh kebijakan luar negeri mereka.
4. Pilihan Sulit
Dalam tahun-tahun mendatang, posisi Indonesia akan ”terjepit” oleh negara-negara quadrilateral security partnership yang dimotori Amerika Serikat. Peran quadrilateral security partnership diprediksi akan lebih diperhitungkan di kawasan Asia Pasifik dibandingkan dengan ARF. Meskipun nantinya ASEAN Security Community (mungkin) akan terwjud, namun diprediksi peran organisasi itu tidak akan maksimal karena diredam dari dalam. Artinya, keamanan Asia Tenggara akan tetap ditentukan oleh kekuatan ekstra kawasan.
Dari sudut pandang kekuatan ekstra kawasan, perairan Indonesia dan Asia Tenggara dinilai sangat strategis sehingga mereka akan menggunakan semua instrumen kekuatan nasional untuk menjamin stabilitas perairan itu. Salah satu kunci stabilitas perairan tersebut adalah keamanan maritim, dalam arti terjaminnya kebebasan bernavigasi. Apabila Indonesia tidak mampu menjamin stabilitas keamanan di perairannya, hal itu merupakan undangan untuk intervensi kepada kekuatan ekstra kawasan.
Intervensi itu selaras dengan kondisi lingkungan strategis pasca 11 September 2001, yang mana kekuatan laut negara-negara besar dalam penyebarannya lebih banyak melaksanakan peran konstabulari dan diplomasi daripada peran militer. Kalau skenario demikian terwujud, Indonesia secara politik tidak dapat berharap pada peran ASEAN, karena ASEAN selain bukan stabilitator kawasan Asia Tenggara, tidak pula sebuah organisasi yang solid. Stabilitas wilayah ini secara de facto bersandar pada kehadiran berkelanjutan kekuatan militer Amerika Serikat dan FPDA.
Untuk mencegah adanya intervensi asing di perairan Indonesia, sebaiknya dikembangkan kombinasi antara pembangunan postur TNI Angkatan Laut di satu sisi dan kebijakan luar negeri yang fleksibel sekaligus responsif di sisi lain. Kondisi saat ini yang menempatkan kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri seolah-olah berada di ranah yang berbeda sudah seharusnya diakhiri. Kesuksesan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut melalui pencapaian postur akan ditentukan pula oleh bagaimana kecondongan politik luar negeri Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana pelaksanaan gagasan kombinasi tersebut? Kebijakan luar negeri yang dikembangkan harus mampu mengakomodasi kebutuhan pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut dan sekaligus menciptakan stabilitas kawasan yang in favor of Indonesia. Indonesia harus kembali menjadi primus inter pares di ASEAN, yang salah satu wujudnya adalah mengisi ASEAN Security Community dengan agenda-agenda yang berbasis pada kepentingan nasional Indonesia. Seperti diketahui, satu dari beberapa agenda ASEAN Security Community adalah ASEAN Maritime Forum.
Terkait dengan postur, satu dari tiga elemennya adalah kekuatan. Bagi Angkatan Laut, salah satu unsur kekuatan yang harus dibangun dan dipunyai adalah kapal perang. Pengadaan kapal perang bagi TNI Angkatan Laut selama ini masih mengandalkan dari sumber asing, karena industri pertahanan nasional belum mampu mendukungnya. Berdiskusi tentang pengadaan kapal perang dari luar negeri pasti mempunyai keterkaitan kuat dengan aspek politik luar negeri. Selama ini terdapat kesan bahwa negara-negara produsen senjata bersikap hati-hati dalam menjual senjatanya kepada Indonesia, dibandingkan kepada negara-negara lain di sekitar Indonesia misalnya.
Menjadi tantangan bagi kebijakan luar negeri untuk menciptakan atmosfir yang lebih baik sehingga pembatasan senjata tidak tertulis kepada Indonesia, oleh negara-negara Barat khususnya, dapat diakhiri. Salah satu langkah yang paling realistis meskipun pahit bagi sebagian kalangan adalah Indonesia (sepertinya) perlu lebih akomodatif terhadap aspirasi politik negara-negara besar sepanjang imbal baliknya jelas dan terukur. Sudah sepantasnya status negeri ini sebagai negara terpenting di Asia Tenggara meningkat menjadi teman (friends) negara-negara besar daripada sekedar mitra (partner).
Apabila kebijakan akomodatif itu sulit untuk dilaksanakan, pilihan lainnya adalah mengandalkan pengadaan alutsista pada negara-negara produsen non Barat. Dalam hal ini adalah Rusia dan Cina, dengan catatan bahwa Indonesia sudah siap dengan resiko politik dan ekonominya. Hal itu harus menjadi sikap nasional dan bukan TNI Angkatan Laut saja. Sebab bagaimana pun, pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut adalah sebuah keharusan dan selama belum mampu menguasai teknologi alutsista, maka pilihan satu-satunya yang tersedia adalah membeli dari negara-negara lain.
Mencermati perkembangan geopolitik dunia saat ini, diprediksi bahwa hingga 2029 peran Rusia dan Cina dalam percaturan politik dunia akan terus meningkat. Rusia yang mengalami kemunduran selama dekade terakhir abad ke-20 kini telah memperoleh kembali kepercayaan diri untuk bangkit. Kemajuan ekonomi Rusia yang sebagian ditunjang oleh kinerja sektor minyak dan gas bumi berimplikasi pula pada penguatan militer Rusia. Amerika Serikat akan berupaya dengan segala cara untuk memperlambat kebangkitan Rusia, termasuk menggerogoti ekonomi Rusia sebagaimana halnya Uni Soviet di era lalu.
Begitu pula dengan Cina, yang kini mempunyai cadangan dalam dollar sebesar US$ 1.700 milyar. Cadangan sebesar itu merupakan senjata ekonomi yang dapat digunakan sewaktu-waktu bila Amerika Serikat menggunakan “cara-cara yang tidak biasa” menghadapi Cina, misalnya terlibat dalam konflik SelatTaiwan. Apabila sepertiga dari cadangan tersebut dilepas, dampaknya terhadap nilai dollar akan sangat signifikan dan berujung pada kejatuhan ekonomi Amerika Serikat.
5. Penutup
Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut merupakan bagian penting dalam upaya mengamankan kepentingan nasional. Oleh karena itu, perwujudan pembangunan kekuatan sebagaimana nantinya ditentukan dalam postur harus didukung oleh elemen-elemen kekuatan nasional lainnya, termasuk kebijakan luar negeri. Dengan berasumsi bahwa hingga 2029 industri pertahanan nasional belum akan mampu mendukung sepenuhnya kebutuhan alutsista TNI Angkatan Laut, maka paradigma Lloyd harus dipahami betul oleh Indonesia. Pemahaman terhadap paradigma itu dan penjabarannya akan menuntun wayspemenuhan kebutuhan alutsista yang masih bergantung pada pasokan asing.
[i]. Liota, P.H and Lloyd, Richmond M. “From Here to There: Strategy and Force Planning Framework”, Naval War College Review, Spring 2005, Vol.58 No.2, hal.124
[ii]. McCain, John. “An Enduring Peace Built on Freedom Securing America’s Future”, Foreign Policy Affairs, November/Desember 2007.
[iii]. Lihat Department of Defense, Military Power of the People’s Republic of China 2008.
[iv]. Sebagai salah satu indikator, perbandingkan jumlah alutsista buatan Rusia yang memperkuat Angkatan Bersenjata negara-negara Asia Tenggara antara data 1998 dengan data 2008, khususnya pada negara-negara yang secara tradisional bukan sekutu Rusia di masa Perang Dingin. Juga data naval presence armada Pasifik Rusia di kawasan ini dalam periode yang sama.
[v]. Lebih lanjut mengenai UNROCA, lihat disarmament.un.org/cab/register.html