Oleh: Umar Abubakar
LATAR BELAKANG
Karena tidak tersedianya definisi baku dari ungkapan Poros Maritim Dunia maka untuk kemudahan pembahasan diasumsikan bahwa Poros Maritim Dunia adalah jalur-jalur pelayaran berkesinambungan yang melingkari dunia sebagai sarana lalu lintas pelayaran niaga dunia yg berlangsung secara besar-besaran (world seaborne trade). Sehingga, suatu gangguan atas fungsi kesinambungan yang dimilikinya akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan perekonomian dunia.
Sebagai perairan dalam konteks domestik maka perairan Indonesia merupakan sarana pelayaran interinsuler serta sarana eksploitasi sumber daya kelautan Indonesia. Namun secara parallel juga adalah merupakan bagian dari Poros Maritim Dunia yg berkesinambungan tersebut yaitu sebagai penghubung antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia. Oleh sebab itu fokus pembahasan dalam naskah ini adalah menyangkut posisi TNI AL dalam menjalankan fungsi utamanya yaitu pengendalian laut dan proyeksi kekuatan di laut dalam rangka penegakan kedaulatan negara di laut perairan Indonesia.
Wilayah perairan Indonesia, sebagai penghubung dari Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia, bentuknya mengikuti konfigurasi kepulauan Indonesia sehingga luasnya jauh lebih sempit dibandingkan dengan luas kedua lautan tersebut. Dengan konfigurasi seperti itu maka perairan Indonesia adalah merupakan “choke point” terbesar dalam konteks kesinambungan dari Poros Maritim Dunia. Dalam situasi damai, banyak negara yang berkepentingan untuk ikut menjaga kelancaran lalu lintas laut wilayah perairan Indonesia dan pada saat yang sama sekaligus, untuk negara-negara adikuasa, mengincar untuk dapat mengendalikannya dalam situasi konflik pada tingkat tertentu kelak.
Karena, dengan mengendalikannya secara penuh, siapapun dapat menggunakannya untuk mengamankan kepentingan pelayarannya sendiri, menyetop atau memperlambat gerakan pelayaran kapal lawan dan menjadikan killing ground bagi kapal lawan yg melewatinya. Kapal yang dimaksud disini adalah kapal niaga maupun kapal perang.
POSISI TNI-AL SEKARANG INI
Dalam situasi sekarang ini, posisi TNI AL dalam hal menjalankan fungsi pengendalian serta proyeksi kekuatan di laut, dapat digambarkan sebagai berikut :
- Wilayah Perairan Indonesia Dalam Konteks Perairan Domestik
Fungsi pengendalian dan proyeksi kekuatan laut, demi penegakan kedaulatan negara di laut, dalam bentuk tindakan kepolisian terhadap kejahatan dilaut (pencurian ikan, pembajakan, penyeludupan, dan lainnya) dapat dilaksanakan oleh TNI AL secara bebas dan mandiri. Efektifitas fungsi belum maksimum disebabkan luasnya wilayah perairan dan terbatasnya kekuatan (utama dan pendukung) yang tersedia. Tumpang tindihnya berbagai institusi yang berhak untuk melaksanakan tindakan kepolisian baik di laut pesisir maupun di laut lepas, merupakan masalah tersendiri yang berpengaruh terhadap posisi TNI AL secara domestik.
- 2. Wilayah Perairan Indonesia Dalam Konteks Regional
Sulit untuk melakukan suatu benchmarking posisi TNI AL dalam konteks regional. Namun ada fakta aktual yg dapat dijadikan indikator posisi itu. Misalnya, dalam masalah sengketa perbatasan dengan negara-negara tetangga, eksistensi TNI AL tidak dapat mengurangi niat negara tertentu untuk mengklaim daerah yg bersifat abu-abu atau bahkan jelas-jelas masuk wilayah RI. Artinya, kemampuan pengendalian dan proyeksi kekuatan di laut yang tersedia belum memberikan efek penangkalan yang optimal.
- 3. Wilayah Perairan Indonesia Sebagai Bagian Dari Perairan Poros Maritim Dunia
Dengan diwajibkannya negara RI membuka beberapa alur pelayaran bebas di perairan Indonesia maka secara hukum Internasional otomatis TNI AL tidak dapat melaksanakan fungsi utamanya yaitu pengendalian dan proyeksi kekuatan secara penuh karena dibatasi oleh kewajiban tersebut. Demikian juga halnya istilah “wilayah perairan jurisdiksi nasional” menjadi tidak otomatis berlaku diseluruh wilayah perairan Indonesia.
Sejalan dengan hal itu, fungsi pengendalian dan proyeksi kekuatan di perairan Indonesia secara de facto bukan sepenuhnya berada ditangan TNI AL. Pada tanggal 3 Juli 2013 pesawat tempur F-16 milik TNI AU nyaris ditembak jatuh oleh pesawat tempur F-18 US Navy diatas wilayah perairan Indonesia (1). Dari perspektif kemiliteran maka insiden itu merupakan refleksi dari sejauh mana posisi TNI AL dalam hal pengendalian perairan Indonesia secara penuh. Dalam situasi status tanpa konflik pun posisi TNI AL kelihatannya bukan merupakan hambatan bagi negara tertentu untuk mengendalikan perairan Indonesia sebagai bagian dari Poros Maritim Dunia. Baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Adapun penilaian mengenai posisi TNI AL dimasa mendatang dapat diperkirakan melalui perkembangan lingkungan strategis Poros Maritim Dunia berikut.
PERKIRAAN PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
Perkembangan lingkungan strategis Poros Maritim Dunia sangat dipengaruhi oleh motif dan tindakan dari negara-negara yang mempunyai kekuatan untuk mengekspresikan niatnya secara nyata. Secara kasat mata maka dua negara yaitu Amerika dan Tiongkok memiliki motif dan potensi untuk memegang kendali atas Poros Maritim Dunia setidaknya di jalur Lautan Hindia – Perairan Indonesia – Lautan Pasifik. Oleh sebab itu anatomi dari kedua negara itu patut diamati dengan singkat dan seksama.
Amerika Penganut Teori Mahan Yang Konsisten
Dalam ungkapan sederhana Mahan berteori bahwa siapa yang menguasai laut maka dia akan menguasai dunia. AS (Amerika Serikat) mengadopsi secara konsisten akan teori tersebut. AS telah membangun suatu kumpulan armada kekuatan laut terbesar didunia yang didukung oleh pangkalan-pangkalan yang tersebar diberbagai posisi strategis diseluruh dunia. Semua itu dipergunakan untuk tujuan pengendalian dan proyeksi kekuatan laut Poros Maritim Dunia dalam rangka mengamankan kepentingan mereka di laut yang pada ujungnya adalah demi keberlangsungan hidup dan kemajuan (survival and growth) dari negara itu.
Peta wilayah tanggung jawab dari masing-masing Armada AS (2)
(F – singkatan dari Fleet)
Untuk jalur perairan Lautan Hindia – Perairan Indonesia – Lautan Pasifik dibangun Armada ke 7 serta mata rantai pangkalan pendukungnya mulai dari Korea Selatan, Jepang, Guam, Singapura, Darwin, Diego Garcia, Bahrain, Djibouti, Bahrain, Kuwait belum terhitung pangkalan militer matra lainnya yg berada di dalam atau di luar negara-negara sekitarnya (3). Patut dicatat, dibatas-batas perairan laut Indonesia terdapat 3 pangkalan atau siap menjadi pangkalan di posisi Singapore, Guam dan Darwin.
Selama berpuluh-puluh tahun peran sebagai pengendali Poros Maritim Dunia masih dipegang oleh AS. Sehingga dapat dimengerti ketika mengapa negara itu meradang akibat klaim Tiongkok atas laut Cina Selatan mulai mengancam posisinya itu.
Tiongkok Sebagai Kekuatan Superpower Baru
Tiongkok menyadari bahwa dgn populasi jumlah penduduk yang sedemikian besar ( 1, 35 milyar -2013) dengan kondisi geografis dan sumber daya alamnya yang ada tidak cukup dengan melakukan kebijaksanaan “inward looking” selamanya. Kepadatan penduduk yang mengelompok ke arah pantai (lihat peta diatas) mengindikasikan bahwa wilayah hinterland kurang efektif untuk dieksplotasi. Padahal, semakin tahun jumlah penduduknya semakin bertambah secara signifikan.
Sekarang ini, melalui suatu pemerintahan yang efektif bangsa tersebut berhasil mereformasi dirinya sehingga menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi kelas dunia. Kebijaksanaan “outward looking”pun mulai diadopsi. Tiongkok punya ambisi yang sama dengan AS yaitu ingin memegang kendali atas Poros Maritim Dunia demi survival and growth dari negara itu sendiri ( implisit – (4) ). Keingingan itu mulai tergambar sejalan dengan pengalaman investasi besar-besaran di benua Afrika. Investasi yang sedemikian besar itu, secara logika, membutuhkan suatu sistem proteksi tertentu. Oleh sebab itu Tiongkok mengharapkan adanya pangkalan militer disana. Ternyata tidak satupun dari negara-negara di Afrika yang menghendaki kehadiran militer Tiongkok di wilayahnya. Kecuali di Djibouti, di tanduk Afrika yg berjarak lebih dari 4800 mil dari Beijing (5). Kondisi seperti ini tentu tidak menguntungkan karena Tiongkok telah melakukan investasi secara besar-besaran dengan melibatkan lebih dari 2000 perusahaan di 43 negara Afrika (6). Oleh karena itu setidaknya Tiongkok berkepentingan untuk membangun akses yang bebas ke Afrika untuk menjamin kepentingan mereka disana.
Konflik Laut Cina Selatan adalah indikasi dari perebutan kendali antara AS dan Tiongkok atas laut tersebut sebagai penggalan dari Poros Maritim Dunia dan sekaligus merupakan tahapan awal akses bagi Tiongkok untuk menjamin kepentingan mereka di Afrika. Sekarang ini, AS dan Tiongkok telah memasuki situasi konflik dalam kategori Show of Force. Pada bulan Mei 2015 sebuah pesawat mata-mata AS terbang dekat Fiery Cross Reef di kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan dimana Tiongkok sedang membangun landasan udara disana. Menhan AS, Ash Carter meminta segera kegiatan tersebut segera dihentikan dan menyatakan bahwa AS akan menerbangi, melayari dan beroperasi dimanapun hukum internasional berlaku. Di bulan Oktober sebuah kapal perang AS mendekati gugusan karang di Spratly yang mendapat reaksi keras dari Beijing yang mengatakan bahwa itu adalah tindakan illegal dan merupakan ancaman bagi keamanan Tiongkok (7).
Arah kelanjutan konflik tersebut belum diketahui, apakah akan mereda atau akan terjadi peningkatan konflik dalam bentuk penggunaan kekuatan . (Lihat model spektrum konflik dibawah ini)
Sebelumnya secara mengejutkan, di bulan November 2014 Xi Jinping membuat pernyatan rencana untuk membangun proyek New Silk Road untuk jalur kawasan darat dan Maritime Silk Road untuk jalur kawasan laut yang menghubungkan Tiongkok dengan Eropah serta mengalokasikan dana sebesar 40 milyar USD untuk merealisasikan maksud itu. Proyek itu pertama kali ditawarkan kepada Indonesia pada waktu Xi Jinping berpidato di DPR RI dalam bulan Oktober 2013 (8).
Peta Silk Route (9)
Warna Biru: Maritime Silk Road
Warna Merah: New Silk Road
Tujuan proyek ini adalah untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang kesejahteraan diantara sesama anggota yang lokasinya berada dalam jalur Silk Road tersebut. Misalnya disebutkan peningkatan kerjasama dalam bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, perlindungan lingkungan, pertukaran pelajar dan sebagainya (10).
Daftar peserta Maritime Silk Road yg telah bergabung dalam proyek ini masih simpang siur namun dikabarkan bahwa Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Seychelles dan Djibouti adalah termasuk dalam daftar itu Banyak kalangan mempertanyakan motif dari inisiatif ini, apakah insiatif ini murni bertujuan perkembangan ekonomi atau secara implisit mengandung motif strategi militer. Apakah murni akan membangun mata rantai mutiara kesejahteraan bagi negara-negara peserta yang pada gilirannya akan menjadi mata rantai pangkalan militer untuk mengendalikan bagian dari Poros Maritim Dunia. Pertanyaan muncul karena Djibouti termasuk dalam rangkaian itu dan dalam waktu yang sama memberikan ijin kepada Tiongkok untuk membangun pangkalan militernya disana. Dengan catatan bahwa pangkalan militer Amerika sudah ada disana sebelumnya. Sehingga muncul kekhawatiran bahwa negara-negara dalam rangkaian itu bisa saja kelak berubah menjadi tempat pangkalan militer bagi Tiongkok (11). Kondisi dan situasi inilah yang membuat Amerika semakin meradang sehingga situasi konflik di Laut Cina Selatan kiranya sulit untuk mereda.
POSISI TNI AL DIMASA MENDATANG
Sesuai Perkiraan Lingkungan Strategis
Posisi TNI AL sesuai dengan perkiraan kecenderungan lingkungan strategis diatas sengat tergantung dari sikap Pemerintah Indonesia. Jika pemerintah tidak berpihak kepada Amerika dalam konflik itu mungkin Indonesia akan termasuk dalam daftar “penghambat” dalam usaha mereka untuk mengendalikan Poros Maritim Dunia. Akibatnya, dalam konteks penegakan kedaulatan negara dilaut, berita tentang “nyaris ditembak jatuhnya” pesawat tempur F-16 TNI AU seperti uraian diatas dapat berubah menjadi berita “tertembak jatuhnya” pesawatnya pesawat tempur F-16 TNI AU oleh pesawat tempur F-18 dari US Navy diwilayah perairan Indonesia. Artinya, posisi TNI-AL yang semula masih dianggap netral berubah menjadi ancaman bagi Amerika dengan berbagai konsekuensinya.
Sedangkan dalam penegakan kedaulatan negara dilaut dalam konteks domestik mungkin tidak lebih baik dari posisi sekarang ini bahkan mungkin menjadi lebih buruk.
Untuk menghadapi situasi demikian yang dapat dilakukan TNI AL, tentunya dengan persetujuan pemerintah, adalah meningkatkan intensitas pembangunan kekuatannya. Setidaknya untuk dapat menaikkan posisi TNI AL dilingkungan regional.
Cyberwarfare sebagai Kuda Liar Baru
Perkembangan cyberwarfare dewasa ini mulai terungkap secara perlahan-lahan tapi pasti. Banyak pandangan bahwa perang masa depan adalah perang cyber (12). Keberadaan cyberwarfare diramalkan akan banyak mempengaruhi konsep dan pelaksanaan perang tradisional. Definisi perang yang mengatakan bahwa perang adalah usaha memaksakan kehendak melalui kekerasan mungkin akan dapat berubah. Karena melalui cyber attacks dimana dapat dilaksanakan tanpa penggunaan kekerasan, pemaksaan kehendak juga dapat dilakukan. Dan bukan tidak mungkin survivalibilitas suatu negara kelak akan tergantung dari kemampuan cyberware dari negara yang bersangkutan.
Dalam kondisi seperti perkiraan strategis diatas maka pembangunan kekuatan TNI AL kiranya intensitas yang sama diterapkan pula pada pembangunan kemampuan cyberwarfare. Mengingat cukup tersedianya potensi yang tinggi sumber daya manusia Indonesia sebagai sarana utama untuk membangun kemampuan yang dimaksud.
KESIMPULAN
Wilayah perairan Indonesia mempunyai status ganda yaitu merupakan perairan domestik yang sekaligus menjadi bagian dari mata rantai dari perairan Poros Maritim dunia yang berkesinambungan.
Dalam situasi kondisi konteks perairan domestic, posisi TNI AL dalam menjalankan fungsi utamanya penegakan kedaulatan negara di laut melalui pengendalian dan proyeksi kekuatan di laut sepenuhnya berada dalam kendali TNI AL sendiri. Walaupun dengan posisi seperti itu TNI AL belum dapat menghambat akan munculnya potensi konflik perbatasan di lingkup regional.
Walaupun secara de jure TNI AL memilik hak pengendalian mutlak terhadap wilayah perairan Indonesia namun secara de facto posisi pengendalian itu tidak sepenuhnya dibawah kendali TNI AL . Sewaktu-waktu fungsi pengendalian dan proyeksi kekuatan dilaut, baik sementara maupun dalam kurun waktu tertentu dapat diambil alih oleh dua negara besar yang sedang berseteru untuk mengendalikan wilayah perairan Indonesia sebagai penggalan dari wilayah perairan Poros Maritim Dunia
Dalam situasi konflik yang berlangsung antara AS dan Tiongkok untuk mengendalikan Poros Maritim Dunia maka , sesuai posisinya, yang dapat dilakukan TNI AL adalah meningkatkan intensitas pembangunan kekuatan secara konsisten. Pembangunan kekuatan itu, yang mencakup secara serius pembangunan kekuatan cyberwarfare, setidaknya untuk dapat menaikkan posisi TNI AL dalam lingkup regional.
Referensi :
(2) https://en.wikipedia.org/wiki/Structure_of_the_United_States_Navy
(3) https://en.wikipedia.org/wiki/List_of_United_States_military_bases#Overseas_3
(4) http://eng.mod.gov.cn/Database/WhitePapers/
(5) http://www.nytimes.com/2015/11/27/world/asia/china-military-presence-djibouti-africa.html
(8) https://en.wikipedia.org/wiki/Maritime_Silk_Road
(9) http://demrepubnepal.blogspot.co.id/2015/10/china-and-indian-ocean.html
(11) http://thediplomat.com/2015/12/is-chinas-maritime-silk-road-a-military-strategy/
(12) https://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/monograph_reports/MR880/MR880.ch2.pdf
![]() |
|
![]() |