Oleh : Budiman Djoko Said *
Today, Korea is the only place in the world where 35 million people live within the range and threat of enemy artillery. Without almost no notice, two million soldiers could be locked in combat.
—General Thomas, A.Schwartz, C-in-C, Combined Forces Command, 1999-2002
Pendahuluan
Pak Schwartz benar, semenanjung Korea tidak pernah dingin, bahkan laiknya perang dingin jilid II. Cerita negeri ini tidak habis-habisnya, mulai dari menghajar sanak-saudaranya di Korea Selatan dengan dentuman Artileri ke pulau terdepan, serangan torpedo ke kapal Angkatan Laut Korea selatan (ROKS Choenan), dan menyusupnya pasukan Komando ke wilayah selatan. Bagaimana bisa ketemu sun shine policy (Korea Selatan) versus military’s first policy (Korea Utara)?
Semenanjung ini memiliki geopolitik, ekonomi, dan militer dengan indikasi [1] lima kekuatan militer terbesar (utamanya darat) yakni China, Rusia, Amerika, Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) sendiri, dan [2] lintas neraca perdagangan terbesar bagi China, Jepang, Korea, Taiwan dan Singapura, serta [3] lima negara kapabel nuklir terbesar[1] yakni Rusia, China, Jepang, AS dan Korut. Lengkap sudah sebutan sebagai sebagai zona terpanas didunia dan kata kuncinya cuma satu, yakni stabilitas Semenanjung.
Negara-negara diperimeter Semenanjung semuanya memilih mengejar kebahagiaan hidup dan perdamaian melalui pertumbuhan ekonominya, kecuali Korut yang mengalami ekonomi negatif diakhir tahun 1990. Bahkan hampir delapan tahun berikut mengalami kekurangan pangan akibat musim yang kurang baik.[2]
Anehnya, membaiknya pertumbuhan ekonomi Korut dengan jumlah penduduk sekitar 40 jutaan justru memprioritaskan militernya[3] dan menduduki urutan kelima kekuatan darat terbesar di dunia yang mampu dan siap digerakkan baik diam-diam (melalui terowongan atau kapal selam mini) sampai yang terbuka ke Korsel. Ambisi tampil di bidang militer semakin ekspansif dan explosif dengan pameran kekuatan dan peluncuran persenjataan rudal balistik maupun manuvra provokasi yang terang-terangan kepada Korsel, Jepang dan AS. Obyektif makalah ini (bukan maksud dan tujuan) mencoba memahami sedikit apa yang dilakukan Korut dengan berbagai keputusan yang telah dilakukan selama ini.
China Dan Pengaruhnya
China sebagai negara terbesar dan tetangga terdekat terlibat dalam studi pengaruh mengingat posisi relatif geostrategik terhadap Korut disamping proliferasi (baca penyebaran senjata) Korut adalah satu dari dua masalah yang berbahaya di semenanjung ini, yang melibatkan banyak isu kompleks a.l: legasi pembagian perang dingin, nasionalisme di Asia timur laut, rivalitas kepemimpinan Sino-AS dan proliferasi senjata pemusnah masal/SPM (weapons of mass destruction/WMD) dan terakhir adalah isu tragedi humaniter.[4]
Sesi ini membahas bagaimana hubungan Sino-Korut berbasis kepentingan China dan sebagai awal gambaran periksa peta situasi (gambar no.1) di Asia Timur laut di bawah ini.
Gambar 1. Gambar situasi Korea dan negara tetangga.
Referensi: Park, Ki-tae , Hal. Xvii[5]
Memahami intensi China dengan keterbatasannya dan bagaimana Beijing berinteraksi dengan kekuatan regional, internasional dan negosiasi dengan Korut akan mudah mengapresiasinya.[6] Kepentingan nasional China, tersirat dalam hubungan Sino-Korut seperti [1] memanfaatkan geostrategik Korut sebagai jalur pendekat invasi ke Jepang dan [2] ketakutan Beijing tentang isu reunifikasi akan memastikan AS menempatkan militer di Utara dan berhadapan dengan China langsung.[7] [3] Ketakutan Beijing akan migrasi penduduk Korut yang mencari suaka ke China (isu ekonomi dan makanan), menambah panasnya iklim di Semenanjung dan pertumbuhan ekonomi negatif Korut.
Beijing kegerahan mencermati potensi insekuriti, instabilitas dan konflik skala rendah yang terjadi sepanjang perbatasan China dan Korut (khususnya propinsi Jilian dan Liaoning). [4] Sepertinya China sudah tidak menghendaki lagi ada negara nuklir lain di Semenanjung ini. Setiap proliferasi nuklir di zona panas ini menambah problem keamanan China[8] dan tumpah-ruah proliferasi nuklir di Semenanjung ini justru merangsang (atau menguntungkan?,pen) cepat lambat program formalisasi nuklir (pembatasan) Jepang.
Uji rudal Korut yang mulai aktif tahun 2002 dan belakangan ini serta mengabaikan negara-negara di Semenanjung ini, memperkuat aliansi AS, Korsel dan Jepang yang membangun sistem pertahanan anti-rudal balistik Korut yang lebih kompleks. Rata-rata biaya yang dikeluarkan AS untuk membantu Korsel melapis pertahanan anti Rudal sudah mencapai kl US$10 miliar[9] dan hampir pasti lebih banyak lagi dollar yang dikeluarkan apabila pelaksanaan keluarga “penangkalan” gagal atau mendekati gagal.
Meski China menolak nuklirisasi di Semenanjung Korea, tapi hubungan Sino-Korut nampak aneh dengan dua (2) krisis yang pernah ada. Krisis pertama di tahun 1993,[10] dimana China jelas-jelas menolak pemberian sanksi PBB kepada Korut berkenaan dengan pembangunan reaktor nuklir Korut — China lebih menganjurkan dialok dan konsultasi diplomasi. Anehnya, China di tahun itu melakukan uji nuklir bawah tanah meski banyak ditentang negara lain —Pyongyang semakin berani melakukan uji nuklir. Keluarnya Korut dari NPT (nuclear proliferation treaty) di tahun 2003 merangsang peluang meningkatkan aksi militer AS ke Korut seiring meningkatnya peluang serangan “preemptive” kepada regim Korut.[11] Krisis kedua yang ditandai dengan uji nuklir Korut kembali ditahun 2003. Berlawanan dengan teori “ancaman China”, Beijing kali ini mendemonstrasikan sebagai negeri cinta damai dan mengharapkan harmonisasi dengan negara lain, bahkan ditandai pelibatan aktif dalam pertemuan enam negara (SPT/Six Parties Talks) — agenda yang dikejar dalam rangka perbaikan hubungan dengan AS.[12]
Hubungan yang cukup aneh, diawali memburuknya hubungan Sino-Korut akibat buruknya (keputusan) Deng dan Kim Il-Sung ditahun 1980an. Kontras dengan China yang kemudian hari melesat sebagai negara raksasa ekonomi, sebaliknya Korut semakin terpuruk ekonominya membuat ikatan budaya tradisional Sino-Korut sebagai “kakak-adik” berakhir. Faktor ke luar sekaligus satu-satunya pengikat adalah sentimen “ anti Jepang dan anti AS “[13]— China dan Korut berpandangan sama bahwa AS adalah perintang pencapaian obyektif kepentingan nasional kedua negara itu.
Apapun perubahan status “kakak-adik” kesamaan persepsi internal maupun external tetap mengokohkan hubungan mereka berdua. Mengulang kembali konsep hubungan (norma) spektrum kebijakan, kepentingan nasional dan “penangkalan” dapat digambarkan dalam diagram no.1 di bawah ini.[14]
Diagram no.1. Spektrum kepentingan dan perangkat kebijaka
Hint: Perhatikan disisi kiri diagram adalah bentangan keputusan nasional yang lunak dan cenderung tidak (berani) berbuat apa-apa – do nothing (pokoknya selamat).Carrot barangkali dikiaskan sekedar “mencubit”, Stick mulai “menampar halus” sedangkan Sledge barangkali “menggebuk”.
China berkepentingan dengan reunifikasi Taiwan dan menjadi pemimpin perdamaian regional ataupun global. Kepentingan Korut adalah status sebagai negara nuklir dan seringnya memanfaatkan situasi yang berbahaya bagi politik luar negeri (brinkmanship) yang menguntungkan, hal terakhir ini semakin lebih meningkatkan instabilitas regional.[15]
Praktek pengambilan keputusan Korea dan bagaimana mengatasinya
Sesi ini menduga mengapa Korut lebih memilih keputusan yang berisiko (decision by individual towards risk) vs kekuatan militer yang jauh lebih kuat seperti Korsel dan AS plus minus Jepang — model apa yang “pas” dibuat untuk menilai kelebihan dan kekuatan produk keputusan tersebut? Model pengambilan keputusan yang dipilih adalah pilihan kognitif (cognitive choice models)[16] dan bisa saja diperkaya dengan model olah-main (games) lain yang mungkin lebih luwes sebagai pembanding.
Model ini berbasis asumsi dan argumentasi teori prospek, serta lebih menekankan perilaku manusia dalam pengambilan keputusan (human patterns decision making process). Model ini berupaya menjelaskan perilaku regim Korut yang memilih strategi dengan risiko tinggi mengait proliferasi isu nuklir yang agresif dilakukan. Sedangkan tipikal pengambil keputusan untuk menerima atau tidak risiko melalui fungsi nilai subyektif (utility), digambarkan dalam gambar no.2 di bawah ini.[17]
Gambar no.2. Tipikal individu memandang risik
Hint: penggal gambar terkiri adalah gambaran pengambil keputusan/pemimpin yang selalu menolak risiko (atau risk avoider/yg penting “selamat”), tengah yang selalu (berani) menerima risiko dan kanan yang bertindak netral mempertimbangkan kesejahteraan yang akan diterima.
Karena itu dipilih teori kognitif yang lebih menekankan kepada pola kognitif proses keputusan diktator bagi regim Korut.[18] Studi pola pengambilan keputusan ini sebelumnya membagi dalam tiga kategori umum. Pertama; analisis kepribadian unik pemimpin Korut (duo Kim:Il-Sung dan Jong-Il).[19]Kedua; analisis interaksi entiti politikal — partai, kabinet dan militer. Kim senior memiliki karismatik yang begitu kuat sehingga tak satupun struktur politik di bawahnya yang sanggup menandinginya — keputusan Korut identik keputusan Kim senior.[20]
Beda dengan Kim junior yang lebih memiliki karisma enigmatik dan kebapakan Konfusian, meskipun lebih “sulit diramalkan”.[21] Keputusan Korut ditandai dengan konfrontasi bukan negosiasi, dan jarang menjamin suatu konsesi apapun juga kondisi strategik yang ada.[22] Studi pola interaksi antara militer, politik (kabinet) dan partai, era mendiang Kim senior tidaklah bermasalah mengingat kuatnya kepemimpinan Kim waktu itu.
Keterbatasan karisma Kim junior dibandingkan seniornya, memunculkan kepemimpinan unik yakni “militer yang utama“ (Military First). Jargon ini selain membuat sumber daya nasional diprioritaskan untuk kepentingan militer, juga menjadikan militer sebagai pemain inti pengambilan keputusan nasional — menyerahkan kelangsungan hidup bulat-bulat regim kepada militer.[23] Ketiga, terpuruknya performa ekonomi Korut, isolasi ketat dari negara lain dan perbedaan kapabilitas baik militer maupun ekonomi dengan rival bebuyutan yakni Korsel—Korsel tumbuh pesat dengan status diplomatik, ekonomi mengglobal,[24] bahkan kualitas militer.
Studi ini memperlihatkan bahwa China sangat besar pengaruhnya seiring ketergantungan Korut tentang material strategik seperti minyak, makanan, bahkan sumber daya nuklir — porsi besar upaya China menolak (denial) strategi “penangkalan” AS di Semenanjung ini.[25] Nampaknya sun-shine policy Korsel tidak efektif vs military first policy Korut, apalagi di bawah Kim-Jong Un yang jauh lebih agresif.[26]
Studi lima dekade telah menyimpulkan dua alasan Korut memusuhi AS;[1] konsistensi AS sebagai pengaruh utama proses keputusan dinegara semenanjung ini dan tidak pernah melepaskan perhatiannya kepada Korut dan Korsel.[2] Pengaruh AS dan Korsel yang kuat dalam konsorsium internasional untuk membantu ekonomi Korut dan mempengaruhi negara tetangga seperti China, Jepang dan Russia.
Alasan itu mungkin saja membuat jengkel Korut analog sesumbar Korut belakangan ini, dengan ancamannya akan menyerang Jepang, Guam dan Korsel dengan Rudal. Seberapa jauh jangkauan rudal balistik produk Korut , dapat disisipkan dalam tabel no.1 di bawah ini.[27]
Tabel no.1. Tabel jarak jangkau Rudal balistik Korut[28]
Referensi: Scobell[29], halaman 115.
Pengunaan semua varian model pilihan rasional atau pilihan kognitif (rasional plus prospek teori) dengan expected utility (sembilan varian) serta fungsi nilai subyektif (subjective value function) menampilkan alternatif bila Korut dalam domain [1]“kehilangan”(loss),[2]“memperoleh” (gain), [3]“putus asa” (desperate) dan menelorkan rekomendasi bagaimana mengatasi Korut.[30]
Sebelum masuk kedalam model kognitif menggunakan fungsi nilai subyektif (contoh) ada baiknya mengulang kembali aplikasi teori prospek.[31]
Teori ini menyatakan perilaku pilihan orang untuk menerima risiko dalam konteks tertentu. Bila seseorang (dipaksakan) memilih antara B-1 (menerima kehilangan $60.000) dengan notasi expected utility value – (baca minus) $60.000 atau memilih B-2, suatu perjudian dengan probabilita 85% kehilangan $100.000 dan 15% tidak kehilangan apa-apa atau expected utility value – (baca minus) $85.000.
Versus situasi ini, orang cenderung memilih B-2 (padahal jelas-jelas memilih B-2 akan kehilangan $85.000), daripada B-1 yang jelas (hanya) kehilangan $60.000. Berbasis experimen ini, teori prospek mengatakan bahwa orang cenderung menerima pilihan risiko apapun bila melihat masih berpeluang tidak kehilangan apa-apa (tidak rugi rasanya dengan memilih dengan peluang 15% tidak akan kehilangan apa-apa — pilih B-2).
Sebelum mencermati model berikut, disisipkan fungsi “nilai” (value function) subyektif yang menggambarkan hubungan antara nilai subyektif utilitas (garis tegak) dengan nilai “perolehan” yang aktual (actual “outcome” value/-) — digambarkan harga perolehan positif (positive – gains) dan negatif (negatives – loss), seperti gambar no. 3 dibawah ini.
Gambar no.3 menjelaskan hubungan antara harga utilitas subyektif dengan harga perolehan aktual.
Referensi: Leddo,John , et-all, halaman 5[32]
Konsep pemilihan antara B-1 maupun B-2 tersebut ditirukan dalam gambar no.4 di bawah ini.
Gambar no.4 Fungsi nilai subyektif dalam teori prospek .
Hasil eksperimen perjudian (gambar no.4) ini diterapkan didunia nyata bagi Korut, dengan penggunaan fungsi nilai subyektif (subjective value function) dengan model pilihan kognitif dikaitkan kasus krisis nuklir kedua Korut seperti dalam gambar No.5 dibawah ini.
Gambar no.5 .Korut dengan fungsi nilai subyektif (utility) dengan model kognitif pilihan pada krisis nuklir kedua tahun 2003.
Referensi:Ibid, halaman 4-71. Perhatikan daerah “kehilangan” (x(loss)) dan “memperoleh” (x(gain)). Kuadran -1 berada diantara X-gain dengan Utility positif, sedangkan kuadran – 3 berada diantara X-losses dengan Utility negative (daerah merah). Angka 1), 2) dan 3) adalah opsi bagi Korut, U adalah besarnya Utility. Nilai subyektif sebagai fungsi dari “kehilangan “ (losses) atau sebaliknya “memperoleh” (gain).
Akhirnya rekomendasi aksi versus Korut sebagai berikut: pertama; (bila) Korut berada dalam (posisi) domain “memperoleh” (gain) , dengan skenario yang paling memungkinkan dan strategi terpilih (bagi koalisi) adalah strategi penangkalan dengan menghukum (deterrence with punishment). Kedua; bila Korut dalam domain “kehilangan” atau rugi (losses) dengan kerangka efek (framing effect) yang paling penting, dan dengan skenario yang paling memungkinkan —rekomendasi strategi adalah strategi penolakan koersif.[33]
Ketiga, (bila) Korut berada dalam domain “putus asa” (desperate domain) digabungkan dengan skenario yang paling memungkinkan menghasilkan strategi yang disarankan, yakni koersif dekapitasi (decapitation strategy) dan menghukum (punishment strategy). Keandalan dan kredibilitas menjadi prioritas utama kapabilitas satuan tugas gabungan ROK dan AS, sebab strategi ini menggantungkan dirinya kepada informasi sistem intelligen.
Mengeksploitasi pesawat tak berawak (UAV) semakin lebih menguntungkan. Berbagai strategi himpunan strategi koersif yang berpeluang untuk diputuskan ada dalam gambar no.6 dibawah ini (deterrence tidak dianjurkan).[34]
Gambar no.6.Berbagai varian keluarga strategi koersif yang bisa digunakan vs Korut .
Referensi : Ibid, halaman 4-143
Effektivitas kapabilitas Rudal anti Rudal AS sebagai kekuatan “penangkal”[35]
Efektivitas dan kapabilitas kekuatan anti Rudal aliansi atau koalisi antara AS dan Korsel dengan menggunakan teori olah main (game theory) dengan dua pemain, periksa gambar no.7 dibawah ini (NK = Korut):[36]
Gambar no. 7 . Matriks Strategi Pilihan
Olah-main ini dimainkan serentak (simultaneous), berbentuk “non-zero sum games”,[37] dan non-kooperatif artinya pemain tidak memiliki informasi pilihan strategi lawan seperti apa dan kapan akan dimainkan atau kooperatif tetapi memainkan strategi yang membohongi lawannya.[38] Teori olah-main adalah aplikasi ilmu matematika dan menjamin model formal, sederhana serta mewakili kondisi sosial para pemain yang terlibat dan berinteraksi sebagai lawan.
Model tersebut kapabel menirukan dunia nyata yang sanggup menjelaskan logika lema kehidupan, seperti halnya manusia menggunakan sejarah sebagai suatu cara mengembangkan perspektif baru dalam kehidupan sosial yang penting.[39] Para pemain memilih strategi[40] yang diharapkan dapat memaksimalkan “upah” yang didapat sambil mempertimbangkan apa yang akan dilakukan lawannya.
AS (plus Korsel) sepertinya memiliki dua pilihan kuat yakni pertahanan anti rudal (missile defense) dan diplomasi. Anti rudal AS diartikan mengembangkan payung anti rudal berupa pertahanan yang berlapis dan terintegrasi untuk memayungi serangan rudal Korut berlapis dengan sistem GBI (Ground Based Interceptor), PAC-3 (rudal Patriot yang lebih maju dari generasi ke-2) dan THAAD (Terminal High Altitude Area Defense).
Pertahanan didesain menyerang rudal Korut saat fase mulai terbang, dalam perjalanan (waktu cukup menghadang) dan fase terakhir menuju sasaran. Pilihan strategi Korut adalah proliferasi nuklir, sambil menguji coba, mengembangkan dan memperbaiki sistem rudal yang sedang dibangunnya utamanya Taepo-Dong-1 dan Taepo-Dong-2 (No-Dong untuk jarak menengah, Taepo-Dong-1 untuk jarak lanjut, Taepo-Dong-2 untuk antar benua) dan pilihan diplomasi.
Korut dalam isu ini merasa sangat sukses dengan uji coba yang dilakukannya mulai 2007- sekarang, meskipun Barat mencermati bahwa uji coba tersebut lebih ke-gagal. AS sebaliknya menganggap uji coba tersebut didesain untuk demo terbatas tentang kapabilitas rudal mereka sebagai (promosi) konsumsi pembeli. Apabila ini benar, maka Korut harus menyiapkan dirinya untuk melakukan diplomasi atau negosiasi untuk menerima “tawaran” SPT, (diam-diam) tetap melakukan uji coba tersebut, tetap memprovokasi AS , dll, atau modal negosiasi dimasa mendatang.
Proliferasi rudal menjadi andalan perilakunya, semuanya cermin perilaku Kim junior yakni “sulit untuk ditebak” (unpredictable).[41]Suksesnya kapabilitas pertahanan anti rudal AS ini diharapkan merusak kepercayaan Korut tentang “ampuhnya” proliferasi nuklir mereka, disisi lain AS dkk memperoleh keuntungan dengan pengembangan dan perbaikan sistem pertahanan ini.[42]
Pilihan diplomasi sudah pasti akan dilakukan kedua aktor tersebut, masalahnya diplomasi seperti apa yang akan dilakukan akan banyak variannya. Bagi Korut pilihan strategi diplomasi harus dijadikan opsi, karena Korut akan memperoleh banyak insentif dalam negosiasi, misal substansi humanitarian dan paket ekonomi, serta pencabutan sanksi ekonomi.
Selain itu juga Korut sulit melepaskan diri dari pengaruh komunitas internasional, dan AS serta komuniti SPT (kelompok enam negara). Bagi AS strategi pertahanan ini disebut pilihan A, pilihan diplomasi adalah B, sebaliknya pilihan diplomasi bagi Korut adalah C, dan pilihan proliferasiadalah D — muncul empat sel kombinasi “upah” yakni AC, AD, BC dan BD sebagai berikut:[43]
Pilihan AC AS akan melanjutkan peningkatan kapabilitas pertahanan anti rudalnya secara berlapis danterintegrasi, melalui test dan pengembangan berlanjut. Secara simultan Korut akan menjawabnya dengan memperbaiki hubungan diplomasinya, mendekatkan diri dengan KI (komunitas internasional) untuk memperoleh substansi humanitarian, dan pencabutan sanksi ekonomi . Bagi AS pilihan strategi hampir pasti dihargai tertinggi (4), mengingat provokasi Korut tentang penembakan dengan rudal antar benuanya. Sebaliknya bagi Korut, pilihan strategi diplomasi memperoleh nilai “upah” terendah yakni 1.
Pilihan AD AS menjamin kapabilitas sistem pertahanan anti rudal yang terintegrasi dan berlapis akan semakin meningkat dengan serangkaian uji coba riil . Meskipun Korut juga menerima manfaat dari SPT namun secara diam-diam tetap melanjutkan uji coba rudal balistiknya. Konsekuensinya dua pilihan ini (A dan D) bagi kedua pemain memperoleh preferensi rendah yakni 2. Keuntungan bagi AS adalah mengimbangi upaya Korut untuk mengembangkan rudal balistiknya, dan keuntungan bagi Korut adalah tersembunyinya agenda klandestinnya.
Pilihan BC AS tetap mendayagunakan upaya diplomatik utuk mempertahankan statusu quo semenanjung dan mencegah proliferasi lanju. Korut akan lebih mendektakan dirinya dengan cara diplomatik untuk memperoleh keuntungan internasional dari aspek humanitarian dan bantuan ekonomi. Konsekuensinya kedua pemain akan lebih memilih (preferensi) skala yang lebih tinggi yakni 3, sebab nyata-nyata keduanya lebih memilih pasrah kepada sesuatu yang lebih menguntungkan dan tidak berisiko.
Pilihan BD AS tetap melanjutkan upaya diplomatiknya sambil tetap mempertahankan status quo semenanjung Korea sambil mencegah proliferasi Korut berkembang , akan tetapi bagi Korut meski menerima persyaratan SPT, tetap saja diam-diam melanjutkan uji coba rudal balistiknya. Dalam skenario seperti ini, AS tidak akan menrima apa yang menguntungkan preferensi yang ditetapkan bagi AS lebih tepat pada skala 1 (terendah) , sebaliknya meskipun Korut (sepertinya) menerima persyaratan yang lebih tidak berisiko (bantuan dari SPT dan dunia) akan tetapi baginya tetap saja menjalankan agenda uji cobanya (bagi Korut menguntungkan) , jadi pantas kalau diberikan preferensi angka tertinggi yakni 4.
Pilihan BC , BD sama sekali tidak mencerminkan kesiapan AS untuk menahan atau mempertahankan serangan rudal Korut pilihan yang tidak menguntungkan, tapi tidak bagi Korut. Gambaran matriks ini dikembangkan dalam kasus dilema tersangka (prisoner’s dilemma) dengan menempatan faktor ancaman proliferasi nuklir Korut sebagai dilemma,[44] periksa gambar No.8 di bawah ini.
Gambar no.8. Ilustrasi AS vs Korut dalam “Dilema tersangka”[45]
Sepertinya olah-main ini diawali dengan sel yang paling “lunak” yakni BC, beriterasi terus-menerus yang akhirnya menuju ekuilibrium Nash (AD). Ekuilibrium unik dilema tersangka atau ekuilibrium Nash bisa disebut juga solusi sub-optimalisasi Pareto, artinya pilihan rasional akan mengarahkan kedua pemain itu untuk “berkhianat” meskipun ganjaran bagi keduanya akan lebih besar apabila keduanya bermain “kooperatif”, semisal di BC (3,3) — dilematis bukan?
Ekuilibrium ini mengisyaratkan bahwa tidak satupun kedua pemainnya bebas secara sepihak memperbaiki posisinya. Perhatikan “upah” di sel pilihan AD, bagi AS tetap akan menjamin pengembangan dan menguji coba pertahanan anti rudal balistiknya agar berjalan baik. Sementara itu Korut bisa menerima saran SPT namun diam-diam tetap melakukan uji coba rudal balistiknya (kepentingan utamanya).
Apabila Korut melakukan langkah strategik (strategic moves) dalam rangka mengejar “upah” yang lebih baik, atau Korut sudah jenuh, atau siklus permainan ini sudah mencapai derajad “capai” mengingat “biaya” yang sudah banyak dikeluarkan[46] pastilah pilihan BC akan dilakukan dan bisa-bisa Korut akan menerima hasil berupa konsesi ― konsesi yang lebih baik dari dunia internasional … inilah mungkin yang benar-benar diharapkan Korut. Atau menurut pak Park, bisa jadi pilihan proliferasi Korut merupakan pilihan yang menunjukan Korut mulai memasuki domain “putus asa”?
Ataukah sebaliknya keputusan cucu mendiang Kim dimotivasi (dirangsang) untuk terus memainkan proliferasi nuklir, mengapa? Ada baiknya mungkin mengamati motivasi yang dimiliki Korut sebagai studi mengapa Korut “bersikeras” mengambil keputusan untuk mengembangkan proliferasi.
Motivasi Evolusi Arsenal Nuklir Korut
Korut mengejar kapabilitasnya dibidang sista Nuklir tidak dikarenakan hanya oleh faktor unik saja. Motivasi berikut menguatkan dugaan bahwa Korut memang berminat kesana. Beberapa motivasi dengan bobot relatifnya per setiap periodik bisa ditampilkan. Pertama, motivasi bagi kepentingan pertahanan (defensif) atau “penangkalan“ (atau “perisai”). Kedua; sebagai sista offensif (atau “pedang”). Ketiga, sebagai sista kapabilitas strategik yang independen (atau “payung”). Keempat, sebagai pengungkit diplomasi (atau “sesuatu yang sangat berharga“) dan terakhir sebagai sesuatu “kehormatan negara” (atau “simbol”).
Tabel no.2 di bawah ini mungkin bisa menjelaskan evolusi bahasan tersebut.
Tabel no.2 Berbagai motivasi yang dikembangkan Korut selama ini[47]
Hint: perhatikan dari periode ke priode evolusi motivasi selalu berfluktuasi dan muncul dalam bentuk kombinasi .
Secara umum, program sista nuklir Korut mengisyaratkan telah memiliki “sesuatu“ (inventory arsenal nuklir) yang lebih dibalik kekurangan kualitas dan teknologi sista konvensionalnya, selain memberikan pengaruh domestik bahwa Korut tidak mudah dilecehkan. Sepertinya Korut menggunakan metaphora dengan kata “payung“ bagi proliferasi nuklirnya.[48]
Tidaklah berlebih-lebihan untuk menyimpulkan bahwa Korut menggunakan arsenal nuklirnya setidak-tidaknya sebagai perangkat “penangkalan“. AS mengakui bahwa hipotetik serangan paling awalpun terhadap arsenal dan fasilitas Korut akan mengalami kesulitan untuk menghancurkannya, sehingga tetap ada peluang sista tersebut untuk tetap didayagunakan.
Apapun juga alasannya, analis pertahanan memandang ada tiga hal yang paling masuk akal untuk berpendapat bahwa Korut benar-benar akan menembakan rudalnya. Pertama; beberapa negara “sahabat“ Korut seperti China maupun Russia skeptis dan sulit untuk percaya tentang Korut dan elit Korut sendiri secara ekstrim menganggap bahwa AS-lah musuhnya.
Kedua; Korut merasakan puluhan ribu rakyat Korut yang menjadi pekerja paksa Jepang telah meninggal akibat bom yang dijatuhkan AS, sedangkan yang tetap hidup dikembalikan ke Korut. Trauma berkepanjangan apalagi menyaksikan penempatan sista nuklir taktis AS di Korsel sampai dengan tahun 1991. Ketiga, pelajaran perang Irak bagi Korut memberikan pemahaman bahwa tanpa arsenal nuklir, negeri ini akan mudah dilecehkan dan diserang AS.[49]
Kasus ini membenarkan bahwa olah-main antara AS versus Korut adalah olah-main dua orang bukan jumlah nol, dan dalam bentuk dilema tersangka (non-kooperatif).[50] Motivasi sebagai “payung”, “pedang” dan sebagai “perisai” sudah dibahas, berikut membahas tentang independensi kapabilitas strategik, dimana Korut merasa harus mandiri memiliki kapabilitas sendiri tidak bergantung aktor lain. Faktor ini diduga kuat, berawal dari kekecewaan Korut tentang sahabatnya yakni Russia dan China yang sebelumnya sangat membantu Korut dalam program nuklir dan “memayungi“ bagi kepentingan pertahanan Korut[51], tetapi belakangan sepertinya menarik diri.
Motivasi berikut sebagai “pengungkit“ diplomasi sangatlah jelas bagi Korut untuk memperoleh konsesi dunia internasional. Berikutnya motivasi menjadi simbol (atau “badge”) kekuatan nuklir, menjadi perdebatan apakah ini mucul dikalangn elit Korut atau seluruh rakyat ataukah sebagai propaganda domestik atau untuk kepentingan lainnya atau terkesan pengaruh perang Irak dan munculnya kekuatan nuklir seperti Iran atau Pakistan yang bisa mengangkat kebanggaan dan nasionalisme bangsa.
Isu perdebatan motivasi (baca kemenduaan atau ambiguity) nuklirisasi arsenal Korut akan menimbulkan pertanyaan besar seperti bagaimana doktrin penggunaan nuklir ini versus isu keragu-raguan yang ada dan keragu-raguan akan erat hubungan dengan kejelasan (clarity). Bila ditabelkan untuk menjawab isu keragu-raguan dan kejelasan akan bisa ditampilkan dalam enam parameter sebagai berikut (mulai Arsenal Ambiguity sd Umbrella Ambiguity) dalam tabel no.3 tentang doktrin Pyongyang tentang nuklir atau klarifikasinya dalam format keragu-raguan (atau ambiguitas) versus yang ada ( atau kejelasan):[52]
Tabel no.3. Kejelasan doktrin Nuklir Pyongyang versus keragu-raguan.[53]
Hint:Blok sebelah kanan (clarity) memberikan suatu informasi fakta yang ada, sedangkan blok sebelah kiri lebih merupakan aspirasi saja (yang masih diperdebatkan selama ini ~ ambiguity/kemenduaan).
Kemenduaan sepertinya membuat pesaing atau lawan berpikir dan menebak kemana sebenarnya arah kapabilitas dan intensinya. Tetapi tetap ada hal yang lebih memungkinkan menggunakan program nuklir ini untuk kepentingan politik dibandingkan kepentingan militer, dengan kata lain digunakan sebagai [1] propaganda penangkalan psikologik terbaik yang dapat dibeli (existential deterrence).
[2] “Pengungkit” yang sangat bernilai dimeja perundingan (bargaining a “chip”) dan [3] sumber substansi kehormatan baik domestik maupun internasional (a “badge”). Begitu luasnya “ragam keragu-raguannya”,[54] sehingga perlu rekayasa ulang untuk melihat mana intensi dan kapabilitasnya. Pertama; keragu-raguan berbasis doktrin, barangkali sudah dijawab dalam tabel No.2. Kedua, keragu-raguan postur sista nuklir digunakan untuk “payung“, atau “ perisai “, atau “pedang”, atau “simbol“, atau “pengungkit“, dan kombinasinya.
Ketiga, diragukan intensinya untuk senjata strategik atau taktik[55]. Keempat, keragu-raguan untuk menempatkan rudal kesasaran dalam pengertian negara yang dituju, dan tipikal sasaran. Bisa saja ke Korsel, Jepang, atau negara lain? Untuk sasaran juga sangat tergantung doktrin yang masih belum jelas[56]. Mengetahui “relatif akurasinya”, mungkin lebih tepat digunakan sebagai senjata “ teror “ bagi kota besar dan padat penduduknya[57]. Kelima, ketidakpastian suksesnya pengantar kepala nuklir melalui rudal balistiknya, membuat perhitungan terhadap alternatif pengantarnya menjadi lebih mengemuka.
Hal ini disadari Pyongyang dengan pengalaman luasnya mendayagunakan kapal selam, kapal dagang, pesawat terbang komersial bagi kepentingan operasional pasukan komando (Passus).
Bayangkan kapal selam diesel elektrik setua kelas Whyskey masih diberdayakan sebagai pembawa rudal nuklir kesasaran di Korsel dan Jepang disamping pembawa pasukan untuk pengintaian dan inflitrasi.
Dengan ketinggalan teknologi pembawa rudal dan teknologi akurasi rudal balistik nuklir diragukan suksesnya peran pengangkut rudal ini.[58]
Ketidakpastian ini juga menciptakan alternatif lain, yakni menghantar ke peperangan biologi, ditengarai perkembangan perangkat perang Korut ini lebih ketinggalan dibandingkan sejawatnya yakni nuklir, kimiawi dan rudal balistiknya.
Setelah membahas evolusi dan motivasi Korut mengembangkan sista nuklirnya, dan membahas “kemenduaan versus “kejelasan “, sesi ini dapat diakhiri dengan tabulasi motivasi penggunaan rudal balistiknya, seperti tabel no.4 dibawah ini:[59]
Tabel no. 4. Evolusi motivasi pengggunaan rudal balistik , tahun 1996- tahun 200-an.
1960s Shield/Sword
1970s Shield/sword
1980s Cash/Badge, Shield/Sword
1990s Cash/Badge, Shield/Sword, Chip
2000s All of the above
Korut tetap menggunakan motivasi ganda untuk mengembangkan sebagai program rudal balistik. Baik berupa rudal offensif (atau “pedang”), atau sebagai sista defensif dan penangkalan (atau “perisai“), atau sebagai perangkat insentif pendapatan (atau “tunai“) atau menjamin kehormatan dan kebangaan nasional ( atau “simbol“) atau sebagai pengungkit diplomatik (atau “sesuatu yang berharga“/chip).
Apapun juga keputusan regim Korut yang terpenting bisa diketahui dimana domainnya akan mudah mengikuti saran pak Park sebagai solusi strategi menghadapinya. Perlu diwaspadai juga, bahwa meskipun hitungan sistem rekayasa (system engineering) rudal anti rudal yang terintegrasi dan berlapis yang dibangun Jepang, AS maupun Korsel sangatlah “laik”, olah-main justru bicara lain, sistem yang dibangun koalisi tersebut ternyata tidak effektif “menangkal” kemauan regim Korut … kata May Issac.G. Gipson : “…and Washington has not provided credible persuasion to the contrary.[60]
Korut tetap percaya bahwa AS hanya akan mendayagunakan kartu diplomasinya saja sejauh ini. Bila ini terjadi tidak ada cara lain bagi AS untuk memainkan kartunya dengan cara lain, yakni cara setiap saat Korut menyiapkan rudal balistiknya untuk ujicoba, dan sebagainya, maka AS harus menggeser kesiapannya bukan sekedar menunggu namun lebih aktif mencegat baik dengan opsi mencegat dan mengikutinya saja atau mencegatnya, dan menghancurkannya per kesempatan awal atau mencegat atau mengikutinya dan menghancurkannya di waktu (fase) yang paling kritik ditambah opsi lainnya.[61]
Kesimpulan
Mencermati kajian dari disertasi pak Park dan hasil olah-main, nampaknya Korut tidak akan beranjak dari preferensinya lebih memilih proliferasi sista Rudal balistiknya, (sayangnya olah main ini atau model yang ditampilkan belum mengungkap konsekuensi “biaya” yang akan dikeluarkan per setiap pilihannya).[62] Bahkan ada penulis yang lebih menggambarkan olah main ini lebih sebagai “perburuan rusa jantan” atau PRJ (stag-hunt), berbeda dengan olah-main ”dilema tersangka” (DT).
DT lebih ke olah-main kooperatif ― bagaimana para pemain mengelabui pemain lainnya sebagai kooperasinya, sebaliknya PRJ adalah permainan koordinasi ― bagaimana lima pemain (dalam SPT seperti: China, AS, Russia, Korsel dan Jepang) saling berkoordinasi untuk menjebak Korut, hasil jebakan ini adalah “upah” terbesar (maximum “pay-off”) yang bisa didapat,[63] periksa ilustrasi no.9 tentang lima binatang pemburu menyerang rusa jantan dewasa [stag].
Gambar no.9. Perburuan Rusa jantan (stag hunt)
Mungkin saja kalkulus pilihan Pyongyang (proliferasi nuklir) ini jauh lebih strategik dengan keuntungan berganda ― kontroversi dengan perpektif umum bahwa Korut adalah tipikal pemutus keputusan dengan menerima risiko (individual toward risk), dan Korut tidak akan bergerak dari ekuilibria Nash. Sistem (pilihan) pertahanan anti rudal koalisi (meski posisi ini menempatkan AS dalam ekuilibria Nash) nampaknya tidak kapabel mempengaruhi Korut (studi Gipson) … kecuali terang-terangan (lebih dari provokasi) dengan cara lebih dari langsung mengintersep yakni ditambah dengan menembak jatuh versus setiap rudal Korut yang akan digunakan untuk uji coba.
Banyak yang mempertanyakan sampai dimana kebenaran kekuatan nukir Korut dengan thesa yang berangkat dari perdebatan bahwa kekuatan nuklir Korut lebih banyak ditekankan untuk konsumsi politik domestik dibandingkan konsumsi keluar. Impresifnya statistik kekuatan kon/non konvensional KPA[64] masih perlu dipertanyakan kebenarannya. Statistik mencatat dari waktu kewaktu Korut memainkan proliferasi sista rudal (bisa saja baik dengan kepala nuklir atau konvensional) dan dalam format gabungan berbagai obyektif kepentingan nasional (berganda), misal “pedang“ (sword) dan “perisai“ (shield). Belakangan ini berkembang menjadi “tunai” (cash) dan “simbol” (badge) atau “pengungkit“ (leverage) dan “pedang“ (sesuai tabel No.2 dan 4 diatas), benar-benar bentuk olah-main “bukan jumlah nol” dengan dua orang pemain dalam format “dilema tersangka“ dengan ekuilibria Nash.
Regim ini benar-benar membuat zona semenanjung Korea menjadi panas, bukan saja dikarenakan pak Kim memanjakan militernya (military’s first policy), akan tetapi memilih proliferasi rudal nuklir sebagai “prioritas utama“. Tercatat selama empat dekade regim ini telah mengembangkan program Rudal balistiknya, dipandegani oleh Kim Il-sung menggunakan tenaga bantuan luar negeri baik pakar maupun operatornya dan Pyongyang sukses membangun produksi rudal balistiknya.
Meskipun fase awal hanya untuk kebutuhan domesik dan komoditi ekspor rudal jarak pendek (SRBM), sekarang (fase ketiga) fokus kepada rudal balistik jarak jauhnya yang bisa mengarah Alaska, Hawaai, dan suatu saat benua Amerika. Mencermati fokus perhatian dan kepentingan nasional Korut ada benarnya pak Scobell dkk yang menyebut Korut sebagai negara “yang lebih mencintai rudalnya ketimbang pemenuhan energi listrik atau makanan bagi penduduknya”.[65]
Ditandai dengan keberanian Kim termuda, menggertak Korsel dan mengisyaratkan tentaranya untuk siap menyerbu Korsel sewaktu waktu diperintahkan menunjukkan kesiapannya untuk “offensif” ke Selatan, baik dalam bentuk terbuka maupun “mendahului” (preemptive). Mendahului akan dilakukan dengan serangan pasukan khusus, dan organisasi pasukan khusus atau setara dengan komando dan berjumlah besar didalam organik pasukan daratnya. Bahkan mereka memiliki 3 brigade penembak jitu, barangkali disiapkan untuk melibatkan diri dalam peperangan dilingkungan urban (MOUT).
Jangan dilupakan “penganut fanatik perang Vietnam” ini tentunya sudah menyiapkan terowongan-terowongan “canggih” yang mungkin sulit diketahui Korsel, meskipun Korsel sudah menyiapkan detektor “seismik”. Pengalaman dengan tertangkapnya kapal selam Song-O (turunan kapal selam diesel elektrik kelas Whiskey?) yang akan menjemput satuan inflitrasi pasukan Komando Korut meskipun operasi ini gagal, menunjukkan secara moral tentara Korut adalah tentara yang patuh dan lebih baik memilih cara yang terhormat daripada tertangkap musuh. Demonstrasi produk pelatihan dan doktrin yang berhasil dilakukan regim Korut sepertinya telah menempa tentara Korut sebagai manusia tangguh. Sebagai penilaian akhir; Korut dengan jumlah arsenal baik artileri maupun rudal jarak pendeknya kapabel memporak-porandakan Korsel di awal-awal serangan yang dilakukan Korut dengan atau tanpa peringatan di tahap awal serbuan.Hal ini sangat mungkin terjadi apabila Korut lebih memilih Korsel sebagai sasaran terdekatnya.
Akhirnya muncul berita terkinikan — diumumkannya isyarat “Def Con-3” (defense condition level 3), menunjukkan AS lebih serius memandang isu semenanjung ini.[66] Model atau pendekatan yang ditampilkan dalam bahasan diatas mendemonstrasikan banyak “perangkat” kajian atau keputusan modern (teori olah-main dan pengambilan keputusan ekonomik/teori utilitas) yang diperkenalkan diatas cukup absah dijadikan pendekatan untuk menemukan masalah sekaligus solusinya, utamanya di Lemdik TNI maupun non-TNI yang berminat mengembangkan studi pengambilan keputusan (decision science) dibidang pertahanan nasional.
[1] Hine, Douglas.J, Lt Col USAF, Air University Research Report, Maxwell Air Force Base , Alabama , April 2003 “The Key to Stability on the Korean Peninsula – US, Japan, and China”, Hal. 3.
[2] Ibid, Hal. 3
[3] Dengan Jumlah penduduk empat kali dibandingkan penduduk Jakarta.
[4] Twomey, Christopher.P, Proff, US Naval Postgraduate School, Strategic Issues, volume # V, issue # 7, Sept 2006, “China Policy Towards North Korea and Its Implications for the US: Balancing Competing Concerns”.
[5] Park, Ki-tae, ROK Air Force, Dissertation, RAND Pardee, 2010, “Analyzing North Korea ‘s Decision-Making Process on its Nuclear Weapons Programs with the Rational Choice and Cognitive Choice Models “, halaman xvii.
[6] Mrosek, David.M, Lieutenant US Navy, Thesis Naval Postgraduate School, MA in Security Studies,March, 2011, “China and North Korea : A Peculiar Relationship”, halaman 1.
[7] Kompas tanggal 6 April 2013 , halaman 9, “Krisis Korea ; AS ingin kepung China ?“ oleh Simon Saragih , berbeda dengan Mrosek yang berkomentar China akan berhadapan dengan AS langsung diperbatasan bila terjadi reunifikasi.
[8] Twomey, Christopher.P, Proff, US Naval Postgraduate School, Strategic Issues, volume V, Issue 7, Sept 2006, “China Policy Towards North Korea and Its Implications for the US: Balancing Competing Concerns”, halaman 1.
[9] Gipson,Issac.G,May US Army, Thesis US NPS, MS in Defense Analysis , Dec 2007, “The Effectiveness of the US Missile Defense Capabilities as a Deterrent to the North Korean Missile Threat “, halaman 2.
[10] Jeong,Dongjin,Mayor ROK Air Force,Thesis US NPS, MA in Security Studies, Dec 2012, “China’s Foreign Policy Toward North Korea:The Nuclear Issue”, halaman 15-16.
[11] Ibid, halaman 14. USS Carl Vinson (CVN/ carrier vehicle nuclear) saat itu langsung bergerak ke Korsel paralel dengan deploi skwadron B-52 dan B-1 (bomber) di Guam untuk menekan regim Korut. Berita terakhir media AS bahkan juga mengirimkan satuan F-22 nya (Raptor?) mendekat semenanjung Korea.
[12] Ibid, halaman 18. Bahkan Jiangzemin telah menelpon George W Bush telah mengingatkan Korut.
[13] Mrosek,David.M,Lieutenant US Navy,Thesis Naval Postgraduate School, MA in Security Studies,March, 2011, “China and North Korea : A Peculiar Relationship”, halaman 84.
[14] Orcutt, Daniel.J, May USAF, USAF Institute Of National Security Studies, US Air Force Academy, August 2004, Occasional Paper, “Carrot, Stick, or Sledgehammer : US Policy Options for North Korean Nuclear Weapons”, halaman 11.
[15] Ibid, halaman 84. Korut aktif menggunakan sista nuklir sebagai melakukan strategi “penangkalan” dan “koersif” dimasa damai, dan Korut tahu kalau AS dan negara lainnya enggan menggunakan kekuatan militernya vs Korut karena akan meningkatkan eskalasi regional. Korut menikmati situasi ini sebagai insentif substansi negosiasi internasional untuk bisa menggunakan nuklir, periksa juga “Uncertainties in the North Korean Nuclear Threat” , RAND, 2010, oleh Bruce W Bennet, Summary, halaman viii.
[16] Park,Ki-Tae, ROK Air Force, Dissertation, RAND Pardee, 2010, “Analyzing North Korea ‘s Decision-Making Process on its Nuclear Weapons Programs with the Rational Choice and Cognitive Choice Models“, halaman 2-7. Cognitition/cognitive menurut Wilkipedi, singkatnya teknik kognitif — teknik yang lebih menitik beratkan kepada (proses mental dan proses pemahaman) temasuk bagaimana perhatiannya, memorinya, produk pengertian bahasa, logika alasan, pembelajarannya, pemecahan masalah dan pengambilan keputusannya. Park mencoba mengelaborasi model keputusan expected utility dengan teori prospek yang menjawab apabila muncul anomaly dalam kasus expected utility. (mungkin) Seperti yang ditulis pak Park dalam halaman 1-4 … Why does North Korea sometimes made risky choices in its competition with much stronger states , namely the ROK-US combined forces , even though there is only a slim chance of winning? Teori prospek digunakan juga sebagai varian teori expected utility dengan pembobotan probabilita dan isu preferensi masing-masing pemain — mencermati bagaimana pemutus dengan preferensi yang berani memilih risiko yang paling berbahaya (risky options).
[17] Ibid, halaman 3-4, Teori Utilitas merupakan bagian penting dalam pengambilan keputusan kuantitatif.Konsep probabilitas merupakan ekpresi dari ketidak pastian dalam konsep expected utility
[18] Ibid, halaman 2-8 …. none of the rational choice model …..dictator’s decision making process is likely to be more useful.
[19] Studi sesuai catatan kaki no 14, Kim termuda (Kim Jong-un) belum menjabat sebagai pemimpin regim Korut, masih belum disebut sebut disini.
[20] Ibid, halaman 2-9.
[21] Ibid, halaman 2-9, disebut-sebut studi Go,1993,Lee,1995, Jeon, 1995, dan Hwang, 1999 …. menyebutnya unpredictability and brutality .
[22] Ibid, halaman 2-9.
[23] Ibid, halaman 2-11, …Kim Jong-Il relies completely on the military for regime survival.
[24] Ibid, halaman 2-12.
[25] Ibid, halaman 2-13.
[26] Kepemimpinan dibawah Kim termuda (Kim-Jong Un) masih belum dilakukan studi , lagipula waktu jabatannya mungkin masih terlalu pendek untuk dibuat suatu studi yang komprehensif.
[27] Pengamat Barat meragukan keandalan, dan ketepatan rudal balistik tersebut (gagal?), singkatnya effektivitasnya. Namun AS, Korsel mengantisipasi dengan memperbaharui perjanjian pertahanan bersama . Bahkan petinggi militer Korsel menyatakan ; seruan atau isyarat Pyongyang secara fisik belum menunjukkan tanda-tanda sangat berbahaya,periksa berita Yahoo.com, Indonesia (news,tanggal 26 Maret 2013). Literatur menyebut-nyebut Rudal Taepo-Dong 2, memiliki CEP (circular error probability) sbs 2 km, karena itulah tidak bisa digunakan sebagai senjata taktis dan operasi mengingat secara eksponensial CEP akan semakin membesar (linear) dengan meningkatnya jarak yang dicapainya dan ditambah kelemahan teknologi ukuran kepala perangnya.Sumber gambar dariauthor’s reconfiguration from the original,available at http://www.fas.org/nuke/guide/dprk/missile/ dan ibid, halaman 5-18 juga periksaGipson, Issac.G,May US Army, MS in Defense Analysis,Thesis US NPS, Dec2007, ”The Effectiveness Of The US Missile Defense Capabilities As a Detterent to the North Korean Missile Threat”, halaman 3.
[28] Antara kelas Taepo-Dong -1 dan -2 , hadir rudal Musudan dengan jarak capai 4000 km.
[29] Scobell, Andrew, Professor di SSI US Army War Coll, dan Sanford, John.M, Cpt US Navy, US National Defense University Press, April 2007, “North Korea’s Military Threat : Pyongyang’s Convensional Forces, WMD and Ballistic Missiles”, US National Defense University Press, halaman 115.
[30] Ibid,halaman 6-9 sd halaman 6-12. Strategi “denial”, “decapitation”, “punishment”, dll, digambarkan sebagai alternatif keluarga pemaksaan (“coercive”), lihat gambar merujuk Ibid, halaman 4-143.Wealth (kesejahteraan) adalah “memperoleh” (gain) atau sebaliknya “kerugian” (loss).
[31]Ibid, halaman 3-13. Notasi kerugian atau kehilangan ditulis dengan tanda negative (-).EV (expected value) dapat dirumuskan = probabilita/bobot x harga kejadian 1 + probabilita/bobot x harga kejadian 2, dst—EV B-2 = 85% x 100.000 $+ 15% x 0 $ = 85.000 $, karena rugi atau kehilangan dituliskan – (baca minus) 85.000 $.Kecenderungan yang dilakukan orang yang mengalami sesuatu hal yang sama berturut-turut (judi) digunakan sebagai salah satu hipotetik teori prospek.
[32] Leddo,John,et-all,US Army Research Institute for the Behavioral and Social Sciences,1996,“Decision Making Under Uncertainty and Time Stress”,halaman 5
[33] Rekomendasi ini didapat dari gabungan dua model , ditambah skenario yang paling memungkinkan, kemudian dimasukan status domain bagi Korea yang paling sesuai, dan dibangun variabel pendukung (intelligen yang reliable atau improve atau teknologinya, dll) dan dilakukan pemilihan strategi (denial atau punishment atau risk, dll). Rekomendasi tersebut adalah hasil dijalankannya model, lebih jelasnya periksa Ibid, bab 5.
[34] Ibid, halaman 5-37….deterrence strategy will be ineffective against North Korea. Ada perbedaan antara koersif dengan deterperiksa halaman 5-38 & 5-39 — Paper membuat konsep bahwa koersif dan deter adalah cara strategik untuk mempengaruhi “lawan” dengan mendemonstrasikan kalkulus kekuatan dengan ancaman serangan balik. Bedanya koersif melibatkan kekuatan untuk memaksa “lawan” kembali kestatusnya yakni SQA/status-quo ante (sebelum status-quo). Sedangkan deter (di Indonesia diartikan tangkal, getar, dll , lantas apa bedanya dengan koersif (?)) — RI perlu kamus khusus pertahanan nasional, namun hal ini bisa juga diatasi dengan inisiatif Perguruan tinggi negeri dan atau swasta yang memiliki prodi yang berbau pertahananan nasional atau strategi pertahanan atau manajemen pertahanan nasional untuk menciptakan Kamus Pertahanan Nasional. Koersifadalah ketrampilan menggunakan kekuatan untuk mengancam dengan serangan balik agar memaksakan “lawan” tidak merubah status quo-nya. Namun Byman, et-all ditahun dalam “Air Power: As a Coercive Instrument”, publikasi RAND, tahun 1999, justru membuat definisi lebih jelas tentang keluarga Coercion yang memiliki anggota seperti Compellence dan Deterrence, periksa halaman 10.
[35] Sementara penulis tetap menggunakan terminologi “penangkalan” sebagai terjemahan kata “deterrence” sementara belum ada definisi yang jelas.
[36] Gipson,Issac.G,May US Army, MS in Defense Analysis,Thesis US NPS, Dec 2007, ”The Effectiveness Of The US Missile Defense Capabilities As a Detterent to the North Korean Missile Threat”, halaman 32,33. Alasan penggunaan teori olah-main disini….thus, Game theory provides a basis for both North Korea and the United States to decide what strategy to utilize because it predicts the outcome of the political situation on thePeninsula based on thecourse of action eachparty takes .
[37] Simultan (serentak) tidak selalu diartikan bergerak dalam waktu yang bersamaan mutlak, namun memilih setiap gerakan tanpa didasari pertimbangan apa yang akan dilakukan pihak lawan (tdk memiliki informasi strategi apa yang akan dimainkan “lawan”. Kondisi ini direpresentasikan menggunakan ekulibria Nash. Non-zero sum games — jumlah “upah” bisa < atau > dari 0, artinya lebih jauh kemenangan seorang pemain tidak harus diikuti dengan harga kekalahan pemain lainnya. Serentak – setiap pemain bergerak tanpa mengetahui strategi lawan. “upah” bergerak dengan skala 1 sd 4, 4 adalah preferensi terbesar yang diperoleh dengan pilihan strateginya,sedangkan angka 1 adalah skala terendah pilihan strateginya. Harga “upah” setiap baris mencerminkan pilihan strategi yang memaksimalkan “upah”, sebaliknya ”upah” per kolom mencerminkan harga yang meminimalkan “upah”pemain. Harga dalam sel (contoh) adalah harga interseksinya dan ditulis AC (4,1) sebagai contoh artinya 4 adalah “upah” bagi strategi baris (pemain-1) yakni pertahanan anti rudal dan 1 adalah “upah” strategi kolom (pemain-2) diplomasi.
[38] Kelly,Robert, Asian Security Blog, International Relations of Asia and US Foreign Policy, “Six-Party Talks as a Game Theoritic ‘ Stag-Hunt ’ (1) : North Korea is the Stag“, posted on April, 26, 2010.
[39] Myerson, Prof Roger.B, Penerima Nobel Economics tahun 2007, pengajar di US Army War Coll, Nov 2007, “Force and Restraint in Strategic Deterrence : A Game – Theorist’s Perspective“, halaman 9. Agar benar-benar bermanfaat, model harus sesederhana mungkin menirukan agar mudah memahami kesamaan fenomena yang penting-penting dengan situasi konflik yang kompleks dan kooperasi yang dihadapi didunia nyata.
[40] Dalam olah main setiap cara bertindak (alternatives COA/course of actions) yang akan dipilih disebut strategi.
[41] Gipson,Issac.G,May US Army, MS in Defense Analysis,Thesis US NPS, Dec 2007, ”The Effectiveness Of The US Missile Defense Capabilities As a Detterent to the North Korean Missile Threat”, halaman 35.
[42] Adanya unsur “defection” seperti unsur moral,etik, penipuan, berpura-pura, tidak menepati janji, seperti perlombaan senjata/proliferasi, perlucutan senjata, peradilan, cut-price marketing, polusi lingkungan, perjanjian, perlombaan nuklir, resolusi pertikaian , keputusan untuk menyewa pengacara, kontribusi politik, korupsi, dll, cenderung mengkatagorikan non-zero sum games ini dalam norma strategik (strategic norm) dengan model “dilema tersangka” (prisoner’s dilemma), periksa “Game Theory” , oleh Turocy, et-all, Texas & M Univ dan London School of Economics, October 8, 2001, halaman 10. Katagori ini masuk kelompok olah-main simultan (simultaneous moves games), contoh lain : lelang tertutup. Sedangkan kategori lainnya adalah olah-main sekuensial seperti catur, negosiasi, dll.
[43] Gipson, Issac.G,May US Army, MS in Defense Analysis,Thesis US NPS, Dec 2007, ”The Effectiveness Of The US Missile Defense Capabilities As a Detterent to the North Korean Missile Threat”, halaman 36.
[44] Ibid, halaman 37….dilemma tersangka adalah tipikal olah-main dengan 2 orang dan “non-zero sum” (two-persons non-zero games). Kedua pemain bisasaling “berkooperasi” dan atau saling “mengkhianati”, utamanya berorientasi pada kepentingan individu masing-masing. Dalam bentuk “klasik” kooperasi ini justru didominasi dengan “pengkhianatan” memunculkan ekuilibria unik apabila kedua pemain saling mengkhianati. Dengan kata lain apapun juga yang dilakukan para pemain, memilih berkhianat (rasional) jauh lebih menguntungkan (?).
[45] Ibid, halaman 37.
[46] Sampai kapan Korut bertahan dengan permainan ini? Dengan Ekonomi yang kurang mendukung, ditambah (bisa jadi) China sama sekali akan menjauh dari negeri ini versus kekuatan ekonomi koalisi AS, Jepang dan Korsel dan keberhasilan langkah koalisi membangun pilar anti rudal yang terintegrasi,berlapis dan teruji dalam perang Irak dengan GBI,THAAD, dan PAC-3 nya stationer maupun mobil.
[47] Scobell, Andrew, Professor di SSI US Army War Coll, dan Sanford, John.M, Cpt US Navy, US National Defense University Press, April 2007, “North Korea’s Military Threat : Pyongyang’s Convensional Forces, WMD and Ballistic Missiles”, US National Defense University Press, halaman 79.
[50] Meskipun ada juga penulis yang menanggap isu di semenanjung lebih kepada kasus olah main”jumlah nol” (zero-sum games).
[51] Ibid, halaman 82,83 , 84 .
[52] Ibid, halaman 89.
[53] Analog dengan isu perkembangan program nuklir China dimulai tahun 1964 , bedanya Clarity lebih dianonimkan dengan Secrecy dalam kasus China (kerahasiaan) , ibid, halaman 89,….. disebut sebut sebagai ambiguity versus secrecy …. it is important to note that “secrecy and ambiguity” also have been hallmarks of China’s nuclear program, particularly in the early decades, even after the 1964 test provided clarity that Beijing was indeed a bona fide nuclear power. During the first 12 odd years of the reform era (1978-1991) , the “ Chinese strategically relied solely on ambiguity and secrecy about the precise size, capabilities and location of China’s nuclear forces to ensure their survivability , and , hence credibility “.
[54] Ketidak jelasan (baca keragu-raguan) akan mempengaruhi sistem desain dan “biaya” sistem yang dibangun (program nuklir) — semakin mengambang arahan pemilik keputusan, semakin mahal “ongkos”nya (lebih banyak alternatif yg hrs digarap) , yang jelas akan mempersulit keputusan nasional.
[55] Analis Barat menduga ada problem teknologi penempatan “besaran” kepala nuklir dan presisi jatuhnya Rudal besarnya CEP, sehingga sulit digunakan untuk kepentingan taktik. Untuk jarak jauh jelas diragukan kapabilitasnya, jarak pendek akan lebih berhati hati mungkin lebih cocok untuk sasaran yang luas, dan substansial.
[56] Scobell, Andrew, Professor di SSI US Army War Coll, dan Sanford, John.M, Cpt US Navy, US National Defense University Press, April 2007, “North Korea’s Military Threat : Pyongyang’s Convensional Forces, WMD and Ballistic Missiles”, US National Defense University Press, halaman 93. … Pyongyang’s nuclear doctrine could be counterforce, countermilitary,or countervalue. Yang jelas bukan counterforce, mengingat terbatasnya arsenal yang dimilikinya dan kesulitan teknologi ke akurasian rudal. Terminologi “sasaran” akan lebih pas ditujukan kepada sasaran yang padat penduduknya, fasilitas militer yang luas, HVE (high value economics),atau infrastruktur disebabkan peluang “sukses” (kena) sasaran kecil.
[57] Ibid, halaman 93.
[58] Ibid, halaman 94….Any existing nuclear devices likley would not fit into a submarine but could be strapped to the outside of one relatively easily – a low tech but workable option. An aircraft also is a possibility, as is a ship . In either case, the vessel may or may not be clearly identified by military markings.
[59] Ibid, halaman 118.
[60] Gipson, Issac.G,May US Army, MS in Defense Analysis,Thesis US NPS, Dec 2007, ”The Effectiveness Of The US Missile Defense Capabilities As a Detterent to the North Korean Missile Threat”, halaman 42.
[61] Ibid, halaman 42.alternatif terintegrasi bisa saja, AS sendirian, atau AS + Korsel , atau AS + Korsel dan Jepang, plus minus carrier stationer atau mobil .
[62] Dalam gambar no.7 atau 8, pilihan AC (4,1), artinya preferensi AS adalah angka 4, diikuti “biayanya” misalnya 7 , dan pereferensi NK adalah 1 diikuti dengan “biayanya” sebesar 5 , maka ditulis pilihan AC ( 4/7, 1/5). Analog – pilihan AD,BC dan BD.
[63] Kelly,Robert, Asian Security Blog, International Relations of Asia and US Foreign Policy, “Six-Party Talks (SPT) as a Game Theoritic ‘Stag-Hunt’ (1) : North Korea is the Stag“, posted on April, 26, 2010. Masalahnya diantara lima (5) pemburu ini siapa koordinatornya ?
[64] Ibid, halaman 129. KPA = Korean People’s Armies. Sangatlah impresif mencermati angka statistik capaian Korut baik sista kon maupun non-kon nya, meski sebenarnya kapabilitasnya tidaklah seperti itu. Usia lanjut sistem, kekurangan suku cadang, bahan bakar, pemeliharaan yang “buruk” , terbatasnya uji coba dan pelatihan mencerminkan gabungan kelemahan-kelemahan ini. Banyak tes yang dilakukan tanpa peringatan sebelumnya , namun ditandai dengan kegagalan (bagi kepentingan domestik tidak lebih sebagai propaganda yang luar biasa, kebanggaan regim dan pengikutnya), meskipun sebagai “pengungkit” (leverage) mampu menciptakan sukses besar pencitraan bagi dunia internasional yang (segera diharapkan Korut) akan memberikan insentif.
[65] Ibid, halaman 126.
[66] Kompas , Harian tanggal 15 April 2013, halaman 8, “Korut tolak tawaran damai”. Analog dengan status dan isyarat yang sama versus isu teluk Babi, perang Yom Kippur, dan kasus 9-11 di AS .