PERSEPSI ASEAN TERHADAP ANCAMAN CINA

1. Pendahuluan 

ASEAN dengan beberapa anggotanya, utamanya negara-negara pendiri ASEAN, nampaknya berbeda  persepsi tentang Cina. Format  pelibatan penuh (comprehensive engagement) yang mengandalkan hubungan baik, penuh kedamaian,  terbangunnya kepercayaan satu sama lain khususnya terhadap Cina (CSBM) dan harapan kekuatan AS di Asia tenggara akan menjadi kekuatan penyeimbang terciptanya kawasan yang stabil dan harmonis.

Namun apakah cukup dengan hanya mengandalkan kepercayaan seperti itu akan tercipta kawasan yang stabil? Bagaimana dengan persepsi ARF, meski tetap dalam format ASEAN namun lebih memprihatinkan aspek “Keamanan”? Bagaimana dengan Cina sendiri, meskipun dalam sidang ASEAN plus Tiga juga hadir sebagai peninjau?

Mungkin sangatlah berlebihan untuk kuatir dengan perkembangan Cina belakangan ini, apalagi menafsirkan sebagai bentuk yang mungkin bisa mengancam stabilitas kawasan, namun setidak-tidaknya  berhati-hati  menyikapi Naga  yang sedang bangun ini. Kata-kata “keprihatinan” atau ”tantangan” dalam pengertian tepatnya lebih positif untuk lebih disikapi  dengan memperhatikan apa saja yang sedang dipikirkan dan dikembangkanChina. Membayangkan Cina sebagai negara yang luas, terbanyak populasinya, pertumbuhan ekonomi yang sehat dan ambisinya untuk mengembangkan kekuatan lautnya menjadi Angkatan laut Biru.

2. Diskusi 

Memperhatikan kawasan Asia Tenggara dengan sentranya di Laut Cina Selatan,  justru dari sanalah akan berpeluang besar menjadi sentra konflik yang cukup peka. Bermain dengan Naga dari sebelah utara ini cukup membingungkan, di satu sisi sikapnya yang selalu ingin menunjukkan keinginan keras mewujudkan perdamaian kawasan, justru di sentra yang cukup peka ini,  tidak ada satu negara pun di Asia Tenggara yang tidak pernah terlibat konflik, bahkan dengan beberapa negara pernah terjadi kontak  kekuatan fisik.

Perilaku yang sama hanya bermodalkan secarik peta kontroversialnya dan meliput jauh ZEE negara-negara ASEAN, disertai ketekunannya terus menerus menekan “pemilik” sebagian teritorialnya seperti  India (isu Tibet),  Philipina, Singapore, Brunei, Vietnam, Jepang, Malaysia, bahkan dengan Indonesia, selain yang paling intensif tentu saja denganTaiwan. Bila ditarik dalam bentuk garis melingkar akan mendemonstrasikan perimeter ambisi ekspansi teritorial  Cina.

Di sisi baiknya selain ingin memperbaiki hubungan dengan negara-negara di Asia Tenggara, Cina nyata-nyata secara intensif juga mengembangkan hubungan perdagangannya. Bagaimana pun juga Cina tidak bisa mengecilkan arti jumlah pasar yang sangat besar di kawasan ini. Di sisi lain justru Cina ingin menunjukkan kekuatan militernya dengan membangun pos-pos militer lautnya (PLA-Navy), di kawasan pulau-pulau Laut Cina Selatan [gugusan Paracel, Spratley dll], selain ambisi besarnya membangun Armada Perairan Birunya. Perilaku “coba-coba” kekuatan militernya selalu dilakukan oleh Cina, inilah yang mungkin yang menyebabkan beberapa pakar menyebut Cina sebagai “belligerent“.

Amatan masalah keamanan di regional ini cukup menarik karena beberapa negara besar juga ikut mempengaruhi stabilitas di kawasan ini a.l Jepang, AS, Australia. Jepang nampak menunjukkan ketidaksukaannya kepada Cina. Tekanan-tekanan dari Cina sendiri kepadaTaiwanyang tidak henti-hentinya cukup membuat panas kawasan Asia Timur dan akan mempengaruhi peta strategi keamanan Asia Pasifik dan Asia Tenggara. Beberapa negara ASEAN juga menjadi anggota FPDA, meski belakangan ini organisasi ini kurang menunjukkan kegiatannya. Organisasi ini nampaknya lebih mementingkan “arrangement”-nya daripada aliansinya.

Kemasan ASEAN yang lebih memprihatinkan segi keamanan regional telah dibungkus dalam paket ARF [track-one dan track-two]. Aspek ekonomi tentu saja juga tidak tinggal diam dengan format yang lebih terstruktur seperti APEC. Sementara itu di luar geografik ASEAN yakni di-SemenanjungKorea, duaKoreajuga ikut meramaikan situasi keamanan di Asia Tenggara, meski posisinya cukup jauh diutara ASEAN. DuaKoreayang berseteru lama satu sama lain dan Korea Utara yang di-ikat dengan lembing PSI (Proliferation Strategic Initiative) oleh negara-negara besar dengan ujung tombaknyaKoreaselatan di Semenanjung ini.

Suka atau tidak suka, hubungan duaKoreaini akan sangat mempengaruhi panas tidaknya kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara, selain kurang nyamannya isu Sino-Jepang dan Sino-Taiwan. Fokus tulisan ini mencoba mengamati persepsi masing-masing  negara ASEAN  untuk memperhatikan apakahChinacukup dianggap ancaman potensial di Asia Tenggara.

3. Definisi Masalah 

Barangkali dapat ditemukan juga bahwa persepsi ASEAN tentang Cina tidak akan membawa pemikiran yang larut kepada konsep “mendifusikan situasi konfliktual dengan mengharapkan suatu praktek produk balans kekuatan yang ada“. Konsep seperti ini justru akan membawa kondisi ketidaksiapan negara ASEAN menghadapi ancaman dari luar di kemudian hari.

Pertanyaan besarnya mungkin yang perlu dijawab apakah konsep tersebut cukup efektif untuk menciptakan produk kekuatan penyeimbang terhadap munculnya kekuatan hegemoni Cina di Asia Pasifik khususnya di Asia Tenggara? Memperhatikan satu demi satu persepsi negara anggota ASEAN, mungkin tidaklah cukup efektif untuk menyimpulkan persepsi dan sikapnya terhadapChina, untuk itu perlu ditambah kenyamanannya dengan memandang bagaimana persepsi ARF.

Pada  dasarnya ada tiga faktor yang perlu digunakan untuk merasionalisasikan mengapa ASEAN perlu memiliki persepsi yang sama tentang Cina, dilatarbelakangi diversitas persepsi antara negara negara ASEAN sendiri dan kondisi akibat krisis ekonomi di dalam negeri ASEAN sendiri. Pertama, Cina akan menjadi negara yang berkekuatan besar baik ekonomi maupun militernya dan bagaimana  sikapnya terhadap ASEAN khususnya akan menjadi suatu yang sangat penting di kemudian hari. Kedua, memperhatikan ekspansi ekonominya, boleh  jadi di suatu saat akan menjadi suatu kekuatan untuk menekan atau mempengaruhi ASEAN. Ketiga, peningkatan kekuatan hegemoni Cina di kemudian hari akan menjadikan Naga yang bangun tidur ini menjadi kekuatan “status-quo” di kemudian hari.

Ketiga faktor tersebut apabila dapat disederhanakan, cukup mencermati dan  menerjemahkan persepsi ASEAN terhadap Chinahanya dalam dua keprihatinan (concerned) , yakni kekuatan militernya  (dinamika militer) dan ekonominya (dinamika ekonomi).  Bahasan tentang dinamika militer, Cina jelas-jelas menunjukkan ambisinya untuk mengembangkan Angkatan Laut Biru-nya, yang sudah pasti didukung dengan belanja negara sebagai dampak dari pertumbuhan ekonominya yang fantastik itu.

Mengingat lebih  2/3 teritorial Asia Pasifik dan Asia Tenggara di kelilingi wilayah Laut, sudah sewajarnya pertikaian antara negara negara ASEAN dengan Cina lebih banyak ditengarai dengan pertikaian wilayah dan gugusan pulau-pulau, pertikaian dan klaim daerah lepas pantai. Hal ini juga menumbuhkan keinginan negara-negara ASEAN untuk meningkatkan kekuatan maritimnya (utamanya), dilandasi bukan oleh kebutuhan untuk meningkatkan kepercayaan  diri  masing-masing  dalam konteks untuk menghadapi kondisi, tantangan, ketidakpastian dan peningkatan tajam iklim keamanan regional. Bukan juga pada perlombaan persenjataan tetapi lebih kepada mengamati implikasi perkembangan kekuatan militer Cina yang akan sangat berpengaruh terhadap stabilitas regional yang akan datang dgn beberapa indikator a.l: peta kontroversial teritorial Cina tahun 1993, pertikaian di Paracel, Spratley, Natuna (jangan lupa juga pertikaian Cina vs India isu Tibet), dan rangkaian uji coba rudal di Selat Taiwan.

Arahan tersebut jelas memberikan keuntungan bagi kelompok militer untuk mengembangkan ambisinya. Bagaimana pun juga keinginan strategik seperti itu akan semakin menambah kekuatiran negara-negara ASEAN, meskipun kekuatiran tersebut akan tetap menciptakan diversitas dan derajat persepsi ancaman. Alasannya, perbedaan “trauma” sejarah hubungan dengan Cina, pertimbangan teritorial, dan pertimbangan kapabilitas pertahanan (militer) masing-masing negara anggota ASEAN. ASEAN  mencermati dinamika ekonominya, lebih kepada aspek  saling menguntungkan pada umumnya.

ASEAN umumnya menganggap hubungan bilateral ekonomi dengan Cina akan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi negara dan regional di kemudian hari. Oleh karena itu hubungan politik dan diplomatik  yang  mesra  perlu  dipertahankan (lebih dikenal dengan “ASEAN ways”). ASEAN memandang Cina sebagai mesin ekonomi  dan dinamisator regional.  Bagaimana pun juga masing-masing anggota ASEAN belum memiliki persepsi sama tentang ancaman (unassertive attitudes). Dirasakan tetap ada rasa curiga terhadap modernisasi militer Cina dengan catatan masing-masing berbeda derajat kecurigaannya.

Mungkin saja selain alasan di atas, masing-masing negara masih disibukkan dengan  krisis finansialnya, sehingga belum mampu memfokuskan dirinya pada pertumbuhan Naga yang baru bangun tersebut. Konsep ancaman mana yg akan digunakan, tradisional atau liberalkah? Apalagi memikirkan bagaimana seandainya tidak mampu menciptakan kekuatan penyeimbang di kawasan ini, skenario apa yang akan diciptakan di masa mendatang?

Mungkin ARF-lah yang akan bekerja keras memikirkan isu keamanan dengan lebih komprehensif dan lebih luas dibandingkan ASEAN sendiri di masa mendatang. Kalau tidak siapa lagi? Apalagi memikirkan hubungan Sino-Jepang, Sino-AS, Sino-Korea Selatan, hubungan AS-Cina, AD-Jepang dan AS-Korea Selatan, utamanya persepsi dan dampaknya terhadap keamanan regional Asia Pasifik dan Asia Tenggara.

4. Penutup 

Demikian kajian ini dibuat untuk digunakan sebagai masukan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap