Sekolah Staf Dan Komando TNI AU
Dari Perang Parit Menuju Penggunaan Kekuatan Udara
Perang merupakan langkah terakhir dari diplomasi dua negara atau lebih yang gagal.[1] Pada saat itu strategi perang yang paling lazim dipergunakan adalah perang parit yang pada jamannya disebut sebagai perang Total. Perang Parit pada dasarnya menggunakan strategi perang statis. Perang akan berkecamuk dengan cepat diantara pasukan. Senjata yang dipergunakan sangat beragam, dari penggunaan gas beracun, senapan mesin, dan penembakan artileri. Tujuannya adalah untuk mendapatkan efek pembantaian yang besar di sepanjang medan perang yang membentang ratusan mil. Pada abad 19, perang tidak lagi dilaksanakan secara eksklusif oleh tentara terlatih atau tentara bayaran yang disewa. Perang yang terjadi di seluruh belahan dunia telah berkembang menjadi perang total yang melibatkan seluruh elemen national power negaranya. Akhir-akhir ini penggunaan sarana udara menjadi primadona setiap bangsa.
Munculnya pesawat terbang dalam Perang Dunia I telah menawarkan alternatif terbaik untuk mengganti perang parit yang statis. Pada awalnya pesawat terbang digunakan untuk observasi dan pengintaian posisi lawan, namun karena keuntungan dari menggunakan pesawat terbang sebagai senjata sangat memungkinkan, akhirnya pesawat juga dipergunakan untuk melaksanakan penetrasi lawan dengan melakukan serangan kedalam willayah musuh. Pesawat terbang dengan mudah dapat menyeberangi garis batas antara dua negara dan dapat menyerang pusat kekuatan lawan, seperti industri, populasi, dan kekuatan militer secara efektif dan efisien. Selanjutnya menjadi jelas bahwa pesawat terbang merupakan sarana yang dapat melaksanakan terobosan jauh kedalam kubu pertahanan musuh dan membawa konsep manuver udara ke dalam operasi militer. Para pelaku perang saat itu percaya bahwa kemenangan perang akan tercapai bila berhasil menyerang pusat-pusat penting lawan (Center of Grafity — COG). Perang Dunia I telah memberikan pelajaran bahwa kekuatan udara memegang peran kunci dalam menghancurkan pusat-pusat strategis suatu negara, termasuk pabrik-pabrik, jalur transportasi, pusat pemerintahan, dan industri pertahanan. Trenchard beranggapan bahwa kekuatan udara dipergunakan untuk mendukung kekuatan darat dan lebih berdedikasi dalam operasi mandiri atau operasi independen dan setelah Perang Dunia I. Trenchard semakin yakin bahwa peran kekuatan udara adalah prioritas utama yang harus dikedepankan sementara peran pasukan Darat dan Laut bersifat sekunder.[2]
Teori Air Power
Air Power atau Kekuatan udara suatu bangsa merupakan salah satu instrumen yang dapat didayagunakan sebagai modal bagi suatu negara dalam mewujudkan kepentingan nasionalnya. Dari beberapa ahli perang mengungkapkan bahwa:
1. Duilio Douhet. Dalam teori “Command of The Air”, dinyatakan bahwa “there is only one attitude to adopt in aerial warfare-namely, an intense and violent offensive, event at the risk of enduring the same thing from the enemy. The one effective method of defending one’s own territory from an offensive by air is to destroy the enemy’s air power with the greatest possible speed’.[3] Hanya ada satu sikap dalam mengambil tindakan untuk perang udara yaitu serangan intens dan menyerang untuk menghancurkan, bahkan dengan mengambil resiko yang sama dengan musuh. Salah satu metode yang efektif untuk membela wilayah kita dari serangan udara adalah menghancurkan kekuatan udara musuh dengan menggunakan kecepatan yang paling besar. Hanya Air Power yang bisa menyerang secara langsung yang dapat menimbulkan Psychological Impact.
2. Winston Churchill. Air power is the most difficult of military forces to measure or even to express in precise terms. The problem is compounded by the fact that aviation tends to attract adventurous souls, physically adept, mentally alert and pragmatically rather than philosophically inclined.[4] Kekuatan udara adalah yang paling sulit dari semua bentuk kekuatan militer untuk diukur, atau bahkan menyatakannya dalam istilah yang tepat.
3. Field Marshal Bernard Law Montgomery. “If we lose the war in the air, we lose the war and we lose it quickly”. Apabila kita kalah perang di udara, maka kita akan kalah perang dan kita akan kalah dengan cepat. Kekuatan udara adalah sesuatu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Jika kita membaginya menjadi bagian yang terpisah-pisah, hanya akan membuatnya menjadi terpecah-pecah dan menghancurkan aset terbesarnya, yaitu fleksibilitas.
4. Teori Penguasaan Udara Cooper (1951). Dalam Cooper’s Control Theory Cooper menyatakan bahwa kedaulatan negara di udara ditentukan oleh kemampuan negara-negara yang bersangkutan untuk menguasai ruang udara yang ada di atas wilayahnya.[5]
5. Teori Ruang Udara Schatcher. Pada Schatcher’s Air Space Theory dinyatakan bahwa kedaulatan negara di ruang udara hanya terbatas pada daerah dimana dapat dilakukan penerbangan dengan pesawat udara yang dilakukan manusia. Artinya bahwa batas kedaulatan udara semua negara seharusnya sama sesuai dengan pencapaian teknologi penerbangan yang ada saat ini.
6. British Air & Space Power Doctrine Ed-4. Air and space power is: The ability to project power from the air and space to influence the behaviour of people or the course of events.[6]
7. William Mitchell (1879-1936): Kekuatan udara memiliki efek mendalam dan abadi pada doktrin kekuatan udara dan penggunaan dari kekuatan udara. Premis utama teori ini adalah keyakinan bahwa Angkatan Udara yang independen dan setara di bawah departemen pertahanan yang terpadu adalah cara paling efisien untuk mengahadapi lawan bahkan untuk melawan musuh dari luar negeri. Kekuatan udara bisa menyerang pusat-pusat penting musuh tanpa terlebih dahulu mengalahkan Angkatan Darat dan Angkatan Laut musuh.[7]
8. Doktrin Swa Buana Paksa Tahun 2012. Kekuatan udara nasional adalah kemampuan total bangsa dalam menggunakan media udara sebagai sarana bagi pencapaian kepentingan nasional.[8]
Pemikiran Tentang Penggunaan Kekuatan Udara
Penggunaan Kekuatan Udara pada awalnya dibatasi untuk membantu secara langsung terhadap kekuatan Darat dan kekuatan Laut atau dengan kata lain yang lebih sederhana bahwa kekuatan Darat dapat memanfaatkannya untuk melaksanakan pengamatan udara dengan tujuan mengarahkan tembakan artileri Darat ke sasaran musuh. Disisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dinamis senantiasa bermuara pada sistem penguasaan udara. Media yang seolah bebas hambatan ini telah menjadi suatu persyaratan untuk memenangkan perang dari jaman ke jaman baik peperangan di Darat, di Laut dan di Udara.
Sejak awal, perang modern melibatkan lebih dari satu angkatan. Kehadiran Angkatan Udara merupakan sesuatu hal yang menentukan dalam sebuah peperangan (warfare). Walaupun kekuatan udara masih tetap membantu kekuatan darat dan kekuatan laut dalam operasi militer, akan tetapi melalui karakteristik yang unik maka kekuatan udara akhirnya bukan lagi menjadi bagian dari kekuatan darat dan laut. Munculnya pesawat-pesawat multi role merupakan pertunjukan senjata bernilai strategis yang sulit untuk dilumpuhkan. Betapa tidak, setiap aksi manuver pesawat ini sudah dapat dipastikan mempunyai prinsip penggunaan kekuatan udara yang maksimum dalam rangka memperoleh sasaran optimal dalam ketepatan akurat dan daya hancur yang besar. Penghancuran seluruh sasaran yang bernilai strategis di tempat yang terpisah sekalipun tidak akan membutuhkan waktu terlalu lama. Prinsip quick kill menjadi prioritas utama dalam setiap serbuan.
TNI AU Dan Doktrin Kekuatan Udara
As the world changes, the Air Force must change with it. Unfortunately, it is ill-prepared to move into the world; in fact, the Air Force was becoming increasingly unable to deal effectively with the old world. Tidak bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan TNI AU dari masa ke masa harus berhadapan dengan variabel tantangan yang terus meluas seiring dengan dinamika lingkungan strategis yang senantiasa berubah. Kompleksitas ancaman yang berkembang bukan saja berupa ancaman regular maupun iregular war/asimetric war, namun juga berkembang pada ancaman perang hybrid. Strategi yang telah dijalankan termasuk perubahan demi perubahan yang dilakukan oleh TNI AU, pada dasarnya adalah proses perubahan untuk membangun eksistensi kemampuan dan kekuatan TNI AU yang mampu menghadapi variabel tantangan serta mampu untuk menghadapi setiap ancaman yang terjadi. Melihat realitas potensi ancaman dan prediksi perkembangan strategi perang modern di masa mendatang, Indonesia melalui TNI AU membutuhkan kekuatan udara yang tangguh. Hanya dengan kekuatan udara akan mampu menyediakan keunggulan pada faktor kecepatan, ketinggian, fleksibilitas, mobilitas, daya penghancur, daya kejut, daya terobos dan daya jangkau untuk menghadapi setiap ancaman terhadap integritas negara dalam konteks strategi perang modern.
Keberhasilan dalam strategi pencapaian tugas sangat dipengaruhi oleh doktrin yang dimiliki dalam organisasi TNI AU. Doktrin sebagai pedoman dalam menyusun strategi penggunaan kekuatan terus berkembang, begitu pula dengan Doktrin Kekuatan Udara (airpower doctrine). Doktrin kekuatan udara dikembangkan diantaranya berdasarkan pengalaman sejarah, hasil latihan dan hasil perbandingan Doktrin negara lain yang di adopsi dengan melihat pada kemajuan ilmu pengetahuan serta dinamika lingkungan strategis yang selalu berkembang. Artinya perkembangan kekuatan udara harus pararel dengan ancaman yang mungkin terjadi. Permasalahan timbul manakala kekuatan air power Indonesia dihadapkan dengan luasnya wilayah Indonesia yang terbentang dari Barat ke Timur. Mungkinkah kita dapat mengamankan wilayah udara hanya dengan 1 Skadron F-16 atau 1 Skadron F-5 ataupun 1 Skadron Sukhoi Su-27/30 ?. Jangankan untuk mengatasi 2 trouble spot, untuk mengamankan 1 trouble spot saja sudah kesulitan.[9] Bagaimana semboyan quick respon bisa dilaksanakan bila pelanggaran terjadi di wilayah Indonesia Timur atau di ujung Barat Sumatera? Jawabannya lagi-lagi tidak mungkin. Alasannya adalah jangankan untuk memiliki Skadron Pemburu multi role sejenis F-22 Raptor atau FA-18 Hornet, untuk memenuhi 2 Skadron Tempur pada setiap pulau besar saja Indonesia sudah sangat kerepotan.[10] Untuk dapat menjaga dan mengamankan serta menimbulkan ditterrent efect bagi negara lain setidaknya diperlukan 20 Skadron Tempur dengan asumsi setiap pulau besar ditempatkan 2 Skadron Tempur, sementara dalam penggolongannya kita mempunyai 10 wilayah kepulauan besar yang harus di amankan. Jumlah ini adalah jumlah minimal yang harus dipenuhi. Jadi, jika kita memang mau mengacu kepada doktrin yang sudah kita miliki, penerapan Minimum Essential Force (MEF) bukan lagi berorientasi pada kekuatan anggaran (budget defense oriented) tetapi betul-betul mengarah kepada pembangunan kekuatan udara dan pengembangan air and space power.[11]
Air-Space Powers Perspective
Dalam perkembangannya Indonesia telah memanfaatkan ruang orbit di angkasa sejak tahun 1976 yaitu satelit palapa yang digunakan untuk kepentingan telekomunikasi dan pertelevisian. Selanjutnya pada tahun 2007 diluncurkan satelit LAPAN-TUBSAT yang pada dasarnya menggunakan air space dan akan menjadi kekuatan luar angkasa (space power) meski selama ini baru dimanfaatkan untuk pemantauan situasi bumi seperti kebakaran hutan, banjir, gunung berapi, dan pemetaan nasional. Artinya bahwa doktrin kekuatan udara (air power doctrine) yang ada saat ini suatu saat dapat dirubah menjadi kekuatan dirgantara (air-space power doctrine) mengingat sudah banyak negara-negara didunia telah merubah doktrin kekuatan udaranya menjadi air space power doctrine. Lalu bagaimana caranya agar Indonesia mampu memanfaatkan, melindungi dan memelihara air-space power tersebut? Apakah kekuatan udara kita mampu didayagunakan untuk melindungi satelit kita yang berada di angkasa? Disinilah permasalahan yang harus dipecahkan bersama. Permasalahan air-space power bukan hanya tanggung jawab TNI Angkatan Udara saja, namun perlu keikut sertaan seluruh akademisi atau para ahli untuk bersama-sama ikut memikirkan dan menyumbangkan seluruh daya serta fikirannya agar cita-cita suci ini tercapai. Banyaknya akademisi berpotensi dan berfikiran maju yang terlahir dari sumber daya manusia bangsa Indonesia yang mungkin dapat mewujudkan impian.
Kesimpulan
Dari waktu kewaktu persepsi perang selalu berubah, demikian halnya dengan kekuatan udara (air power). Dalam perkembangannya, kekuatan udara (air power) merupakan instrumen yang paling efektif dalam memenangkan perang, karena memiliki karakteristik khusus yang tidak dimiliki oleh Angkatan Darat ataupun Angkatan Laut. Seiring dengan perkembangan ilpengtek dirgantara, dimensi air power telah berubah menjadi air-space power. Kondisi ini memaksa seluruh bangsa untuk bergerak menuju penguasaan dirgantara dan mulai beralih pada penguasaan air-space power, termasuk Indonesia. Sudah siapkah TNI AU menghadapi perkembangan ini ?
[1] Clausewitz, Carl Van, Politic and Diplomacy, Jakarta Press, 2009.
[2] Hugh Montaque Trenchard,”Air Power Theorist Trenchard. En. Wikipedia.org/wiki/hugh_trencard. Di unduh tahun 2013. Pukul 13,30.
[3] Douhet Guilio, Military Times Classic, “the Command of The Air” di unduh dari http:/www. Military-times.co.uk.2013.
[4] Winston Churchill as quoted in AP 3000 Third Edition, British Air Power Doctrine, Directorate of Air Staff, Ministry of Defence, London, 1999, p.1.2.1.
[5] Priyatna Abdulrrasyid, Kedaulatan Negara di Udara, Fikihati, Jakarta, 2003, hal. 103.
[6] Winston Churchill as quoted in AP 3000 Third Edition, British Air Power Doctrine, Directorate of Air Staff, Ministry of Defence, London, 1999, p.7.
[7] Mitchell William, “Air Power Theoris Mitchell”. www.historinet.com/william-billy-miichell. Di unduh tahun 2013.
[8] Mabes TNI AU, Doktrin TNI Angkatan Udara Swa Bhuana Paksa, Daftar pengertian,. Tahun 2012.
[9] Ambadar, Zacky, Menjaring Strategi, tahun 2006.
[10] Fortuna Anwar, Dewi, ’Membangun Strategi’, seminar sehari, Jakarta. 2006.
[11] Komentar redaksi FKPM, … konsep yang relatif sama dengan “activities-based costing”, atau anggaran adalah konsekuensi kegiatan, bukan dibalik seolah-olah kegiatan adalah konsekuensi anggaran. Periksa QD terbitan tahun 2012, via situs www.fkpmaritim.org, dgn judul seperti : “ Ekonomi Pertahanan…dst ”, “ Pentingkah Analisis kebijakan dan anggaran “, “ Kotak katik anggaran , siapa takut ? “. Sebagai tambahan isu MEF periksa catatan kaki no. 10, di halaman 6.