Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan Sejarah Indonesia

Pergeseran Orientasi Maritim Bangsa Ditinjau dari Tiga Pembabakan Sejarah Indonesia

Oleh: Amelia Rahmawaty, S. H. Int.

 

Berbeda dengan bangsa lain yang kerap menyebut wilayah negaranya sebagai motherland atau fatherland, Bangsa Indonesia menyebut wilayahnya sebagai tanah air. Secara harfiah, maka Indonesia terdiri atas tanah dan air. Tanpa air, bumi Indonesia tidak akan dapat disebut tanah air, pun sebaliknya.

Terdiri dari 80% air tidak otomatis membuat Indonesia menyandang sebutan negara maritim. Karena negara maritim adalah negara yang banyak mengalokasikan pengeluarannya pada kekuatan laut. Kekuatan laut bukan berarti angkatan laut saja, tetapi mencakup juga ekonomi dan infrastruktur yang berkaitan dengan laut (Falconer, 2011: 260). Memahami pengertian ini dan melihat kenyataan yang ada, Indonesia nampaknya belum bisa dikategorikan negara maritim, malah Indonesia cenderung dikategorikan sebagai negara yang berorientasi daratan (land-oriented/continental-oriented).[1]

Orientasi ini sangatlah penting karena orientasi akan menentukan arah kebijakan dan strategi pemerintah nantinya di seluruh aspek; politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Keuntungan yang didapat dengan mengembalikan Indonesia sebagai negara yang berorientasi maritim setidaknya dapat disoroti dari segi ekonomi dan keamanan.

Dari segi ekonomi, tentu saja mengembalikan orientasi Indonesia pada maritim dapat memakmurkan Indonesia. Setidaknya terdapat sepuluh sektor yang dapat dikembangkan untuk kemakmuran Indonesia, yaitu; (1) indutri perikanan, (2) budidaya perikanan pantai dan budidaya laut, (3) industri pengolahan ikan, (4) indutri bioteknologi kelautan, (5) energi dan pertambangan, (6) pariwisata pesisir dan laut, (7) transportasi laut dan pelabuhan, (8) industri maritim dan jasa, (9) sumber daya pulau kecil, dan (10) sumber daya non-konvensional (Dahuri, 2007). Pengembangan sepuluh sektor ini dapat membantu mengurangi pengangguran, menumbuhkan aktivitas ekonomi di daerah-daerah terpencil, meningkatkan reputasi Indonesia melalui estetika alamnya, mengembangkan teknologi yang dapat mendukung sektor industri lainnya, mendanai pendidikan, dan yang tak kalah penting untuk membiayai pembangunan kekuatan Angkatan Laut.

Hubungan perekonomian dan keamanan Indonesia (jika berorientasi pada maritim) seperti mengayuh sepeda. Agar seimbang, ada dua kayuh yang harus terus digerakkan. Kedua kayuh ini adalah  sektor komersial maritim dan Angkatan Laut. Angkatan Laut dapat dijadikan tulang punggung perekonomian. Hal ini dikarenakan ia memiliki multifungsi yang meliputi perlindungan terhadap aktivitas melaut, perdagangan, transportasi, dan perlindungan negara itu sendiri (baik di darat maupun di laut) (Casey-Vine dalam Till, 2009: 35). Pembangunan Angkatan Laut berfungsi menjaga pertumbuhan ekonomi dan menjauhkan ancaman yang datang dari laut. Sehingga, pada akhirnya pembangunan Angkatan Laut akan menghasilkan biaya yang efektif (cost effective) karena mendukung kemakmuran dan keamanan negara (Till, 2009: 35).

Selain itu, sudah menjadi tanggung jawab Indonesia sebagai negara kepulauan untuk menjaga keamanan dan menjamin kelancaran navigasi di Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Untuk menyelenggarakan hal tersebut, dibutuhkan kekuatan Angkatan Laut yang mumpuni; baik dari segi sumber daya manusia, maupun alutsista yang canggih.

Sebenarnya, Indonesia sudah berorientasi maritim sejak era pra-kolonial. Namun pada era kolonial, Indonesia bergeser kepada continental-oriented. Kebiasaan ini berpengaruh hingga tingkat pemerintah, dimana kebijakan-kebijakan lebih sering berfokus kepada continental-oriented. Maritime power (kekuatan maritim) mendapatkan porsi perhatian yang lebih sedikit. Hal ini tidak sesuai dengan geografis dan ekologis Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, era kolonialisme telah menjadi masa-masa penting bagi perubahan orientasi aspek kehidupan Bangsa Indonesia, hingga rasanya hampir tidak mungkin membicarakan pergeseran orientasi maritim Bangsa Indonesia tanpa mengaitkannya dengan era kolonialisasi. Maka pada artikel kali ini, penulis akan menganalisis apa penyebab sekaligus hal yang sebaiknya dilakukan Indonesia untuk kembali pada orientasi maritim ditinjau dari tiga pembabakan sejarah Indonesia. Apakah benar kolonialisme menjadi penyebab tunggal pergeseran orientasi maritim Indonesia?

  1. I.                    Era Pra-Kolonial

Dilihat dari sejarahnya, tidak ada pengaruh besar yang dibawa dari luar untuk membentuk semangat maritim bangsa pada masa pra-kolonial. Karena orientasi maritim justru datang dari bangsa kita sendiri. Dalam wawancara penulis dengan Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro 31 Desember 2013 lalu, Profesor Djuliati Suroyo menuturkan bahwa, kesadaran akan geografi dan ekologi sekitar membuat para pendahulu kita sangat menggantungkan hidupnya pada laut. Namun, tidak berarti barang-barang dagangan mereka hanya bersumber dari laut sehingga menutup akses dan sumber daya agraris. Para pendahulu nusantara (forerunner) juga memperdagangkan hasil-hasil pertanian, seperti cengkeh, lada, dan kayu manis yang menjadi hasil alam paling diminati di Eropa dan Cina. Barang-barang ini diekspor hingga mencapai istana dinasti Han di Cina Utara 2.000 tahun lalu, berikut juga ke Roma pada tahun 70 M, dan Mesopotamia pada ± tahun 1700 SM (Van Der Meulen dalam Suroyo et all, 2007: 35).

Ramainya aktivitas pelayaran perdagangan yang berpusat di kota-kota pelabuhan memprekondisikan kemunculan masyarakat kota pelabuhan. Dalam sirkumstansi normal, pedagang lebih memilih untuk menjalankan aktivitas dagangnya tanpa adanya intervensi dari kekuasaan negara. Tetapi, pertumbuhan dan ekspansi perdagangan mengarahkan kepada persaingan dan konflik dimana pada akhirnya dibutuhkan interfensi politik. Suatu badan legitimasi politik dibutuhkan demi keamanan para pedagang. Sehingga kemudian, perdagangan yang sebelumnya tidak mengabaikan politik, berubah menjadi perdagangan dibawah kerajaan-kerajaan yang diakui (Das Gupta dalam Kratoska, 2001: 91 – 92). Pada perkembangannya, perdagangan maritim dan persebaran agama-agama baru digunakan oleh kerajaan-kerajaan untuk membangun kekuatan politik yang lebih besar agar dapat menguasai potensi ekonomi (Sulistiyono, 2011: 221).  Prof. Djuliati menekankan bahwa pada urutannya, sesungguhnya kesadaran masyarakat lah yang mengawali terbentuknya politik di Nusantara yang mulai tumbuh pada abad ke-5.

Beliau menambahkan, untuk melindungi aktivitas dagang yang memberi begitu banyak keuntungan bagi kerajaan dan kemakmuran rakyat, kerajaan-kerajaan Nusantara kemudian membangun armada laut yang kuat. Pada masa kejayaan maritim di Nusantara ini, sudah menjadi syarat mutlak bagi kerajaan-kerajaan maritim tersebut dalam memiliki angkatan laut yang besar dan kuat demi mempertahankan kedaulatan mereka. Selain melindungi pelayaran perdagangan, angkatan laut juga digunakan sebagai alat untuk memperluas dan menjaga daerah kekuasaan, menjamin dan melanggengkan kestabilitasan perdagangan. Sebagai contoh, besarnya angkatan laut Kerajaan Sriwijaya membuatnya mampu menciptakan keamanan di Asia Tenggara. Sehingga, selain menguntungkan dari segi ekonomi, kekuatan angkatan laut juga mampu mendorong kedigdayaan politik melalui kewibawaan yang terbangun di mata pesaing-pesaing Kerajaan Sriwijaya (Suroyo et all, 2007: 29-299). Di Kerajaan Aceh, kekuatan angkatan laut mampu membuat Inggris memilih jalur diplomatis dalam meminta izin berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Aceh untuk keperluan berdagang.

Profesor Djoko Suryo, sejarawan sekaligus Guru Besar Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa, selain alasan untuk bertahan hidup, kemakmuran, dan menjaga stabilitas daerah kekuasaan, orientasi yang kuat terhadap maritim memberi manfaat lainnya bagi Nusantara, yaitu sebagai alat pemersatu. Dari segi ekonomi, pelabuhan di suatu pulau ke pulau lainnya digunakan sebagai transit bagi pelayaran niaga. Untuk mengirim barang dagangan ke Maluku, maka Aceh akan transit terlebih dahulu di Jepara. Setelah itu dari Jepara barang dagangan akan dikirimkan ke Maluku, pun sebaliknya. Begitu juga dengan Makasar yang pada abad ke-16 menjalin hubungan dagang dengan pusat-pusat niaga daerah penghasil komoditas, seperti Banten, Surabaya, Sumbawa, Bima, Alor, Maluku, dan Banjarmasi. Pulau-pulau menjadi hidup akibat aktifitas perdagangan. Bahkan, pulau-pulau terluar lebih hidup dibandingkan dengan daerah-daerah di pedalaman (ibid., hal: 34).

Hal yang sama disampaikan oleh Prof. Djuliati, bahwa, walau tidak dipungkiri terdapat persaingan antar pedagang, namun dapat dipastikan orientasi maritim menjadi pemersatu pada masa itu karena didasari oleh kepentingan yang sama untuk melindungi kepentingan ekonomi kerajaan-kerajaan tersebut. Makasar tahu betul bahwa Maluku adalah pulau dengan pusat rempah yang paling kaya. Sebagai upaya untuk mempererat hubungan dagang dan politik dengan penguasa daerah penghasil rempah-rempah, serta mempertahankan perdagangan di Maluku, Kerajaan Makasar selalu menawarkan bantuan militer apabila Maluku membutuhkan. Jacob Van Leur mengatakan,

“ … Raja hendak mengirim dua orang pemimpin diantara mereka dengan tanggung jawab utama bila penduduk amboina atau sekitarnya membutuhkan bantuan, mereka akan menolong sepenuhnya seperti dulu, sesuai dengan kemampuan mereka.” (Van Leur dalam Poelinggomang)

Kerjasama militer juga terjadi antara Kerajaan Aceh-Kerajaan Demak, dan Kerajaan Jeparah – Kerajaan Aceh. Pada tahun 1513, berkoalisi dengan angkatan laut Aceh, Demak melakukan penyerangan melawan Portugis di Malaka. Mereka membawa sekitar 100 jung dengan kekuatan 12.000 kelasi. Kapal laksamana pemimpin perangnya diberi panser dari kapur. Meriam yang dibawa untuk menggempur Portugis di Malaka ini semua berasal dari Jawa (Van den Berg et all. dalam Suroyo et all., 2007: 300-301). Begitu pun dengan Jepara. Dibawah pimpinan Ratu Kalinyamat, Jepara mengirimkan bantuan militer kepada Kerajaan Aceh yang berperang melawan Portugis di Malaka.

Namun, seiring dengan adanya kebutuhan untuk mengejar keuntungan dari rempah-rempah yang permintaannya semakin tinggi di Barat, perdagangan di nusantara mengalami tekanan, diantaranya dari Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Mulanya, kembali Prof. Djuliati mengatakan, kedatangan pelaut-pelaut Eropa tersebut dilandasi oleh keinginan berdagang. Namun, karena melihat kesuburan dan kemakmuran Nusantara dan raja-rajanya yang kaya, keinginan tersebut kemudian berubah menjadi kerakusan, sehingga bernafsu memonopoli kota-kota pelabuhan, perdagangan Nusantara, dan wilayah Nusantara sendiri.

 

  1. II.                Era Kolonial

Selain karena ketenaran rempah-rempah yang dimiliki Nusantara, keinginan tersebut juga banyak dipengaruhi oleh semangat berdagang demi mengeruk keuntungan yang mendorong mereka mengarungi samudera menuju bumi Nusantara. Prof. Djoko Suryo mengatakan, saat pertama kali datang ke Nusantara (Banten), Cournelis de Houtman terkejut dengan kesibukan aktivitas perdagangan internasional disana. Perdagangan tidak hanya dilakukan oleh penduduk lokal, tetapi juga orang-orang barat. Sehingga, ia pun menceritakan hal ini kepada pengusaha-pengusaha di Barat sekembalinya ia ke Belanda.

Selain membawa “kabar” tentang Nusantara yang letaknya strategis dan memiliki lahan yang subur, kembalinya De Houtman ke Belanda juga membawa rempah-rempah yang memberi keuntungan besar. Mengetahui hal tersebut, penjelajah Belanda (lebih tepatnya perusahaan perdagangan) lainnya kemudian ikut berlayar ke Nusantara untuk membeli rempah-rempah. Hal ini menyebabkan terlalu banyaknya persediaan rempah-rempah di Belanda sehingga harga rempah-rempah, yang sebelumnya sangat mahal, turun secara drastis. Sebagai solusi untuk menyelesaikan kekacauan tersebut, Kerajaan Belanda membentuk kongsi dagang, VOC. Didirikannya persatuan organisasi dagang Belanda ini bertujuan untuk menghindari persaingan tidak sehat antara sesama pedagang Belanda.

Prof. Djuliati menekankan, sejak awal, niat VOC berfokus pada perdagagan. Untuk itu, dibutuhkan hasil pertanian agar dapat diekspor sebanyak-banyaknya dan didapat semurah-murahnya untuk mengeruk keuntungan maksimal. Oleh karena itu, strategi VOC adalah memaksa petani-petani (Jawa) menanam komoditi yang laku dan memonopoli perdagangan.

Pertama, monopoli perdagangan yang ditetapkan VOC membuat armada laut VOC menjaga laut-laut (dan menguasai pelabuhan) Nusantara untuk menghindari terjadinya perdagangan antara raja-raja Nusantara dengan pedagang asing, terutama sekali Portugis dan Spanyol. Raja-raja Nusantara hanya boleh berdagang dengan Belanda dan pedagang lain yang telah mendapat izin dari VOC. Hal ini dibenarkan oleh Prof. Djoko Suryo. Penjagaan laut membuat rakyat tidak dapat melaut secara bebas karena laut-laut dijaga oleh kapal-kapal Belanda.

Kedua, adanya kewajiban menggarap tanah dan menanam tanaman yang telah ditentukan (komoditi yang menguntungkan seperti gula (tebu), kopi, dan nila (indigo)) untuk kemudian dijual kepada VOC dengan harga mahal. VOC memaksa orang Jawa menjadi produsen pertanian, tetapi tidak memberi kesempatan kepada mereka untuk berdagang karena perdagangan dimonopoli oleh VOC. Sehingga, VOC menguasai perdagangan dan pelayaran, sedangkan orang Indonesia menjadi petani kuli.

Ketiga, ekspansi VOC bersamaan dengan hancurnya aktivitas maritim. Di Jawa, politik Sultan Agung yang menutup seluruh pelabuhan-pelabuhan di Jawa dan hanya membuka Jepara sebagai pelabuhan utama menyebabkan kematian perdagangan laut orang Jawa (dan Indonesia).

Terakhir, adanya kebijakan contingenten yang mewajibkan rakyat menyerahkan hasil bumi sebagai pajak. Kewajiban-kewajiban ini membuat tenaga rakyat tersedot pada bidang agraris dan aktivitas maritim lambat laun mulai ditinggalkan.

Hal-hal demikian inilah yang kemudian berperan besar dalam menggeser orientasi bangsa yang semulanya berorientasi kepada maritim.

Setelah pembubaran VOC pun, budaya agraris dan continental-oriented masih berlanjut. Meskipun terdapat peralihan kekuasaan dimana kekuasaan terpusat dipegang oleh Kerajaan Belanda, namun kebijakan politik masih sama; eksploitasi tanah negara jajahan untuk sumber komoditi ekspor. Hal ini menjadi pedoman kerja pemerintah kolonial dengan maksud yang sama dengan VOC, meningkatkan semaksimal mungkin produksi pertanian untuk pasar Eropa.

Berdasarkan pedoman tersebut, dibentuklah kebijakan-kebijakan yang pada perkembangannya semakin mematikan visi dan semangat maritim Bangsa Indonesia, diantaranya adalah sistem tanam paksa. Sistem ini membuat para petani di Jawa harus menanam teh, kopi, tebu, tembakau, dan indigo yang sangat laku di pasar internasional. Keuntungan yang didapat dari produksi perkebunan ini akan dialokasikan pemerintah kolonial untuk membiayai aksi perlawanan rakyat pribumi di berbagai daerah.

Akibat ambisi Belanda untuk mendapat keuntungan dari produksi perkebunan, tenaga rakyat banyak tersedot ke bidang agraris. Begitu pun dengan sistem kerja paksa yang dipimpin oleh Daendels ini juga menyedot banyak tenaga rakyat. Sistem kerja paksa ditujukan untuk melawan atau menghalau serangan Inggris. Untuk itu, Belanda harus membangun benteng pertahanan. Salah satu caranya adalah dengan membangun jalan Anyer-Panarukan agar mempermudah gerakan pasukan Belanda. Ribuan pribumi, dikerahkan untuk proyek pembangunan jalan, benteng pertahanan, dan jaringan logistik Pemerintah Hindia Belanda.

Tidak hanya rakyat, Belanda juga menggunakan penguasa-penguasa untuk menunjang kelancaran kebijakannya. Pemerintah Hindia Belanda memaksa penguasa-penguasa untuk mengerahkan rakyatnya untuk menjalankan kebijakan. Pemimpin pribumi, seperti raja, bupati, dan camat menjadi agen dari sistem tanam paksa. Pemerintah Hindia Belanda memberi target produksi perkebunan yang tinggi. Akibatnya, penguasa pribumi harus meningkatkan eksploitasi terhadap warga desa melebihi aturan yang telah ditetapkan.  Begitu pula dengan kerja paksa, dimana pemerintah kolonial memaksa pemimpin pribumi untuk mengerahkan rakyat untuk bekerja pada proyek pembangunan jalan Anyer-Panarukan.

Profesor Anhar Gonggong, sejarawan sekaligus tenaga profesional Lemhanas dalam perbincangan bersama penulis pada 5 Januari 2014 menekankan, bahwa, dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, Pemerintah Hindia Belanda menggunakan sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule). Mereka menjadikan penguasa kerajaan lokal sebagai perantara untuk menjalankan pemerintahannya melalui peran pemimpin pribumi menjadi perantara Pemerintah Kolonial untuk mengorganisir pengerahan dan eksploitasi lahan dan rakyat.

Di akhir abad ke-19 dan awal abad 20 dimana liberalisme mulai berkembang, terjadi sedikit perubahan dalam kebijakan pemerintah kolonial. Dalam tulisannya yang berjudul Een Eereschuld (A Debt of Honor/Hutang Kehormatan), seorang tokoh Belanda beraliran Liberal menyuarakan kritiknya terhadap kebijakan pemerintah Kolonial Belanda. Ia mengatakan, bahwa Bangsa Belanda berhutang budi kepada rakyat Indonesia dan harus membayarnya dengan memberi kesejahteraan melalui pendidikan, emigrasi, dan irigrasi. Ratu Wilhelmina pada saat itu menanggapi gagasan tersebut dan kemudian direalisasikan melalui kebijakan yang disebut Etishche Politiek (Politik Etis). Meskipun demikian, kebijakan tersebut tidak mengurangi penderitaan rakyat pribumi (Ricklefs, 2001: 193-205). Walaupun pada akhirnya, berkat program pendidikan dari kebijakan Politik etis ini menelurkan pelopor gerakan nasional kemerdekaan Indonesia, seperti Budi Utomo, Dr. Sutomo, Soekarno, Hatta, Dr. Cipto Mangunkusumo, dan termasuk pula Raden Ajeng Kartini.

 

  1. III.             Era Pasca-Kolonial

Era ini adalah masa dimana Indonesia telah merdeka. Setelah mengalami pergeseran orientasi maritim besar-besaran pada bangsa Indonesia akibat dari kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk kepentingan Pemerintah Kolonial Belanda yang sangat berfokus kepada sektor agraris, pasca kemerdekaan Indonesia masih belum kembali pada orientasi maritim.

Pada masa pra-kolonial, kekuatan maritim dikerahkan karena sumber pendapatan penduduk dan raja sangat bergantung dari laut. Laut dijadikan tempat bertumpunya ekonomi rakyat, baik sebagai penghasil komoditi ekspor (selain hasil produksi pertanian, dan alat-alat rumah tangga), maupun sebagai jalan raya untuk  mengirimkan barang dagangan mereka ke pulau seberang (atau bahkan hingga ke Cina, India, dan Eropa), dan melakukan transaksi perdagangan di pelabuhan-pelabuhan. Hal ini mendorong raja untuk memastikan keamanan laut dan wilayah kekuasaannya melalui armada laut. Keamanan laut mutlak diperlukan agar jalur perdagangan dapat dilintasi dengan aman, sehingga mendukung aktivitas pelayaran niaga.

Sepanjang masa kolonial rakyat Indonesia dipaksa terfokus kepada sektor agraris. Kegiatan ekonomi masyarakat terlalu berorientasi kepada usaha pengolahan bahan mentah hasil pertanian dan pertambangan. Sehingga pada masa pasca kolonial, pemerintah Indonesia melanjutkan aktivitas perdagangan pada sektor pertanian dan perkebunan yang tidak disertai dengan diaktifkannya kembali pelayaran niaga dan pembangunan fasilitas-fasilitas untuk menunjang kekuatan maritim.

Selain itu, dikarenakan hasil produksi pertanian/perkebunan hanya boleh dijual ke pemerintah kolonial, maka laut menjadi asing bagi generasi Indonesia pada era kolonial (hingga sekarang). Pada masa kolonial, mereka tidak lagi melakukan pelayaran dan perdagangan ke pulau-pulau nusantara atau seberang benua lainnya, pengamanan laut di wilayah laut dan jalur perdagangannya dikuasai penuh oleh pemerintah Hindia Belanda, dan armada laut yang dahulunya berjuang mengamankan laut untuk wilayah kekuasaan rajanya beralih menjadi bajak laut yang statusnya kemudian justru beralih menjadi ancaman bagi Belanda.

Situasi ini terbangun selama berabad-abad, sehingga selepasnya Indonesia dari jajahan Pemerintah Hindia Belanda, satu generasi pelaut terhapus dan semangat melaut Bangsa Indonesia berubah secara drastis. Takut melaut ini diperkuat oleh orang-orang Indonesia sendiri yang menganggap laut berbahaya bagi mereka. Bukannya menjadikan laut sebagai pekarangan, laut malah dijadikan taman belakang yang sepertinya terlupakan.

Menurut Prof. Anhar Gonggong, hal ini bukan dikarenakan kesengajaan pembentukan pemahaman yang dibangun Belanda agar bangsa Indonesia takut laut. Melainkan, Bangsa Indonesia sendiri yang mengekalkan mitos ini. Profesor Djoko Suryo berpendapat, bahwa, menganggap laut berbahaya sebenarnya semata-mata disebabkan karena pada masa kolonial, Armada Laut Belanda selalu menjaga laut dan jalur perdagangan, sehingga pribumi tidak berani untuk melakukan aktivitas secara bebas di laut.

Lebih lanjut, Professor Djoko Suryo menambahkan, pengekalan continental-orriented yang tertanam sejak kolonialisme Belanda ini juga antara lain dipengaruhi oleh politik dunia pada masa itu. Kemerdekaan Indonesia bersamaan dengan peristiwa Perang Dingin dimana konflik-konflik yang terjadi kebanyakan berlangsung di darat, contohnya Perang Vietnam, Perang Korea Selatan dan Korea Utara, dan lain-lain. Begitu pula halnya dengan yang terjadi di Indonesia. Pasca kemerdekaan bangsa, Indonesia masih dihadapkan dengan pergolakan yang kompleks. Sejumlah pemberontakan yang dipicu oleh persoalan hubungan pusat-daerah, persaingan ideologi, dan pergolakan sosial politik ini membuat keamanan berpusat pada darat, sehingga perhatian terhadap pembangunan keamanan laut teralihkan.

Continental-oriented, hilangnya semangat melaut, dan gejolak politik dunia dan Indonesia menimbulkan hubungan yang saling berkaitan dalam menggeser orientasi maritim Bangsa Indonesia pasca-kolonial.

 

Penyebab Pergeseran orientasi maritim Bangsa Indonesia

Hingga kini, Indonesia masih belum bergeser dari continental-oriented. Gejolak politik dunia rasanya sudah tidak melulu mengarah pada konflik darat saja. Malah, saat ini sedang muncul gejolak geopolitik, geoekonomi, dan geostrategi di laut, yaitu Indo Pasifik. Dimana mulai dari India, Cina, Jepang, dan Amerika Serikat memfokuskan perhatiannya kepada wilayah ini sejak beberapa dekade terakhir. Dilihat dari trend tersebut, seharusnya hal tersebut mampu menggeser continental-oriented kita kepada maritime-oriented. Beberapa upaya seperti kerjasama dan diplomasi pertahanan dilakukan, akan tetapi belum sempurna dan komprehensif dalam membangun kembali orientasi maritim. Penulis melihat bahwa terdapat unsur lainnya yang memegang peran penting dalam pergeseran orientasi maritim Bangsa sejak pra-kolonial hingga pasca-kolonial, termasuk juga sampai dengan hari ini. Hal tersebut adalah political will dan knowledge.

 

  1. A.    Political Will

Indonesia pernah berorientasi maritim. Ini terlihat dari bagaimana Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak memiliki militer – angkatan laut – yang kuat untuk mendukung dan mengamankan aktivitas perdagangan rakyat. Terdapat sirkulasi disini, aktivitas perdagangan maritim menghasilkan keuntungan, keuntungan digunakan untuk pengamanan jalur perdagangan dan stabilitas daerah kekuasaan kerajaan, kemudian keamanan jalur perdagangan yang diselenggarakan oleh angkatan laut menjamin kelancaran perdagangan maritim. Begitu seterusnya membuat suatu sirkumstansi yang berkesinambungan.

Tapi, apa yang terjadi pada saat Nusantara dipimpin oleh Pemerintah Hindia-Belanda? Mereka juga mengalokasikan kekuatan militer pada angkatan laut. Tetapi bukan untuk mendukung aktivitas perdagangan rakyat, melainkan untuk berjaga agar terciptanya monopoli perdagangan, dimana pedagang asing dilarang berdagang dengan pribumi, dan pedagang pribumi hanya diperbolehkan berdagang dengan Belanda. Sama seperti kerajaan maritim kita dahulu, Pemerintah Hindia Belanda juga berhasil menyelenggarakan tujuan dan mencapai kepentingan mereka. Jadi, apa yang bisa kita ambil disini?

Pemerintah memegang peranan penting terhadap pertumbuhan masyarakat. Mahan mengatakan,

The government by its policy can favor the natural growth of a people’s industries and its tendencies to seek adventure and gain by way of the sea; or it can try to develop such industries and such sea-going bent, when they do not naturally exist; or, on the other hand, the government may by mistaken action check and fetter the progress which the people left to themselves would make” (Mahan dalam Till, 2009: 105)

 

Pemerintah melalui kebijakannya berperan besar dalam memengaruhi pertumbuhan industri maritim negara. Namun, mereka tidak selalu memberikan tindakan yang benar. Tindakan yang mungkin salah ini terjadi ketika pemerintah menghambat perkembangan kemajuan dan kesejahteraan rakyat yang seharusnya dapat diperoleh melalui laut.

Dukungan terhadap rakyat melalui infrastruktur maritim atau sebaliknya, pengkerdilan infrastruktur maritim sehingga menurunkan minat rakyat terhadap aktivitas maritim, akan sama-sama berhasil tercapai sesuai dengan kepentingan pemerintah/penguasa. Hal ini menjadi memungkinkan lewat aplikasi kebijakan. Orientasi masyarakat berkaitan erat dengan orientasi pemerintah. Fasilitas aktivitas pelayaran niaga dibangun pada masa Belanda, sama halnya seperti ketika rakyat dipimpin oleh raja-raja pribuminya. Tetapi, rakyat tidak didukung untuk mengembangkan perdagangannya. Alih-alih didukung, mereka diarahkan menjadi petani dan buruh kerja paksa melalui kebijakan-kebijakan seperti tanam paksa dan kerja paksa.

Komitmen pemerintah terhadap kepentingannya mutlak karena itulah yang menentukan keberhasilan kebijakan atau strategi yang akan dijalankan. Pemerintah Hindia-Belanda berhasil mengeksploitasi rakyat dan tanah nusantara, karena mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap kepentingannya, yaitu mengeruk keuntungan perdagangan sebesar-besarnya. Maka untuk melindungi kepentingannya itu pula, mereka juga berkomitmen untuk memaksa rakyat pribumi untuk menghasilkan komoditi ekspor yang dapat memberi keuntungan besar. Sehingga, dibentuklah peraturan-peraturan yang sesuai dengan kepentingan tersebut. Komitmen ini kemudian kita sebut juga sebagai political-will.

Secara teoritis, political-will adalah kesediaan dan komitmen pemimpin politik dalam melakukan tindakan yang bertujuan untuk mencapai seperangkat tujuan yang disertai dengan usaha berkelanjutan (Brinkerhoff, 2010). Tujuan (ends) Pemerintah Hindia Belanda adalah keuntungan dari perdagangan, tindakan yang mereka lakukan adalah eksploitasi tanah dan sumberdaya manusia, sedangkan usaha berkelanjutan dapat kita maknai sebagai aplikasi kebijakan, yaitu tanam paksa dan kerja paksa.

Pada era pra-kolonial, kerajaan-kerajaan maritim nusantara juga memiliki political-will yang sama kuatnya dengan yang dimiliki Pemerintah Belanda. Dengan tujuan untuk kejayaan kerajaan dan kestabilitasan daerah kekuasaan mereka, tindakan yang mereka lakukan adalah memperkuat armada laut, dan usaha berkelanjutan yang raja-raja maritim nusantara lakukan diantaranya melindungi aktivitas maritim, menyejahterakan masyarakat, membangun hubungan baik dengan pedagang asing (hubungan diplomatik). Upaya ini sukses membangun kejayaan Kerajaan Maritim nusantara. Hingga, kemudian datang Pemerintah Hindia Belanda yang memiliki political-will berbeda dari mereka.

Political-will yang berbeda menentukan secara signifikan orientasi bangsa. Pada era kolonial, political-will Pemerintah Hindia-Belanda adalah kekayaan melalui tindakan eksploitasi tanah dan sumber daya manusia. Sehingga, ia tidak peduli dengan perlindungan aktivitas maritim rakyat pribumi karena yang mereka butuhkan hanyalah barang untuk diekspor; hasil panen pertanian dan perkebunan yang didapat dari biaya produksi seminimal mungkin. Inilah yang kemudian membentuk orientasi Bangsa Indonesia tidak lagi kepada orientasi maritim.

Di era pasca-kolonial pun political-will Indonesia juga belum mengarah kepada maritim. Menurut Prof Djuliati, walaupun Soekarno menegaskan bahwa geopolitik Indonesia adalah maritim, tetapi, tidak banyak yang dilakukan Soekarno dalam membangun atau memperbaiki kekuatan maritim Indonesia pada saat itu. Indonesia hanya meneruskan apa yang telah dibangun Belanda; pertanian dan perkebunan.

Bukan berarti Indonesia tidak akan menghiraukan daratan ketika berorientasi maritim. Tetapi, ekonomi yang hanya terfokus pada daratan ini akhirnya menganggap laut tidak penting untuk diamankan. Tengok lagi apa yang dilakukan kerajaan maritim Nusantara. Mereka menganggap laut penting sebagai media untuk aktivitas perdagangan maritim dan pembangunan power kerajaan, untuk itu mereka berorientasi kepada cara pengamanan laut agar tidak mengganggu kepentingan mereka. Sedangkan hal sebaliknya terjadi ketika aktivitas perdagangan maritim tidak dijadikan sumber pendapatan. Selama Indonesia bergantung pada komunikasi darat dan hanya membangun ekonomi di darat, negara ini tidak akan bergeser dari continental-oriented .

Laut bisa jadi dipandang membahayakan, tetapi bisa juga dipandang bermanfaat. Semua tergantung political-will kita. Apakah kita akan menganggap kesibukan pertumbuhan kekuatan maritim di regional maupun global sebagai ancaman dan isu sambil lalu saja, atau kita akan bereaksi untuk mengambil kesempatan sebagaimana yang dilakukan negara-negara maritim lainnya? Tanpa adanya political-will terhadap maritim, orientasi maritim tidak akan terbangun (kembali). Tanpa adanya orientasi maritim bagaimana kita mampu bersaing meraih kesempatan dari fenomena globalisasi ini?

 

The Power of Knowledge

Knowledge is power. Frase ini diciptakan pertama kali oleh negarawan sekaligus filsuf Inggris, Francis Bacon. Sejak itu, muncul berbagai variasi dari frase ini. Diantaranya terdapat satu yang paling fenomenal, yaitu yang dikemukakan oleh Michel Foucault melalui cara berpikirnya yang kemudian dikenal dengan genealogi power/knowledge. Menurut Foucault, knowledge tidak menciptakan power, melainkan memperoleh power itu sendiri ketika knowledge disebarkan dan mendapat legitimasi dari masyarakat luas yang diakui kebenarannya (Foucault, 1977: 27).

Pertama-tama, untuk menghindari kebingungan, penulis ingin memberikan sedikit definisi dari power dan knowledge. Knowledge memiliki cakupan yang sangat luas; ia tidak hanya termarjinal seputar wawasan dan pemahaman akademis belaka, tetapi juga meliputi kebenaran, keyakinan yang dibenarkan, pemahaman tertentu, pertentangan pendapat, kesadaran atau keakraban yang diperoleh dari pengalaman berdasarkan fakta atau situasi pemahaman teoritis dan informasi (Oxford Dictionary). Begitu juga dengan power. Power memiliki definisi yang amat beragam. Bisa kekuasaan, kekuatan, bisa menjadi kata sifat (powerful), atau menjadi kata benda (instrumen untuk mendapat kepentingan), bisa juga sebagai label untuk menandai reputasi suatu negara (great power). Pada paragraf diatas, penulis sengaja tidak mendefinisikan secara spesifik power dan knowledge apa yang dimaksud, karena definisi tersebut memang sengaja dibiarkan memiliki tafsiran yang luas. Namun, pada paragraf dibawah, penulis baru memberi biverbal (padanan kata) untuk menghindari kebingungan (hanya pada kalimat yang memerlukannya).

Secara personal, penulis menginterpretasikan relasi power/knowledge dengan isu pergeseran orientasi maritim sebagai berikut; power[2] mampu menciptakan knowledge[3]. Dan knowledge[4] dapat menciptakan power[5] jika terdapat suatu power [6] yang menyebarkannya, atau mengakui kebenarannya, atau mendorong penerapannya ke dalam kebijakan.

Semangat berdagang Belanda diawali oleh knowledge mereka yang didapat dari pengalaman perang kemerdekaan melawan Spanyol selama 80 tahun. Dari sini, mereka belajar, bahwa kemenangan mereka sebagian besar dikarenakan besarnya profit yang mereka dapatkan dan ini dihasilkan dari perdagangan, perdagangan luar negeri, dan industri. Sejak saat itu, Belanda sangat menggantungkan pertahanan politik dan militernya pada kemakmuran ekonomi. Berdasarkan knowledge dan semangat perdagangan ini kemudian dibuat kebijakan-kebijakan yang mampu menghasilkan keuntungan yang banyak, salah satunya kolonialisasi di negara kita. (Onnekink & Rommelse, 2011: 249).

Pada era kolonial, masyarakat dipaksa untuk menerima knowledge Pemerintah kolonial melalui penerapan tanam paksa, kerja paksa, dan wajib bayar pajak hasil bumi. Kemudian di awal abad 20, lagi-lagi knowledge dimanfaatkan. Pada saat perkembangan liberalisme[7], pengusaha swasta[8] memanfaatkan pengetahuan liberalisme untuk mendorong pemerintah memberi keleluasaan pada mereka agar dapat berinvestasi di tanah jajahan.

Maka berdasarkan  dorongan politik dan ekonomi liberal, dibuatlah ethical policy (ethische politiek atau politik etis) yang awalnya diusung humanitarianisme kemudian dimanfaatkan pebisnis sebagai justifikasi untuk kepentingan mereka. Ethical policy terdiri dari tiga program yang meliputi irigrasi, emigrasi, dan edukasi. Mereka melirik Nusantara sebagai lahan penghasil bahan baku dan pasar yang potensial, terutama daerah-daerah di luar Jawa. Secara intensif mereka mendukung kedamaian, keadilan, modernisasi, dan kesejahteraan di nusantara demi keuntungan mereka.

Namun, sesungguhnya kebijakan tersebut bukan untuk memperbaiki kesejahteraan pribumi (dan blijvers atau orang Eropa yang menetap), tetapi lebih tertuju pada realisasi cita-cita ekonomi liberal. Dari ketiga kebijakan yang dibuat, hanya pendidikan yang memberi sedikit manfaat bagi pribumi. Sedangkan emigrasi dan irigrasi ditujukan untuk mencapai kepentingan Pemerintah dan pengusaha Belanda. Emigrasi dicanangkan agar penduduk tidak berkumpul hanya di Jawa, tapi didorong bertransmigrasi ke luar Jawa demi memenuhi tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kepentingan ketenagakerjaan di daerah-daerah perkebunan, diantaranya Sumatera. Kemudian kebijakan irigrasi, air tidak dialirkan ke tanah milik rakyat, tetapi justru ditujukan untuk tanah-tanah yang menunjang kepentingan perkebunan pengusaha swasta Belanda (Ricklefs, 2001: 193-205).

Pasca kolonial, knowledge lahir dari keakraban yang diperoleh dari pengalaman, yaitu tradisi agraris. Tradisi ini tumbuh besar sehingga membentuk nilai yang permanen, continental-oriented. Benar, bahwa kolonialisme berpengaruh terhadap pergeseran orientasi maritim kita. Bahkan, lebih besar dari yang kita bayangkan. Homi K. Bhabha mengatakan bahwa, kolonialisme bukan sekedar sesuatu yang terkunci di masa lalu; sejarah dan budayanya secara konstan masih mengganggu hingga kini (Huddart, 2006: 2). Sekian lama terbentuk sehingga kolonialisme meninggalkan pemahaman baru yang membuat kita kehilangan kesadaran akan ekologi kita (ecological illiteracy), ‘lupa’ dimana sebenarnya kita tinggal, bagaimana seharusnya kita bertahan, dan apa potensi yang dapat kita alokasikan dari ekologi kita tersebut. Ekonomi, politik, sosial terus berubah dari waktu ke waktu, tetapi tidak dengan geografi. Seharusnya kita dapat mengeruk potensi dari letak geografis kita yang strategis tersebut, bukan dari aspek ekonomi saja, tetapi juga politik dan sosial.

Continental-oriented ini terlihat dari mega proyek yang sedang berlangsung saat ini. Dikatakan bahwa, pembangunan jembatan Selat Sunda sebagai penghubung Pulau Jawa dan Pulau Sumatera (Banten dan Lampung) yang bertujuan untuk sarana efisien pengangkutan barang dan jasa antara kedua pulau dan mempermudah distribusi pembangunan (Sianipar, 2012). Ini merupakan satu contoh dari ciri-ciri negara dengan continental-oriented (continental powers) yaitu, bergantung pada komunikasi darat untuk kekayaan ekonomi (Reynolds, 1976: 27).

Gambar 1: Relasi Power/Knowledge pada kasus pergeseran Orientasi maritim

 Indonesia[9]

Untitled

            Melihat track-record kolonialisme, bukan berarti knowledge membawa kerugian atau hanya menjadi alat untuk stimulus kepentingan pihak. Manfaat dari Knowledge tergantung dari siapa yang memainkan dan memahaminya. Penulis melihat bahwa dalam knowledge terdapat dua aktor; superior dan inferior (victims). Misalnya pada saat kolonialisasi, pribumi menjadi victims, sedangkan pemerintah Hindia-Belanda adalah superior. Atau pada fenomena globalisasi ekonomi, yang mampu bertahan dalam dinamika perdagangan dan investasi lintas negara adalah superior, yang tidak maka adalah victims. Tidak ada satu pihakpun mau dijadikan atau bahkan disebut victims. Untuk itu, harus ada upaya agar mampu menjadi aktor superior yang dapat memanfaatkan knowledge dengan tetap menyesuaikan dan menghormati nilai-nilai kebangsaan.

Dari knowledge, kesulitan apapun pasti bisa diselesaikan. Contoh nyatanya saja, kemiskinan dan gender dimana penyelesaiannya adalah melalui knowledge (Rahmawaty, 2013). Knowledge (pengetahuan dari sejarah, ekologi, dan para ahli) sesungguhnya telah ada, tetapi kita belum memanfaatkannya secara maksimal, sehingga manfaat dari pengetahuan tersebut belum terasa.

Era pra-kolonial dan kolonial mengajarkan, bahwa knowledge (ecological literacy, perdagangan, dan liberalisme) dapat membantu negara mencapai kepentingan nasional selama diterapkan dalam kebijakan dan diakui kebenarannya oleh masyarakat. Indonesia bukannya tidak memiliki knowledge. Knowledge selalu ada, tetapi kita lah yang memutuskan untuk menggunakan atau tidak knowledge tersebut. Selama knowledge tersebut tidak dimanfaatkan, power Indonesia tidak akan berkembang dan kita tidak akan kembali pada orientasi maritim.

 

Kesimpulan

Era kolonialisme memang berpengaruh besar terhadap pembentukan orientasi Bangsa Indonesia. Namun, ia bukan satu-satunya alasan. Political Will dan (kehilangan) knowledge juga memiliki andil yang besar terhadap continental-oriented bangsa. Untuk mengembalikan Indonesia kepada orientasi maritim adalah dengan tidak mengabaikan ekologi kita, membangun kembali knowledge  maritim. Penulis geografi Amerika, Barry Lopez, mengatakan, ketika masyarakat lupa dan tidak peduli lagi dengan tempat mereka tinggal, mereka menjadi hampir tidak sadar bahwa ‘sesuatu’ telah terjadi (Lopez dalam Pretty, 2002, hal: 147).

Seperti yang telah disebutkan diatas, peran serta pemerintah sangat diperlukan. Awal yang paling baik adalah dengan memasukkan maritime knowledge pada kebijakan legal, sehingga orientasi maritim dapat secara konkrit diterapkan. Contohnya dengan menetapkan maritim sebagai orientasi utama bagi kepentingan nasional. Sehingga, strategi politik, ekonomi, keamanan, dan sosial akan mengarah pada orientasi maritim.

Beberapa waktu yang lalu, penulis berkesempatan berdiskusi dengan seorang marinir dari India. Ia mengatakan dengan tegas, bahwa “This is Indonesia’s era!”. Melihat fenomena Indo-Pasifik dimana dalam segitiga konsentrasi strategi maritim tersebut Indonesia digambarkan berada ditengah-tengah konsentrasi, jelaslah bahwa saat ini seharusnya menjadi era milik Bangsa Indonesia untuk mengembangkan kekuatan dan kekayaan maritimnya.

Melihat perkembangan fenomena saat ini dan geografis negara kita, apa yang dikatakan marinir India tidak lagi diragukan kebenarannya. Indonesia sesungguhnya dapat memainkan perannya sebagai aktor superior dalam kancah politik dunia, dengan syarat pemerintah harus kembali membangun orientasi maritim. Sejarah jelas mengatakan, letak geografis memengaruhi nasib bangsa; apakah hal tersebut menjadi potensi atau menjadi ancaman, tergantung kepada aksi dari manusia-manusia yang berkuasa dan bermain didalamnya.

 

Referensi

Brinkerhoff, D. (2010) Unpacking the Concept of Political Will, http://www.cmi.no/publications/file/ 3699-unpacking-the-concept-of-political-will-to.pdf

Eccles, H. (1965) Military Concepts and Philosophy, New Jersey: Rutgers University Press.

Falconer, W. (2011) A New Universal Dictionary of The Marine, New York: Cambridge.

Gupta, A., dalam Kratoska, P. (2001) ‘The Maritime Trade of Indonesia: 1500-1800’ in Paul Kratoska, Volume 1 of Southeast Asia, Colonial History: Imperialism before 1800, London: Routledge, pp. 91 – 125.

Mahan, Capt. A. T. (1890) The Influence of Sea Power Upon History 1660-1783, London: Sampson, Low, Marston & Co. Ltd.

Poelinggomang, E. (2002) Makassar Abad XIX: Studi tentang Kebijakan Perdagangan Maritim, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Reynolds, C. (1976) Command of The Sea: The History and Strategy of Maritime Empires, London: Robert Hale.

Ricklefs, M., (2001) A History of Modern Indonesia Since C. 1200, California: Stanford University Press.

Onnekink, D. & Rommelse, G. (2011) Ideology and Foreign Piolicy in Early Modern Europe (1650-1750), Surrey: Ashgate Publishing Limited.

Sianipar, P., (2012) ‘Jembatan Selat Sunda dan Kepentingan Nasional, accepted for Seminar Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (2012), August.

Suroyo, M. Djuliati., Supangat, A., Dillenia, I., Hasanah, Nia. (2007) Sejarah Maritim Indonesia I: Menelusuri Jiwa Bahari Bangsa Indonesia Hingga Abad ke-17, Semarang: Jeda.

Till, G. (2009) Seapower: A Guide for the Twenty-First Century, New York: Routledge., Second Edition.

 

Kata Pengantar:

 

 



[1] Lihat Mochtar Kusumaatmadja, 1991: 76.

[2] aktor yang memiliki kekuasaan, contoh pemerintah

[3] ideologi, keyakinan yang dibenarkan, kesadaran, pemahaman, keakraban yang diperoleh dari pengalaman

[4] ideologi, wawasan, pehamanan teoritis

[5] kekuatan

[6] pemerintah, kelompok kepentingan

[7] knowledge

[8] power

[9] Gambar berikut ini menunjukkan relasi power/knowledge yang terjadi selama pra-kolonial hingga saat ini. Garis putus-putus menunjukkan bahwa, tanpa relasi ini tidak akan muncul bila knowledge tidak diaplikasikan oleh pemerintah dalam kebijakan, dan disebarkan atau diakui masyarakat luas.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap