Di dalam domain militer, upaya penangkalan (deterrence) adalah bagian awal dari strategi pertahanan, yang garis besarnya terdiri dari tiga pilihan besar, yaitu; deterrence—decisive engagement—protracted war.
1. Memahami Penangkalan
Dari setting tersebut, sudah jelas terlihat bahwa upaya penangkalan (pada prinsipnya) memainkan peran yang sangat penting, yaitu mencegah agar pihak musuh membatalkan niatnya untuk melakukan penyerangan militer. Dalam pengertian lain, dapat di artikan bahwa deterrence adalah upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan (damages) yang bakal di alami oleh pihak sendiri. Semua pihak menyadari bahwa, serangan militer di rancang untuk menimbulkan kerusakan sebesar-besarnya pada pihak musuh. Pengertian kerusakan yang dimaksudkan di sini, tidak sebatas pada kerusakan fisik, misalnya kehilangan wilayah, atau lepasnya pengendalian terhadap suatu wilayah, tetapi pengertiannya dapat lebih luas lagi, yaitu rusaknya core values dan martabat bangsa, sampai pada berkurangnya ‘derajat’ kedaulatan.
Strategi penangkalan bertujuan memberikan pesan kepada pihak musuh, bahwa kami dapat menimbulkan kerusakan yang jauh lebih besar dari pada perhitungan mereka. Kata kunci yang pertama ialah ‘pesan’ yang dapat di mengerti betul oleh pihak musuh. Pengetahuan tentang penangkalan, sebetulnya sudah menjadi pengetahuan dasar bagi setiap ‘murid’ yang belajar strategi militer. Artinya—bukan suatu pengetahuan baru, dan tidak pula suatu pengetahuan yang serumit membuat roket untuk ke angkasa luar. Ilmunya sederhana sekali, yaitu bagaimana ‘menakutkan’ pihak musuh agar mereka tidak melakukan tindakan militer. Yang di[1]maksudkan dengan tindakan militer, misalnya melakukan invasi (dalam bentuk sederhana; provokasi bersenjata), atau mencaplok wilayah tertentu, atau mengintimidasi dengan kekuatan militer (coercive) untuk menguasai sumber kekayaan alam, dan bisa juga melakukan sanctions[i] secara sepihak, untuk menekan pemerintah negara sasaran agar merubah kebijakan nasional mereka.
Pada dasarnya, strategi penangkalan mengarah pada pembentukan kesan (psikolojik) pada pihak musuh, bahwa mereka akan menderita kerugian yang (jauh) lebih besar dari yang di perhitungkan. Kesan tersebut di bentuk oleh rangkaian ‘pesan’[ii] yang di sampaikan dengan berbagai cara, dan tentunya mengandalkan suatu daya penggentar (power) yang nyata dan di ketahui dengan baik oleh pihak musuh. Kata kunci yang kedua ialah ada suatu daya penggentar (power) yang mampu menimbulkan kerusakan (damages) lebih besar dari dugaan semula.
Menarik untuk di cermati bagaimana negara-negara besar mengembangkan strategi penangkalan. Misalnya Amerika Serikat dan Uni Soviet (waktu itu), mengandalkan arsenal nuklir sebagai daya penggentar. Pihak Uni Soviet mengirimkan pesan, bahwa mereka bisa menyerang titik apa saja di jantung Amerika Serikat. Sebaliknya pihak Amerika Serikat mengirimkan pesan bahwa pukulan balasan yang akan digunakan, sudah jelas dan pasti lebih merusak daripada yang diperkirakan oleh Uni Soviet. Bagi kedua negara tersebut yang mempunyai ambisi global, tentunya merancang strategi penangkalan berskala global. Bubarnya Uni Soviet yang menjadi Rusia, sudah jelas strategi penangkalannya, mengalami penyesuaian yang sinkron dengan kepentingan nasional dan ancaman yang dihadapi.
Bagaimana dengan Amerika Serikat? Strategi penangkalan mereka juga mengalami perubahan, dan yang terkini adalah menangkal ancaman terorisme, yang dikembangkan dalam tiga tataran, yaitu global deterrence, regional deterrence dan trans-national deterrence.[iii]
Bagi negara besar dan kaya, tentunya tidak mengalami kesulitan untuk menentukan pilihan daya penggentar, yang akan digunakan dalam rangka menangkal ancaman militer. Berbeda dengan negara-negara berkembang dan miskin, tentunya pilihannya tidak banyak dan sangat terbatas (baca: tidak ada). Pada dasarnya, strategi penangkalan dirancang untuk dihadapkan kepada pihak lain, akan tetapi perlu di pahami dengan baik, kepada siapa strategi tersebut di tujukan? Bisa saja suatu rancangan akan bekerja efektif hanya untuk pihak tertentu, dan belum tentu efektif bagi pihak-pihak lainnya. Artinya—suatu strategi penangkalan tidak selalu bekerja secara efektif secara universal, dan perlu di rancang sesuai dengan tujuan (taylor made) dan kepentingan nasional yang ingin di capai. Kata kunci yang ketiga ialah adanya kepentingan nasional yang ingin di capai, artinya ada harganya, atau ada nilai stratejiknya yang harus di capai.
Pertemuan antar kepentingan nasional dapat terjadi beberapa kemungkinan, misalnya sejalan (harmonic), atau bisa bekerja sama (cooperative), tetapi bisa juga benturan (conflict). Bertolak dari tiga kemungkinan tersebut maka di lapangan dapat terjadi beberapa skenario. Yang pertama—konflik antara negara maju dengan negara maju. Tetapi kemungkinan tersebut, relative sangat kecil oleh karena mereka sudah memiliki berbagai berbagai platform dan medium, untuk mengelola konflik dengan cara damai. Yang kedua—konflik antar negara berkembang. Kemungkinan ini nampaknya cukup besar dan perlu di perhatikan dan merupakan suatu kebutuhan didalam perencanaan strategi pertahanan. Yang ketiga—konflik antara negara maju dengan negara berkembang.
Kemungkinan ini yang justru lebih besar dan seyogyanya mendapatkan atensi secara khusus bagi para arsitek pertahanan. Masalah yang tersembunyi di sini ialah, pilihan daya penggentar yang akan di tujukan kepada negara maju, (sepertinya) sangat sulit untuk di wujudkan. Hal ini disebabkan, negara-negara berkembang pada umumnya tidak memiliki kekuatan militer yang seimbang pada semua lini, untuk berhadapan dengan negara maju. Mulai dari supremasi informasi sampai pada supremasi logistik. Meskipun demikian, tulisan ini tidak mengatakan bahwa negara berkembang tidak punya kekuatan sama sekali, atau secara matematik dapat disamakan dengan nol.
Setiap negara (bangsa) pasti mempunyai suatu daya, yang secara kalkulasi militer (barangkali) tidak mampu menenggelamkan kapal induk bertenaga nuklir atau melawan gelombang serangan Tomahawk-II, akan tetapi pasti ada daya sekalipun hanya sebatas ‘menggigit’. Sejarah mencatat dengan jelas, bahwa ada satu suku di Somalia ternyata mampu ‘menggigit’ (secara telak pula) kekuatan super power yang pamer kekuatan di sana. Contoh kedua dan lebih gamblang lagi, yaitu non-state actor yang menamakan dirinya Al Qaeda, ternyata mampu merepotkan negara-negara yang memiliki arsenal nuklir terbaik di dunia. Lihat saja diJakarta, sepertinya masyarakat ibukota kesulitan untuk membedakan apakah gedung-gedung kedutaan AS, Inggris, Australia, sudah berubah menjadi benteng atau kompleks penjara.
Seorang ahli strategi Prancis, Andre Beaufre, sudah mengingatkan bahwa ada tiga bentuk daya penangkalan, yaitu thermonuklir, konvensional, dan inkonvensional. Artinya—ada tiga pilihan. Dalam bahasa teknis militer, kemudian di kenal dengan nuclear warfare, conventional warfare, dan in-conventional warfare. Bagi negara-negara yang tidak punya arsenal nuklir, maka pilihannya cuma dua, yaitu penangkalan konvensional atau inkonvensional, dan bila dirinci pula maka pilihannya akan semakin sempit dan sudah menjurus pula. Andre Beaufre sudah memberikan inspirasi dengan sangat jelas. Disadari atau tidak, sangat mungkin sekali bahwa jawabannya, maksudnya—pilihan moda penangkalan sudah terjawab disana. Namun, tulisan ini tidak bermaksud merinci jawaban tersebut, oleh karena alasan etika.
Tidak berlebihan untuk menarik kesimpulan dari tiga kata kunci yaitu; pesan (psikis), daya (power), dan kepentingan nasional, merupakan tiga elemen penting didalam merancang strategi penangkalan. Tentunya berawal dengan beberapa pertanyaan, yaitu (i) apa kepentingan nasional yang harus dicapai dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, sehingga segenap bangsa perlu memahami dan mendukung strategi pertahanan nasional untuk pencapaian kepentingan tersebut, (ii) apa daya (power) yang punya daya penggentar, yang diperkirakan efektif menimbulkan ‘ketakutan’ atau kekuatiran bagi pihak musuh, (iii) bagaimana dan dalam bentuk apa pesan yang ingin di sampaikan, agar secara sistematik terbentuk ‘kesan yang mengkuatirkan’.
2. Peran Intelijen
Bisnis utama intelijen adalah mengindera ancaman yang akan dihadapi. Anatomi ancaman itu sendiri, merupakan perkalian dari beberapa unsur yaitu; niat (intention), kemampuan (capability), dan keadaan (circumstance). Dua unsur tersebut belakangan, relative mudah untuk diindera (tangible), namun berbeda dengan unsur niat, yang nyatanya sangat sulit untuk ‘dibaca’ (intangible). Memang benar bahwa garis besar unsur niat dapat dibaca, misalnya dengan mengikuti rangkaian pernyataan politik, atau meraba rencana stratejik seperti rencana pembangunan kekuatan militer, sampai pada indikator deployment di lapangan. Akan tetapi, kapan penyerangan akan di lakukan dan dengan kekuatan seperti apa, masih merupakan misteri yang perlu dipecahkan.
Benar kata banyak orang, bahwa akibat lajunya perkembangan sistem informasi teknologi, mengakibatkan banyak informasi militer yang dulunya bersifat rahasia dan tertutup untuk masyarakat luas, kini mudah diperoleh dan diakses dengan biaya yang relatif sangat murah. Situs intelijen dan strategi militer sudah demikian banyak, misalnya saja dengan beaya 600 dollar, seseorang bisa mendapatkan citra daerah operasi termasuk analisisnya. Apabila demikian halnya, maka pandangan masyarakat luas, sepertinya membenarkan bahwa semua kebutuhan intelijen di kolong langit ini sudah terbuka dan tidak diperlukan lagi operasi intelijen dengan moda clandestine. Apakah benar demikian?
Hampir pasti, kalangan intelijen akan memberikan jawaban—tidak demikian, oleh karena masih banyak informasi yang di butuhkan untuk mengisi strategi pertahanan. Secara sistem, intelijen bekerja dengan kekuatan tiga perangkat yaitu human intelligence, electronic intelligence, dan imagery intelligence. Kemajuan teknologi elektronika menjadikan electronic intelligence dan imagery intelligence berkembang demikian pesat, akan tetapi pada kenyataannya, semua negara besar masih mengandalkan kepada human intelligence. Kalau demikian halnya, maka perlu dipertanyakan, informasi seperti apa yang dikejar oleh human intelligence? Jawabannya sederhana sekali yaitu tentang niat, dan hal ini sudah jelas dan sudah pasti pula, bahwa kebutuhan tersebut tidak dapat direkam oleh kedua unsur lainnya. Dari pendekatan tersebut, ingin dikemukakan bahwa, pihak intelijen akan tetap mengembangkan operasi clandestine, dalam rangka memperoleh informasi mengenai niat (intention). Pengetahuan tersebut sangat di butuhkan untuk mengetahui secara akurat dan aktual, bagaimana strategi (ends—ways—means) yang sudah dirancang pihak lawan akan di laksanakan.
Dua elemen strategi yaitu ends dan means relatif mudah dibaca pula, akan tetapi elemen ways yang didalamnya ada unsur niat, sudah jelas memerlukan metoda dan teknik intelijen untuk memperolehnya. Kapan dan bagaimana strategi tersebut dilaksanakan, akan tergantung pada banyak hal, misalnya faktor timing, dukungan politik, keadaan daerah operasi, yang dalam bahasa intelijen—membutuhkan additional information sebanyak mungkin dengan akurasi yang tinggi, untuk memastikan dan menggandakan kemungkinan sukses. Namun yang paling diinginkan adalah informasi tentang apa yang ada di dalam benak para pengambil keputusan, kebijakan apa yang dirumuskan untuk pembangunan kekuatan, siapa yang akan diberikan wewenang mengendalikan operasi, satops yang mana yang akan di gerakkan, dan moda operasi seperti apa yang akan digunakan.
Bagaimana kaitannya intelijen dengan penangkalan? Perannya akan terbagi dalam dua bagian besar, yaitu offensive dan defensive. Kedua bagian tersebut akan dikembangkan dalam tiga dimensi pula yaitu overt, covert, dan semi overt—covert. Kegiatan offensive dapat berbentuk pengumpulan informasi mengenai titik-titik rawan (vulnerable points), yang pasti jumlahnya tidak hanya satu atau dua. Sebagai contoh, pada suatu instalasi pabrik kimia, pasti ada kelemahannya disana sini, misalnya pada saluran listrik, atau sistem airconditioning, atau pada kelangsungan pasokan bahan mentahnya. Konsep penghancurannya, akan berada pada pilihan apakah dibom dari udara, atau dikirim tim untuk raid—sabotage, atau diprovokasi agar terjadi kerusakan yang ditimbulkan oleh orang dalam (malicious damage). Informasi berikutnya yang dibutuhkan ialah siapa-siapa yang terlibat didalam pengambilan keputusan, bagaimana kondisi keuangan, keadaan keluarga, dan seterusnya. Esensinya ialah intelijen melaksanakan pengumpulan informasi tentang ends—ways—means, termasuk leadership (baca: unsur manusianya) di dalam pengambilan keputusan.
Pada sisi defensive, kegiatannya antara lain meliputi pengelabuan (deception), ada juga penggunaan psyops, atau ada cara lama yaitu menggelar dummy, yang kesemuanya bermaksud memberikan informasi yang keliru kepada pihak lawan. Akan tetapi perlu diwaspadai bahwa di dalam peperangan intelijen, pekerjaan mengelabui kontra mengelabui, sudah berumur setua umur intelijen itu sendiri, artinya ‘permainan’ yang tidak ‘rapih’ akan berakibat fatal.
Kembali kepada strategi penangkalan. Apabila nantinya pilihannya akan berada di antara conventional dan in-conventional warfare, maka jelas peran intelijen sudah semakin menjurus. Artinya—pihak intelijen sudah dapat bekerja lebih fokus mengarah pada titik-titik, yang diperhitungkan mengandung derajat kerawanan yang tinggi, dan dapat di eksploitasi sebaik mungkin. Seandainya pula, pihak pengguna (baca: pimpinan) mengarahkan untuk mengembangkan trans-national deterrence, maka pihak intelijen sudah semakin terarah lagi, untuk berkonsentrasi pada titik-titik tertentu dengan alamat yang sudah jelas pula.
3. Kebutuhan Indonesia
Di dalam prakteknya, para perumus strategi pertahanan NKRI, sudah memahami kegunaan penangkalan, dan sudah pula mencantumkan ke dalam bab-bab awal pada strategi pertahanan negara ini. Namun, pandangan yang kritis akan mempertanyakan apa daya (power) pengentar yang diandalkan untuk mendukung strategi penangkalan? Kalau ada daya yang dimaksud, pertanyaan berikutnya ialah apakah strategi penangkalan yang dikembangkan selama ini sudah bekerja secara efektif, ataukah hanya sekedar formalitas, sebagai pelengkap formula strategi pertahananIndonesia? Pertanyaan berikutnya, sifatnya untuk menguji dan lebih menjurus lagi, yaitu—pihak manakah yang diperkirakan menjadi gentar atau ‘berpikir dua kali’ untuk melakukan avonturir militer terhadap Indonesia?
Pengertian avonturir militer di sini, tidak terbatas dalam pemahaman yang klasik, misalnya ‘mencaplok’ wilayah, atau ‘show of force’ di depan ibukota, tetapi dalam arti yang luas, dan bisa menjangkau strata taktis, dan kontemporer. Misalnya; satuan militer musuh mem-back up pencurian kekayaan dilaut, atau mengusir nelayan domestik dari fishing ground yang kaya ikan, atau berpatroli (intimidasi) di daerah perbatasan (remote area), atau mengganggu sistem komunikasi lokal, dan bentuk-bentuk lainnya seperti ‘menggerogoti’ wibawa pemerintah pusat.
Di dalam prakteknya, Indonesiasudah mengalami banyak dan berbagai kasus yang mengindikasikan bahwa pihak luar, tidak merasa kuatir apalagi takut berhadapan dengan ‘otot militer’ Indonesia. Jangankan pihak militer, kalangan nelayan asing pun nampaknya tidak merasa gentar. Mengapa bisa demikian? Jawabannya sederhana, yaitu TNI berada dalam kondisi fisik yang ‘sakit’ dan mental yang demoralized pula, akibat penghujatan yang belum reda. Namun ada beberapa faktor primer sebagai penyebabnya, pertama, kondisi keuangan nasional tidak memungkinkan pihak militer untuk mendapatkan kebutuhan (minimal) standar pembinaan dan penggunaan kekuatan, apalagi bicara tentang pembangunan kekuatan. Sadar atau tidak, Indonesia sudah terbelenggu pula oleh gerakan global disarmament, yang tujuannya akhirnya adalah disarming otot perang Indonesia. Yang kedua, atmosfir politik domestik (nampaknya) memperlihatkan ada pihak yang tidak menginginkan TNI menjadi kuat dan jaya. Sadar atau tidak, keinginan pihak-pihak tersebut sejalan dengan kepentingan negara-negara tetangga, yang tidak menginginkan Indonesia menjadi kuat dan jaya.
Kembali ke pertanyaan semula, apakahIndonesiatidak punya daya penggentar sama sekali untuk mengembangkan strategi penangkalan? Secara teoritik, pasti ada dan jawaban ini harus dipahami oleh segenap bangsaIndonesia. Kalau benar demikian halnya—lalu apa masalahnya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kejernihan berpikir dan tentunya dengan kejujuran yang obyektif. Kajian yang kritis terhadap strategi penangkalan yang sudah dikembang selama ini, dapat mengemukakan beberapa hal.
Yang pertama, lingkungan stratejik sudah berubah, dan perubahan tersebut menuntut pula perubahan yang mendasar pada strategi pertahanan dan strategi keamanan nasional (kalau ada—maaf). Salah satu kenyataan yang harus disikapi ialah perubahan dari bipolar menjadi mono-polar plus, yaitu AS dan koalisinya. Sketsa di Asia Pasifik dan khususnya di Asia Tenggara memperlihatkan bahwa Komando Pasifik AS, yang memegang kendali keamanan regional. Kekuatan berikutnya adalah pakta militer Five Power Defense Agreement (UK—Australia—Malaysia—Singapore—New Zealand), semakin menguat dan menjadi wadah alternatif untuk memelihara stabilitas keamanan regional. Pada hal seharusnya ASEAN memiliki format atau wadah untuk mengembangkan kerjasama keamanan regional. Hal ini sudah diamanahkan pada UN Charter pasal VIII. Pada sisi lain, ada inisiatif (dari Jakarta) untuk mewujudkan ASEAN Security Community, akan tetapi pada kenyataannya banyak yang pihak terkait, kurang tertarik dan tidak berminat untuk urung rembug, sehingga konsep tersebut sudah hampir dilupakan orang. Skesta tersebut perlu di pahami dengan benar oleh karena mengembangkan strategi penangkalan dengan mengabaikan kenyataan tersebut, akan sama dengan mubazir.
Yang kedua, masalah keamanan regional yang menonjol belakangan ini adalah mengenai sea piracy and robbery, trans-national crime, maritime terrorism yang dikaitkan dengan proliferasi senjata pemusnah massal. Di dalam rangka menanggulangi ancaman tersebut, pihak AS memprakarsai Proliferation Security Initiatives (PSI), dan Regional Maritime Security Initiatives (RMSI). Sementara itu, Indonesia sudah menyuarakan tidak bisa sejalan dengan PSI oleh karena beberapa alasan. Kondisi tersebut menyiratkan bahwa perencanaan strategi penangkalan, tentunya tidak akan produktif apabila berbenturan dengan prakarsa AS, yang sudah mendapatkan ‘dukungan’ dari masyarakat luas. Opsinya bagi Indonesia sudah semakin sempit yaitu kembangkan kapabilitas kekuatan sendiri dengan bantuan AS, sehingga ada peningkatan kapabilitas (baca: capacity) yang signifikan, dan juga perluasan networking intelijen. Mohon dikaji dengan pikiran cerdas (smart), oleh karena langkah tersebut sudah pasti ada manfaatnya.
Yang ketiga, dislokasi geografik Indonesia memperlihatkan beberapa hal, (i) kedudukannya berada pada posisi silang wilayah berada pada jalan silang dunia dan ada empat choke point pula, (ii) dua pertiga wilayah Asia Tenggara adalah wilayah Indonesia, dan air lebih luas daripada daratan, (iii) perbatasan darat dengan tiga negara, dan perbatasan laut dengan sepuluh negara, (iv) perbatasan Indonesia sangat berlubang-lubang (porously), akan tetapi rangkaian kepulauan yang jumlahnya 17.000 dapat di eksploitasi nilai stratejiknya. Esensinya—tinjau dan evaluasi geopolitik dan geostrategi dengan pikiran jernih, apakah konsepsi yang selama ini sudah (terbiasa) di kembangkan di republik ini, berada on the right track (?).
Yang keempat, jumlah alut sista dan SDM termasuk semua potensi pertahanan, pada kenyataannya tidak cukup untuk meliput semua titik-titik stratejik di NKRI ini, selama 24 jam sepanjang tahun. Perlu dipikirkan pula bahwa konsep operasi gabungan (jointness), tidak diartikan bahwa ketiga angkatan harus kompak berada pada satu lokasi daerah operasi. Ada kemungkinan—karakteristik daerah operasi ‘hanya’ dibebankan pada alut sista salah satu atau dua angkatan (balanced) untuk lebih efisien. Atau pilihannya penggunaan satuan khusus yang terampil, yang disiapkan untuk beroperasi pada skala kawasan. Konsep ini sudah dikembangkan oleh AS, terlihat dengan program memodifikasi empat kapal selam kelas Ohio, yang di dalamnya disiapkan fasilitas untuk membawa dan mengoperasikan pasukan khusus. Nampaknya, Indonesia belum terlambat untuk mengembangkan konsep seperti itu, tentunya di sesuaikan dengan kemampuan yang tersedia. Gagasan tersebut, pasti ada nilainya untuk dikembangkan dengan cepat, mengingat kecenderungan berkembangnya tekanan (political pressure) dalam berbagai bentuk dan platform kerjasama multilateral, yang mengatas-namakan untuk memelihara stabilitas kawasan.
Yang kelima, pilihan alut sista perlu kaji ulang teori-teori perkelahian, misalnya satu frigate berpeluru kendali (senilai 400 juta dollar) diadu dengan empat kapal cepat roket (senilai 100 juta dollar) dengan mengeksploitasi posisi geografis. Atau, kapal cruiser berpeluru kendali (senilai 2-3 milyar dollar) dilawankan dengan dua atau tiga kapal cepat tipe stealth yang sangat murah harganya (50 juta dollar), dan menempati posisi tunggu di lokasi yang stratejik pula. Tidak bisa dipungkiri pula, bahwa peran kapal selam pada dasarnya dirancang untuk memberikan pukulan pendadakan, sehingga negara-negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, dan yang di selatan yaitu Australia, berusaha memiliki dan meningkatkan kemampuan peperangan kapal selam. Seandainya saja Indonesia memiliki empat kapal selam, maka dapat di pastikan bahwa postur penangkalannya akan berubah sangat drastis, dari yang tidak diperhitungkan menjadi diperhitungkan. Katakanlah dari penangkalan sangat terbatas (limited deterrence) akan berkembang menjadi regional deterrence.
Yang keenam, strategi penangkalan tidak bisa dirancang secara universal, maksudnya pukul rata untuk dihadapkan kepada semua pihak. Pilihannya adalah rancangan yang taylor made, dengan memperhatikan skala prioritas kepentingan nasional. Barangkali saja, pilihan satu postur penangkalan di perhitungkan dapat ‘bekerja’ efektif untuk dua sasaran (baca: alamat), akan tetapi sifat dan skala prioritas kepentingan nasional tentunya ada bedanya. Kalaulah pilihan (terpaksa) adalah strategi penangkalan inkonvensional dan di rancang untuk alamat tertentu, maka konsep ini perlu dipahami oleh segenap bangsa dan tentunya memberi dukungan.
Yang ketujuh, strategi penangkalan harus berada didalam bingkai kepentingan nasional dan dipahami dengan baik pula oleh segenap bangsa Indonesia. Pengertian di dalam bingkai kepentingan nasional, artinya ada dukungan (politik dan ekonomi) yang disiapkan untuk mendukung strategi terpilih. Lebih menyempit lagi, pandangan ini perlu dikemukakan secara lugas, mengingat Indonesia mengembangkan otonomi daerah (440 kabupaten dan kota), nyatanya masih menyimpan sejumlah masalah yang dapat mengganggu, atau tidak menciptakan atmosfir yang kondusif untuk mendukung strategi penangkalan. Perlu tinjauan kritis untuk mencermati daerah-daerah yang diperhitungkan punya nilai stratejik militer, oleh karena (ada kemungkinan) daerah-daerah tersebut disiapkan menjadi satu mata rantai pertahanan yang relatif solid (deterrence—decisive engagement—protracted war).
4. Kesimpulan
Bagi negara yang memiliki sumber daya pertahanan yang sangat terbatas (seperti Indonesia), penentuan strategi penangkalan nampaknya berada di antara pilihan yang sangat-sangat terbatas, oleh karena keterbatasan daya penggentar. Apabila demikian kondisinya, maka daya penggentar yang tersedia, perlu di arahkan seakurat mungkin, kebagian yang paling rawan atau titik-titik yang akan diperhitungkan, dapat mengakibatkan kerusakan yang sangat besar (huge loss) di pihak musuh.
Titik-titik rawan (vulnerable points) yang dimaksud, tidak selalu dalam bentuk fisik misalnya instalasi nuklir, atau instalasi industri militer, atau pemukiman padat penduduk, akan tetapi termasuk pusat gravitasi perekonomian, virtual blockade jalur keluar masuk pelabuhan penting, dan seterusnya.
Adalah tugas jajaran intelijen untuk menemukan dimana titik-titik kelemahan pihak lawan yang dapat ‘digigit’ dengan telak, sehingga dapat mengarahkan para pengguna kekuatan untuk menerapkan ‘gigitannya’ setelak mungkin dengan precise engagement. Artinya—adalah di pihak intelijen yang bertanggung jawab untuk ‘menyediakan’ data, yang akan mendukung strategi penangkalan. Semoga ada manfaatnya.
5. Penutup
Demikian kajian ini dibuat sebagai bahan masukan.
[i] Bentuknya anatara lain blockade, peranjauan pelabuhan samudra, no fly zone.
[ii] Yang dimaksudkan dengan pesan, tidak selalu dalam bentuk oral, tetapi dapat dalam bentuk latihan militer yang intensif, pengadaan alut sista yang lebih canggih, naval presence yang cenderung show of force, peningkatan keterampilan khusus secara intensif, dan seterusnya.
[iii] Quadrennial Defense Review Report—February 2006