PERAN ANGKATAN LAUT DALAM OPERASI PERDAMAIAN

Oleh: Alman Helvas Ali

1. Pendahuluan 

Situasi keamanan dunia yang tidak stabil pasca Perang Dingin menempatkan operasi perdamaian sebagai salah satu agenda global yang diadopsi oleh PBB dan negara-negara besar. Dalam operasi itu, satuan-satuan Angkatan Laut di masa lalu tidak menonjol peranannya, utamanya karena asal muasal sengketa internasional yang signifikan terjadi di darat dan sedikitnya permintaan terhadap operasi maritim yang mandiri untuk mengamankan domain maritim.[i] Namun dalam hampir 20 tahun terakhir, operasi perdamaian sudah banyak mengalami evolusi dari operasi di waktu sebelumnya.

Di antaranya adalah makin meningkatnya peran Angkatan Laut dalam operasi perdamaian, ditandai dengan penyebaran unsur-unsur kapal perang sebagai bagian dari kontingen militer PBB atau pasukan multinasional. Peran tersebut dapat dilihat dari penyebaran kapal perang negara-negara anggota European Maritime Force (EUROMARFOR) sebagai bagian dari United Nations Interim Force in Lebanon’s Maritime Task Force (UNIFIL MTF) untuk menegakkan resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1701 (2006). UNIFIL MTF merupakan Gugus Tugas Angkatan Laut pertama yang mengambil bagian dalam misi peacekeeping PBB.

Kondisi demikian menunjukkan bahwa peran Angkatan Laut dalam operasi perdamaian semakin meningkat. Menghadapi perkembangan itu, sudah sewajarnya bila TNI Angkatan Laut juga mempersiapkan diri bila mana suatu ketika nanti terbit keputusan pemerintah untuk turut mengirimkan Gugus Tugas Maritim sebagai bagian dari pasukan perdamaian. Tulisan ini akan membahas tentang aspek-aspek yang perlu diketahui dan dipahami mengenai operasi perdamaian dan bagaimana peran Angkatan Laut di dalamnya.

2. Terminologi 

Secara tradisional, operasi perdamaian PBB dilaksanakan berdasarkan tiga prinsip dasar, yaitu izin dari para pihak (consent of the parties), ketidakberpihakan (impartiality) dan tidak menggunakan kekuatan kecuali untuk bela diri dan mempertahankan mandat (non-use of force except in self-defense and defense of the mandate).[ii] Namun seiring dengan terjadinya evolusi operasi perdamaian PBB, dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip dasar itu seolah-olah tidak berlaku lagi. Hal itu terjadi dengan bergesernya pijakan dasar operasi perdamaian dari Bab VI ke Bab VII Piagam PBB.

Bab VII menggarisbawahi peace enforcement melalui penggunaan kekuatan (use of force). Artinya, peace enforcement dapat dilakukan tanpa harus ada izin dari negara dan atau pihak yang bertikai, atau setidaknya coerced consent. Secara tidak langsung, kondisi demikian mengakibatkan penghormatan terhadap kedaulatan suatu negara mengalami degradasi cukup tajam.

Pergeseran pijakan dasar operasi perdamaian juga berimbas pada semakin luasnya bentangan mandat operasi perdamaian. Di masa lalu mandat operasi perdamaian lebih terbatas pada penyebaran kontingen militer untuk memonitor, supervisi dan memverifikasi kepatuhan para pihak terhadap gencatan senjata, garis gencatan senjata, pengunduran diri, zona penyangga dan persetujuan-persetujuan militer lainnya.[iii] Banyak kalangan menjuluki operasi demikian sebagai traditional peacekeeping. 

Selanjutnya operasi perdamaian berevolusi menjadi expanded peacekeeping[iv], dengan mandat seperti humanitarian assistance, mendirikan atau memulihkan pemerintahan yang demokratis dan accountable, mempromosikan pertumbuhan masyarakat madani dan mendorong rekonstruksi ekonomi dan pembangunan. Bahkan dalam beberapa kasus mandatnya melangkah lebih jauh, yaitu mengganti pemerintahan suatu negara dan terlibat dalam nation-building (baca: memerdekakan suatu etnis/kelompok). Karena luasnya mandat tersebut, operasi perdamaian masa kini dikenal sebagai multidimensional peacekeeping operations yang melibatkan banyak komponen dari beragam latar belakang keahlian dan tidak lagi didominasi oleh komponen militer seperti di era sebelumnya.[v]

Berdiskusi tentang operasi perdamaian, terdapat beberapa terminologi yang perlu untuk dipahami. Terminologi itu mencakup conflict prevention, peacemakin, peacekeeping, peace enforcement dan peacebuilding. Semua terminologi dimaksud merupakan terminologi resmi yang digunakan oleh PBB.

Pertama, conflict prevention yaitu melibatakn penerapan langkah-langkah diplomatik atau struktural untuk menjaga agar ketegangan dan sengketa intra-state atau inter-state tensions and disputes tidak bereskalasi menjadi konflik. Idealnya, conflict prevention harus dibangun di atas peringatan dini yang terstruktur, pengumpulan informasi dan analisis yang cermat terhadap faktor-faktor pendorong dari konflik.

Kedua, peacemakingpada umumnya meliputi tindakan-tindakan untuk menggarisbawahi konflik-konflik dalam kemajuan dan biasanya melibatkan tindakan diplomatik untuk membawa pihak-pihak yang bermusuhan untuk menegosiasikan persetujuan. Ketiga, peacekeepingyaitu teknik yang didesain untuk melindungi perdamaian, bagaimanapun rawannya, di mana pertempuran telah dihentikan dan membantu pelaksanaan persetujuan yang dicapai oleh para pembuat perdamaian.

Keempat, peace enforcementyaitu aplikasi, dengan otorisasi Dewan Keamanan, serangkaian tindakan-tindakan koersif, termasuk penggunaan kekuatan militer. Penggunaan kekuatan pemaksaan dalam peace enforcement diotorisasikan untuk memulihan keamanan dan perdamaian internasional pada situasi yang oleh Dewan Keamanan PBB ditetapkan sebagai ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran perdamaian atau tindakan agresi. Untuk melaksanakan itu, bilamana dianggap perlu, Dewan Keamanan dapat memberikan otorisasi kepada organisasi kawasan dan lembaga-lembaga untuk bertindak atas namanya.

Kelima, peacebuildingyaitu melibatkan serangkaian tidakan yang dimaksudkan untuk mengurangi resiko timbulnya kembali konflik dengan memperkuat  kapasitas  nasional  pada  semua  tingkatan  untuk manajemen konflik, dan meletakkan dasar bagi perdamaian dan pembangunan yang berkelanjutan. Peacebuilding merupakan suatu kegiatan yang kompleks dan berjangka waktu lama untuk menciptakan kondisi yang dibutuhkan guna perdamaian yang berkelanjutan. Peacebuilding bekerja dengan menggali akar masalah, penyebab struktur dari suatu konflik kekerasan melalui tindakan-tindakan yang komprehensif.

Sebagai perbandingan, menurut pandangan mantan Sekretaris Jenderal PBB Boutros-Boutros Ghali dalam bukunya yang berjudul An Agenda for Peace, terdapat empat jenis operasi pemecahan masalah (problem-solving operation) yang dapat dilaksanakan di bawah pengawasan PBB. Meliputi preventive diplomacy; peacemaking; peacekeeping; dan peacebuilding.[vi] Keempat jenis operasi itu disusun berdasarkan urutan kegiatan.

Banyak terminologi dalam operasi perdamaian perlu dipahami, karena setiap terminologi memiliki perbedaan cakupan yang berbeda. Selain itu hendaknya diketahui juga bahwa terdapat negara-negara atau organisasi multilateral yang juga mempunyai terminologi-terminologi tersendiri yang tidak selalu sama dengan yang dikembangkan oleh PBB, misalnya peace mission dan peace support operation. Artinya, setiap negara mempunyai pemahaman yang berbeda mengenai operasi perdamaian.

3. Perluasan Domain Operasi 

Terbitnya mandat operasi perdamaian merupakan proses yang panjang di Dewan Keamanan PBB yang didasarkan pada cost-benefit calculations masing-masing negara pemegang hak veto.[vii] Tidak ada kriteria tetap dan mengikat yang menjadi pegangan semua pihak terkait mengenai digelar tidaknya suatu operasi perdamaian, semisal ancaman genosida. Dengan kata lain, mandat operasi perdamaian yang diterbitkan oleh Dewan Keamanan sangat dipengaruhi oleh kepentinganlima anggota tetap dewan tersebut.

Begitu pula dengan keterlibatan negara-negara dalam operasi perdamaian, sangat  ditentukan  oleh  restu  pemegang  hak  veto. Negara-negara  Eropa sejak 15 tahun silam, telah mengembangkan kekuatan gabungan yang akan digunakan untuk mendukung operasi perdamaian PBB. Untuk komponen darat, mereka mendirikan SHIRBRIG (Standby High Readiness Brigade) yang secara khusus dirancang untuk beroperasi di bawah bendera PBB. Saat ini SHIRBRIG beranggotakan 16 negara Eropa dan terlibat aktif dalam berbagai operasi perdamaian PBB.

Perkembangan lain yang menarik untuk dicermati adalah pembentukan EUROMARFOR (European Maritime Forces) sejak 1995. EUROMARFOR adalah kekuatan multinasional maritim yang dapat melaksanakan operasi laut, udara dan amfibi. Saat ini 12 negara Eropa tergabung di dalamnya, yaitu Bulgaria, Denmark, Prancis, Italia, Jerman, Yunani, Belanda, Norwegia, Portugis, Spanyol, Swedia dan Turki. Operasi terkini dari EUROMARFOR adalah di Lebanon sebagai Gugus Tugas Maritim UNIFIL.

Eksistensi Gugus Tugas itu merupakan bagian dari pelaksanaan resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1701 (2006) yang di antaranya mengamanatkan UNIFIL untuk mencegah masuknya segala jenis senjata ke wilayah Lebanon tanpa seizin pemerintah Lebanon. Termasuk di dalamnya masuknya senjata ke Lebanon melalui laut. Berperannya Gugus Tugas Maritim UNIFIL merupakan salah satu prasyarat dalam lobi untuk disetujuinya resolusi tersebut, karena Israel bersedia menghentikan blokade laut terhadap Lebanon apabila PBB memiliki kekuatan untuk mengawasi perairan Lebanon.

Untuk menegakkan mandat PBB, Gugus Tugas Maritim UNIFIL melakukan visit, board, search and seizure (VBSS) terhadap semua kapal yang akan merapat ke pelabuhan-pelabuhan Lebanon. Secara garis komando, UNIFIL Force Commander mendelegasikan kewenangannya kepada Komandan Gugus Tugas Maritim. Dalam melaksanakan perannya, Gugus Tugas Maritim PBB (EUROMARFOR) mengadopsi standing operation procedures dan rules of engagement NATO, karena PBB tidak mempunyai SOP dan ROE sendiri untuk operasi maritim.

Mencermati operasi yang dilakukan oleh EUROMARFOR di Lebanon, domain operasi   perdamaian   kini   sudah   mencapai   wilayah   maritim. Dan   peran  yang dilaksanakan oleh unsur maritim lebih banyak pada peran konstabulari. Sebab pada dasarnya konflik terjadi di daratan, sehingga peran kekuatan maritim lebih pada upaya polisionil untuk mencegah masuknya senjata atau material lainnya ke daratan.

Hal serupa juga dapat dilihat dari yang dilaksanakan oleh kekuatan multinasional di bawah payung PBB di Laut Adriatik ketika pecah konflik di bekas Republik Yugoslavia sekitar 15 tahun silam. Yang membedakannya dengan operasi di Lebanon adalah PBB tidak membentuk Gugus Tugas Maritim. Untuk melaksanakan blokade terhadap eks Republik Yugoslavia, PBB memberikan restunya kepada NATO sebagai pelaksana di lapangan. Saat itu pasukan perdamaian PBB hanya terdiri dari komponen darat saja.

4. Interoperability 

Dengan makin meluasnya operasi perdamaian PBB, dapat diprediksi di masa depan peran Angkatan Laut akan terus meningkat. Pertanyaannya, pelajaran apa yang dapat ditarik oleh Indonesia dan khususnya TNI Angkatan Laut dari operasi PBB di Lebanon? Operasi perdamaian telah mengalami evolusi dan tidak lagi bersandar pada Bab VI Piagam PBB, melainkan pada Bab VII yang melegitimasikan penggunaan kekuatan.

Tiga prinsip dasar operasi perdamaian yaitu izin dari para pihak (consent of the parties), ketidakberpihakan (impartiality) dan tidak menggunakan kekuatan kecuali untuk bela diri dan mempertahankan mandat (non-use of force except in self-defense and defense of the mandate), terkesan tidak berlaku lagi. Karena dalam prakteknya, proses mendapatkan izin dari para pihak bisa dipaksakan. Begitu pula dengan ketidakberpihakan, yang mana dalam beberapa kasus yang menonjol seperti di Timor Timur, keberpihakan terhadap salah satu pihak yang bertikai sangat jelas dan gamblang.

Apalagi ketika menyentuh penggunaan kekerasan, yang mana operasi perdamaian  masa  kini  lebih  permisif  terhadap  use of force sebagai alat pemaksa kepatuhan terhadap para pihak. Hal itu mencakup juga operasi perdamaian di laut, walaupun dalam kasus kontemporer di Lebanon belum pernah terjadi insiden serius antara Gugus Tugas Maritim dengan pihak-pihak lain. Artinya, Angkatan Laut harus siap dengan standing operating procedures dan rules of engagement yang robust.

Sebagaimana umumnya operasi perdamaian PBB, Gugus Tugas Maritim merupakan kekuatan multinasional, sehingga setiap Angkatan Laut yang terlibat dituntut untuk mampu melaksanakan interoperability. Kata kuncinya adalah kesamaan standing operating procedures, bahkan mungkin juga rules of engagement. Untuk itu, dalam masa kini sebaiknya interaksi antara TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut lain hendaknya senantiasa dipertahankan kesinambungannya, karena akan membiasakan masing-masing pihak untuk beroperasi dalam ”bahasa” yang sama. Interaksi demikian dapat dijadikan modal nantinya apabila berpartisipasi dalam operasi perdamaian PBB.

Sepengetahuan penulis, Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik yang tergabung dalam Western Pacific Naval Symposium telah mempunyai Multinational Standing Operating Procedures (MNF SOP).Ada baiknya bila MNF SOP itu didalami dan dipraktekkan ketika berinteraksi dengan Angkatan Laut negara-negara lain. Hal itu akan menjadi modal bila suatu saat nanti unsur-unsur TNI Angkatan Laut berpartisipasi dalam operasi perdamaian PBB, khususnya pada Gugus Tugas Maritim.

Seperti telah ditulis sebelumnya, peran yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut dalam operasi perdamaian lebih banyak pada peran konstabulari, misalnya melalui kegiatan VBSS. Keterampilan VBSS bukan suatu hal yang baru bagi TNI Angkatan Laut, karena sejak beberapa tahun lalu VBSS telah diadopsi dari Angkatan Laut Amerika Serikat lewat wadah latihan bersama seperti CARAT, SEACAT maupun Iron Flash. Oleh sebab itu, ada baiknya bila latihan bilateral serupa tetap dipertahankan eksistensinya sebagai salah satu parameter untuk mengukur kemampuan dan keterampilan unsur-unsur TNI Angkatan Laut melaksanakan interoperability.

Kembali ke aspek politik, dari kasus EUROMARFOR dapat dipetik pelajaran bahwa negara-negara Eropa telah mempersiapkan diri untuk melakukan operasi perdamaian maritim. Secara politik hal itu tidak aneh, karena sulit membayangkan Angkatan Laut Amerika Serikat akan melaksanakan operasi serupa di bawah bendera PBB. Sehingga belum ada kekuatan lain yang siap kecuali negara-negara Eropa yang notabene juga anggota NATO. Apabila ditarik ke dalam konteksIndonesia, dibutuhkan komitmen politik dari pemerintah untuk melibatkan unsur-unsur kapal perang TNI Angkatan Laut dalam operasi perdamaian.

Komitmen politik sudah pasti harus didukung oleh kesiapan operasional dari unsur-unsur kapal perang TNI Angkatan Laut sendiri. Masuknya beberapa alutsista baru untuk memperkuat armada TNI Angkatan Laut hingga beberapa tahun ke depan, secara tidak langsung merupakan modal untuk membangun kesiapan TNI Angkatan Laut. Sebab operasi perdamaian juga merupakan “etalase” bagi suatu negara untuk memamerkan kekuatan militernya kepada pihak lain.

5. Penutup 

Operasi perdamaian PBB telah mengalami evolusi sehingga membutuhkan suatu pemahaman nasional Indonesia yang komprehensif. Sebagai akibat dari evolusi itu, domain operasi perdamaian kini telah mencakup wilayah maritim. Oleh sebab itu, perkembangan demikian sebaiknya diantisipasi oleh Indonesia. Caranya melalui penyiapan unsur-unsur TNI Angkatan Laut agar mampu beroperasi dalam gugus tugus multinasional yang mengedepankan interoperability.

[i]. Pugh, Michael (et.all), Maritime Security and Peacemaking: A Framework for United Nations Operations.New York:Manchester University Press, 1994, hal.5
[ii]. United Nations, United Nations Peacekeeping Operations: Principles and Guidelines.New York, 2008, hal.21
[iii]. Findlay, Trevor, The Use of Force in UN Peace Operations.New York:SIPRI-OxfordUniversity Press, 2002, hal.5
[iv]. Ibid
[v]. United Nations, Op.cit 17-18
[vi]. Pugh, Op.cit hal.5
[vii]. Ibid, hal.14

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Nasrullah.Naim
Nasrullah.Naim
10 years ago

Greetings Sejahterah …… I was fascinated to information and the advancement of marine technology particularly the development of security systems and technological sophistication fleet of ships to our country ………. Give Us At Support in advancing the development of the shipbuilding teknilogi In The area of ​​South Sulawesi State We (SSNK) 2012

1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap