1. Pendahuluan
Pemikiran tentang Strategi Pertahanan Indonesia (SPI) akhir-akhir ini berkembang cukup menarik, seiring dengan wacana berkaitan dengan hal ihwal Keamanan Nasional (Kamnas). Wacana tersebut positif karena dapat memperkaya ide dalam rangka memilih dan menyusun SPI yang tepat dan terbaik bagi negaraIndonesia.
Tulisan ini masih dalam lingkup wacana tersebut, berusaha mengetengahkan beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan dalam membahas, mendiskusikan, maupun menyusun SPI. Secara umum, paling sedikit ada sebelas faktor[i] yang mempengaruhi penyusunan strategi pertahanan suatu negara, yaitu: ancaman, politik dalam negeri, ekonomi, teknologi, lingkungan fisik, kepemimpinan, budaya masyarakat, politik luar negeri, geografi, doktrin dan logistik. Di samping kesebelas faktor itu, dalam prakteknya di lapangan masih ada faktor lain yang cukup dominan pengaruhnya, misalnya faktor media, baik media cetak maupun elektronik. Peran media dalam mempengaruhi kebijakan negara maupun strategi pertahanan sangat besar, khususnya menyangkut aplikasinya di lapangan.
Tulisan ini mencoba membahas faktor yang berkaitan dengan geopolitik, berawal dari lingkungan fisik, lingkungan alamIndonesiadan hubungannya dengan beberapa faktor lainnya, serta mengetengahkan arti pentingnya doktrin pertahanan bagi penyusunan strategi pertahanan dan manfaat lainnya.
2. Lingkungan Alam Indonesia
Lingkungan Alam Indonesia (LAI) mempunyai keunikan tersendiri yang berbeda dan barangkali tidak ada padanannya dengan negara-negara lain yang ada di dunia. Dalam konteks strategi pertahanan, istilah yang cocok untuk menyebut keunikan negara Indonesia, Indonesia adalah satu-satunya negara di dunia di mana wilayah wilayah negaranya paling tersebar, dan satu-satunya wilayah di dunia di mana jalan raya perdagangan dunia saling bersilangan.
Bila seluruh pulau-pulau Indonesia yang jumlahnya lebih dari 17.000 buah dengan seluruh perairannya dipandang sebagai satu kesatuan dan merupakan rumah serta halaman tempat tinggal bangsa Indonesia, bisa dikatakan rumah dan halaman tersebut sama sekali tidak ada pagarnya. Dalam melakukan aktifitas perdagangan maupun kegiatan lainnya, bangsa-bangsa lainnya boleh dan tidak dilarang lewat keluar masuk halaman rumah tempat tinggal tersebut, asal memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan (UNCLOS 1982). Aturan yang melarang bangsa-bangsa lain agar tidak lewat keluar masuk halaman rumah tempat tinggal bangsaIndonesia, sayangnya tidak mungkin diberlakukan.
Rumah dan halaman tempat tinggal bangsaIndonesiaitu memiliki kandungan sumber daya alam yang berlimpah dan beraneka-ragam, yang juga sangat dibutuhkan oleh bangsa-bangsa lainnya. Jumlah pendudukIndonesiayang besar, lebih dari 200 juta jiwa, juga merupakan pasar potensial bagi perdagangan dunia. Hal-hal tersebut menjadikan LAI menjadi sumber konflik kepentingan, baik konflik kepentingan di antara sesama bangsa Indonesia sendiri, antara bangsa Indonesia dengan bangsa lainnya, maupun antara bangsa yang satu dengan bangsa lainnya.
Kondisi dan potensi LAI tersebut memberikan kerumitan yang cukup kompleks terhadap penyusunan SPI dan aplikasinya di lapangan. Faktor kerumitan bertambah besar, terlebih jika dihadapkan lagi dengan persepsi ancaman, kondisi perekonomian negara, maupun kondisi politik dalam dan luar negeri. Kerumitan dapat dilihat dari fakta yang terjadi, mulai dari sulitnya mencapai kata sepakat di kalangan pakar atau pemikir strategi Indonesia, misalnya dalam hal menentukan kepentingan-kepentingan nasional bangsa Indonesia (National Interests), tujuan nasional (National Objective), maupun tujuan keamanan nasional (National Security Objective), pada kurun waktu tertentu. Tanpa adanya penentuan yang jelas dan tegas hal-hal yang disebutkan itu, tentunya tidak bisa dihasilkan SPI yang baik. Berkaitan dengan strategi, tujuan dari strategi harus ditentukan terlebih dulu.
Bukan itu saja, sulitnya mencapai kata sepakat di kalangan pakar strategi sebenarnya sudah tampak mulai dari penyusunan beberapa instrumen pendukung SPI, antara lain instrumen yang digunakan untuk pedoman, menyatukan persepsi, dan mengarahkan pembuatan SPI, yaitu Doktrin Pertahanan dan doktrin-doktrin strata di bawahnya.
Akibatnya, aplikasi SPI di lapangan banyak mengalami kesulitan terutama dalam upaya mensinkronisasikan elemen-elemen kekuatan nasional bangsa, baik kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, sosial budaya, maupun militer. Dampaknya sangat luas, upaya pertahanan negara menjadi tidak efektif karena sulitnya mencapai inter operability yang baik. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bisa menjadi pelajaran yang berharga, hal mana kondisi pada saat itu seolah-olah elemen-elemen kekuatan bangsa yang berkompeten untuk mempertahankannya berjalan sendiri-sendiri, tidak menuju ke arah prioritas tujuan yang sama.
3. Kemungkinan Datangnya Ancaman
Kondisi LAI dihadapkan dengan kemungkinan arah datangnya ancaman, secara agak ekstrem dapat dikatakan bahwa wilayah negaraIndonesia“terancam” dari segala arah penjuru mata angin. Sangat berbeda kondisinya jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, misalnya dibandingkan dengan negara Amerika atau Australia.
Negara Amerika secara alami dari sisi barat dan sisi timurnya dibentengi oleh dua samudera besar di dunia, Samudera Pasifik dan Samudera Atlantik. Sedangkan dari sisi utara dan sisi selatannya relatif tidak ada ancaman karena berbatasan dengan negara-negara yang telah mengikat pakta pertahanan dengan Amerika. Demikian juga negara Australia. Dari sisi selatan tidak ada ancaman karena berbatasan dengan Kutub Selatan. Dari sisi sebelah barat dibentengi oleh Samudera Hindia, dari sisi sebelah timur berbatasan dengan negara yang telah mengikat pakta pertahanan bersama. Sedangkan dari sisi sebelah utara berbatasan dengan laut, dan daratannya secara alami dibentengi olehpadangpasir yang luas.
Dalam konteks strategi pertahanan khususnya aspek militer, negara Amerika dan Australia selain memiliki keberuntungan alami dari aspek daratan dan perairan, posisi geografinya juga memberikan keberuntungan alami dari aspek musim dan cuaca, dengan adanya empat musim. Paling tidak, ketika musim dingin tiba, memberikan cukup istirahat dari kemungkinan serangan fihak lawan ketika kondisi sedang bermusuhan dengan negara lain.
Dalam hal ini dapat disimak kegagalan negara Argentina pada tahun 1982 dalam upayanya “merebut kembali” Kepulauan Las Malvinas atau Falklands. Salah satu sebabnya karena mengabaikan faktor keberuntungan alami yang dimilikinya. Seandainya invasi yang dilakukanArgentinaterhadapFalklandstidak dilakukan pada bulan April, tetapi menunggu sampai bulan Juli ketika menjelang musim dingin tiba, barangkali solusi penyelesaian invasinya akan berbeda. Dalam kondisi musim dingin negara Inggris tentu akan berpikir seribu kali untuk merespon invasinya dengan tindakan militer, mengingat jarak dari Inggris ke Falklands lebih dari 8000 mil dan harus beroperasi secara mandiri.
Kondisi dan karakter alami Amerika danAustraliamenjadi faktor yang sangat menentukan dalam menyusun strategi pertahanannya, dan memberikan karakter khusus sifat pertahanannya. Misalnya, sejak lama Amerika memiliki kecenderungan membangun dan menggunakan kekuatan militernya dengan prioritas yang lebih besar untuk melakukan pertempuran di luar negeri, dibandingkan dengan di dalam negeri. Oleh sebab itu Amerika membutuhkan lebih banyak pangkalan-pangkalan militer di luar negeri, baik pangkalan militer yang bersifat permanen maupun berupa platform yang mobil, dibandingkan dengan pangkalan militer di dalam negeri. Sehingga bagi Amerika, kekuatan Angkatan Laut sangat diandalkan dan menjadi tulang punggung strategi pertahanannya.
Agak berbeda dengan Australia yang cenderung memanfaatkan kedekatan dan persekutuannya dengan Amerika, pembangunan kekuatan militernya tidak serta merta meniru sekutunya. Kemungkinan besar Australia menerapkan azas “Balance of Power”, dalam arti memberi porsi yang seimbang antara kebutuhan bertempur di luar negeri dibandingkan dengan di dalam negeri. Hal ini tercermin dari konsep strategi yang direkomendasikan pakar strategi dari Inggris kepadaAustralia, dan kemungkinan besar rekomendasi tersebut dilaksanakan.
Bagaimana denganIndonesia? Dilihat dalam konteks strategi pertahanan (aspek militer), kondisi alamiIndonesiatidak memiliki keberuntungan alami sebagaimana dimiliki dua negara yang disebutkan tadi. Sehingga, mau tidak mau kecenderungan pembangunan dan penggunaan kekuatan militerIndonesiaselalu bergerak dengan prioritas untuk penggunaan di dalam negeri. Tidak bisa dipungkiriIndonesiamembutuhkan pangkalan-pangkalan militer dalam jumlah relatif banyak.
Berkaitan dengan hal ini ke depan kaji ulang pertahananIndonesia(SDR/Strategic Defence Review) perlu secara cermat menilai dan mengevaluasi keberadaan pangkalan-pangkalan militer yang sudah ada, bila dinilai tidak efektif dan hanya memboroskan anggaran pertahanan, tidak perlu dipertahankan keberadaannya. Ke depan, masalah relokasi pangkalan militer merupakan prioritas, diarahkan ke lokasi-lokasi strategis yang terdekat dengan kemungkinan datangnya ancaman dan wilayah frontier.
4. Doktrin Pertahanan
Istilah “doktrin” sering membuat banyak pihak alergi karena menganggap istilah itu termasuk warisan dari Orde Baru, sama dengan istilah “stabilitas” yang sedapat mungkin ingin dibuang jauh-jauh. Padahal faktanya, seluruh kehidupan manusia sesungguhnya diatur dan dibimbing dengan doktrin, karena pada hakikatnya doktrin adalah suatu ajaran.
Berkaitan dengan strategi pertahanan, mutlak diperlukan suatu doktrin, atau apapun namanya, suatu ajaran tentang pertahanan negara yang telah disepakati bersama oleh seluruh bangsa. Doktrin atau ajaran itu berisi pengalaman sejarah dalam mengelola pertahanan negara, atau bisa juga mengajarkan pengalaman berupa fakta sejarah yang dialami oleh bangsa lain. Doktrin bukan dogma, sesuatu yang tabu untuk dirubah dan disempurnakan sesuai dengan perkembangan jaman. Justru, doktrin harus dirubah ketika telah terjadi perubahan politik, juga ketika telah terjadi perubahan teknologi. Sekedar contoh, ajaran tentang geopolitik dan geostrategi yang selama ini diajarkan berupa teori Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional, sebagian barangkali masih relevan untuk diajarkan namun sebagian lagi perlu disempurnakan. Misalnya, pemikiran Wawasan Nusantara suatu ketika pernah berkembang menjadi pemikiran tentang Benua Maritim Indonesia, barangkali suatu saat nanti bisa berkembang ke arah pemikiran bahwa yang disebut sebagai Benua Maritim Indonesia (BMI) itu adalah miniatur dunia.
Doktrin Pertahanan berisi pokok-pokok pikiran yang diperlukan untuk menyangga kebijakan atau strategi pertahanan. Doktrin bersifat menerangkan dan menjelaskan, kebijakan bersifat mengarahkan dan menentukan. Kegunaan doktrin, yang terpenting adalah untuk menyamakan persepsi terhadap hal-hal yang berkaitan dengan pertahanan negara. Arti penting lainnya, untuk memperjelas pemikiran dalam memilih cara bertindak terbaik pada situasi kekacauan yang disebabkan terjadinya krisis atau perang (mengurangi atau meniadakan kabut perang/Fog– Clausewitz).
Sebagai contoh, pemahaman tentang perang atau konflik bersenjata bisa berbeda-beda antara pihak militer dan pihak otoritas sipil yang berwenang mengambil keputusan politik. Perbedaan itu tidak akan terjadi jika sudah ada doktrin pertahanan yang telah disepakati bersama pada waktu pembuatannya. Oleh sebab itu di dalam doktrin pertahanan harus ada bagian yang menjelaskan hal ihwal tentang perang atau konflik bersenjata, agar tidak terjadi perbedaan persepsi yang dapat menyebabkan salah urus negara/salah urus penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan, misalnya, suatu pemberontakan bersenjata atau teror bersenjata dihadapi oleh kekuatan non militer, atau sebaliknya suatu kelompok kriminalitas dihadapi dengan kekuatan militer.
Doktrin pertahanan selain diperlukan untuk menyusun strategi pertahanan, juga sekaligus dapat digunakan untuk pembelajaran kepada rakyat, bahwa hal-hal berkaitan dengan pertahanan negara bukanlah monopoli militer. Diharapkan pula, persamaan persepsi di antara semua penyelenggara negara dapat menghasilkan produk-produk negara, misalnya undang-undang, peraturan pemerintah dan sebagainya yang lebih baik, karena suatu ajaran/pengalaman mendahului suatu keputusan, bukan sebaliknya.
5. Penutup
Demikian kajian ini dibuat sebagai bahan masukan.