Oleh: tim FKPM.
Pendahuluan
Keprihatinan FKPM dengan belum hadirnya “long long road-map” NKRI sebagai poros PMD & TL [1], merupakan kesan dan kesimpulan dari beberapa kali pertemuan, diskusi maupun FGD dikalangan terbatas, meski PMD & TL sudah dideklarasikan kl 2 tahun ini. FKPM sebenarnya sudah mengupayakan dengan menayangkan draft model outcome negara maritim seperti gambar di-bawah ini.
Gambar .Model keputusan membangun negara maritim atau model poros maritim.
Perhatikan:bahwa produk semua elemen domain maritim yang begitu banyaknya, harus diutilisasikan pemerintah bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dinegara maritim dan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat (sebagai outcome negara maritim).
Meskipun sudah ada arahan positif tentang poros maritim dunia dan tol laut oleh Presiden[2], namun “road-map” tersebut sebagai puncak harapan wajar publik terhadap keseriusan pemerintah nyatanya masih belum pernah hadir—peta petunjuk pelaksanaan melalui poros maritim dunia dan tol laut menuju negara maritim. Bahkan[3] pubik diluar-pun masih mempertanyakan kejelasan agenda ini. Bisa saja timbul prokon definisi maritim[4] (literatur asing dimana-mana selalu menyebut “maritime domain”[5]); namun masih perlukah(?) diatur pemerintah, mestinya dengan “rule of thumb”[6] bisa mengadop definisi yang sudah diberlakukan lama oleh negara maritim lainnya—mengapa harus menunggulama? Di-sadari bahwa tidak ada negara lain yang memiliki elemen domain maritim selengkap dan sebanyak RI.
Baca lebih jauh : Quarterdeck Edisi Mei 2016
Bahasan model
Model sederhana mencoba menangkap bahwa outcome negara maritim terbentuk setelah sukses mengutilisasikan semua elemen domain maritim bagi kepentingan bangsa. Model ini bisa menangkap pertanyaan besar yang menghambat dan konsekuensi lain-lain. Asumsi yang dibuat; model ini berjalan kontinyu, meskipun berganti-ganti pemerintahan. Bahasa keinginan Presiden sebagai poros maritim dunia dan tol laut sudah diterjemahkan model dalam teori pengambilan keputusan (decision theory) yakni NKRI menuju negara Maritim (outcome optimalisasi seluruh elemen domain maritim sebagai produk negara maritim) (periksa gambar). Kata/kalimat poros maritim dunia bahkan negara maritim sepantasnya dipromosikan ke-masyrakat global dan wajar meletakkan-nya dalam tatanan kepentingan nasional. Dari model tersebut tergambarkan kandidat isu, problem, konflik, organisasi dan berbagai peluang yang akan muncul dalam pertanyaan besar; a.l: siapa kontroler kebijakan [7](policy controller ~ Ktr Polhukam atau Ktr Menkomaritim) didomain ini, adakah strategi pertahanan maritim (atau strategi maritim saja—bagi TNI-AL), adakah strategi nasional untuk keamanan maritim (bagi—Bakamla dan atau KPLP), mengapa perlu national policy, strategi, bagaimana harmonis-nya instansi terkait, dll[8]. Masih seabreg pertanyaan dari model yang sangat sederhana ini. Bila semua elemen domain berjumlah n variabel dan masing variabel ada k kategori (misal, untuk variabel kelautan saja, ada kategori permukaan, kedalaman, dasar laut, dst dan ada sekian l indeks aspek (pertahanan, ekonomi, energi, perikanan, riset, turisme, dll), maka akan muncul matrik dengan dimensi n, k, dan l.
Bisa dibayangkan akan muncul berapa sel kegiatan dengan n, k, l tertentu per masing masing time horizon dan cost benefit-nya? Tanpa perhitungan ini semua, sulit untuk memilah-milah mana yang akan diprioritaskan, yang lebih sensitif untuk segera digarap (segera bisa menguntungkan dan besar rupiahnya), mana yang akan dibiarkan tumbuh alami, dll. Setiap variabel dengan kategori dan indeks diperhitungkan berbasis cost-benefit akan didapat urutan kegiatan dalam domain maritim yang bisa dilakukan, diprioritaskan, dll. Setiap kegiatan ini akan dibungkus dalam time-horizon yang berbeda-beda tentunya, secara kumulatif menunjukkan total waktu yang digunakan sehingga tercapai realitas sebagai negara maritim RI (expected time-horizon) dipenghujung waktu. Komplikasi bukan? Perhitungan secara teknis bisa diserahkan ke-Perguruan tinggi dari progdi Engineering dan Economic untuk menyelesaikannya.
Tanya jawab dan reaksi
Meski sudah dijelaskan dalam pemodelan, beberapa pertanyaan mendasar tetap muncul. Seperti [1] belum ada-nya kesepakatan definisi maritim, yang mestinya bisa saja dijawab mengapa tidak menggunakan definisi yang lebih luas dan atau sudah digunakan negara besar lainnya (universal atau “taken for granted” misal: domain maritim) dan mengapa harus menunggu fatwa pemerintah “hanya” soal definisi? Berikut; dengan ditetapkannya RI sebagai negara kepulauan [2], masih perlukah menggunakan definisi negara maritim? RI memang negara kepulauan, sangat alami, dan ada semangat bahwa Sang Pencipta mengamanahkan negara kepulauan ini kepada bangsa Indonesia untuk di-manfaatkan. Bangsa Indonesia memegang amanah ini dengan inovasi membuat lebih bermanfaat dan mempertajam negara kepulauan ini sebagai negara Maritim—memegang amanah yang diberikan dan lebih memaksimalkan amanah yang ada. Isu negara kepulauan bisa saja merupakan prasyarat (prerequisite) atau alasan sangat kuat menghantar NKRI sebagai negara Maritim, mengapa dipermasalahkan lagi. Dari sisi teori/teknik pengambilan keputusan (membuat format keputusan) munculnya faktor atau indikasi keragu-raguan, semuanya bisa dikelompok-kan dalam hal-hal yang bersifat given, alami, diluar konteks, dll[9]. Yang paling penting adalah—apa sebenarnya yang sangat diinginkan pengambil keputusan, inilah yang harus dikejar terlebih dahulu (obyektif model pengambilan keputusan). Di-contohkan bahwa Tiongkok secara alami negara kontinen, negara pantai, namun kenyataan-nya PLA (Navy) tumbuh percaya diri sebagai negara maritim (obyektif Policy-nya) dan kekuatan lautnya berkategori “ocean going” dan “blue-water” Navy (obyektif Policy PLA-Navy). Meskipun mereka selalu mengembar-gemborkan dirinya sebagai pengguna strategi AA/AD, dan baru siap memasuki the second chain islands (obyektif PLA) tahun 2030 nanti—salahkah policy Tiongkok, tidak bolehkah meninggalkan kodrat atau habitat sebagai bangsa (daratan) Tiongkok? Contoh lain, seandai-nya ada suatu negara entah pulau, kepulauan, kontinen, tertutup, dll, namun dengan teknologinya bisa menguasai ruang angkasa—air battle space dominance, apakah menyalahi kodrat? Bahwa antara given, amanah, alami, konteksnya, dll, bisa saja signifikan beda (bahkan tidak ada hubungannya sama sekali) dengan keinginan atau harapan sebenarnya dari pemilik given, amanah, alami, atau konteks tersebut. Pertanyaan berikut [3], dengan pernyataan Presiden tentang poros maritim dunia dan tol laut merupakan amanat, sekaligus modal besar menuju negara maritim tentu saja tidak akan dirubah.
Model diatas tidak merubah sama sekali arah kemauan Presiden justru menyempurnakan pernyataan Presiden termasuk didalamnya 5 pilar poros maritim dan apabila dibulatkan secara konkrit, jelas, kokoh (concrete, clear and robust) akan di-wadahi sebagai negara maritim. Semua yang telah dibicarakan diatas sangat membantu dan mendorong terciptanya road-map yang semakin bisa memberikan kejelasan agenda Presiden Jokowi dan ambisi bangsa seperti yang diinginkan publik atau aktor negara lain[10]. Kalau pokok-pokok konsep pengambilan keputusan menuju negara maritim sudah tertata baik (well-defined), serahkan hal ini ke perguruan tinggi untuk menyelesaikannya dalam bentuk road-map rinci yang akan digelar. Semestinya di-tahun kedua, road-map sudah tergelar dalam suatu rancangan jangka panjang sehingga mudah mengevalusinya.
Kesimpulan
Isyarat poros maritim dan tol laut sebenarnya sudah (dibantu) diterjemahkan dalam bahasa pengambilan keputusan sesuai model diatas (oleh FKPM) bahkan Geoffrey Till tegas-tegas menyebut RI menuju negara Maritim[11]. Mengikuti anjuran Huntington sebenarnya Presiden per kesempatan pertama (usai dilantik) melakukan komunikasi dengan Parlemen tentang harkat kuat (power) menuju negara maritim yang bisa diletakkan & diklasifikasikan sebagai kepentingan nasional yang berkategori extremely survival[12] (menyangkut harkat hidup bangsa & negara)—kalau disetujui menjadi muatan kepentingan nasional[13] yang menduduki derajat tertinggi dan sangat diprioritaskan dalam GBHN atau RPJP atau apapun juga namanya dan perlu di-undangkan. Bila dituliskan kembali dengan hati-hati maka harkat kuat membangun negara maritim adalah kebijakan (baca:policy) yang didefinisikan sebagai berikut: …as a broad statement of guidelines in pursuit of national objectives, … a national maritime policy may be defined as:
” the policy formulated to achieve the co-ordinated rationalized use of the total maritime assets (semua elemen domain maritim) of the state to the maximum benefit of national interests”[14].
National objektif-nya adalah terciptanya negara maritim dan negara maritim adalah kepentingan nasional—persis seperti apa yang ditangkap Till. Till[15] menyebut bahwa Jokowi tidak memiliki “power” penuh untuk mewujudkan kekuatan maritim (maritime force~jantungnya TNI-AL) berbeda dengan Presiden Xi sebagai ketua partai memiliki kekuatan besar untuk mendorong pemerintahannya segera menampilkan PLAN (Coast Guard dan kapal-kapal ikan Tiongkok di-sebut sebagai paramiliter atau sering disebut Phantom Fleet, pen) [16] sebagai kekuatan strategik, modern dan berkelas dunia (realistik). Selama ini Tiongkok membanggakan tentaranya adalah tentara rakyat dan berjuang bersama rakyat (go public), kenyataan sekarang sudah jauh meninggalkan ini (go international) bahkan mengisyaratkan sebagai kekuatan yang “siap” defensif-aktif. Kesimpulan umum; definisi maritim tidak perlu dipermasalahkan, justru akan menghilangkan kesempatan (mengurangi) ambisi bangsa (baca: kepentingan nasional) yang terlupakan yakni menuju negara Maritim. Tidak dipahaminya hal ini mengakibatkan tidak disadari betapa perlunya kehadiran suatu tiruan sistem masalah (atau model) sebagai alat control:
[1] menuju negara maritim dengan cara mengutilisasikan semua elemen domain maritim.
[2] menjawab(a.l) siapa pengontrol kebijakan[17](policy controller) di-domain maritim dan bagaimana tata kelola didomain maritim yang baik (good maritime governance) yang di-pertanggung jawabkan ini semua ke-publik (dampak dan akses menujuberdiri-nya negara maritim seperti isu Keamanan Maritim, isu Pengawal pantai misal: coast guard, isu regulasi, dll), termasuk evaluasi per periodik sebagai National Maritime Review.
[3] produk konsultan di kementerian (perhubungan?) menggambarkan secara garis besar sasaran yang bisa dicapai, misal tahun 2020, tahun 2030, dst. Masih sebatas muatan kemajuan pelabuhan, dan fasilitas-fasilitasnya, bagaimana dengan elemen domain maritim lainnya, duo (2) strategi besar, seperti strategi pertahanan maritim (dengan TNI-AL dan Armada niaga-nya) dan strategi nasional untuk keamanan maritim (dengan Coast Guard sebagai jantungnya) seyogja-nya sudah siap terlebih dahulu untuk mengamankan proses model diatas—periksa gambar diatas. Pekerjaan besar bukan … apalagi yang ditunggu?