Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Kerjasama Angkatan Laut merupakan sebuah kebutuhan bagi semua Angkatan Laut di dunia, termasuk di kawasan Asia Pasifik. Hal itu selain untuk meningkatkan kemampuan operasional Angkatan Laut dan confidence building measures, juga dimaksudkan guna menjamin stabilitas keamanan kawasan, khususnya keamanan maritim. Dalam era globalisasi dengan tatanan internasional yang sudah terstruktur, ketergantungan keamanan antar negara merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Ketidakstabilan di suatu wilayah negara akan mempengaruhi negara-negara lain di sekitarnya, bukan saja dari aspek politik dan keamanan, tetapi juga menyentuh aspek ekonomi dan sosial budaya.
Sebagaimana Angkatan Laut lainnya, TNI Angkatan Laut sebagai aktor utama keamanan maritim di Indonesia juga menjalin kerjasama dengan Angkatan Laut negara-negara di kawasan. Wadah kerjasama itu berupa kerjasama bilateral maupun multilateral dan telah dijalin dalam waktu yang cukup lama. Seiring dengan berjalannya waktu, terdapat pemikiran untuk meningkatkan kerjasama yang sudah terjalin untuk sebesar-besarnya keuntungan Indonesia, dengan meninjau kembali efektivitas kerjasama yang sudah ada. Tulisan ini akan membahas tentang pengembangan kerjasama antara TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut negara-negara lain dalam rangka meningkatkan kemampuan TNI Angkatan Laut sekaligus menjamin keamanan maritim di kawasan.
2. Kebijakan Nasional
Kerjasama Angkatan Laut, baik bilateral maupun multilateral, senantiasa berada dalam bingkai besar kerjasama antar negara. Dengan kata lain, kerjasama Angkatan Laut harus mengacu pada kebijakan pertahanan dan luar negeri yang telah digariskan oleh masing-masing pemerintahan. Kebijakan pertahanan dan luar negeri harus dapat menjadi penuntun bagi militer, termasuk Angkatan Laut untuk melaksanakan kerjasama dengan mitranya di luar negeri.
Tujuan dari kerjasama Angkatan Laut tidak boleh dilepaskan dari kepentingan nasional masing-masing negara. Dalam era masa kini, instrumen yang digunakan untuk mengamankan kepentingan nasional tidak lagi sebatas instrumen politik, ekonomi dan militer, namun telah melebar menjadi instrumen militer, intelijen, diplomatik, penegakan hukum, informasi, keuangan dan ekonomi (MIDLIFE). Meskipun instrumen kekuatan nasional telah meluas, akan tetapi peran instrumen militer tetap tidak dapat diabaikan.
Dalam perkembangan terkini, kebijakan-kebijakan sektoral di banyak negara selalu disinkronkan dan diintegrasikan menjadi kebijakan nasional. Begitu pula dengan kebijakan pertahanan dan luar negeri, di mana kedua kebijakan itu senantiasa saling terkait. Saat ini isu-isu politik dan keamanan cukup mendominasi atmosfir berbagai kawasan di dunia, yang untuk menghadapinya membutuhkan pendekatan komprehensif. Oleh karena itu, bukan sesuatu yang aneh bila terdapat keterkaitan antara kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri.
Isu-isu politik dan keamanan yang berkembang tidak dapat direspon hanya dengan mengandalkan pendekatan militer saja sebagai satu-satunya solusi, namun seperti harus lebih banyak melalui pendekatan diplomatik yang didukung oleh kekuatan militer. Pada sebagian besar negara seperti Amerika Serikat, Departemen Pertahanan memainkan peran penting dalam kebijakan luar negeri.[i] Di negeri itu, terjalin kerjasama erat antara Duta Besar Amerika Serikat di negara akreditasi dengan Panglima militer Amerika Serikat di kawasan setiap negara akreditasi. Keduanya bekerjasama untuk memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan luar negeri Presiden, yang dikenal sebagai shaping the environment.[ii]
Hal serupa dipraktekkan pula oleh negara-negara seperti Australia, Jepang, Malaysia dan Singapura dalam konteks yang berbeda sesuai dengan kepentingan nasional mereka. Negara-negara di sekitar Indonesia itu telah mensinkronisasikan antara kebijakan pertahanan dan luar negeri, sehingga aspirasi yang mereka bawakan dalam bekerjasama dengan negara-negara lain adalah aspirasi nasional dan bukan sektoral. Apabila dicermati, hal itu tidak lepas dari adanya suatu panduan nasional, yang secara umum dikenal sebagai kebijakan keamanan nasional.
Kebijakan pertahanan tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik keamanan secara keseluruhan. Secara teori, terdapat dua pendapat mengenai hubungan antara politik keamanan dengan kebijakan luar negeri. Pertama, kebijakan politik keamanan merupakan bagian dari kebijakan luar negeri. Kedua, kebijakan politik keamanan dan kebijakan luar negeri merupakan entitas yang berbeda.
Seiring dengan perkembangan lingkungan strategis yang mempengaruhi hubungan antara kebijakan politik keamanan dan kebijakan luar negeri, makin banyak negara yang menganut pandangan bahwa kebijakan politik keamanan merupakan bagian dari kebijakan luar negeri. Pandangan itu lahir antara lain karena dalam hubungan antar bangsa/diplomasi, kini bukan masanya lagi didominasi oleh aktor tunggal yaitu para diplomat Departemen Luar Negeri. Dengan semakin terintegrasinya dunia dalam segala bidang, termasuk bidang pertahanan, peran para aktor diplomasi non Departemen Luar Negeri jauh lebih menonjol dibandingkan dengan aktor dari Departemen Luar Negeri sendiri.
Dengan membandingkan praktek antara kebijakan politik keamanan (termasuk kebijakan pertahanan di dalamnya) dengan kebijakan luar negeri, banyak negara mempunyai kebijakan nasional yang menjadi acuan bagi keduanya. Kebijakan itu secara umum dikenal sebagai kebijakan keamanan nasional, yang menjadi acuan bagi semua instrumen kekuatan nasional untuk berinteraksi dengan pihak asing dalam rangka mengamankan kepentingan nasional.
Kebijakan keamanan nasional, baik secara tertulis maupun dalam prakteknya, mewadahi pentingnya penyelarasan dan sekaligus keterpaduan antara kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri. Isu krusial dalam penyelarasan itu antara lain menyangkut isu keamanan apa saja yang perlu mendapat perhatian bersama dalam kurun waktu tertentu dan bagaimana pola hubungan antar aktor terkait. Soal hubungan antar aktor penting untuk digarisbawahi, karena terdapat perbedaan karakter antara aktor diplomat Departemen Luar Negeri dengan aktor militer yang melaksanakan diplomasi.
Sehingga terkadang sulit untuk menghindari kesan bahwa kedua kebijakan memiliki karakteristik yang berbeda. Kebijakan pertahanan identik dengan karakteristik yang senantiasa lekat dengan penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah, sementara kebijakan luar negeri identik dengan penggunaan cara-cara diplomatik untuk menyelesaikan masalah yang timbul dengan negara-negara lain.
Terkait dengan Angkatan Laut, peran Angkatan Laut dalam diplomasi sesungguhnya bukan hal baru. Memperhatikan sejarah dunia, sejak dahulu Angkatan Laut karena karakteristiknya merupakan aktor diplomasi, yang mana perannya lebih menonjol pada coercive diplomacy.[iii] Dalam perkembangan terkini, diplomasi Angkatan Laut makin meningkat perannya karena kebutuhan akan keamanan bersama pada domain maritim.
Seperti diketahui, pasca serangan 11 September 2001, isu keamanan maritim mendapat perhatian besar dari berbagai pihak, baik aktor negara maupun para pengguna laut lainnya. Meningkatnya ancaman terhadap keamanan maritim dipandang dapat mengancam stabilitas perdamaian dan keamanan dunia dan kawasan, sehingga mendorong banyak negara mengambil inisiatif bersama untuk menjamin keamanan maritim. Begitu pula dengan di kawasan Asia Pasifik yang didominasi oleh perairan.
Isu keamanan maritim merupakan satu dari beberapa isu politik keamanan yang mendominasi kawasan dalam dekade terakhir. Isu-isu lainnya di antaranya proliferasi senjata pemusnah massal, terorisme dan trafficking. Untuk menghadapi isu-isu tersebut, banyak negara menjalin kerjasama multilateral pada berbagai bidang. Dalam kerjasama itu, secara garis besar tatarannya terdiri dari dua yaitu tataran politik dan tataran operasional.
Tataran politik pada umumnya melibatkan Departemen Luar Negeri dan instansi pemerintah yang terkait keamanan nasional, seperti Departemen Pertahanan dan Departemen Perhubungan. Adapun tataran operasionalnya, lebih banyak melibatkan satuan militer dan unsur sipil lainnya yang relevan. Sebagai contoh, untuk isu keamanan maritim pada tingkat operasional selain melibatkan Angkatan Laut, juga melibatkan Coast Guard. Kata kunci dalam mengembangkan kerjasama keamanan adalah adanya panduan dari pemerintah terhadap aktor-aktor yang terlibat, termasuk Angkatan Laut di dalamnya.
3. Kerjasama Angkatan Laut Di Kawasan
Prinsip dasar dari kerjasama Angkatan Laut adalah saling percaya dan menguntungkan. Kerjasama itu harus senantiasa mengacu pada kepentingan nasional dengan menerapkan counter balancing interest. Maksudnya, cakupan dan bidang kerjasama yang dilaksanakan seimbang dan sebanding.
Sebagai contoh, bila suatu Angkatan Laut dalam kerjasama memberikan ”konsesi” kepada mitranya berupa akses ke fasilitas latihan, maka ”imbal balik” dari sang mitra tidak boleh jauh dari itu. Kurang tepat bila ”imbal balik” yang diberikan justru lebih besar, semisal memberikan kawasan tertentu untuk digunakan oleh Angkatan Laut mitranya guna keperluan latihan secara bebas dan nyaris tanpa syarat.
Saat ini bentuk kerjasama Angkatan Laut telah meluas dibandingkan masa-masa sebelumnya. Bila di masa lalu kerjasama Angkatan Laut lebih menitikberatkan untuk menghadapi ancaman dari Angkatan Laut lawan dalam konteks Perang Dingin, kini kerjasama itu dirancang untuk menghadapi ancaman yang sudah jauh berubah. Kerjasama Angkatan Laut masa kini pada tataran operasional ditujukan untuk peacekeeping and enforcement and maintain good order at sea.[iv] Hal demikian dapat dilihat dari eksistensi Gugus Tugas 150 di Laut Arab yang melibatkan Angkatan Laut multinasional untuk melaksanakan maritime security operations (MSO), Gugus Tugas Maritim UNIFIL (United Nations Interim Force in Lebanon) guna menegakkan Resolusi Dewan Keamanan PBB S/Res/1701 (2006) dan MALSINDO Coordinated Patrol di Selat Malaka untuk menangani masalah peromampakan dan pembajakan.
Di samping melaksanakan operasi gabungan (combined operation), bentuk kerjasama Angkatan Laut yang juga mengemuka adalah latihan gabungan (combined exercise), pertukaran intelijen dan pertukaran personel. Perkembangan lain dalam kerjasama Angkatan Laut adalah menyangkut penanganan bencana alam. Materi humanitarian assistance and disaster relief (HADR) sekarang seolah menjadi materi wajib yang tidak boleh luput dalam cakupan kerjasama. Gempa bumi dan tsunami di Samudera India pada 26 Desember 2004 memicu masuknya HADR menjadi materi kerjasama Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik.
Makin meningkatnya kerjasama Angkatan Laut mendorong beberapa negara mengajukan sejumlah inisiatif baru yang bersifat multinasional dan lintas kawasan. Satu di antaranya adalah Thousand-Ship Navy/Global Maritime Partnership yang digagas oleh Laksamana Mike Mullen saat menjabat U.S. of Naval Operations. Ide itu dilontarkan untuk membangun kapasitas Angkatan Laut sedunia untuk memberikan keamanan pada domain maritim pada abad ke-21.[v] Meskipun gagasan itu kurang bersambut dan tidak dilanjutkan oleh Laksamana Gary Roughead, namun gagasan itu mencerminkan bahwa kerjasama Angkatan Laut merupakan kebutuhan bagi semua pihak untuk menjamin stabilitas keamanan dan perdamaian dunia.
Di depan Mediterranean Regional Seapower Symposium 2006 di Venesia, Italia dan Western Pacific Naval Symposium 2006 di Hawaii, Mullen menyerukan untuk sudah waktunya to move beyond dialogue and to take tangible steps that would powerful ideas to work at sea.[vi] Seperti diketahui, forum Angkatan Laut regional seperti WPNS merupakan wadah bagi flag officers dari berbagai negara untuk mendiskusikan kerjasama yang dapat dijalin sebagai respon terhadap perkembangan lingkungan strategis. Berkembangnya forum Angkatan Laut regional seperti WPNS sebenarnya mengikuti kecenderungan umum pasca Perang Dingin yang terjadi di dunia.
Kecenderungan dimaksud yaitu regionalisme, yang pada bidang politik dan ekonomi dapat dilihat dari terbentuk organisasi kawasan dan kawasan perdagangan bebas. Adapun dari bidang militer adalah terbentuk ikatan-ikatan yang lebih banyak tidak resmi untuk menjalin kerjasama militer pada setiap kawasan. Kecenderungan regionalisme juga terjadi di lingkungan Angkatan Laut kawasan, sehingga tercipta sejumlah kerjasama Angkatan Laut kawasan dalam bentuk multilateral.
Salah satu dasar dari regionalisme di bidang keamanan adalah Bab VIII Piagam PBB, di mana organisasi regional didorong untuk melaksanakan langkah awal untuk memecahkan sengketa dan Dewan Keamanan PBB dapat menggunakan organisasi itu, bila dipandang perlu, untuk tindakan penegakan (enforcement).[vii] Apabila ditarik ke dalam konteks Asia Pasifik, wilayah ini merupakan satu-satunya kawasan di dunia yang belum mempunyai organisasi regional untuk menata keamanan kawasan. Yang eksis adalah beragam jaringan kerjasama dengan Amerika Serikat sebagai titik simpulnya.
Eksistensi WPNS sejak 1988 sebagai wadah kerjasama Angkatan Laut kawasan Asia Pasifik cukup efektif untuk meningkatkan interaksi antar Angkatan Laut guna confidence building measure. Interaksi antar Angkatan Laut sangat penting di kawasan, karena tidak sedikit Angkatan Laut yang saling berhadapan karena sengketa wilayah maritim. Kini WPNS selain telah menghasilkan dokumen seperti Multinational Force Standing Operating Procedures (MNF-SOP) dan Code for Unalerted Encounters At Sea (CUES), juga sudah melaksanakan sejumlah kegiatan latihan bersama seperti Western Pacific Mine-Countermeasures (MCM) and Diving Exercise, Tactical Training Center Exercise (TTCEX), WPNS Multilateral Sea Exercise (WMSX) dan EXTAC 1000 series SOP. Latihan bersama antara lain bertujuan untuk membangun interoperability antar Angkatan Laut, karena sebagian dari ancaman dan tantangan di laut seperti isu keamanan maritim kawasan dan perlindungan SLOC harus direspon bersama.
Ancaman dan tantangan serupa pula yang mendorong kerjasama Angkatan Laut di luar WPNS di kawasan Asia Pasifik, baik bilateral maupun multilateral.
Seperti Indian Ocean Naval Symposium (IONS), MALSINDO Coordinated Patrol, program Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) dalam bingkai Section 1206 dan 1207, PASSEX, CARAT, RIMPAC dan CARAT. Apabila dipetakan, agenda-agenda kerjasama Angkatan Laut di kawasan sangat padat dalam satu tahun, yang sebagian dapat dimaknai sebagai kebutuhan bersama terhadap keamanan maritim.
Kerjasama Angkatan Laut di kawasan Asia Pasifik juga menyentuh bidang sumber daya manusia, melalui pertukaran personel untuk mengikuti pendidikan dan latihan. Interaksi antar personel, khususnya perwira, selain untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mereka di bidang ke-Angkatan Laut-an, juga guna membangun hubungan personal di antara mereka. Sebab sebagian besar dari para perwira itu suatu saat nanti akan menjadi flag officers di Angkatan Laut masing-masing.
4. Kerjasama TNI Angkatan Laut Saat Ini
TNI Angkatan Laut selama ini telah menjalin kerjasama di berbagai bidang dengan Angkatan Laut negara-negara lain, khususnya dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Kerjasama itu dijalin berdasarkan beberapa perjanjian yang tersedia, baik antar pemerintah maupun militer. Secara garis besar, kerjasama Angkatan Laut yang sudah eksis dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian.
Pertama, kerjasama tradisional. Kerjasama tradisional meliputi kerjasama TNI Angkatan dengan Angkatan Laut lain yang telah berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Yakni kerjasama dengan Angkatan Laut Amerika Serikat, Australia dan negara-negara ASEAN, khususnya Brunei, Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand. Bidang kerjasama yang tercakup di sini meliputi capacity building, interoperability dan information sharing.
Kedua, kerjasama dengan atmosfir politik yang khas (karena aspirasi politik negara itu). Contoh dari kerjasama ini antara lain dengan Jepang danIndia, yang mana kerjasama dengan Angkatan Laut kedua negara dilakukan dalam kondisi atmosfir yang khas. Maksudnya, meskipun kerjasama Angkatan Laut bukan merupakan hal baru, namun intensitas kerjasamanya baru meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Dengan atmosfir tersebut, bentuk kerjasamanya belum semaju kerjasama dengan Angkatan Laut lainnya yang telah berjalan lama.
Ketiga, kerjasama yang belum ada kerangka. Kerjasama jenis ini merupakan jalinan kerjasama baru dan kedua belah pihak masih terus menjajaki bentuk kerjasama yang dapat dilakukan. Titik berat kerjasama ini adalah confidence building measures. Sebagai contoh kerjasama dengan Angkatan Laut Cina dan Angkatan Laut Korea Selatan, di mana sebelumnya TNI Angkatan Laut relatif jarang berinteraksi secara luas dengan keduanya.
Dari tiga kelompok kerjasama ini, perlu dievaluasi seberapa jauh efektivitasnya dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia TNI Angkatan Laut dan sekaligus kemampuan TNI Angkatan Laut sebagai pengawal kepentingan nasional di domain maritim. Apakah kerjasama itu telah memberikan kontribusi terhadap TNI Angkatan Laut dan seberapa besar? Ataukah kerjasama demikian lebih menitikberatkan pada upaya memelihara hubungan baik dengan Angkatan Laut asing saja?
Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, sebaiknya perlu diawali dengan mengidentifikasi kebutuhan TNI Angkatan Laut saat ini dan ke depan. Secara garis besar, kebutuhan TNI Angkatan Laut dapat dibagi dalam tiga klasifikasi, yaitu bidang sumber daya manusia, operasi dan logistik. Nilai vital sumber daya manusia dalam organisasi Angkatan Laut tidak perlu diulas panjang lebar dalam tulisan ini, karena bagaimana pun sistem senjata Angkatan Laut membutuhkan pengawakan yang terampil dan handal.
Pada bidang operasi, meskipun jenis-jenis operasi yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut tidak banyak mengalami perubahan dibandingkan dekade sebelumnya, namun tetap perlu untuk terus mengikuti perkembangannya pada tingkat taktis dan strategis. Pada tingkat strategis misalnya tentang effect-based operations, sedangkan pada tingkat taktis berupa evolusi terbaru taktik-taktik peperangan kapal selam, kapal atas air, anti pesawat udara, operasi amfibi maupun operasi-operasi non tempur laut seperti non-combatant evacuation operations, maritime interdiction operations dan humanitarian assistance and disasater relief. Pertukaran kunjungan, pertukaran siswa dan latihan bersama merupakan beberapa wadah yang tersedia untuk mengikuti perkembangan mutakhir di bidang operasi.
Kebutuhan bidang operasi lainnya adalah information sharing dengan Angkatan Laut lain, sebab dalam dunia yang kian terintegrasi, kerjasama keamanan maritim merupakan kebutuhan bersama. Ancaman terhadap keamanan maritim di perairan suatu negara dapat menimbulkan imbas terhadap negara-negara di sekitarnya, sehingga information sharing merupakan kebutuhan lain TNI Angkatan Laut di bidang operasi. Information sharing merupakan salah satu pendukung terciptanya maritime domain awareness.
Hal itu penting karena selama ini salah satu moda kerjasama yang dijalin adalah patroli terkoordinasi dengan Angkatan Laut negara-negara di sekitar Indonesia. Dalam kegiatan itu, secara langsung diuji interoperability TNI Angkatan Laut dengan mitra-mitranya.
Kemampuan untuk menggelar operasi tentu saja harus didukung oleh kesiapan dukungan logistik. Masalah logistik selama ini mempengaruhi kemampuan gelar unsur-unsur kapal perang dan pesawat udara TNI Angkatan Laut. Mengingat bahwa sistem logistik TNI Angkatan Laut berujung pada dukungan industri maritim yang sebagian besar berada di negara-negara lain, kerjasama dukungan logistik dengan negara-negara lain sudah sewajarnya dilaksanakan, termasuk dengan negara asal alutsista TNI Angkatan Laut.
Selain itu, mengingat bahwa intensitas interaksi antara unsur-unsur kapl perang TNI Angkatan dengan Angkatan Laut lain semakin meningkat dalam berbagai kegiatan, termasuk yang dilaksanakan di luar wilayah Indonesia, sebaiknya dijalin pula kerjasama dukungan logistik seperti pengisian bahan bakar. Hal ini khususnya dengan Angkatan Laut negara-negara di sekitar Indonesia, seperti India, ASEAN dan Australia.
Dari ketiga bidang itu, harus diakui bahwa masih banyak terdapat kekurangan yang dialami oleh TNI Angkatan Laut. Kondisi itu dihadapkan pula pada keterbatasan kemampuan pemerintah untuk mendukung ketersediaan anggaran pertahanan yang berimbas pula terhadap TNI Angkatan Laut. Di sisi lain, terdapat tuntutan dari bangsa Indonesia agar TNI Angkatan Laut bekerja secara maksimal dalam kondisi yang serba minimal tersebut.
Kerjasama TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut negara-negara lain yang secara tradisional sudah lama terjalin, antara lain mencakup capacity building, interoperability dan information sharing. Sejauh ini, kerjasama dengan Angkatan Laut yang dikategorikan negara-negara tradisional sudah cukup banyak membantu TNI Angkatan Laut meningkatkan kemampuannya. Sebagai contoh adalah latihan bersama yang rutin digelar, patroli terkoordinasi dan bantuan peningkatan kemampuan pengamatan maritim melalui Section 1206 dan 1207, selain kerjasama pendidikan.
Yang nampaknya dirasakan masih kurang adalah menyangkut information sharing. Information sharing yang sudah terlaksana sepengetahuan penulis antara lain baru terbatas pada pengamanan Selat Malaka, seperti Program Surface Picture (Surpic) dengan Angkatan Laut Singapura dan MALSINDO Coordinated Patrol. Itupun dengan catatan bahwa tidak semua informasi yang diperlukan oleh TNI Angkatan Laut diberikan oleh mitra kerjasama. Tentu menjadi pertanyaan mengapa hal demikian terjadi.
Dalam bidang pendidikan, kerjasama dengan negara-negara tradisional itu juga sudah terjalin. Namun masalahnya dari sisi Indonesia adalah diperlukan konsistensi untuk mengirimkan perwira siswa guna mengisi kuota kursi yang telah disediakan. Tidak terisinya kouta kursi yang disediakan dapat mempengaruhi kebijakan Angkatan Laut mitra dalam kerjasamanya dengan TNI Angkatan Laut. Padahal seperti dipahami bersama, kerjasama pendidikan cukup strategis sebagai wadah untuk mengikuti perkembangan terbaru tentang operasi maritim dan segala aspeknya di negara-negara yang menjadi mitra kerjasama.
Adapun kerjasama TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut negara-negara dengan kondisi atmosfir yang khas, sejauh ini cakupannya masih terbatas. Hal itu berlaku untuk kerjasama dengan India, sementara dengan Jepang baru sebatas dialog antar Angkatan Laut (Navy to Navy Talk). Kerjasama dengan India baru terjalin lebih intens dalam beberapa tahun terakhir karena Angkatan Laut negeri itu baru memulai proyeksi kekuatan ke kawasan guna mewujudkan ambisi politiknya untuk menjadikan Samudera India di bawah sistem politik India. Sejauh ini cakupan kerjasamanya sudah melampaui confidence building measures namun belum sampai kepada information sharing, interoperability maupun logistic support.
Tentang kerjasama dengan Angkatan Laut negara-negara lain yang belum mempunyai kerangka kerjasama, cakupannya baru sebatas confidence building measures. Wadahnya antara lain melalui Navy to Navy Talk, pertukaran kunjungan dan pertukaran siswa. Mengingat bahwa kerjasama dengan Angkatan Laut seperti Cina dan Korea Selatan merupakan hal baru, sangat dapat dipahami bahwa kemajuan yang dicapai belum signifikan sebagaimana dengan Angkatan Laut lainnya. Yang patut digarisbawahi, seiring dengan berjalannya waktu, kerjasama tersebut diharapkan mengalami peningkatan dibandingkan status saat ini.
5. Kerjasama Ke Depan
Menjadi tantangan bagi TNI Angkatan Laut untuk meningkatkan kerjasamanya dengan Angkatan Laut lain, khususnya di kawasan Asia Pasifik. Selain untuk meningkatkan kemampuan TNI Angkatan Laut, kerjasama itu juga bertujuan untuk memelihara stabilitas kawasan. Kontribusi TNI Angkatan Laut terhadap stabilitas kawasan merupakan suatu hal yang mutlak, karena posisi perairan Indonesia yang strategis dalam percaturan politik, ekonomi dan keamanan kawasan Asia Pasifik.
Keterbatasan dukung anggaran pertahanan dari pemerintah untuk TNI Angkatan Laut harus dicarikan solusinya. Salah satunya melalui kerjasama TNI Angkatan Laut dengan Angkatan Laut lain dengan prinsip saling percaya dan menguntungkan dan sekaligus berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan. Oleh karena itu, sebaiknya disusun prioritas kerjasama apa saja yang dibutuhkan oleh TNI Angkatan Laut hingga beberapa tahun ke depan.
Memperhatikan kondisi kerjasama saat ini seperti telah diuraikan sebelumnya, sebaiknya kerjasama ke depan menekankan pada aspek capacity building, interoperability, information sharing dan logistic support dengan tidak menomorduakan pengembangan sumber daya manusia. Capacity building, interoperability, information sharing dan logistic support merupakan sarana untuk meningkatkan kemampuan operasi TNI Angkatan Laut, termasuk kelangsungan kehadiran unsur kapal perang di laut.
Sedikit banyak terdapat persinggungan antara capacity building dengan interoperability, namun dalam tulisan ini yang dimaksud dengan capacity building lebih pada pada kemampuan TNI Angkatan Laut di bidang operasi melalui berbagai bentuk bantuan teknis. Misalnya kemampuan TNI Angkatan Laut untuk penginderaan dalam rangka mewujudkan maritime domain awareness, juga hal-hal yang menyentuh aspek pembangunan kekuatan.
Menyangkut interoperability, kerjasama hendaknya diperluas bukan saja dengan Angkatan Laut di Asia Tenggara, tetapi juga dengan Angkatan Laut di Asia Pasifik lainnya seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia dan India. Wadah yang tersedia untuk hal tersebut adalah melalui latihan bersama, baik bilateral maupun multilateral, selain partisipasi dalam operasi perdamaian PBB pada domain maritim. Partisipasi TNI Angkatan Laut dalam RIMPAC Exercise 2008, walaupun yang terlibat baru satuan Korps Marinir, merupakan sebuah langkah maju. Di masa depan, sesuai dengan tingkat kesiapan unsur kapal perang, TNI Angkatan Laut diharapkan lebih banyak terlibat dalam latihan Angkatan Laut multilateral.
Rencana TNI Angkatan Laut untuk menyebarkan unsur-unsur kapal perang dalam Gugus Tugas Maritim UNIFIL di Lebanon juga hal yang patut dihargai, karena akan melatih unsur-unsur TNI Angkatan Laut untuk interoperability dengan Angkatan Laut lain dalam atmosfir operasi sesungguhnya. Partisipasi unsur-unsur kapal perang TNI Angkatan Laut dalam operasi perdamaian sudah sewajarnya diteruskan di masa depan, karena operasi perdamaian PBB merupakan wadah yang paling mungkin bagi Indonesia untuk beroperasi secara multinasional.
Satu hal menarik yang tidak boleh dilewatkan adalah berlakunya ASEAN Charter, melalui berdirinya ASEAN Security Community (ASC) pada 2015. Lepas dari pro kontra terhadap ASEAN Charter seperti ”diserahkannya” sebagian kedaulatan Indonesia sebagai negara bangsa kepada organisasi supranasional, ASC nantinya akan mewadahi kerjasama keamanan maritim di antara negara-negara ASEAN. Dapat dipastikan bahwa kerjasama itu akan menyentuh aspek operasional, sehingga interoperability tidak dapat dihindarkan.
Untuk information sharing sebaiknya difokuskan pada kawasan Asia Pasifik, karena di sinilah unsur-unsur kapal perang TNI Angkatan Laut beroperasi. Kerjasama information sharing dengan Angkatan Laut ASEAN sudah semestinya ditingkatkan, dengan prinsip dasar saling percaya dan menguntungkan. Selama ini meskipun kerjasama itu sudah berjalan, namun rasa saling percaya dan menguntungkan belum cukup kokoh antar Angkatan Laut ASEAN, khususnya antara tiga negara pantai Selat Malaka. Itulah yang dapat menjadi salah satu penjelasan mengapa information sharing dalam Program Surpic belum maksimal.
Mengingat beragamnya ancaman dan tantangan pada domain maritim, kerjasama information sharing dengan Angkatan Laut Amerika Serikat melalui U.S. Pacific Command perlu untuk dijajaki kembali. Dengan sumber daya yang dimiliki, Angkatan Laut Amerika Serikat mempunyai informasi yang sangat lengkap tentang semua hal yang berkaitan dengan keamanan maritim. Kerjasama information sharing dengan Amerika Serikat di masa lalu berjalan kurang mulus, sebab terkesanIndonesia hendak dijadikan kepanjangan tangannya untuk memeriksa dan menindak kapal-kapal yang dicurigainya. Di samping itu, informasi yang diberikan pun tidak berkelanjutan.
Perjanjian Lombok yang menjadi dasar kerjasama keamanan maritim Indonesia-Australia hendaknya dieksploitasi semaksimal mungkin bagi kepentingan TNI Angkatan Laut, termasuk di dalamnya information sharing. Dengan catatan bahwa informasi yang diberikan bukan semata dari perspektif kepentinganAustralia, sehingga menempatkan Indonesiaseolah-olah menjadi bumper bagi keamanan nasionalnya. Apabila dari perspektif Australia mereka membutuhkan kerjasama untuk menangani penyelundupan manusia yang melewati perairan Indonesia, ada baiknya bila TNI Angkatan Laut meminta infomasi yang terkait dengan kegiatan pencurian ikan di Laut Arafuru.
Kerjasama dukungan logistikmerupakan suatu keniscayaan, mengingat luasnya cakupan kerjasama itu. Mulai dari yang lunak seperti pengisian bahan bakar (refuelling), pemeliharaan sistem senjata (termasuk kapal perang) hingga peminjaman alutsista tertentu sesuai kesepakatan bersama. Memperhatikan bahwa unsur-unsur kapal perang TNI Angkatan Laut lebih banyak berinteraksi dengan Angkatan Laut negara-negara di sekitarIndonesia, kerjasama dukungan logistik hendaknya diprioritaskan dengan negara-negara itu.
Kerjasama dukungan logistik juga merupakan konsekuensi dari interoperability Angkatan Laut. Dengan kerjasama ini, diharapkan sejumlah kendala operasional yang selama ini dihadapi oleh TNI Angkatan dapat dikurangi sebanyak mungkin. Termasuk dalam partisipasi aktivitas-aktivitas Angkatan Laut yang dilakukan di luar wilayah bersama seperti latihan bersama bersama.
Selain bidang kerjasama yang telah dijelaskan, kerjasama pendidikan melalui pertukaran perwira dan instruktur hendaknya tetap memperoleh prioritas. Sebab hal itu sangat strategis untuk memperkuat sumber daya manusia TNI Angkatan Laut di tengah cepatnya kemajuan teknologi yang berimplikasi Angkatan Laut. Kemajuan teknologi itu senantiasa diikuti oleh perubahan paradigma dan hal itulah yang hendaknya selalu diikuti perkembangannya oleh personel TNI Angkatan Laut.
6. Penutup
Ketika keamanan maritim menjadi sebuah kebutuhan bersama bagi negara-negara di kawasan, kerjasama Angkatan Laut merupakan sebuah keharusan. Begitu pula dengan TNI Angkatan Laut, kerjasama dengan Angkatan Laut lain merupakan pilihan logis untuk menjaga stabilitas kawasan dan sekaligus meningkatkan kemampuannya di berbagai bidang. Dengan keterbatasan dukungan anggaran pertahanan, wadah kerjasama Angkatan Laut memberikan peluang bagi TNI Angkatan Laut untuk tetap meningkatkan kemampuannya guna merespon situasi keamanan kawasan. Yang perlu digarisbawahi adalah kerjasama tersebut harus berdasarkan kepada prinsip saling percaya dan menguntungkan.
[i]. Reveron, Derek S, “Shaping the Security Environment” dalam Reveron, Derek S (et.al), Shaping the Security Environment, Naval War College Newport Papers 29.Newport,Rhode Island: Naval War College Press, 2007, hal.1
[ii]. Ibid
[iii]. Lahirnya terminologi gunboat diplomacy tidak lepas dari coercive diplomacy yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut.
[iv]. Pugh, Michael, Ginifer, Jeremy and Grove, Eric, “Sea Power, Security and Peacekeeping After the Cold War”, dalam Pugh, Michael (et.al) Maritime Security and Peacekeeping: A Framework for United Nations Operations.Manchester:Manchester University Press,Manchester, 1994, hal.24
[v]. Ratcliff, Ronald E, “Building Partners’ Capacity” dalam Reveron, Derek S (et.al), Shaping the Security Environment, Naval War College Newport Papers 29.Newport,Rhode Island: Naval War College Press, 2007, hal.59
[vi]. Ibid, hal.62
[vii]. Pugh, Michael, “Regional Co-Operation At Sea”, dalam Pugh, Michael (et.al) Maritime Security and Peacekeeping: A Framework for United Nations Operations.Manchester:Manchester University Press, 1994, hal.146