Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Dalam 10 tahun terakhir, pembangunan kekuatanTentera Laut Diraja Malaysia (TLDM) mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan era sebelumnya. Selain melengkapi diri dengan kapal atas air, TLDM juga mengakuisi dua kapal selam kelas Scorpene. Kapal selam pertama yaitu KD Tunku Abdul Rahman diluncurkan pada 23 Oktober 2007 di galangan DCN, Cherbourg, Prancis, akan diserahkan secara resmi kepada pemerintah Malaysia pada Januari 2009 dan diharapkan tiba di Malaysia pada Mei 2009. Sedangkan kapal selam kedua yaitu KD Tun Razak akan diresmikan pada Oktober 2009 dan tiba di Malaysia pada Maret 2010.
Bagi Indonesia, pembangunan kekuatan laut Malaysia perlu diperhatikan dengan cermat, sebab dapat berimplikasi terhadap upaya pengamanan kepentingan nasional Indonesia. Apalagi hubungan Indonesia-Malaysia tidak mulus yang ditandai dengan beberapa permasalahan, antara lain sengketa perbatasan maritim. Tulisan ini akan membahas tentang pembangunan kekuatan TLDM dan implikasinya terhadap Indonesia.
2. Pembangunan Kekuatan Malaysia
Strategi pertahanan Malaysia mengalami pergeseran sejak 1990-an, dari semula fokus terhadap strategi lawan insurjensi menjadi keamanan Malaysia di dalam konteks kawasan dan global. Strategi Pertahanan Malaysia yang kini dianut mengidentifikasi tiga kepentingan. Pertama kepentingan strategis Malaysia yang berada di wilayah sekitar Malaysia, kawasan dan global. Kedua, prinsip-prinsip pertahanan Malaysia yaitu mencegah dan merusak ancaman-ancaman terhadap keamanan nasional (preventing and obstructing threats to national security) dan pertahanan total (total defence). Ketiga, prinsip-prinsip strategi pertahanan Malaysia yaitu mandiri (self reliance), kerjasama kawasan (regional cooperation) dan bantuan luar negeri (foreign assistance).
Berdasarkan strategi pertahanan itu, pembangunan kekuatan militer Malaysia selama 10 tahun terakhir dilaksanakan. Pembangunan kekuatan tersebut merupakan perpaduan dari aspirasi politik luar negeri dan daya dukung ekonominya. Krisis ekonomi Asia 1997 merupakan awal kebangkitan aspirasi politik luar negeri Malaysia yang lebih outward looking dibandingkan sebelumnya.
Secara tradisional, terdapat dua kekuatan negara yang masih dipandang sebagai potensi ancaman terhadap Malaysia, yaitu Indonesia dan Singapura. Pada saat yang sama, Malaysia juga dihadapkan pada meningkatnya pembangunan kekuatan militer Cina yang diprediksi akan digelar ke luar wilayahnya dalam 15 tahun ke depan. Di antara isu yang sumber ketidaksepakatan melibatkan Malaysia dengan ketiga negara adalah masalah perbatasan maritim.
Kemungkinan dikategorikannya Indonesia sebagai potensi bukan saja memori warisan era Konfrontasi, tetapi juga karena sampai kini masih ada sejumlah masalah teritorial yang belum disepakati antara kedua negara. Keputusan Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002 yang mengakui kedaulatan Malaysia atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ternyata memunculkan masalah baru dengan Indonesia menyangkut penetapan batas maritim di Laut Sulawesi.
Sedangkan dengan Singapura, Malaysia masih berselisih soal perbatasan laut kedua negara dan isu pasokan air dari Johor ke Singapura.[i] Dalam sebuah kesempatan, Perdana Menteri Lee Kuan Yew pernah menyatakan, “Singapore would not hesitate to go in and defend the water catchments’ areas in Johore in an emergency in order to ensure that Singapore continues to receive its water supply”.[ii] Singapura tidak akan ragu untuk menyerang dan menduduki kawasan Johor apabilaMalaysia menghentikan pasokan air ke negeri itu sesuai Perjanjian Air 1961.
Pernyataan Lee yang dikeluarkan dalam pertemuan tahun 1988 dengan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad membuatMalaysiamerasa terancam. Selain masalah pasokan air,Malaysiabersengketa dengan Singapura dalam isu kepemilikan Pulau Pedra Branca atau Batu Puteh, yang setelah dibawa Mahkamah Internasional, Den Haag, Singapura dinyatakan sebagai pemilik wilayah itu.
Sementara itu Cina hingga kini masih bersikeras menyangkut klaimnya atas wilayah di Laut Cina Selatan. Untuk mendukung klaimnya, Cina terus membangun kekuatan udara dan lautnya yang diharapkan dapat diproyeksikan ke perairan tersebut. Sebagai contoh, negeri itu menempatkan pesawat tempur Sukhoi Su-30 yang dibeli dari Rusia di PulauHainan. Di samping itu, ada kemungkinan Cina sedang membangun kapal induk dengan memodernisasi eks kapal induk Rusia yang dibeli sebagai besi tua beberapa tahun lalu.
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir keamanan di perairan itu relatif stabil, namun perlu disadari bahwa stabilitas itu terjadi lebih karena masing-masing pihak menahan diri dari tindakan-tindakan provokatif. Selain itu, negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Jepang tidak menginginkan SLOC mereka di Laut Cina Selatan terganggu.
Pasca krisis ekonomi 1997, terkesan bahwa Malaysia ingin menjadi pemimpin Asia Tenggara dengan memanfaatkan posisi Indonesia yang terpuruk dalam krisis ekonomi dan politik. Negeri itu berlomba dengan Singapura yang juga mempunyai ambisi menjadi pemimpin Asia Tenggara, dengan alasan posisinya yang strategis, kinerja ekonominya stabil dan mempunyai kekuatan militer terkuat di kawasan ini.
Aspirasi politik Malaysiaditunjang pula oleh kinerja ekonominya pasca krisis, yang mana negeri itu merupakan salah satu dari sedikit negara di kawasan yang mampu pulih dalam waktu singkat. Kinerja positif tersebut berdampak positif pula terhadap pembangunan kekuatan militernya. Sebagai contoh, pada periode 2000-2004 secara rata-rata terjadi peningkatan anggaran pertahanan dari anggaran nasional secara keseluruhan, begitu pula bila dibandingkan prosentasenya dari produk domestik bruto (gross domestic product) sebagaimana tercantum dalam tabel berikut.
Tabel.1 Perbandingan Anggaran PertahananMalaysiaTerhadap PDB
Periode 2000-2004
Sumber: Bank NegaraMalaysiaAnnual Reports Year 2004
Data dari Laporan Tahun 2004 Bank Negara Malaysia menunjukkan adanya hubungan lurus antara kinerja ekonomi Malaysia dengan peningkatan anggaran pertahanan. Dikaitkan dengan pembangunan kekuatan, hal yang lumrah bila Malaysia memperkuat otot militernya melalui pengadaan sejumlah alutsista dari negara-negara lain. Termasuk pula TLDM, yang dalam Rencana Malaysia (Malaysia Plan) 2001-2005 melakukan pengadaan enam kapal korvet kelas Meko A-100 dari Jerman, dua kapal selam kelas Scorpene dan satu kapal selam bekas Agosta A-70 dari Prancis senilai US$ 972 juta.
Selain pengadaan kapal perang, Malaysia juga membangun sejumlah pangkalan baru TLDM, seperti di Lumut dan Sabah. Untuk memperkuat pertahanan maritim di sekitar Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia mengembangkan pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar, Sabah. Pangkalan Angkatan Laut Teluk Sepanggar dirancang menjadi pangkalan kapal selam kelas Scorpene dan sekaligus menjadi Markas Besar Komando TLDM Wilayah II. Menurut data, Malaysia menghabiskan US$ 284 juta untuk membangun pangkalan tersebut.
Di samping itu, TLDM memiliki empat pangkalan lain di Sabah yaitu Sandakan, Labuan, Semporna dan Tawau. Pangkalan Sandakan merupakan pangkalan Angkatan Laut terbesar kedua yang dimiliki negara itu setelah Pangkalan Teluk Sepanjang. Adapun Pangkalan Tawau yang saat ini tengah dibangun ulang diharapkan menjadi pangkalan terbesar ketiga.[iii]
Pembangunan sejumlah pangkalan TLDM di wilayah Sabah menandakan adanya perluasan strategi maritim Malaysia, yang semula hanya berfokus terhadap keamanan Selat Malaka, kini melebar ke Laut Natuna, Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Perluasan strategi maritim hingga ke ketiga perairan dilatarbelakangi oleh isu politik keamanan dan ekonomi.
Dari isu politik keamanan, wilayah Serawak dan Sabah merupakan bagian integral dari Malaysia. Terkait dengan hal tersebut, salah satu tugas pokok TLDM adalah menjamin terbukanya SLOC Malaysia, yang dalam konteks ini adalah Laut Natuna. Terputusnya SLOC Malaysia di Laut Natuna akan memberikan implikasi besar terhadap kepentingan nasional negeri itu.
Berikutnya, perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi merupakan kawasan rawan aktivitas terorisme yang berpusat di Pulau Mindanao, Filipina. Gejolak politik keamanan di Pulau Mindanao yang melibatkan gerilyawan Moro dan jaringan Al Qaida berimplikasi negatif terhadap keamanan Malaysia di wilayah Sabah dan sekitarnya.
Sedangkan isu ekonomi tak lepas dari banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di Laut Sulawesi. Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong Malaysia mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi pasca lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kasus yang dikenal sebagai konflik Blok Ambalat tersebut semakin meyakinkan Malaysia untuk memperkuat kekuatan laut (dan udaranya) di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi.
Pengadaan armada kapal selam oleh Malaysia merupakan perwujudan impian yang lama dipendam. Dengan adanya kapal selam, proyeksi kekuatan laut Malaysia akan meningkat dibandingkan saat ini, antara lain disebabkan karakteristik operasional kapal selam yang senyap dan tak mudah dideteksi. Peningkatan kemampuan proyeksi bisa menjadi awal dari kemampuan Malaysia untuk menandingi kemampuan second strike pihak lain.
Di Laut Cina Selatan, Malaysia bersikap teguh atas klaimnya, ditunjang pula oleh kebijakan pembangunan kekuatan laut Malaysia, seperti pengadaan kapal perang yang mampu ocean going. Bila di masa lalu pengadaan kapal perang Malaysia paling besar adalah jenis korvet, kini Malaysia telah dan akan mengoperasikan kapal jenis fregat. Hal itu merupakan penerjemahan kebijakan pertahanannya yang outward looking.
Setelah pengadaan kapal selam, program pembangunan kekuatan TLDM ke depan akan memfokuskan diri pada peningkatan kemampuan anti kapal selam (AKS) dan peperangan udara.[iv] Sebagai realisasi dari program tersebut, kekuatan laut Malaysia tengah mengakuisisi enam korvet Meko A-100 yang dalam susunan tempur TLDM dinamakan Next Generation Patrol Vessel (NGPV) Kelas Kedah.
Setelah menerima dua korvet gelombang pertama Kelas Kedah yang dikategorikan sebagai ”specially focused mission”, korvet gelombang kedua yang akan commissioning pada Januari dan Agustus 2009 dirancang sebagai kapal AKS. Sedangkan korvet gelombang ketiga memiliki fungsi asasi pada peperangan udara. Untuk melengkapi kemampuan AKS, TLDM dalam beberapa tahun ke depan akan mengakusisi enam heli AKS.
TLDM juga merencanakan akan menambah dua lagi kapal fregat kelas Jebat. Selama ini telah terdapat dua kapal perang kelas itu dalam susunan tempurnya, yaitu KD Lekiu dan KD-Jebat. Direncanakan penambahan dua fregat akan dilaksanakan melalui kerjasama antara BAE System dengan Labuan Shipbuilding and Engineering (LSE).
Program pembangunan kekuatan TLDM tidak luput menyentuh pula isu revolution in military affairs (RMA). Isu RMA yang menjadi fokus kekuatan laut Malaysia adalah teknologi informasi untuk meningkatkan kemampuannya dalam peperangan informasi. Singkatnya, TLDM berupaya untuk membangun kekuatan soft kill-nya, sebab kemampuan itu akan sangat mempengaruhi jalannya suatu engagement di laut.
Pembangunan kekuatan laut ditunjang pula oleh pembangunan kekuatan udara Malaysia melalui pengadaan pesawat tempur jenis F/A-18 Hornet, Su-27 SKM dan Su-30 MKM. Jenis pesawat tempur itu merupakan pesawat yang dapat beroperasi jarak jauh, misalnya Su-27/Su-30 yang radius operasional sekitar 3.500 km (satu sorti).[v] Secara teoritis, eksistensi pesawat-pesawat tersebut di antaranya untuk mendukung operasi TLDM melalui pemberian payung udara.
Memperhatikan pola persebaran pangkalan udara Tentera Udara Diraja Malaysia (TUDM), pesawat tempur Malaysia berpangkalan di Semenanjung, yaitu di Pangkalan Udara Kuantan (Hawk 108/208 Skadron 6 dan MiG-29N/UB Skadron 19), Pangkalan Udara Butterworth (F/A 18 D Hornet Skadron 16 dan F-5E/F/EF Skadron 12 dan S-61A4A Nuri Skadron 3). Sementara pangkalan di wilayah Kalimantan Utara, yaitu di Labuan, Sabah dan Kuching, Sarawak, kekuatannya ”hanya” terdiri dari helikopter S-61A4A Nuri Skadron dan pesawat angkut C-130H Hercules Skadron 14. Namun dalam kondisi tertentu, pesawat tempur di Semenanjung dapat setiap saat digeser ke Kalimantan Utara.
3. Respon Komprehensif
Pembangunan kekuatan militer Malaysia memang tidak secara spesifik ditujukan untuk menghadapi Indonesia. Namun demikian, melihat kadar hubungan kedua negara yang tidak stabil disebabkan berbagai isu, pembangunan tersebut perlu dicermati guna menyiapkan langkah-langkah antisipasi seandainya hubungan kedua negara memburuk. Termasuk pula pengadaan kapal selam kelas Scorpene, karena jelas hal itu akan meningkatkan deterrence dan daya pukul Malaysia.
Dari aspek politik, Malaysia kian percaya diri untuk meningkatkan diplomasinya di kawasan, khususnya terkait dengan sengketa wilayah dengan negara-negara tetangga. Seperti diketahui, diplomasi tidak dapat dipisahkan dari dukungan kekuatan militer, sebab diplomasi tanpa kekuatan militer di belakangnya tidak akan mencapai sasaran. Itulah sasaran politik yang ingin dicapai oleh Malaysia dalam pembangunan kekuatan militernya.
Memperhatikan catatan sepak terjang militer Malaysia sejak akhir 1990-an, negeri itu terlibat aktif dalam beberapa operasi pemeliharaan perdamaian non PBB di kawasan Asia Tenggara, misalnya di Timor Timur. Di sana, Malaysiatelah terlibat aktif sejak 1999 (Interfet) hingga saat ini di bawah payung Five Power Defence Arrangement (FPDA). Partisipasi aktifMalaysia di kawasan Asia Tenggara menggunakan payung FPDA dapat ditafsirkan bahwa negeri itu mempunyai keinginan kuat menjadi aktor kawasan.
Sementara itu dalam ASEAN, nampak jelas bahwa Malaysiamempunyai ambisi untuk menjadi primus inter pares, berbekal kemajuan ekonomi dan kekuatan militernya. Selain Malaysia, Singapura juga bermimpi untuk menduduki posisi tersebut. Di masa lalu, Indonesia menyandang status primus inter pares di ASEAN.
Dengan berlakunya Piagam ASEAN pada Desember 2008, salah satu pilar ASEAN Community adalah ASEAN Security Community. Di dalam ASEAN Security Community, salah satu wadah kerjasama adalah ASEAN Maritime Forum. Dari perspektif Indonesia, perlu diwaspadai agar agenda-agenda dalam ASEAN Maritime Forum, khususnya yang terkait dengan isu keamanan maritim tidak mengarah pada kerugian terhadapIndonesia.Malaysia dapat dipastikan akan berupaya memasukkan aspirasi politiknya ke dalam wadah itu, yang bukan tidak mungkin aspirasi itu berpotensi merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Dari aspek operasional, perlu dicermati bahwa ada kekuatan lain yang berdiri di belakang kekuatan militer Malaysia. Sebaiknya Indonesiatidak melupakan fakta bahwa kekuatan militer Malaysiamenyandarkan sebagian kemampuannya pada infrastruktur FPDA. Salah satunya pada pengumpulan informasi intelijen, yang mana Inggris dan Australia mempunyai jaringan intelijen yang terintegrasi dengan jaringan global milik Amerika Serikat. Sebagai contoh, Australia mempunyai kemampuan memantau pergerakan pesawat udara di wilayah Indonesia menggunakan Over The Horizon Radar (OTHR) Jindalee. Di Shoal Bay Waters, Australia juga berdiri pusat eavesdropping hasil kerjasama dengan Amerika Serikat yang tentu saja salah satunya menyadap komunikasi sipil dan militer Indonesia.
Isu klaim perbatasan di Laut Sulawesi sedikit banyak akan terkait pula dengan masalah SLOC Malaysia di Laut Natuna. Seperti telah ditulis sebelumnya, Malaysia sangat berkepentingan terhadap terjaminnya keamanan SLOC di Laut Natuna yang menghubungkan Semenanjung dengan Kalimantan Utara. Sedangkan dari perspektif Indonesia, apabila terjadi ketegangan militer di Laut Sulawesi, sangat mungkin akan berimplikasi terhadap SLOC Malaysia di Laut Natuna.
Dengan adanya peningkatan kekuatan laut Malaysia, Indonesia perlu selalu mengikuti perkembangan yang terjadi dan sekaligus mengantisipasi skenario terburuk. Untuk merespon hal tersebut, dibutuhkan suatu langkah terpadu antar berbagai elemen kekuatan nasional yang terkait. Dengan kata lain, respon yang diberikan tidak semata mengandalkan pada elemen kekuatan militer, tetapi juga merata pada elemen kekuatan politik (diplomasi) dan ekonomi.
Menyangkut elemen politik, perlu kesatuan sikap antar lembaga terkait menyangkut masalah klaim di Laut Sulawesi. Kesatuan sikap yang dimaksud bukan sebatas bahwa semua lembaga terkait mendukung sikap yang ditetapkan pemerintah, tetapi juga diimplementasikan dalam kebijakan-kebijakan sektoral. Sebagai contoh, apakah pendekatan diplomatis yang selama ini ditempuh diikuti dengan langkah-langkah atau kebijakan-kebijakan internal yang dirancang untuk memperkuat pendekatan tersebut?
Begitu pula tentang ASEAN Security Community yang dirancang menjadi wadah kerjasama keamanan ASEAN. Adakah kesamaan sikap nasional dari elemen-elemen politik nasional lainnya untuk mengisi agenda ASEAN Security Community, lebih khusus lagi ASEAN Maritime Forum. Sebagai pemrakarsa komunitas tersebut, sudah sepantasnya Indonesia memimpin penyusunan agenda di wadah itu.
Lalu bagaimana sikap nasional Indonesia menyangkut eksistensi FPDA di kawasan? Bagi sebagian pihak, kehadiran organisasi pertahanan itu dipandang sebagai duri dalam daging bagi efektivitas ASEAN. Namun di sisi lain, masih ada pihak lain di dalam negeri yang terkesan tidak terlalu memberikan perhatian terhadap eksistensi FPDA.
Tentang elemen ekonomi, sejauh mana agenda ekonomi di wilayah sekitar Laut Sulawesi dirancang untuk mendukung agenda pertahanan. Misalnya ketersediaan infrastruktur bagi kegiatan ekonomi yang sewaktu-waktu dapat dimanfaatkan bagi kepentingan pertahanan. Perlu dipahami bahwa pembangunan kekuatan militer Malaysia di Pulau Kalimantan, termasuk di sekitar Laut Sulawesi, dibarengi dengan pendekatan ekonomi melalui pembangunan infrastruktur. Sehingga tidak heran bila infrastruktur di wilayah itu jauh lebih bagus daripada di wilayah Indonesia.
Elemen ekonomi juga menyentuh tentang seberapa besar kue ekonomi nasional disiapkan bagi kepentingan pertahanan. Dalam setahun terakhir, terjadi pemotongan terhadap anggaran pertahanan yang sebenarnya sudah kecil. Sebagai perbandingan, meskipun Australia sejak akhir 2007 juga mengalami guncangan ekonomi, namun berkat komitmen pemerintah, anggaran pertahanan dikecualikan dari pemotongan.
Isu anggaran pertahanan sangat terkait dengan kinerja elemen pertahanan itu sendiri. Dengan keterbatasan anggaran pertahanan, upaya untuk membangun kekuatan guna menciptakan postur yang memenuhi kriteria minimum essential force sebenarnya cukup sulit. Sebab salah satu penekanan dalam minimum essential force adalah mampu untuk melaksanakan penangkalan.
Apabila dikaji lebih jauh, seberapa efektif penangkalan militer Indonesia terhadap Malaysia, khususnya di Laut Sulawesi? Kehadiran unsur-unsur kapal perang TNI Angkatan Laut di sana selama 24 jam X 365 sebaiknya didukung pula oleh kehadiran unsur-unsur lain dalam jangka waktu yang minimal mendekati angka tersebut. Sebab untuk menimbulkan dampak penangkalan di masa kini tidak dapat lagi bertumpu pada satu matra, melainkan harus bersifat gabungan.
Dengan kata lain, perlu diberikan perhatian khusus terhadap gelar kekuatan di sekitar Laut Sulawesi menggunakan kebijakan Tri Matra Terpadu yang dicanangkan oleh Departemen Pertahanan. Dengan asumsi bahwa Tri Matra Terpadu adalah kebijakan gelar kekuatan yang dirancangkan untuk operasi gabungan, dibutuhkan gelar kekuatan yang terpadu antar matra TNI, khususnya matra laut dan udara. Kehadiran unsur-unsur matra udara yang lebih intensif di sana, selain dapat meningkatkan efektifitas penangkalan, juga diharapkan dalam mengurangi kerawanan unsur-unsur kapal perang TNI Angkatan Laut terhadap serangan udara lawan apabila sewaktu-waktu terjadi konflik.
4. Penutup
Pembangunan kekuatan militer Malaysia, khususnya TLDM, di wilayah sekitar Laut Sulawesi sudah sepatutnya diperhatikan dan sekaligus direspon oleh Indonesia. Untuk menghadapi ancaman dan tantangan yang muncul dari perkuatan tersebut, sebaiknya Indonesia merespon menggunakan pendekatan komprehensif melalui semua elemen kekuatan nasional. Sebab isu sengketa batas wilayah tidak dapat mengandalkan pada satu elemen saja guna penyelesaiannya. Terkait dengan TNI Angkatan Laut, kehadiran unsur-unsur TNI Angkatan Laut di sana sudah sepatutnya senantiasa di-back upoleh matra lainnya, sehingga mampu menimbulkan dampak penangkalan yang diharapkan.
[i]. “Singapore Forward Defence Strategy: A Threat toMalaysia?”, Mohd Nazri Bin Abidin. Tesis MA pada University Kebangsaan Malaysia, Fakultas Ilmu Sosial dan Humanitis, Desember 2005, hal.1
[ii]. Ibid
[iii].“Tawau RMN Base May Be Third Biggest”, http://www.dailyexpress.com.my/news.cfm?NewsID=60790, edisi9 November 2008, diakses pada 28 Desember 2008.
[iv].“Interview With Chief of Navy of Malaysia”, http://www.klsreview.com/HTML%20Pages%20/Jan_June%202008/20080529_Chief%20of%20Navy1.html, diakses pada 29 Desember 2008
[v]. Kemampuan itu dapat dicapai dengan perimbangan rasio payload (senjata) terhadap bahan bakar yang dimuat. Semakin jauh jarak operasi, jumlah senjata yang dapat dibawa semakin sedikit, karena harus membawa bahan bakar yang lebih banyak. Salah satu cara mengatasi kendala itu melalui pengisian bahan bakar di udara.
Kebodohan bangsa Indonesia karena selama ini pemerintah kita masih berpikir ala inlander, yaitu budak-budak Belanda. Pemerintah Belanda yang bisa menjajah kita 350 tahun karena berhasil membunuh wawasan bahari rakyat di Nusantara. Pada zaman modern sekarang strategi perang bukan lagi ditentukan sekte (matra), mari kita lihat kekuatan laut AS dia membuat Angkatan Darat dengan visi bahari yang disebut Marinir USMC, dia memiliki kesatuan penerbangan laut. Visi bahari adalah visi kekuatan militer AS karena kapal induk itu sebagai lantai visi. Kita yang masih bermain cara berpikir matra-matra. Visi Bahari adalah visi setiap angkatan perang karena penemuan manusia dengan kapal induk membuat Markas… Read more »