Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Mengacu pada Buku Putih Pertahanan Australia Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030 yang diterbitkan pada 2 Mei 2009, salah satu program pembangunan kekuatan Angkatan Laut Australia adalah pengadaan 12 kapal selam konvensional hingga 2030. Pengadaan itu ditujukan untuk menggantikan enam kapal selam diesel elektrik kelas Collins yang sekarang memperkuat jajaran Angkatan Laut Australia. Terkait dengan rencana itu, tidak sedikit pihak yang pesimistis dengan rencana ambisius tersebut sebab terkait dengan pengalaman operasional Australia selama ini menggunakan kapal selam kelas Collins.
Sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Australia, pembangunan kekuatan laut Australia, termasuk armada kapal selam dipastikan mempunyai implikasi strategis dan operasional terhadap Indonesia. Oleh karena itu, sudah sepatutnya bila Indonesia mencermati pembangunan kekuatan kapal selam Australia. Dengan demikian, diharapkan Indonesia selain dapat mengikuti perkembangan yang terjadi, juga bisa merancang suatu kebijakan dan strategi untuk meminimalisasi kemungkinan kerugian terhadap kepentingan nasionalnya terkait dengan makin kuatnya Angkatan Laut Australia.
2. Problem Dan Peluang Kapal Selam Australia
Program SEA 1000 yaitu pengadaan kapal selam masa depan Australia dirancang untuk meningkatkan kemampuan Australia dalam peperangan bawah air. Selama ini, tumpuan kemampuan peperangan kapal selam Australia berada pada kapal selam kelas Collins. Namun dalam prakteknya, kapal selam ini mengalami banyak masalah teknis dan personel dalam daur hidupnya, sehingga tingkat kesiapannya rendah. Sebagai ilustrasi, hingga Februari 2010 hanya tersedia satu kapal selam yang siap operasional yaitu HMAS Waller, baik karena berbagai permasalahan teknis yang mendera sebagian besar kapal selam kelas Collins maupun terbatasnya sumber daya manusia yang berkualifikasi mengawaki sistem senjata tersebut.
Permasalahan teknis yang mendera enam kapal selam kelas Collins tidak lepas dari sejarah pengembangan kapal selam itu sendiri. Didorong oleh semangat dan aspirasi untuk mempunyai jenis kapal selam yang tidak dioperasikan oleh Angkatan Laut lain di dunia, Australia memilih desain kapal selam kelas Vastergotland dari galangan Kockums AB, Swedia. Desain original kapal selam itu yang dirancang untuk beroperasi di perairan Baltik kemudian diperbesar dimensinya disertai sejumlah perubahan dan pada akhirnya lahirlah kapal selam kelas Collins yang didesain untuk beroperasi di laut dalam.
Penambahan dimensi kapal selam tersebut didukung oleh Amerika Serikat dengan memberikan bantuan teknologi untuk combat system lewat Rockwell International. Dengan demikian, terwujudlah suatu kapal selam bertonase 3.300 ton dengan rancangan bangun menggunakan filosofi Angkatan Laut negara Eropa, namun sistem senjata mengadopsi filosofi Angkatan Laut Amerika Serikat. Semangat dan aspirasi Australia untuk mengoperasikan kapal selam yang tidak digunakan oleh negara lain ternyata harus dibayar mahal dengan berbagai persoalan teknis dan personel yang melingkupi kapal selam itu nantinya. Menurut kalkulasi 2009, dibutuhkan biaya sebesar AU$ 330 juta untuk menyiapkan kondisi enam kapal selam kelas Collins agar siap tempur.
Permasalahan teknis yang melingkupi kapal selam kelas Collins bahkan nyaris membawa pada kecelakaan di laut, seperti yang dialami oleh HMAS Dechaineux pada Februari 2003 di Samudera India. Kapal selam itu ditandai dengan masuknya sekitar 12.000 liter air laut saat kapal itu menyelam akibat kegagalan sistem sensor.
Kemudian pada Maret 2007, HMAS Farncomb mengalami masalah ketika melaksanakan misi pengintaian “di perairan Asia Tenggara”. Pada awal 2010, kapal selam yang sama kembali mengalami masalah dengan generatornya.
Berbagai permasalahan yang melingkupi kapal selam kelas Collins merupakan kondisi awal Australia untuk membangun 12 kapal selam konvensional hingga 2030. Situasi tersebut membuat sejumlah kalangan di Australia sendiri terkesan pesimistis dengan rencana ambisius pengembangan 12 kapal selam baru. Apalagi dalam pengadaan 12 kapal selam tersebut pendekatan yang ditempuh oleh Australia masih tetap sama ketika membangun kapal selam kelas Collins.
Setidaknya terdapat tiga problem yang melingkupi pembangunan kapal selam Australia ke depan. Pertama, pilihan pengadaan. Pilihan pengadaan kapal selam, sebagaimana sistem senjata lainnya, ada dua yaitu off-the-shelf dan desain sendiri.
Pilihan off-the-shelf berarti membeli kapal selam yang sudah tersedia di pasaran dan mayoritas Angkatan Laut di dunia menempuh pendekatan ini. Sebab dari segi biaya, waktu dan resiko, pilihan off-the-shelf jauh lebih murah, hemat waktu dan tidak tinggi resikonya dibandingkan dengan pilihan desain sendiri. Kerugian dari pilihan ini adalah diketahuinya secara umum kemampuan kapal selam yang dibeli oleh suatu Angkatan Laut, sebab pengguna kapal selam off-the-shelf lebih dari satu pihak.
Adapun pilihan berikutnya yaitu mendesain sendiri kapal selam yang diinginkan oleh Angkatan Laut. Dibandingkan dengan off-the-shelf, biaya, waktu dan resiko dengan menempuh pendekatan ini jauh lebih lama, lebih tinggi dan lebih besar. Adapun keuntungannya adalah dapat “disembunyikannya” kemampuan kapal selam ini karena penggunanya terbatas pada hanya satu Angkatan Laut saja. Selain Australia, Angkatan Laut lain yang menempuh pendekatan off-the-shelf adalah Israel dengan kelas Dolphin yang dibangun berdasarkan rancangan dasar kelas U-209.
Kedua, penguasaan teknologi. Penguasaan teknologi kapal selam di dunia terbatas pada beberapa negara saja, yaitu Amerika Serikat, Rusia, Jerman dan Prancis. Di luar itu ada sejumlah kecil negara yang mampu memproduksi kapal selam, namun sebenarnya teknologi yang diadopsi berasal dari salah satu dari empat negara yang telah disebutkan.
Dikaitkan dengan Australia, meskipun negeri itu mempunyai galangan ASC Pty Ltd yang mampu memproduksi kapal selam, namun teknologinya sangat tergantung dari Eropa dan Amerika Serikat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, dalam pembangunan kapal selam kelas Collins Australia menggabungkan kedua teknologi. Penggabungan teknologi itu ternyata di kemudian hari memberikan implikasi serius pada kapal selam yang dikembangkan. Bagaimanapun harus dikatakan bahwa teknologi kapal selam Australia masih jauh dari matang dibandingkan teknologi yang dikuasai oleh beberapa negara Eropa.
Sejumlah masalah yang menimpa kapal selam kelas Collins menunjukkan belum matangnya persiapan pihak Australia dalam teknologi kapal selam. Di samping itu, keandalan teknologi yang dipasok oleh Amerika Serikat juga menjadi dipertanyakan. Apakah teknologi yang diberikan sudah siap pakai ataukah masih dalam pengembangan?
Ketiga, dukungan anggaran. Kemampuan dukungan anggaran bagi pembangunan 12 kapal selam masa depan harus diperhitungkan pula. Menurut perkiraan awal, biaya per unit yang dibutuhkan untuk setiap pembangunan satu kapal selam baru nilainya melebihi satu kapal selam kelas Collins yang berkisar pada AU$ 1 milyar. Satu perkiraan menyebutkan biaya pengembangan kapal selam baru per unit akan berkisar antara AU$ 1.5 milyar – AU$ 2.5 milyar. Lancar atau tidaknya pembangunan kapal selam tersebut akan ditentukan pula oleh kinerja ekonomi Australia secara keseluruhan.
Dukungan anggaran mempunyai keterkaitan pula dengan kemampuan galangan kapal yang ditetapkan nantinya untuk membangun 12 kapal selam melaksanakan proyek sesuai dengan jadwal waktu yang ditetapkan oleh Departemen Pertahanan Australia. Pengalaman dalam pembangunan enam kapal selam kelas Collins menunjukkan bahwa ketidaktepatan penyerahan serta berbagai masalah teknis dalam pembangunan kapal itu berkonsekuensi pada peningkatan biaya.
Terkait dengan isu anggaran tersebut, masih menjadi pertanyaan apakah pada 2030 Australia bisa mencapai ambisinya untuk mempunyai 12 kapal selam baru. Ataukah jumlah yang direalisasikan kurang dari 12 karena keterbatasan anggaran. Penting untuk dipahami bahwa kebijakan mengenai jumlah kapal selam masa depan dapat saja berubah apabila terjadi pergantian pemerintahan dan atau keadaan ekonomi Australia yang kurang mendukung.
Pengembangan 12 kapal selam baru ke depan dipastikan akan dilingkupi oleh ketiga problem tersebut. Sebab Departemen Pertahanan Australia telah memutuskan menempuh pendekatan off-the-shelf dan mengandalkan pada bantuan teknologi dari Amerika Serikat. Namun di balik itu, terdapat pula peluang Australia dalam pengembangan 12 kapal selam baru tersebut.
Peluang tersebut adalah adanya dukungan politik dan teknologi dari Amerika Serikat. Dengan adanya dukungan politik dari Amerika Serikat, Australia mempunyai kesempatan untuk dapat mengakses teknologi kapal selam Amerika Serikat. Misalnya penggunaan combat system buatan Raytheon yang terpasang pada kapal selam nuklir Amerika Serikat untuk kapal selam baru nantinya.
Selain itu, persepsi meningkatnya ancaman Cina seperti yang dinyatakan secara tersirat dalam Buku Putih Pertahanan Australia 2009 turut mendukung argumen perlunya pembangunan kapal selam baru. Australia bagaimana pun akan berupaya mempertahankan keunggulannya dalam peperangan kapal selam di kawasan Asia Pasifik. Pembangunan kekuatan laut Cina dan beberapa negara lain yang terletak di sebelah utara Australia dipandang dapat mengancam kepentingan nasional Australia, sehingga pembangunan kapal selam baru mendapat argumen pembenaran.
Di samping peluang dan prospek pembangunan kapal selam masa depan Australia dari tinjauan sisi teknis, hal lain yang sebaiknya juga turut diperhatikan adalah kesiapan personel pengawak. Dalam pengoperasian kapal selam kelas Collins, kesiapan personel pengawak hanya terpenuhi untuk dua dari enam kapal selam. Masalah personel yang dihadapi oleh satuan kapal selam Australia tidak lepas dari sulitnya mendapatkan personel Angkatan Laut yang memenuhi klasifikasi untuk mengawaki kapal selam, di samping rendahnya minat pemuda-pemudi Australia untuk berdinas di lingkungan Angkatan Bersenjata. Selain itu, persyaratan untuk mengundurkan diri dari dinas Angkatan Laut Australia juga tergolong mudah dibandingkan Angkatan Laut lainnya di kawasan Asia Pasifik.
Berangkat dari aspek personel ini, dapat diprediksi bahwa operasional 12 kapal selam baru nantinya akan menghadapi masalah serupa yang dihadapi oleh kapal selam kelas Collins dalam soal pengawakannya. Sejauh ini, Angkatan Laut Australia telah menempuh sejumlah kebijakan baru untuk membuat personel pengawak kapal selam kelas Collins agar betah di dalam kedinasan, seperti pemberian bonus yang lebih tinggi dibandingkan satuan kapal lainnya. Namun seberapa efektif kebijakan tersebut, masih harus dilihat hingga beberapa tahun ke depan.
3. Tantangan Terhadap Indonesia
Merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa perairan Indonesia merupakan wilayah operasi kapal selam Australia. Oleh sebab itu, bukanlah suatu hal yang berlebihan bila Indonesia mencermati dan mengantisipasi pembangunan kekuatan kapal selam Australia. Sebab walaupun kedua negara terikat The Lombok Agreement, akan tetapi situasi di lapangan seringkali berbeda dengan situasi di tingkat diplomatik. Dengan kata lain, terdapat implikasi politik, strategis dan operasional terkait pembangunan 12 kapal selam baru Australia terhadap Indonesia.
Apabila implikasi tersebut dibatasi pada lingkup strategis dan operasional, TNI Angkatan Laut akan “disibukkan” dengan urusan kemampuan peperangan kapal selam dan anti kapal selam. Hadirnya 12 kapal selam baru Australia akan semakin “meramaikan” perairan Indonesia yang selama ini telah menjadi wilayah operasional tidak bisa melarang negara-negara lain mengoperasikan kapal selamnya di perairan Indonesia, akan tetapi kondisi itu bukan berarti tidak tersedia alternatif bagi Indonesia untuk mengamati operasional kapal selam tersebut.
Implikasi itu hendaknya dipandang sebagai sebagai tantangan bagi Indonesia, khususnya TNI Angkatan Laut. Tantangannya adalah memperbarui kembali kemampuan peperangan kapal selam dan anti kapal selam. Sejak 10 tahun terakhir nampaknya kemampuan itu mengalami penurunan, antara lain ditandai dengan tidak berfungsinya secara maksimal sistem deteksi bawah air yang terpasang pada kapal atas air dan menurunnya kesiapan operasional kapal selam Indonesia. Di samping itu, perlu diprogramkan pula pembangunan sistem deteksi bawah air pada sejumlah perairan strategis dan chokepoints, sebagaimana halnya pembangunan radar pengamatan maritim dalam program Integrated Maritime Surveillance System (IMSS) guna mendeteksi kapal atas air.
Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut saat ini mengacu pada minimum essential force (MEF). Terkait dengan tantangan tersebut, pembangunan kekuatan sesuai dengan MEF sebaiknya menyentuh pula pada kemampuan peperangan anti kapal selam, khususnya pembaruan dan atau pemasangan baru sistem deteksi bawah air pada kapal atas air. Selain itu, apabila anggaran memungkinkan sebaiknya dikaji pula pemasangan sistem deteksi bawah air yang bersifat statis di beberapa perairan strategis dan atau chokepoints, seperti Selat Sunda dan Selat Lombok. Mengingat bahwa pencapaian MEF TNI Angkatan Laut dirancang dalam tiga tahapan waktu hingga 2024, program pembaruan sistem deteksi bawah air bisa saja dilaksanakan pada periode 2015-2019 atau 2020-2024.
Kerangka waktu tersebut masih bisa menjawab tantangan yang muncul sebagai akibat dari pembangunan kekuatan kapal selam Australia. Apabila pembaruan sistem deteksi bawah air bisa dilaksanakan, keluarannya akan dapat disinergikan dengan pembangunan kekuatan kapal selam TNI Angkatan Laut yang telah tercantum dalam MEF serta pengadaan beberapa pesawat patroli maritim CN-235 ASW. Apabila sistem deteksi bawah air baik yang terpasang pada kapal atas air maupun yang stasioner dipadukan dengan kapal selam dan pesawat patroli maritim, hasilnya akan meningkatkan kemampuan Indonesia terkait peperangan bawah air dibandingkan kondisi saat ini.
4. Penutup
Pembangunan kekuatan kapal selam Australia merupakan upaya negara itu untuk memelihara dan mempertahankan keunggulannya di bawah air. Meskipun demikian, selain terdapat peluang, terdapat pula sejumlah masalah yang akan menghadang pembangunan tersebut sebagai dampak dari aspek kebijakan yang mendasari keputusan tersebut. Untuk mengantisipasi berulangnya masalah yang dihadapi oleh kapal selam kelas Collins, untuk pengembangunan 12 kapal selam masa Australia masih mengandalkan pada pasokan teknologi dan pengetahuan dari Amerika Serikat.
Terdapat dua lesson learned yang dapat dipetik oleh Indonesia terkait dengan pengembangan kapal selam Australia. Pertama, tidak mudah untuk mendesain kapal selam. Kedua, kapal selam Australia dirancang untuk mampu beroperasi di perairan Indonesia.
Pembangunan kapal selam Australia hendaknya dipandang sebagai tantangan untuk memperbarui kemampuan peperangan bawah air TNI Angkatan Laut. Beberapa program pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut yang tercantum dalam MEF secara kebetulan sebenarnya dapat dibaca sebagai antisipasi tidak langsung terhadap pembangunan kapal selam Australia hingga 2030. Akan lebih baik lagi apabila beberapa program yang terkait dengan kemampuan peperangan bawah air yang belum tercantum dalam MEF saat ini bisa dimasukkan dalam tahapan MEF berikutnya setelah dikaji secara matang.
. Commonwealth of Australia, Procuring Change: How Kockums was Selected for the Collins Class Submarine. Department of Parliamentary Library, Information and Research Services, Research Paper No.4 2001-02, hal.14-15
. Kelton, Maryanne, New Depth in Australia-US Relations: The Collins Class Submarine Project. Social of Political and International Studies, The Flinder University of South Australia, March 2004, hal.12-13
. Lihat http://www.dailytelegraph.com.au/news/m-repair-bill-for-collins-class-submarines-to-be-fit-for-war/story-e6freuy9-1225720498812
. Lihat http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,25197,24843502-601,00.html
.Lihat http://www.heraldsun.com.au/news/sailors-washed-off-submarine/story-e6frf7jo- 1225776923833
. Davies, Andrew, Keeping Our Heads Below Water: Australia’s Future Submarine. Australian Strategic Policy Institute, Policy Analysis No.16 2008, hal.5
. Ibid
. Lihat http://www.theaustralian.news.com.au/story/0,25197,24332913-31477,00.html
. Ibid