Oleh : Willy F. Sumakul
1. Pendahuluan.
Masalah keamanan dilaut khususnya keamanan pelayaran akhir-akhir ini kembali menyita perhatian masyarakat Indonesia sehubungan dengan terjadinya beberapa kali pembajakan dilaut yang dilakukan oleh kelompok teroris di Philipina selatan. Dalam dua kali insiden pembajakan terakhir, yang menjadi sasaran adalah kapal tunda (tug boat) yang sedang menarik tongkang bermuatan batu bara yang berlayar dari pelabuhan Tarakan di Indonesia menuju ke Manila Philipina melewati laut Sulawaesi , laut Sulu dan seterusnya memasuki perairan Philipina. Peristiwa ini ikut merepotkan Pemerintah Indonesia karena terdapat beberapa anak buah kapal (abk) yang ditahan sebagai sandera dengan meminta tebusan uang. Untungnya peristiwa penyanderaan pertama dapat diselesaikan dengan damai lewat “diplomasi total” (istilah Menlu RI ibu Retno Marsudi). Namun pembajakan kapal tunda Charles 001 dan penyanderaan ABK sebanyak 7 orang dan penangkapan tiga orang nelayan Indonesia yang menjadi abk kapal nelayan Malaysia, sampai hari ini belum ada penyelesaian. Berbagai opsi pembebasan sandera termasuk tindakan koersif dengan tindakan militer, tapi masih mengundang kontroversi.
Pertanyaan logis yang diajukan oleh banyak orang ialah ; ada apa dengan keamanan laut serta keselamatan anak buah kapal saat ini ? Mengapa dengan begitu mudah para pembajak dilaut melaksanakan aksinya menguasai kapal dan menawan ABKnya tanpa ada perlawanan berarti? Mengapa kejadian /insiden dilaut ini bisa terjadi berulang kali tanpa ada tindakan pencegahan ?Dan tentu saja pertanyaan yang lebih mendasar, instansi mana yang bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan dilaut /dikapal?. Semua pertanyaan ini wajar saja dikemukakan oleh orang awam, terlepas dari apa motivasi tertinggi (politik?) para pembajak serta apa yang melatar belakangi aksi mereka . Apakah hanya sekedar mencari uang dengan cara meminta uang tebusan ? Satu jawaban singkat secara umum adalah bahwa negara bertanggung jawab penuh atas keamanan dan keselamatan jiwa /warga negara termasuk harta benda milik negara dimanapun berada. Seperti sudah kita ketahui bersama di Indonesia saat ini terdapat 11 (sebelas) instansi yang berkecimpung dilaut yurisdiksi Indonesia, masing-masing dengan kepentingan ,tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri sesuai dengan peraturan yang menaunginya. Padahal sudah jelas ditegaskan dalam hukum laut internasional UNCLOS 1982 bahwa instansi atau badan yang berwewenang melakukan tugas-tugas penegakan hukum dilaut adalah Angkatan Laut dan Kapal Negara (KN). Setiap negara yang telah meratifikasi aturan ini wajib taat dan patuh untuk melaksanakannya termasuk Indonesia. Selain dari pada itu suatu aturan yang dibuat oleh IMO yang kemudian juga disetujui dan ditandatangani oleh negara-negara maritim dunia adalah ISPS CODE (berlaku efektif sejak 1 Juli 2004) khususnya mengatur tentang kegiatan-kegiatan dan langkah-langkah yang harus diambil oleh setiap negara dalam menanggulangi ancaman Terorisme dilaut. Penulis akan mencoba membahas dalam tulisan ini apa dan bagaimana penerapan ISPS CODE khususnya di Indonesia dalam kaitan dengan upaya penanggulangan terorisme dilaut.
(Read More: Quaterdeck Juni 2016)