Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Pada tanggal 11 Januari 2008, pemerintah Jepang mengesahkan The Replenishment Support Special Measures Law yang mengatur penyebaran kembali Gugus Tugas Japan Maritime Self Defense Force (JMSDF) ke Samudera India untuk mendukung Operasi Enduring Freedom yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat. Disahkannya undang-undang tersebut mengakhiri krisis politik di Jepang sejak 29 Oktober 2007 saat berakhirnya The Anti-Terrorism Special Measures Law, yang mana pemerintah dan Diet (parlemen) tidak menemukan kesepakatan mengenai kelanjutan misi JMSDF di perairan tersebut.
Tak lama setelah serangan 11 September 2001, pemerintah Jepang dengan dibekali The Anti-Terrorism Special Measures Law oleh Diet telah mengirimkan Gugus Tugas JMSDF ke Samudera India, yang terdiri dari beberapa kapal perusak dan kapal bantu jenis BCM. Misi Gugus Tugas adalah mendukung replenishment secara cuma-cuma kepada kapal perang Angkatan Laut multinasional di sana. Penyebaran Gugus Tugas ke perairan itu menandai era baru peran Jepang dalam menciptakan kondisi lingkungan strategisnya secara proaktif sekaligus penegasan akan penafsiran baru terhadap Pasal 9 Konstitusi Jepang.
Sebagai negara industri maju, tidak dapat disangkal bahwa salah satu kepentingan vital Jepang di kawasan Asia Pasifik adalah keamanan maritim. Meskipun sejak akhir 1970-an negara itu telah mendeklarasikan zona 1.000 mil laut ke selatan sebagai SLOC-nya, namun yang lebih menonjol perannya dalam mengamankan zona tersebut adalah Japan Coast Guard (JCG). Barulah setelah serangan 11 September 2001, JMSDF mulai proaktif terlibat langsung dalam mengamankan kepentingan Jepang tersebut, meskipun dengan embel-embel perang terhadap terorisme.
Kebijakan politik Jepang yang kini mulai tak ”malu-malu” lagi menggunakan kekuatan militernya ke luar jauh dari wilayah kedaulatannya sudah sepantasnya dicermati oleh Indonesia. Sikap mencermati tidak selalu identik dengan apriori, apalagi mencurigai tanpa dasar, namun lebih didasarkan pada upaya mengamankan kepentingan nasional dalam arti luas. Mengamankan kepentingan nasional tidak terbatas pada menjaga kedaulatan, keutuhan wilayah dan martabat bangsa, namun juga melihat peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dari kebijakan Jepang dimaksud. Tulisan ini akan membahas tentang peluang kerjasama antara TNI Angkatan Laut dengan JMSDF seiring perluasan peran JMSDF di kawasan Asia Pasifik.
2. Peran JMSDF
Proaktifnya peran JMSDF dalam keamanan kawasan dalam beberapa tahun terakhir tidak lepas dari dua faktor. Pertama adalah bingkai aliansi Amerika Serikat-Jepang, yang di masa lampau JMSDF sebagai bagian dari Japan Self Defense Force (JSDF) mempunyai peran terbatas yaitu mempertahankan wilayah Jepang dari agresi, sebagaimana diatur dalam The U.S.-Japan Treaty of Mutual Cooperation and Security. Namun seiring perubahan konteks strategis, kedua negara memperbarui The Guideline for U.S.-Japan Defense Cooperation pada 1997, khususnya pada butir Cooperation In Situations In Areas Surrounding Japan That Will Have An Important Influence On Japan’s Peace And Security.[i]
Pada butir tersebut, secara politik Jepang diberikan hak untuk mendukung aktivitas militer Amerika Serikat, baik penggunaan fasilitas seperti pangkalan di Jepang maupun peran JSDF di garis belakang, termasuk di perairan internasional dan laut bebas. Jepang juga berhak menggunakan kekuatan militernya dalam bentuk U.S.-Japan Operational Cooperation, seperti aktivitas intelijen, pengamatan, pengintaian, perlindungan warga negara dan properti Jepang serta menjamin keselamatan navigasi.
Secara politik, pendefinisian kalimat “areas surrounding Japan”dalam panduan kerjasama pertahanan kedua negara tidak ditetapkan secara kaku batas wilayahnya. Dengan demikian, peran proaktif kekuatan militer Jepang ke luar wilayah dapat dilakukan secara fleksibel yang mengacu pada kepentingan nasional Jepang. Sebagai negara industri maju, salah satu kepentingan nasional Jepang yang tidak dapat dikompromikan adalah terjaminnya pasokan energi dari luar negara tanpa gangguan apapun.
Dalam Joint Statement on United States-Japan Security Consultative Committee pada 1 Mei 2006, dinyatakan bahwa JSDF diharapkan memainkan peran yang lebih nyata pada tingkat regional dan global melalui partisipasi dalam program pertahanan rudal, operasi keamanan maritim, operasi bantuan kemanusiaan dan inisiatif lainnya.[ii] Sebelumnya pada Desember 2004 negeri itu menerbitkan dokumen berjudul The National Defense Program Guideliness (NDPG), yang berisikan antara lain visi bagi peran keamanan dan kemampuan pertahanan JSDF di masa depan. Dalam dokumen tersebut, disebutkan beragam ancaman terhadap Jepang seperti rudal balistik dan proliferasi nuklir, terorisme internasional dan instabilitas di Semenanjung Korea.[iii] Menghadapi dinamika keamanan internasional yang demikian, peran proaktif Jepang dalam keamanan kawasan dan internasional didorong oleh Amerika Serikat.
Kedua, aspirasi politik internal. Dalam perkembangan terkini, ada aspirasi yang berkembang di dalam negeri yang didukung oleh sekitar 40 persen penduduk Jepang, menghendaki peran negeri itu yang lebih luas dalam keamanan kawasan dan internasional, termasuk di dalamnya peran JSDF. Selama ini, aspirasi tersebut “dihalangi” oleh Pasal 9 Konstitusi Jepang 1947 yang berbunyi, ”aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as a means of settling international disputes. In order to accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerence by the state will not be recognized”.
Untuk menghadapi halangan tersebut, sebagian politisi Jepang mencoba menerjemahkan ulang pasal itu. Ada kesan bahwa mereka menginterpretasikan bahwa penyebaran kekuatan militer Jepang, khususnya JMSDF, selama masuk dalam kategori military operations other than war atau benign, tidak bertentangan dengan Pasal 9. Meminjam pendapat Geoffrey Till, JMSDF “…focus on the interface between land and sea rather than on conventional conceptions of battle and sea control”.[iv] Terkait dengan isu konstitusi, beberapa pemimpin Jepang berpendapat bahwa kepentingan nasional suatu ketika dapat saja berada jauh dari wilayah Jepang dan tabu konstitusional untuk pengiriman pasukan ke luar negeri dapat dilanggar.[v]
Dorongan Amerika Serikat serta atmosfir politik dalam negeri Jepang merupakan pintu masuk bagi JMSDF untuk secara proaktif menyebarkan kekuatannya ke kawasan Asia Pasifik untuk mengamankan kepentingan Jepang. Selain penyebaran kekuatan, secara internal Jepang membangun kekuatan JMSDF yang memiliki kemampuan pengendalian laut, khususnya peperangan anti kapal selam dan pertahanan anti rudal. Pembangunan tersebut mengambil kemampuan Cina sebagai patokan, karena negeri itu sepertinya dianggap potensial mengancam keamanan Jepang di masa depan.
Sejak zona 1.000 mil laut dicanangkan, kekuatan laut Jepang diarahkan untuk mempunyai karakter operasi ekspedisionari (naval expeditionary operations). Sehingga bukan sesuatu yang aneh bila pada tahun 2001 JMSDF mampu menyebarkan kekuatannya ke Samudera India, karena karakter itu telah dibangun hampir 30 tahun. Karakter operasi ekspedisionari kembali ditunjukkan JMSDF dalam operasi pertolongan korban tsunami di Indonesia pada 2004, yang mengikutsertakan kapal LST kelas Osumi yang menyerupai kapal induk kecil.
Kiprah JMSDF di kawasan dapat dilihat pula dari partisipasinya dalam beberapa latihan multinasional, seperti RIMPAC dan MALABAR. Bila MALABAR 07-1 bertempat di Laut Filipina lepas pantai Okinawa, dalam MALABAR 07-2 yang berlangsung di Samudera India kekuatan laut Jepang juga turut berpartisipasi. Hal itu menunjukkan bahwa interaksi JMSDF dengan Angkatan Laut lain di kawasan Asia Pasifik makin meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Di samping kapal atas air, sebenarnya JMSDF sejak lama telah melakukan penyebaran kapal selamnya ke Samudera Pasifik dan Samudera India. Berbeda dengan kapal atas air yang mudah untuk dideteksi kehadirannya, penyebaran kapal selam Jepang kurang bergema di kawasan karena karakteristiknya yang tidak gampang dideteksi. Namun banyak laporan menunjukkan bahwa negeri itu aktif menyebarkan kapal selamnya ke kawasan, bahkan beberapa kali terdeteksi tengah melintas perairan yurisdiksi Indonesia.
Banyak pihak membahas tentang kiprah JMSDF di kawasan dengan fokus pada isu-isu yang terkait aliansi Amerika Serikat-Jepang. Yang belum banyak dikupas adalah hirauan JMSDF terhadap isu keamanan maritim yang merupakan kepentingan vital Jepang. Selama ini JMSDF terkesan berhati-hati dan low profile dengan isu tersebut dan tidak menonjolkan diri seperti halnya JCG. Tetapi dalam perkembangan belakangan ini, JMSDF mulai high profile dengan isu tersebut, khususnya di kawasan Asia Tenggara.
Aspirasi untuk berpartisipasi aktif dalam penanganan keamanan maritim di kawasan ini dapat dilihat dari kunjungan Kepala Staf JMSDF ke beberapa negara Asia Tenggara tahun lalu untuk menemui para sejawatnya. Dalam tur tersebut, Kepala Staf JMSDF bertukar pikiran dengan beberapa Kepala Staf Angkatan Laut menyangkut isu keamanan maritim, yang pada dasarnya ingin menangkap bagaimana respon kawasan Asia Tenggara terhadap (kemungkinan) perluasan peran JMSDF pada isu tersebut. Dari kacamata ke-Angkatan Laut-an, tidak ada yang keliru dari kunjungan pimpinan JMSDF, namun perspektif politik keamanan kawasan kadang kala melihatnya dari sisi yang berbeda.
Memperhatikan dinamika keamanan maritim di kawasan Asia Tenggara dan sikap politik negara-negara kunci kawasan ini, kemungkinan partisipasi aktif JMSDF dalam menangani isu keamanan maritim terbuka luas. Namun untuk langkah unilateral seperti menggelar patrolidi choke points, sepertinya sulit karena akan menimbulkan resistensi dari beberapa negara. Alasan di balik resistensi bukan saja menyangkut kedaulatan negara pantai, tetapi dapat merambat lebih luas yaitu trauma sejarah akibat tindakan militer Jepang di era Perang Dunia Kedua. Sejauh ini, respon negara-negara kunci dalam keamanan maritim di kawasan masih bersikap wait and see terhadap aspirasi JMSDF tersebut.
3. Kerjasama Antar Angkatan Laut
Karena kebijakan nasional Jepang di masa lalu yang tidak menonjolkan peran militernya dalam keamananan kawasan dan global, maka interaksi militer negeri itu dengan militer negara-negara lain agak kurang, kecuali dengan negara-negara tertentu seperti Amerika Serikat. Seiring dengan perubahan paradigma dan kebijakan di Jepang menyangkut peran militer, saat ini negara itu tengah berupaya menjalin kerjasama militer dengan negara-negara lain. Upaya tersebut dapat dilihat dari kunjungan sejumlah petinggi pertahanan dan militer Jepang ke sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir.
Seperti kebanyakan negara-negara lain, kerjasama Indonesia-Jepang di bidang pertahanan, termasuk antar Angkatan Laut, masih merupakan hal baru. Dapat ditebak bahwa fokus kerjasama yang ingin dikembangkan oleh JMSDF dengan TNI Angkatan Laut adalah pada bidang keamanan maritim. Menyikapi hal tersebut, ada baiknya bila TNI Angkatan Laut menyambutnya sepanjang tawaran kerjasama berbasis pada prinsip saling percaya dan menguntungkan.
Cakupan kerjasama hendaknya dimulai dari isu-isu lunak, seperti dialog rutin antara Angkatan Laut (Navy to Navy Talk) dan pertukaran perwira untuk kepentingan pendidikan dan latihan. Forum Navy to Navy Talk sebaiknya difungsikan sebagai semacam forum konsultasi rutin di bidang keamanan maritim dan isu-isu lainnya antar kedua Angkatan Laut. Tentang isu keamanan maritim, perlu diketahui dengan past i peran seperti apa yang ingin dilakukan oleh JMSDF di Asia Tenggara. Sebab selama ini banyak peran tentang isu itu yang sudah dilaksanakan oleh JCG dengan mitranya di sini, khususnya Direktorat Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai, Departemen Perhubungan RI.
Dari aspek operasional, terdapat kemampuan JMSDF yang mungkin dapat dipelajari oleh TNI Angkatan Laut, yaitu kemampuan melaksanakan operasi ekspedisionari. Menonjolnya operasi ekspedisionari Angkatan Laut pasca Perang Dingin disebabkan oleh dua hal, yaitu ketidakstabilan keamanan internasional dan globalisasi.[vi] Memang terdapat definisi yang berbeda-beda tentang operasi ekpedisionari Angkatan Laut, akan tetapi ciri-cirinya mencakup (i) operasi militer yang dilaksanakan oleh Angkatan Laut, (ii) untuk mencapai tujuan spesifik yang ditetapkan pemerintah, (iii) dengan durasi singkat, dan (iv) dilaksanakan di luar negeri.[vii] Berdiskusi tentang kemampuan operasi ekspedisionari tentu tidak lepas dari dukungan logistik, yang mana Jepang mempunyai pengalaman panjang soal itu.
Adapun menyangkut isu-isu keras seperti latihan antar Angkatan Laut sebaiknya tidak dilaksanakan dahulu, karena harus pula memperhatikan kebijakan pemerintah dan situasi kawasan. Sampai saat ini, kebijakan pemerintah menyangkut kerjasama pertahanan dengan Jepang sepertinya belum dirumuskan dengan jelas. Dalam beberapa tahun belakangan, meskipun telah beberapa kali terjadi pertemuan non reguler antara Menteri Pertahanan Indonesia-Jepang, namun tampaknya belum diturunkan ke dalam bentuk kerjasama yang lebih nyata. Ada kesan yang belum tentu benar bahwa Indonesia bersikap berhati-hati dalam menjalin kerjasama pertahanan dengan Jepang karena sensitivas isu tersebut di kawasan.
Sedangkan situasi kawasan yang dimaksud adalah reaksi negara-negara lainnya terhadap isu kerjasama antar Angkatan Laut yang dikembangkan oleh JMSDF di kawasan Asia Pasifik. Dengan kekuatan-kekuatan laut terkemuka seperti Amerika Serikat, Australia dan India, memang Jepang telah menjalin kerjasama antar Angkatan Laut dalam spektrum yang luas, termasuk latihan bersama. Karena secara politik, negara-negara tersebut berada dalam satu “kutub” yang sama dengan Jepang. Ketika Jepang ingin memperluas kerjasama dengan negara-negara lainnya, perlu diperhitungkan bagaimana reaksi negara-negara yang selama ini cenderung menjaga jarak dengan Jepang pada bidang kerjasama pertahanan, misalnya Cina dan Korea Selatan.
4. Penutup
Perluasan peran Jepang dalam keamanan kawasan walaupun mungkin disikapi dengan hati-hati oleh Indonesia, hendaknya tidak menutup pula peluang kerjasama pertahanan kedua negara dalam spektrum yang luas. Termasuk pula antar Angkatan Laut kedua negara, karena Jepang sebagai kekuatan maritim terkuat di kawasan Asia Pasifik (minus Amerika Serikat) mempunyai kemampuan dan pengalaman di bidang operasi, intelijen, perencanaan, logistik dan personel yang mungkin akan berguna bila diadopsi dalam pembangunan kekuatan laut Indonesia ke depan. Dengan interaksi yang intensif antara TNI Angkatan Laut dengan JMSDF, selain dapat berkontribusi positif bagi Indonesia bila dimanfaatkan semaksimal mungkin, juga dapat berkontribusi pada keamanan maritim kawasan.
[i]. Lihat http://www.mofa.go.jp/region/n-america/us/security/guideline2.html
[ii]. Szechenyi, Nicholas, “A Turning Point for Japan’s Self-Defense Forces”. The Washington Quarterly, Autumn 2006, hal.139
[iii]. Ibid, hal.141
[iv]. Till, Geoffrey, “Globalization: Implication of and for the Modern/Post-modern Navies of the Asia Pacific”. RSIS Working Paper, No.140, 15 October 2007, hal.32
[v]. Szechenyi, Op.cit, hal.140, dikutip dari “A Giant Stirs, a Region Bridles”, Economist,May 13, 2006, hal.26
[vi]. Till, Geoffrey, Seapower: A Guide for the Twenty First Century.London: Frank Cass, 2004, hal.238
[vii]. Ibid, hal.237-238