1. Pendahuluan
Keinginan masyarakat dan juga tekad pemerintah Indonesiauntuk mengirimkan kontingen TNI dalam misi perdamaian ke Libanon, semakin terbuka kesempatannya dengan keluarnya Resolusi Dewan Keamanan PBB no 1701 (2006). Benar, bahwa pintu ke Libanon sudah terbuka akan tetapi bukan berarti jalan kesana sangat mulus dan bebas hambatannya. Adabeberapa hal yang perlu dipahami sebelum menggelar peace—keeping mission ke daerah operasi.
2. Mandat PBB
Pertama, mengenai peta konflik. Pengetahuan mengenai peta konflik yang aktual dan akurat, merupakan persyaratan mutlak yang harus diketahui oleh perancang misi perdamaian ke daerah operasi. Secara sederhana, peta konflik di Libanon melibatkan (kepentingan) berbagai pihak, antara lain; (i) akses dengan sumur minyak, (ii) proxy kekuatan luar yang berada di daerah tersebut, (iii) kedaulatan pemerintah setempat tidak ‘berlaku’ sepenuhnya di wilayah tertentu, (iv) United Nations interim force in Lebanon (UNIFIL) sejak 1978, sepertinya ‘tidak’ berwibawa di sana, (v) United Nations Truce supervision Organization (sejak 1948) sepertinya juga ‘tidak’ berwibawa di sana.
Kedua, mengenai mandat. Secara politik, Resolusi 1701 bernuasa sangat keras dan ada klausul yang menyatakan beberapa hal, antara lain; (i) disarmament, (i) no weapons other or authority other than the Lebanese State, (ii) authorized the UNIFIL to take all necessary action. Secara sederhana, mandat tersebut memerintahkan agar peace—keeping force (PKF) melucuti semua kelompok bersenjata yang ada di Libanon (kecuali alat negara), dan tempuh semua langkah yang diperlukan sesuai dengan kapabilitasnya. Secara sederhana pula mandat tersebut menyiratkan bahwa, kontingen PKF akan diback up dengan aturan pelibatan yang tegas.
Ketiga, kesediaan pihak bertikai untuk menerima kontingen PKF. Aturan tersebut, sudah merupakan bagian dari ‘paket’ kesepakatan pihak bertikai untuk menerima kontingen PKF, dan hal tersebut sudah lumrah oleh karena akan berdampak pada kerjasama operasional di lapangan. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa apabila salah satu pihak (atau beberapa pihak) menolak kehadiran kontingen PKF dari negara yang tidak mereka sukai, maka pintu kesana tertutup bagi kontingen negara tersebut. Konon kabarnya Duta BesarIsrael di PBB mengatakan bahwa, sulit bagi mereka untuk menerima kontingen PKF dari negara yang tidak ada hubungan diplomatik.
Keempat, sikap akomodatif (kebaikan) dari pihak yang memegang komando operasi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa misi perdamaian yang dikembangkan selama ini, sarat dengan berbagai kepentingan. Spektrum kepentingan tersebut sangat luas, antara lain; (i) peluang menguji teknologi industri (terutama peralatan militer) untuk kemudian diberi cap sebagai battle proven, (ii) peluang untuk memasarkan berbagai produk industri, mulai dari keperluan perang sampai pada sanitasi, (iii) kesempatan untuk pelatihan berbagai peperangan, mulai dari early warning system sampai pada command and control, dan ada pula (v) kesempatan meningkatkan kesejahteraan personil PKF dari negara-negara tertentu. Butir-butir tersebut perlu dicermati, oleh karena banyak praktek di lapangan yang memperlihatkan, bahwa hubungan baik yang terjalin antar negara, akan berpengaruh di dalam pagelaran PKF di lapangan.
3. Kepentingan Indonesia
Secara prinsip dan tertuang di dalam pembukaan UUD 1945, bahwa Indonesia berkepentingan untuk memelihara perdamaian dunia. Dengan demikian, rencana pengiriman PKF ke Libanon adalah amanah dari UUD 1945. Akan tetapi, tidak bisa di tutup-tutupi bahwa kontingen PKF Indonesia berangkat ke sanasepertinya membawa ‘titipan amanah’ dari masyarakat. Ke semuanya sah-sah saja, asalkan penugasan kontingen PKF Indonesia, mampu ‘melewati’ keempat pointers tersebut di atas.
Seandainya Indonesiaboleh berpartisipsi di dalam UNIFIL, maka perlu mengantisipasi suatu skenario tertentu. Yaitu, kontingen PKF Indonesia di arahkan pada area ‘khusus’ dan ditugaskan untuk melucuti kelompok-kelompok bersenjata di sana. Bagaimana situasinya apabila pihak-pihak yang akan dilucuti ternyata tidak kooperatif atau bahkan memberikan perlawanan fisik? Mengacu (dan harus) pada mandat Resolusi No. 1701, maka jawabannya hanya satu yaitu take all necessary action, dan aturan pelibatan mengatakan gunakan semua kemampuan, termasuk bertempur.
Siapkah kontingenIndonesiabertempur? Barangkali aspek mentalnya sangat siap, tetapi unsur lainnya perlu ditinjau dengan pikiran (sangat) jernih. Mulai dari kesiapan intelijen, sampai pada (sistem) dukungan logistik perang. Memang benar bahwaIndonesia(baca: TNI dan POLRI) punya segudang pengalaman dalam hal PKO, dan katanya pula tertulis dengan tinta emas. Akan tetapi, apakah dengan moda pendekatan ‘rokok kretek’ masih manjur untuk digunakan di Libanon? Jangan lupa disanaada UNTSO (sejak 1948) dan UNIFIL (sejak 1978), yang melempem atau barangkali sengaja digembosi. Akan tetapi ada pepatah yang mengatakan bahwa lain lubuk lain ikannya, artinya bangsa kita punya karakter budaya tersendiri yang (mungkin) berpotensi menyumbangkan sesuatu untuk perdamaian disana.
Hal lain yang perlu di ingat ialah sewaktu Indonesia sedang bergiat ‘menoreh’ tinta emas di Balkan dan beberapa tempat lain, kenyataannya di Nusantara ini kedatangan kontingen PKO (sampai sekarang) di Timor Timur. Peristiwa yang langka ini barangkali hanya terjadi diIndonesia, dan yang memprihatinkan ialah banyak pihak (sepertinya) tidak begitu ambil pusing. Seharusnya peristiwa tersebut menjadi peringatan penting dan perlu mewaspadai agar tidak terulang kembali. Potensi ke arah itu ada di Poso, Maluku, dan Papua. Mudah-mudahan tidak ada tempat lainnya yang berpotensi untuk ‘mengundang’ kontingen peace—keeping mission yang muncul dengan mandat humanitarian assistance, atau humanitarian intervention, atau istilah lainnya yang lebih keren yaitu responsible to protect. Pelajaran dari Aceh memperlihatkan bahwa ada bentuk lainnya dipraktekkan di sana, namun lebih subtle dan kata orang—lebih sopan. Akan tetapi intinya mengarah pada satu kesimpulan yaitu pemerintahIndonesia tidak mampu menanganinya, sehingga perlu minta tolong kepada pihak luar.
Indonesia punya catatan sejarah mengenai intra-state conflict yang pernah terjadi di Indonesia, dan fakta mengatakan bahwa (selalu) ada campur tangan dari luar. Kalau demikian halnya, maka pelajaran yang dapat di petik dari perjalanan sejarah, ialah Indonesia, dan khususnya TNI, (tentunya) punya aturan pelibatan yang kaya dengan pengalaman. Apabila ada peluang terjun ke Libanon, maka disana akan banyak keuntungan yang dapat di raih. Paling tidak, ada keuntungan secara politik, dan ada pula peningkatan kesejahteraan bagi mereka yang terlibat PKF. Akan tetapi dari perspektif TNI, disana ada peluang untuk mendapatkan berbagai kepentingan.
Pertama, untuk menimba pengalaman bagaimana kekuatan militer multinasional mempraktekkan misi perdamaian dalam bentuk muscular peace-keping, atau peace enforcement, dan peace restoration. Pengetahuan tersebut, sudah jelas merupakan bekal penting bagi Indonesia untuk menghadapi intra-state conflict yang potensinya cukup besar di republik ini.
Kedua, mendapatkan pengetahuan tentang aturan pelibatan yang mengatur banyak pihak (baca: kekuatan asing). Pengalaman dari Timor-Timur dan di Aceh mengatakan bahwaIndonesia sangat lemah di dalam hal mengatur dan mengarahkan secara tepat, mengenai aturan pelibatan kekuatan asing yang masuk wilayahIndonesia. Oleh karena itu, pelajaran dari Libanon menjadi penting artinya bagiIndonesia, terutama untuk kepentingan keamanan nasional kedepan.
Masih banyak keuntungan lainnya bila jadi ke Libanon, yang ke semuanya dapat disingkat dalam pepatah tua ini; satu kali mendayung, dua tiga pulau terlampau (sambil bawa titipan amanah pula).
[1]. Naskah ini telah dimuat dalam Harian Sinar Harapan edisi 22 Agustus 2006 dengan sejumlah penyesuaian.