ROBERT MANGINDAAN
Pendahuluan
Tujuan dari tulisan ini bukanlah untuk mempertanyakan dua hal, yaitu mengenai; (i) semua kebijakan dan rumusan ‘strategi’ pertahanan negara (seharusnya dibaca: national defense) yang sudah ditetapkan oleh pihak berkompetensi, (ii) metodologi seperti apa yang digunakan untuk mengukur postur militer di dalam bingkai pertahanan nasional (national defense). Sebaliknya, mohon dipertimbangkan sebagai sumbang pikir untuk memperkuat konsep yang ada, dan atau sedang di realisasikan dalam rentang waktu yang sudah terprogram pula. Tujuan yang kedua adalah untuk merespon RTD yang dilaksanakan oleh SopsKasal pada tanggal 23 Desember 2015 di Gedung Neptunus, Cilangkap, yang membahas konsep rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Laut, yang kontennya adalah pembentukan BaKamla.
Sebagian besar pandangan yang dikemukakan pada tulisan ini, penulis sampaikan pada Focus Group Discussion di Lemhannas tanggal 29 Juli 2015 yang membicarakan topik senada dengan judul tulisan ini. Pada diskusi tersebut para pembicara mengungkapkan dan membahas berbagai realita mengenai kelemahan (weakness) dan kerawanan yang laten (vulnerability) dalam bidang pertahanan Indonesia, berikut mengenai kondisi nyata alut-sista, kemampuan gelar kekuatan, kecilnya anggaran dan dukungan logistik operasional. Diskusi juga menyinggung kualitas sumber daya manusia, berikutnya himbauan untuk penerapan konsepsi revolution in military affairs (RMA), dan sekilas mengenai ranah maritim yang diikuti dengan ‘ancaman’ Tanah Toraja akan minta merdeka apabila pemerintah tidak memperhatikan kepentingan pembangunan di sana. Pada FGD tersebut menghasilkan suatu kesimpulan bahwa postur TNI belum optimal untuk mengamankan poros maritim dunia (PMD).
Sekali lagi, tulisan ini tidak membicarakan apa dan bagaimana perihal mengkaji postur TNI dan poros maritim dunia (PMD), sebaliknya—penulis menyampaikan sumbang pikir menyoroti tiga poin yang dapat membantu untuk merumuskan stage and state derajat optimal yang diinginkan, yaitu; (i) revolution in military affairs (RMA), (ii) manajemen ancaman (threat management), dan (iii) format kerjasama jajaran keamanan laut.
Paradigma Revolution in Military Affairs (RMA)
Mungkin sekali, paradigma Revolution in Military Affairs (RMA) kurang diminati oleh kalangan pembuat kebijakan, dan bisa jadi penggunaannya hanya sebatas pemanis tulisan. Teman saya (BDS,WS) berseloroh bahwa kurangnya minat atau minimnya atensi terhadap RMA, disebabkan oleh beberapa pihak beranggapan bahwa cukup dengan military science yang diperoleh selama pendidikan militer formal berjenjang, dan selama itu pula lingkup pengetahuan tersebut (sepertinya) mampu menyelesaikan berbagai persoalan pertahanan-keamanan di tanah air ini, tanpa mengunakan RMA.
Memang benar bahwa RMA bukan suatu ilmu, atau yang bersifat sains, ataupun suatu disiplin yang baru. Lahirnya pula bukan di wilayah di Amerika atau Eropa yang kaya dengan pakar dan think tank yang menjamur, tetapi di Uni Soviet pada era 1980-an yang terpaksa memutar otak untuk mengimbangi keperkasaan teknologi militer AS dan sekutunya. Mereka terpaksa berpikir kritis, dan secara sistematik mengutak atik semua asset militer Uni Soviet yang tersedia (available), agar lebih efektif digunakan dan lebih menjanjikan. Intinya ialah pikiran kritis, tertata, focus, dibakukan, dan digunakan untuk memecahkan persoalan. Banyak pihak kemudian menyebut sebagai paradigma RMA.
Penggunaan paradigma tersebut kemudian diikuti oleh banyak pihak, bahkan konon kabarnya pihak Tamil Eelam juga menggunakannya. Pihak tersebut pernah memiliki angkatan darat, angkatan laut, bahkan angkatan udara, dengan peralatan dan perlengkapan yang sangat-sangat sederhana. Persoalan yang mereka hadapi adalah bagaimana mengimbangi kemampuan angkatan bersenjata Srilanka yang lebih perkasa. Konon kabarnya, dengan pendekatan RMA mereka mengutak-atik peran komponen Komando, Kendali, dan Informasi (sekarang lebih popular dengan C4 ISR), untuk mengarahkan semua kemampuan (terbatas) yang ada agar dapat diproyeksikan secara efektif. Termasuk perang informasi! Hasilnya? Mudah menemukan track record yang mengungkapkan bahwa pihak Tamil Eelam mampu memberikan pukulan telak dan berbagai kerusakan yang cukup parah bagi Angkatan Bersenjata SriLanka.
Kembali ke tanah air. Tidak ada pihak yang bisa menafikkan bahwa kebutuhan pertahanan nasional Indonesia sangatlah besar, tetapi daya nasional (existing national power) yang tersedia sangat terbatas, lagi pula anggaran belanjanya belum dipetakan (allocating resources) dengan tepat. Pada situasi demikian, ada baiknya menoleh keluar kotak (out of the box) mengeksplorasi penggunaan paradigma RMA, yang dirancang untuk kebutuhan pertahanan Indonesia. Kotak berikut ini mengemukakan tiga komponen RMA yang umumnya, di rekayasa ‘ulang’ untuk menghasilkan keluaran yang sesuai dengan situasional dan atau kecenderungan yang berlaku.
Ada tiga komponen yang sangat terkait erat dengan kinerja ‘mesin’ pertahanan Indonesia, yaitu; teknologi, doktrin, dan manajemen. Arti pentingnya mengenai teknologi, dan juga aras teknologi terapan yang digunakan oleh ’mesin’ pertahanan Indonesia, sudah dipahami dengan baik oleh semua
pihak di republik ini. Aras teknologi terapan tersebut ada di bagian pengindraan (sensing), mobilitas (mobility), daya merusak (fire power), dan di komando dan kendali (command and control). Mengutak-atik aspek teknologi bukanlah pekerjaan yang mudah, namun bukan berarti tidak mungkin dan harus ditempuh. Hanya saja, halangannya sangat kompleks mulai dari sikap politik, kebijakan (national policy), dan yang yang paling rumit adalah aspek allocating resources. Diperlukan SDM yang paham betul mengenai ranah tersebut, dan mampu memberikan beberapa pilihan stratejik yang terukur.
Kondisi ekonomi nasional dengan tingkat pertumbuhan berkisar pada 5% tentunya tidak leluasa membicarakan alokasi anggaran untuk mengutak-atik teknologi militer yang ideal, atau pada aras yang diinginkan. Situasi tersebut mengisyaratkan bahwa tinjauan terhadap komponen teknologi dapat ditetapkan bersifat konstanta. Artinya, paradigma RMA akan lebih fokus menyoroti, atau katakanlah—mengutak-atik dua komponen lainnya yaitu doktrin dan manajemen, ketimbang berkutat pada anggaran yang terbatas. Contohnya, AL-AS tidak lagi selalu menggunakan formasi carrier battle group tetapi beralih pada format expeditionary yang lebih efektif dan ekonomik. Perubahan doktrin tersebut diikuti pula dengan perubahan manajemen operasi dan logistik (arti luas). Kata kunci disini, ada dua yaitu; doktrin dan manajemen.
Penerapan suatu doktrin tidak akan bersifat kekal atau berlaku selamanya, harus ada perubahan yang menyesuaikan dengan perkembangan lingkungan stratejik. Misalnya saja—era perang dingin sudah berlalu, musuh tidak lagi aktor negara tetapi kini sudah bertambah dengan aktor non negara. Memang benar doktrin pertahanan Indonesia sudah memetakan operasi militer selain perang, tetapi variannya (sepertinya) tidak begitu tegas (clear cut) dan tidak diikuti dengan penggarisan aturan pelibatan yang baku. Potret belakangan ini memperlihatkan satuan TNI ikut menertibkan pedagang kaki lima, menertibkan masalah tanah, dan jaga ketertiban stasiun kereta api.
Mengenai manajemen pertahanan, nampaknya perlu dan sangat mendesak untuk di rekayasa ulang. Alasannya, ada persoalan (dalam hal semantik) sewaktu ‘reformasi’ Departemen Hankam yang memilah aspek pertahanan dan keamanan. Kurang pemahaman mengenai lingkup keamanan (security) dan pertahanan (defense), berakibat ketahap imperative-nya yang membakukan format keamanan negara dan pertahanan negara. Republik ini tidaklah kekurangan pakar pertahanan dan keamanan, dan mereka pasti mampu membedakan apa itu keamanan nasional dengan keamanan negara. Pemaksaan format tersebut sudah pasti akan berdampak pada tahap algorithm-nya, dan telah terbukti berbagai fakta di tanah air ini yang mengkonfirmasi kecenderungan tersebut.
Sejak 2014 Indonesia sudah mencanangkan Poros Maritim Dunia—dengan toll laut, suatu political message bahwa Indonesia siap dan mampu melayani kepentingan dunia. Sadar atau tidak, suka atau tidak, sikap tersebut berimplikasi pada kualitas kinerja ‘mesin’ pertahanan nasional yang harus berstandar dunia. Kebutuhan dunia adalah terpeliharanya stabilitas keamanan (perairan) Nusantara,
khususnya ketiga ALKI yang mengakomodasikan kepentingan dunia melintas Nusantara ini. Secara spesifik, kebutuhan mereka adalah terjaminnya keamanan pelayaran, keselamatan navigasi dan terpeliharanya marine environment dari pencemaran akibat pelayaran.
Pertanyaan yang muncul disini ialah apakah untuk kepentingan tersebut, Indonesia perlu membentuk suatu angkatan ‘keamanan’ yang baru? Bagaimana pula dengan doktrin dan manajemennya?
Memang benar, sepertinya ada perubahan doktrin dan manajemen keamanan laut. Akan tetapi konstruksinya sedikit membingungkan (dibaca: political blunder), yaitu lahirnya BaKamla. Apabila instusi tersebut di petakan dalam bingkai RMA, akan muncul pertanyaan besar—apa landasan doktrin yang menjadi pegangan BaKamla apabila ‘bekerja’ di ranah keamanan nasional? Dari aspek manajemen, juga muncul pertanyaan yang lebih kritis yaitu, siapa top management badan itu? Kalau benar pihak Menko-Polhukam dan Menko-Maritim yang memegang KODAL, lalu di bumi Nusantara ini ada berapa strategi keamanan nasional? Apakah Menko-Polhukam punya otoritas mengeluarkan perintah operasi? Pertanyaan yang lebih-lebih kritis lagi mengenai Komando dan Kendali (C4 ISR) pertahanan nasional, berada dipihak mana?
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa pihak KemHan/TNI tidak mendapat pagu anggaran yang cukup, dan ‘mesin’ ekonomi nasional tetap mengusahakan agar ada tambahan anggaran yang memadai. Memang tersedia dana ekstra dan cukup besar, tetapi ada jumlah yang cukup besar disisihkan untuk membentuk BaKamla. Sepertinya, ada kajian politik dari sementara pihak ingin membentuk satuan keamanan (security forces) yang baru dalam rangka mengamankan Poros Maritim Dunia. Dasar argumentasinya ialah Negara tidak membangun angkatan bersenjata yang baru (armed forces) tetapi satuan keamanan baru (security forces) yang ‘konon kabarnya’ dibutuhkan untuk mengamankan PMD.
Besaran dana yang dibutuhkan untuk membangun BaKamla akan sama besar dengan membangun suatu angkatan laut yang baru. Padahal tugas pokoknya tidak begitu jelas, selain mencakup fungsi dan peran pihak lain, yaitu KemenKKP, KeMenHub/KPLP (Indonesia Sea and Coast Guard), KemHan/TNI-AL, KeMenKu, dan KemKumHam. Sebaiknya, membangun BaKamla tidak menggunakan kajian politik, tidak pula merancang undang-undang keamanan laut yang kontennya ternyata adalah pembentukan ‘BaKamla’. Gunakanlah naskah akademik yang sahih, dan dengan landasan hukum yang kuat.
Memang benar ada indikator yang sangat jelas bahwa BaKamla harus eksis, by any cost! Baiklah, bila dipaksakan demikian, akan tetapi perlu disadari bahwa rumpun ASEAN dan negara maritim besar akan menakar kemampuan keamanan laut Indonesia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan maritim kawasan, dan tentunya akan ada tuntutan (political pressure) yang kritis dengan nuansa sanksi. Nantinya, pihak yang akan memikul sanksi tersebut bukan BaKamla, tetapi seluruh bangsa Indonesia.
Threat management
Salah satu produk era Reformasi adalah munculnya pakar-pakar militer, intelijen, dan pertahanan. Mereka sangat fasih membicarakan ancaman, juga tentang strategi, bahkan taktik-operasionalnya juga, meskipun kurang paham mengenai military concept and philosophy. Sumbangsih tersebut memang sah-sah saja, dan tentunya masyarakat awam di republik ini akan diuntungkan. Tetapi mohon dipahami dengan benar, bahwa bicara tentang ancaman, strategi, taktik-operasional, semua pengetahuan tersebut tidak bekerja di alam yang vakum.
Memang, tidak sulit untuk membicarakan ancaman, dan tiap anak bangsa—tua muda, terpelajar atau awam, siapa pun dia, pasti bisa bicara tentang ancaman. Tidak sulit pula membentuk focus group discussion untuk merumuskan varian ancaman, dan memang pernah ada diskusi semacam itu (2002) yang menghasilkan rumusan 150-an varian ancaman yang dihadapi Indonesia. Nampaknya, persepsi terhadap ancaman akan banyak dipengaruhi oleh latar belakang, profesi, dan ..… kepentingan dari pembicaranya. Bila demikian halnya, maka varian ancaman bisa direkayasa untuk kepentingan sektoral, dan atau kepentingan pembicaranya.
Pembukaan UUD NRI 1945 mengamanahkan; pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Suatu amanah yang sangat jelas dan tegas kepada Pemerintah untuk melindungi Indonesia, tentunya dimulai dari mengindra (sensing) semua bentuk ancaman terhadap segenap bangsa dan seluruh tumpah darah.
Alamat aksi adalah pihak, atau lembaga, atau institusi, tepatnya jajaran intelijen sebagai pemangku kepentingan yang mengindra ancaman terhadap bangsa dan wilayah republik ini. Kata kunci-nya ialah pemerintah, bukan swasta, bukannya out-sourcing, bukan pula individu yang mengklaim sebagai pakar intelijen. Kata kunci kedua ialah kesatuan persepsi, suatu pekerjaan yang tidak mudah dan (banyak kali) diper-bias demi kepentingan sektoral. Sebagai contoh, ada ramalan bahwa dalam sepuluh tahun mendatang tidak akan ada perang terbuka. Bila demikian halnya maka logika perencanaan adalah ciutkan anggaran belanja pertahanan, kerdilkan postur TNI, dan alihkan anggarannya untuk pembentukan angkatan keamanan (security forces) yang baru.
Apakah ada indikator kearah tersebut? Ada, dan sudah terprogram, yaitu menata minimum essential force (MEF) yang akan dicapai dalam sepuluh tahun mendatang. Program tersebut dibangun dengan asumsi zero enemy—thousand friends. Pertanyaan kritis yang perlu dijawab–apakah postur TNI dengan rancangan MEF 2025 dapat menjamin bahwa pemerintah Negara Indonesia, mampu melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia? Apabila dihadapkan pada kebutuhan PMD, pertanyaannya menjadi—apakah postur TNI dengan konstruksi MEF mampu memelihara stabilitas keamanan (perairan) kawasan Asia Tenggara? Apakah postur MEF 2025 memiliki daya tangkal (deterrence) dan mampu di proyeksikan pada flash point?
Flash point? Wah, ‘binatang’ apa lagi ini. Perlu suatu kejelasan yang lugas mengenai ‘binatang’ apa itu, apa dimensinya, mana lingkupnya (boundary), dan perkiraan daya rusaknya (destructive power). Singkatnya, perlu kejelasan apa itu flash point, bencana atau kerusakan seperti apa yang akan dihadapi. Perlu deskripsi yang terukur, agar dapat menyiapkan dan mengarahkan kemampuan yang ada untuk digunakan secara efektif dalam rangka meniadakan bencana atau kerusakan tersebut. Sementara itu, berkembang kecenderungan yang mengarahkan jajaran TNI/TNI-AL untuk menghadapi kejahatan (crime) dan berat pada penegakan hukum. Pembentukan mind-set seperti itu sudah terjadi sejak dua dekade lalu, yang secara halus (subtle) menggiring TNI/TNI-AL untuk keluar dari posisi utama—primus inter pares, dalam ranah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah.
Apa argumentasinya dari pernyataan seperti itu? Yaa..perlu mundur sejenak. Pada masa silam, angkatan laut mengenal tugas pokok yang sangat rigid, yaitu melindungi kepentingan nasional di dan lewat laut. Imperative-nya, angkatan laut di seluruh dunia memegang doktrin sea control, dan bagi pihak yang kurang perkasa mengunakan sea denial. Implikasinya—angkatan laut membangun kapasitas (dengan nomenklatur yang jelas) untuk melaksanakan tugas pokok dengan berpegang pada doktrinnya, tanpa memilah ancaman atau kejahatan.
Barangkali ada pihak-pihak yang masih rancu untuk membedakan ancaman dengan kejahatan? Pasti ada dan (barangkali) pihak itulah yang membangun konstruksi pertahanan Negara yang digunakan sekarang ini. Berbekal pemahaman terbatas, mereka membedakan; (i) threat—asymmetric threats, (ii) traditional—non-traditional threat, (iii) military—non-military threat, kemudian berkembang (iv) trans-national crime, trans-national organized crime, illegal fishing, illegal logging, dan seterusnya. Diskusinya mengarah pada aktor pelaku, pola dan metode, yang diarahkan kepada wilayah otoritas penindakan. Seharusnya diskusinya diawali dengan kepentingan nasional (ada hirarkinya) yang diikuti dengan apa ancamannya (pada tiap aras hirarki), kemudian mengarah pada pengindraan (sensing) dan perhitungan (assessment) kadar, aras, lingkup bencana, atau kerusakan yang akan dihadapi. Pada aras kepentingan nasional yang utama (vital interest) adalah melindungi segenap bangsa dan tumpah darah, dan ada undang-undang yang mengatur hal tersebut. Undang-undang no.3/2002 tentang pertahanan negara menegaskan bahwa Pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Poin berikutnya, komponen utama pertahanan adalah Tentara Nasional Indonesia yang siap digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas pertahanan, mulai dari membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa, sampai pada menanggulangi setiap ancaman. Tidak ada pembedaan apakah ancaman itu dari luar, atau dari dalam, atau tradisional, atau asymmetric, atau proxy, atau dan atau yang lain. Selain itu, ada penggarisan yang sangat tegas hanya pihak TNI ‘bekerja’ pada aras kepentingan nasional yang utama, tidak ada pihak lain.
Mengenai ancaman. Ada referensi yang sahih, bahwa ancaman (threat) = bakal bencana, kerusakan, kehancuran, kerugian (imminent loss, Maoz-1982). Referensi tersebut berkonsentrasi pada bakal bencana, bakal kerusakan (loss) yang akan terjadi pada aras stratejik. Berbekal referensi tersebut, TNI/TNI-AL akan merespon dengan merekayasa essential element of information yang cakupannya pada aras strategic loss akan dihadapi pada era PMD. Referensi Maoz mengisyaratkan bahwa TNI/TNI-AL tidak membatasi ruang geraknya pada physical loss yang didominasi oleh ragam kejahatan. Tetapi lebih luas dari aras tersebut, yaitu hilangnya wibawa kedaulatan Republik Indonesia yang dibalut dengan kejahatan.
Dalam pergaulan internasional yang memandang suatu negara tidak memiliki wibawa kedaulatan, dapat dianggap sebagai negara gagal (fail state). Banyak contoh negara yang tidak mampu mengamankan yurisdiksinya di laut, mengakibatkan komunitas internasional ‘terpanggil’ untuk mengambil alih tindak pengamanannya atas nama kepentingan masyarakat internasional. Bagi Indonesia yang berada pada posisi silang dunia dengan geopolitik PMD, mempunyai kewajiban (UNCLOS 1982) untuk menjamin keamanan maritim di wilayahnya. Masyarakat maritim (baca: pengguna ALKI) sangat berkepentingan dengan kemampuan jajaran keamanan laut Indonesia, untuk mengamankan asset mereka selama melintas di wilayah yang konon kabarnya, masih melekat stigma sebagai dangerous water, black area, rawan rompak dan rampok laut..!
Format kerjasama jajaran keamanan laut
Keamanan laut adalah bagian dari pertahanan negara (mohon dibaca: nasional), dan pasti berada dalam bingkai keamanan negara (mohon dibaca: nasional). Artinya—strategi keamanan laut (yang dibaca: keamanan maritim) harus berada dalam bingkai strategi keamanan nasional, yang titik beratnya adalah pertahanan nasional.
Ada referensi yang mengemukakan bahwa strategy as the relationship among ends, ways, and means, menggambarkan hubungan yang jelas antar komponennya, ada kait mengait membentuk satu mosaik yang utuh. Ends pada strategi keamanan laut, pasti merujuk pada ends dari strategi pertahanan, dan pasti pula berpedoman pada strategi keamanan nasional. Begitu pula means dan ways, tidak mungkin berada di luar bingkai strategi keamanan nasional.
Perlu pula memperhatikan referensi lainnya yang menegaskan bahwa war is only continuation of state policy by other means. Referensi tersebut menggariskan bahwa militer tunduk kepada keputusan politik, dan memang benar bahwa pihak militer tidak memiliki otoritas untuk membuat kebijakan dan atau membuat keputusan politik. Sejak tahun 1999 perangkat hukum di republik ini sudah menata patern yang sejalan dengan referensi tersebut, bahwa Menteri Pertahanan (sebagai pembantu Presiden RI) adalah pihak yang merumuskan kebijakan umum pertahanan negara. Lingkupnya meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian pertahanan Negara untuk ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia’. Tentunya termasuk keamanan laut Nusantara yang luasnya duapertiga dari perairan ASEAN.
Kembali ke pokok diskusi: Poros Maritim Dunia. Nampaknya, perlu bicara terbuka mengenai PMD itu sendiri. Masuk ord0 ‘binatang’ apakah gerangan PMD ini? Belum ada suatu batasan atau diskripsi yang jelas dan konkrit. Dalam bahasa strategi—no scoping, dan tidak jelas ends-nya dan tidak heran bila tidak ada penggarisan allocating resources. !
Setidaknya, ada dua kata yang perlu diperjelas. Pertama, pengertian maritim bagi Indonesia, oleh karena sudah pasti berbeda dengan Great Britain, Japan, dan Philippines. Perlu ada satu pengertian yang baku dan menjadi sikap nasional, yang melembaga dalam geopolitik dan doktrin nasional. Kedua, pengertian poros atau sumbu, atau vocal point. Dalam bahasa asing bisa diartikan sebagai hub, axis, atau sebagai fulcrum, akan diinterpretasikan dalam term yang berbeda-beda oleh berbagai komunitas, baik di kalangan internasional maupun di jajaran domestik.
Pernyataan PMD sudah mendunia, dan ada pemahaman diluar sana, bahwa Indonesia siap melayani kepentingan dunia (to serve global interest). Di bagian selatan dari Nusantara sudah ada reaksi yang langsung mempertanyakan kemampuan Indonesia untuk memelihara stabilitas keamanan maritim kawasan. Begitu pula dari timur laut dan barat, komunitas maritim disana mempertanyakan kemampuan Indonesia untuk melindungi asset mereka (ULCC/VLCC) yang sangat mahal, baik kapalnya maupun kargonya, selama melintas di ALKI yang dipandang sebagai dangerous water, black area, rawan rompak dan rampok laut..!
Ada satu karakter yang khas melekat pada kepentingan maritim yaitu universal, dan kuatnya pemahaman mare liberum yang didengung-dengungkan oleh negara maritim besar (maritime major power). Political message yang perlu di pahami oleh Indonesia ialah keamanan maritim tidak bisa di pikul oleh satu pihak, terlebih mengamankan (sea control) kawasan yang seluas 3.544.743,9 km² (UNCLOS 1982). Perlu kerjasama maritim (maritime cooperations), kemudian kembangkan kerjasama keamanan maritim (maritime security cooperations), dan bila ‘sikon’ memungkinkan akan ditindak-lanjuti dengan kerjasama satuan keamanan maritim (maritime security forces cooperations). Ada hirarki yang berlaku, dan berproses sesuai dengan perkembangan keadaan dan kepentingan. Lihat diagram berikut ini;
Surut kebelakang sejenak. Pada bulan Mei 2006, ASEAN telah meresmikan konvensi ASEAN Defence Ministers’ Meeting (ADMM) yang bertemu setahun sekali, dan wadah tersebut dianggap sebagai the highest defence consultative and cooperative mechanism in ASEAN.
Tujuannya adalah to promote mutual trust and confidence through greater understanding of challenges as well as enhancement of transparency and openness. Cantolannya berada pada salah satu pilar dari Asean Communty yaitu Asean Politic and Security Community (APSC), sudah menggariskan road map mengenai apa sasaran dan bagaimana kerjasama di masyarakat ASEAN. Kesepakatan tersebut bertolak dari suatu pemahaman universal yang baku bahwa bahwa aktor intelektualnya menteri pertahanan, dan di Indonesia adalah MenHan yang bertanggung jawab untuk merancang kepentingan dan kebutuhan Indonesia di ranah tersebut. Titik !!!
Bahwasanya ada pihak berada diluar atap KemHan yang menjalin kerjasama keamanan (maritim) dengan negara tetangga, konon terjadi bukan sekali tetapi berkali-kali, dapatlah dipandang sebagai pengingkaran terhadap kebijakan nasional dan tidak berada didalam ‘patern’ ADMM. Sepak terjang seperti itu, sudah pasti mengakibatkan terjadi beberapa hal, yaitu; (i) mengundang kebingungan di kalangan rumpun ASEAN, (ii) merugikan kepentingan nasional Indonesia (strategic loss), tetapi (iii) menguntungkan pihak-pihak luar yang menginginkan akses kedalam lingkaran decision making manajemen keamanan nasional.
Kerjasama defence and security di ASEAN dalam pilar APSC, sudah bersepakat membentuk ASEAN Maritime Forum, yang kemudian pada pertemuan perdana di Surabaya (2010), membicarakan beberapa hal, yaitu; (i) menangani masalah keamanan maritim, (ii) menjajaki kerjasama operasional yang dapat dikembangkan secara konkrit dan (iii) mengidentifikasi kerjasama di masa depan.
Poin kritis yang ingin dikemukakan disini ialah, membangun kerjasama keamanan laut (dibaca: maritim) berawal dari geopolitik nasional, yang mendikte kebijakan dan strategi pertahanan nasional, kemudian menentukan bentuk kerjasama internasional yang dapat dikembangkan, dan menentukan pelibatan satuan operasional yang tepat. Poin kritis ini bermaksud untuk menjelaskan bahwa tidak lazim, tidak normal, tidak layak, apabila ada pihak diluar garis komando tersebut diatas mengambil alih kegiatan operasional yang sudah terprogram, baik dalam bingkai kepentingan nasional maupun ASEAN.
Mungkin sekali ada sanggahan yang mengutip pepatah…’lain padang, lain belalangnya’, Indonesia dengan aneka ragam keunikan, tentu boleh menggunakan format lain atau pola yang khas untuk Nusantara dalam rangka pengamanan PMD. Memang boleh saja, tetapi janganlah merusak postulat-axiom-basic knowledge yang sudah teruji ratusan tahun, lagi pula masyarakat di luar sana juga memiliki banyak cerdik pandai, tentunya mampu ‘membaca’ kualitas elite manajemen pertahanan nasional Indonesia yang sekarang berada diatas panggung.
Penutup
Memang benar jawaban terhadap pertanyaan seminar—optimalkah TNI mengamankan PMD, sudah terrumuskan yaitu tidak, atau belum optimal. Namun tulisan ini mencoba menggali lagi, tiga pendekatan yang sudah dikenal, yaitu RMA, threat manajement, dan kerjasama keamanan laut. Pendekatan RMA yang meneropong aspek doktrin dan manajemen, tentunya dapat memberikan tambahan masukan untuk memahami ‘sikon’ aktual dan mutahir mengenai kedua aspek tersebut dalam atap KemHan. Begitu pula dengan threat management juga dapat memberikan sedikit tambahan masukan, yang mungkin ada nilainya untuk menangani ancaman dengan pemahaman yang lebih proporsional. Dan yang terakhir, mengupas format kerjasama keamanan laut, juga dapat memberikan sumbangan kecil yang (menurut penulis) sering diabaikan banyak pihak.
Inti dari tulisan ini dapat dituangkan dalam kalimat sederhana—“pemahaman yang kuat terhadap ketiga aspek tersebut akan memperluas, dan memperkokoh upaya mengoptimalisasi pengamanan PMD, sebaliknya memperkecil peluang untuk menggeser TNI/TNI-AL keluar dari posisi primus inter pares, menjadi penonton yang baik dan diperbolehkan naik panggung apabila diperlukan.” (B.o8/KS/I-16)