Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Eksistensi dari Angkatan Laut suatu negara tidak lain ditujukan untuk mengamankan kepentingan nasional negara tersebut. Sesuai dengan karakteristik Angkatan Laut, sistem senjata Angkatan Laut dalam hal ini kapal perang dapat disebarkan ke wilayah perairan manapun dalam jangka waktu yang lama guna mengamankan kepentingan nasional. Penyebaran kapal perang, termasuk ke luar wilayah kedaulatan, guna menggelar suatu operasi merupakan hal yang lumrah bagi Angkatan Laut di dunia.
Perkembangan lingkungan strategis dewasa ini menunjukkan bahwa tantangan terhadap operasi Angkatan Laut semakin meningkat sekaligus dinamis. Angkatan Laut kini dihadapkan sekaligus pada ancaman dan tantangan tradisional dan non tradisional, di mana ancaman dan tantangan non tradisional lebih mendominasi. Isu-isu keamanan maritim, keamanan energi dan maritime peacekeeping saat ini mendominasi tantangan terhadap operasi Angkatan Laut tersebut.
TNI Angkatan Laut sebagai salah satu bagian dari instrumen kekuatan nasional Indonesia tidak dapat lepas dari dinamika lingkungan strategis yang demikian. Ancaman dan tantangan non tradisional seperti keamanan maritim, keamanan energi dan peacekeeping dihadapi pula oleh kekuatan laut Indonesia. Dalam perkembangan terakhir yaitu dibajaknya kapal bulk carrier berbendera Merah Putih MV Sinar Kudus pada 16 Maret 2011 pada posisi 320 mil laut sebelah timur laut Pulau Sokotra di Samudera India oleh para pembajak Somalia, menunjukkan bahwa ancaman dan tantangan yang dihadapi oleh TNI Angkatan Laut tidak saja yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Indonesia.
Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada penyelenggara negara untuk antara lain “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Dari amanat tersebut, secara tersurat tergambar bahwa upaya melindungi segenap bangsa Indonesia tidak dapat dibatasi hanya pada wilayah yurisdiksi Indonesia, tetapi di kawasan manapun di dunia di mana ada kepentingan Indonesia, termasuk eksistensi warga negara Indonesia di dalamnya. Guna melaksanakan amanat tersebut, segenap instrumen kekuatan nasional harus melaksanakannya secara terpadu dan integral.
Seperti telah ditulis sebelumnya, dengan karakteristiknya kekuatan Angkatan Laut dapat disebarkan ke wilayah perairan manapun dalam jangka waktu lama guna mengamankan kepentingan nasional. Dikaitkan dengan TNI Angkatan Laut, kasus pembajakan MV Sinar Kudus kembali menegaskan betapa kepentingan nasional yang harus dilindungi tidak mengenal batas wilayah yurisdiksi negara. Oleh karena itu, sama sekali belum terlambat bagi TNI Angkatan Laut untuk menggelar operasi di luar wilayah yurisdiksi nasional dalam rangka mengamankan kepentingan nasional. Tulisan ini akan mengupas tentang nilai strategis operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi nasional Indonesia dan hal-hal yang patut untuk diperhatikan terkait operasi tersebut.
2. Good Order At Sea
Meskipun Perang Dingin telah berakhir pada 1989, akan tetapi pada kenyataannya masyarakat internasional tidak mendapatkan apa yang disebut sebagai peace dividend. Peace dividend cukup sering dilontarkan oleh para ahli keamanan internasional pada awal 1990-an untuk memprakirakan kondisi keamanan dunia pasca Perang Dingin. Kenyataan di lapangan berbicara lain, di mana konflik antar negara yang menjadi arus utama pada era Perang Dingin ternyata digantikan oleh konflik intra-negara dan ancaman lintas negara pasca Perang Dingin.
Situasi demikian memiliki implikasi pula pada aspek maritim. Adanya konflik intra-negara dan ancaman lintas negara ternyata berimplikasi langsung terhadap keamanan maritim, sebab ketidakmampuan pemerintahan pusat mengendalikan keamanan di daratan berimbas langsung pada pengendalian laut. Hal ini bisa dilihat dalam kasus di Selat Malaka selama terjadinya pergolakan politik di Aceh dan hal serupa yang terus terjadi di Somalia sejak negara itu menjadi negara pada pada 1991.
Terhadap Angkatan Laut, implikasinya adalah berubahnya fokus operasi yang digelar oleh Angkatan Laut. Tentang hal ini telah dikupas secara komprehensif oleh Michael Pugh, di mana Pugh menyatakan bahwa operasi Angkatan Laut pasca Perang Dingin lebih banyak berkutat pada peacekeeping and enforcement dan maintenance of good order. Lebih jelasnya lihat tabel berikut:
Tabel No.1
Penggunaan Kekuatan Laut Pasca Perang Dingin
Apa yang dilansir oleh Pugh pada 1994 telah terbukti kebenarannya saat ini. Angkatan Laut di dunia kini sibuk dengan berbagai operasi yang terkait dengan peacekeeping and enforcement dan maintenance of good order. Misalnya eksistensi UNIFIL Maritime Task Force di Lebanon untuk melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB No.1701 (2006) dan gelar kekuatan beberapa Angkatan Laut di perairan sekitar Somalia guna menegakkan resolusi Dewan Keamanan PBB No.1816 (2008). Belum lagi terhitung berbagai operasi keamanan maritim yang digelar di beberapa perairan dunia yang berbasis pada kesepakatan multinasional di luar kerangka PBB.
Geoffrey Till memberikan perhatian besar terhadap good order at sea dewasa ini, sebab good order at sea memiliki keterkaitan langsung dengan globalisasi. Menurut Till, laut merupakan sumberdaya, sarana transportasi, sarana pertukaran informasi, sarana dominion dan lingkungan. Terkait dengan hal tersebut, good order at sea merupakan kebutuhan mutlak, sebab ketidakamanan di laut akan memunculkan instabilitas kawasan dan berdampak langsung terhadap globalisasi. Padahal di sisi lain, globalisasi seperti ditulis oleh Sam Tangredi, bermula dari laut dan menggunakan laut sebagai tulang punggungnya.
Dalam era globalisasi, kesejahteraan dan keamanan suatu negara memiliki keterkaitan langsung dengan negara-negara lain. Kegagalan suatu negara menjaga keamanan di wilayahnya akan memunculkan perhatian dari negara-negara lain. Suatu contoh mutakhir dari premis ini dapat dilihat dalam kasus perompakan dan pembajakan di perairan Somalia dan sekitarnya.
Mengacu pada Till, dewasa ini sebagian Angkatan Laut dunia telah memasuki suatu kategori yang dikenal sebagai post-modern navy. Misi dari post-modern navy meliputi sea control, expeditionary operation, good order at sea dan maintenance of maritime concensus. Post-modern navy menurut Till dipengaruhi oleh proses globalisasi dan kebutuhan untuk melindungi sistem perdagangan internasional. Sebaliknya, bagian terbesar dari Angkatan Laut dunia masih tergolong sebagai modern navy. Masih mengacu pada Till, modern navy adalah produk dari perang industri dan tugasnya adalah melindungi kepentingan nasional, termasuk dalam isu good order at sea dan maintenance maritime consensus. Sebagai konsekuensi dari kategori itu, modern navy memiliki struktur kekuatan yang berimbang antara kemampuan pengendalian laut, proyeksi kekuatan dan misi serangan Angkatan Laut.
Perlu dipahami bahwa pembagian kategori post-modern navy dan modern navy oleh Geoffrey Till didasarkan pada pengamatannya terhadap perkembangan negara-negara di dunia, di mana Till menemukan ada tiga kategori negara dalam era globalisasi saat ini. Yaitu pre-modern state, modern state dan post-modern state. Pembagian tiga kategori negara tersebut berimplikasi pula terhadap kategori Angkatan Laut, sebab globalisasi mempunyai mempunyai implikasi keamanan. Globalisasi bergantung secara absolut perdagangan dunia pada arus bebas perdagangan dan hal ini sebagian besar melalui laut.
Pasca serangan 11 September 2001 di New York dan Washington, perhatian dunia internasional terhadap keamanan maritim makin intensif. Perompakan dan pembajakan dipandang sebagai salah satu pintu masuk bagi aksi terorisme di laut. Beberapa perairan strategis dunia yang merupakan bagian dari choke point mendapat perhatian besar dari negara-negara maju dan apabila dipetakan, mayoritas choke point itu berada di negara-negara berkembang. Selat Malaka merupakan salah satu perairan yang mendapat perhatian besar dan serius dari negara-negara besar dan negara-negara tersebut memiliki Angkatan Laut yang berstatus post-modern navy.
Keamanan maritim mempunyai keterkaitan erat dengan good order at sea. Untuk mewujudkan good order at sea, selain dibutuhkan kemampuan Angkatan Laut dan Coast Guard tiap negara untuk menjaganya, diperlukan pula komitmen politik dari tiap pemerintah untuk mengadopsi dan comply terhadap konvensi dan protokol yang terkait dengan keamanan maritim. Seiring dengan makin meningkatnya eskalasi ancaman terhadap keamanan maritim di perairan tertentu di dunia, sejak 2008 sejumlah aturan hukum internasional tersebut telah “dilengkapi” pula dengan perangkat politik internasional yaitu Resolusi Dewan Keamanan PBB.
3. Kasus Somalia
Resolusi Dewan Keamanan PBB No.1816 (2008) merupakan preseden baru dalam stabilitas internasional, yakni PBB memberikan otorisasi kepada negara-negara di dunia untuk memerangi perompakan dan pembajakan di perairan Somalia dan sekitarnya. Selanjutnya Dewan Keamanan PBB menerbitkan Resolusi No.1838 (2008), No.1846 (2008), No.1851 (2008), No.1860 (2009), No.1918 (2009) dan No.1950 (2010) yang menegaskan dan menguatkan sikap politik masyarakat internasional terhadap isu perombakan dan pembajakan di negara itu. Terakhir kali Dewan Keamanan PBB menerbitkan Resolusi No.1976 (2011) yang masih terkait dengan isu yang sama.
Dinamika demikian memperlihatkan bahwa good order at sea bukan semata-mata isu keamanan belaka, tetapi telah bertransformasi menjadi isu politik. Ketika bertransformasi menjadi isu politik sebagaimana dapat dilihat dari terbitnya sejumlah resolusi Dewan Keamanan PBB terkait perompakan dan pembajakan di perairan Somalia dan sekitarnya, good order at sea berpotensi menjadi bola panas. Sebab terbitnya resolusi Dewan Keamanan PBB tidak akan lepas dari pertarungan kepentingan lima negara anggota tetap di dewan itu.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, tidak adanya good order at sea di Somalia merupakan implikasi dari konflik internal yang melanda negeri itu sejak 1991. Pemerintahan nasional Somalia yang diakui oleh PBB dan dunia internasional yaitu Transitional Federal Government of Somalia (TFG) hanya memiliki kekuasaan di beberapa blok kota Mogadishu dan sepenuhnya bergantung pada pasukan AMISOM (African Union Mission in Somalia). Sedangkan wilayah-wilayah lain di luar Mogadishu dikendalikan oleh pasukan-pasukan bersenjata yang berbasiskan pada klan setempat yang dominan. Beberapa wilayah Somalia berstatus daerah otonom, sebagian lagi telah mendeklarasikan kemerdekaannya meskipun tidak diakui oleh dunia internasional.
Perompakan dan pembajakan yang merajalela di perairan Somalia dan sekitarnya merupakan buah dari kegagalan pemerintahan federal untuk mengendalikan keamanan di seantero negeri. Perang saudara sejak 1991 pasca kejatuhan rezim Presiden Siad Barre telah menempatkan Somalia sebagai negara gagal. Implikasi dari status negara gagal itu sejak beberapa tahun lalu telah merambah pula ke laut yang ditandai dengan meningkatnya perompakan dan pembajakan di perairan Somalia dan sekitarnya. Dalam perkembangannya, wilayah operasi para pembajak Somalia telah mencapai wilayah laut lepas yang melebihi 200 mil laut dari pantai negeri itu.
Merespon dinamika demikian yang dianggap mengancam stabilitas internasional, PBB telah menerbitkan resolusi Dewan Keamanan No.1816 (2008) dan kemudian disusul oleh beberapa resolusi lainnya. Sebagai tindak lanjut dari resolusi tersebut, Uni Eropa, NATO, Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya membentuk gugus tugas untuk menjaga keamanan maritim di perairan Somalia dan sekitarnya. Gugus Tugas Uni Eropa berada di bawah EUNAVFOR (European Naval Force) yang beroperasi dengan sandi Operation Atalanta, sementara NATO dan Amerika Serikat membentuk Combined Task Force-150 (CTF-150) dan Combined Task Force-151 (CTF-151).
Dua negara ASEAN tergabung dalam kedua CTF, yaitu Thailand berada dalam CTF-150, sementara Singapura tergabung dalam CTF-150 dan CTF-151, bahkan kini CTF-151 dipimpin oleh Laksamana Muda Harris Chang Wen Yip dari Angkatan Laut Singapura. Perbedaan antara CTF-150 dan CTF-151 yang pada dasarnya berada di bawah kendali Panglima Armada Kelima Amerika Serikat di Bahrain terletak pada sektor operasi. CTF-150 memiliki sektor operasi di sekitar Tanduk Afrika, sementara sektor operasi CTF-151 mencakup Teluk Aden dan pantai timur Somalia (hingga ke laut lepas).
Di samping operasi gabungan multinasional, sejumlah negara juga menyebarkan kapal perangnya ke Somalia untuk beroperasi secara unilateral. Sebagai contoh adalah Rusia, Cina dan Malaysia. Kapal perang negara-negara tersebut beroperasi secara unilateral, akan tetapi mereka tetap berkoordinasi dengan EUNAVFOR, CTF-150 dan CTF-151. Dalam rangka menjaga keamanan maritim di perairan Somalia dan sekitarnya, sejak beberapa tahun lalu telah ditetapkan Internationally Recommended Traffic Corridor (IRTC) di sekitar perairan Somalia, khususnya di Teluk Aden. Kapal niaga yang melintas dari IRTC mendapatkan pengawalan konvoi dari kapal perang Angkatan Laut yang beroperasi di sana.
Selain Teluk Aden, zona yang berbahaya bagi pelayaran internasional di sekitar Somalia adalah pantai timur Somalia, mulai dari lepas pantai negeri itu hingga ke laut lepas. Dalam banyak kasus, tidak sedikit kapal niaga yang berlayar di luar 200 mil laut dari lepas pantai Somalia menjadi korban pembajakan. Wilayah operasi para pembajak Somalia telah membentang hingga mendekati bagian utara perairan Kepulauan Seychelles.
4. Penyebaran Kekuatan TNI Angkatan Laut
Kasus pembajakan kapal MV Sinar Kudus membuktikan bahwa para pembajak Somalia memiliki jangkauan wilayah operasi hingga ke laut lepas menggunakan dhows sebagai mother ship-nya. Sesungguhnya pembajakan MV Sinar Kudus bukan pertama kalinya dialami oleh Indonesia, sebab sebelumnya terdapat pula sejumlah warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi sandera para pembajak Somalia. Hanya saja sebelumnya para WNI itu bekerja pada kapal non bendera Merah Putih, sedangkan MV Sinar Kudus adalah preseden pertama pembajakan di Somalia terhadap kapal berbendera Indonesia.
Tidak sedikit pihak yang menyayangkan kinerja pemerintah dalam kasus MV Sinar Kudus, di antaranya menyangkut perlindungan terhadap kapal niaga Indonesia yang berlayar di perairan internasional. Perlindungan yang dimaksud adalah menyebarkan kapal perang TNI Angkatan Laut ke perairan Somalia untuk melindungi kepentingan nasional Indonesia di sana, sebagaimana yang telah beberapa tahun terakhir dipraktekkan oleh Malaysia, Singapura dan Thailand. Terdapat pihak yang berpendapat bahwa selama ini pemerintah tidak melirik isu keamanan maritim di perairan Somalia dan sekitarnya karena menganggap tidak ada kepentingan nasional Indonesia yang harus dilindungi di sana.
Selama ini, kekuatan TNI Angkatan Laut yang diproyeksikan beroperasi di luar wilayah kedaulatan baru sebatas operasi perdamaian maritim PBB di bawah bendera UNIFIL di Lebanon. Merespon pembajakan MV Sinar Kudus, sejak 23 Maret 2011 TNI Angkatan Laut telah menyebarkan kapal perang ke perairan Somalia dan sekitarnya. Penyebaran tersebut tergolong baru karena selama ini penyebaran kapal perang TNI Angkatan Laut ke luar negeri biasanya hanya dalam kerangka muhibah dan misi penjaga perdamaian maritim PBB.
Terkait dengan operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi nasional, terdapat beberapa isu yang patut untuk diperhatikan.
Pertama, sikap nasional. Harus ada satu sikap nasional mengenai operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi nasional. Hal ini dipandang penting karena selama ini terdapat kesan adanya pihak tertentu di dalam negeri yang enggan menggunakan kekuatan TNI Angkatan Laut dalam rangka mengamankan kepentingan nasional yang berada di luar wilayah yurisdiksi karena khawatir akan merusak citra Indonesia yang (senantiasa) mengedepankan soft power. Perlu kesepahaman nasional yang baku antar semua instrumen kekuatan nasional bahwa yang harus dijaga dan diamankan adalah kepentingan nasional, di manapun kepentingan nasional itu berada dan dengan cara apapun.
Kedua, perangkat hukum. Tidak dibutuhkan suatu perangkat hukum yang secara khusus menjustifikasi operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi nasional. Perangkat hukum yang ada selama ini telah cukup untuk menjustifikasi operasi tersebut. Selain meskipun Undang-undang No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia belum mengakomodasi tentang penyebaran kekuatan Angkatan Laut ke luar wilayah yurisdiksi, akan tetapi Undang-undang No.3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan amanat Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 bahkan lebih dari cukup untuk melindungi kepentingan nasional yang berada di luar wilayah yurisdiksi, termasuk WNI di dalamnya.
Ketiga, aturan pelibatan. Operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi nasional harus didukung oleh aturan pelibatan yang jelas dan kuat. Sebab hal ini mempunyai implikasi internasional mengingat kapal perang adalah extended territory yang berjalan. Oleh karena itu, aturan pelibatan yang digunakan hendaknya disahkan oleh otoritas nasional dan bukan semata kepemimpinan militer. Sehingga apabila ada insiden yang melibatkan kapal perang TNI Angkatan Laut, pertanggungjawabannya harus bersifat politik pula karena hal itu terjadi dalam kancah internasional.
Keempat, peran TNI Angkatan Laut di kancah global. Operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi merupakan bagian dari peran TNI Angkatan Laut di kancah global yang berada dalam amanat konstitusi yaitu turut serta menjaga perdamaian dunia. Menjaga perdamaian dunia saat ini harus diartikan secara progresif dan tidak lagi secara terbatas yang mengartikan menjaga perdamaian dunia melalui pengiriman pasukan perdamaian di bawah bendera PBB. Seperti dinyatakan oleh Geoffrey Till, Angkatan Laut di dunia saat ini dituntut bukan saja mampu mengamankan integritas wilayahnya, tetapi mampu pula berpartisipasi dalam menjaga sistem global, dalam hal ini keamanan maritim yang menjadi bagian tak terpisahkan dari globalisasi.
Kelima, pembangunan kekuatan. Operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi memiliki implikasi ke depan terhadap pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut. Dari aspek operasional, di masa depan TNI Angkatan Laut tetap senantiasa memerlukan kapal kombatan yang mampu beroperasi di luar wilayah yurisdiksi. Dengan dimensinya, kapal fregat merupakan pilihan paling tepat dan rasional untuk mengamankan kepentingan nasional Indonesia di bagian manapun di dunia ini.
Keenam, logistik. Logistik merupakan hal vital dalam operasi Angkatan Laut di manapun, terlebih lagi ketika beroperasi di luar wilayah yurisdiksi. Terkait dengan hal tersebut, TNI Angkatan Laut selain perlu memodernisasi armada kapal bantu jenis BCM guna mendukung kapal perang yang disebar ke luar wilayah yurisdiksi, hendaknya mendorong pemerintah untuk menjalin kerjasama logistik dengan negara-negara di sekitar wilayah operasi TNI Angkatan Laut. Dengan demikian, ada jaminan kepastian logistik terhadap kapal perang TNI Angkatan Laut yang beroperasi di wilayah perairan internasional.
Ketujuh, rotasi kekuatan. Beroperasi dalam jangka waktu yang lama di luar wilayah yurisdiksi membutuhkan perencanaan rotasi kekuatan yang matang. Rotasi itu bisa mencakup rotasi kapal perang, dapat pula meliputi rotasi personel. Sebagai contoh, perlu dipikirkan untuk melaksanakan personel setiap jangka tertentu di negara transit. Rotasi kapal perang yang teratur menuntut kesiapan unsur pemeliharaan di pangkalan TNI Angkatan Laut guna menyiapkan kapal perang pengganti secara tepat waktu.
5. Penutup
Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit kepentingan nasional Indonesia yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional yang terkait dengan era globalisasi saat ini. Situasi tersebut menuntut semua instrumen kekuatan untuk mampu mengamankan kepentingan nasional tersebut. Kasus pembajakan MV Sinar Kudus di perairan Somalia sekali lagi memperkuat tesis tentang pentingnya mengamankan kepentingan nasional di luar wilayah yurisdiksi dengan cara apapun.
TNI Angkatan Laut sebagai bagian dari instrumen kekuatan nasional di bidang militer merupakan pilihan paling rasional secara politik, ekonomi dan militer guna mengamankan kepentingan nasional di luar wilayah yurisdiksi. Untuk berperan di dunia internasional dalam rangka mengamankan kepentingan nasional Indonesia, terdapat sejumlah isu yang patut diperhatikan oleh pemerintah dan TNI Angkatan Laut. Isu-isu tersebut kalau ditangani dengan benar akan mendorong keberhasilan operasi TNI Angkatan Laut di luar wilayah yurisdiksi. Sekaligus menunjukkan bahwa TNI Angkatan Laut mampu mengamankan kepentingan nasional di luar wilayah yurisdiksi sekaligus memperlihatkan komitmen yang tinggi dalam menangani keamanan internasional. Keberhasilan TNI Angkatan Laut dalam operasi di luar wilayah yurisiksi nasional selain mencerminkan keberhasilan pembinaan TNI Angkatan Laut, pula menunjukkan komitmen Indonesia terhadap stabilitas internasional. Juga menempatkan TNI Angkatan Laut sebagai Angkatan Laut yang mampu beroperasi secara global terbatas yang merupakan salah satu kategori Angkatan Laut menurut Geoffrey Till.
. Lihat, Pugh, Michael, Ginifer, Jeremy and Grove, Eric, “Sea Power, Security and Peacekeeping After the Cold War” dalam, Pugh, Michael (et.all), Maritime Security and Peacekeeping: A Framework for United Nations Operations, New York: Manchester University Press, 1994, hal.24
. Lihat, Till, Geoffrey, Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. London: Frank Cass, 2004, hal.310
. Lihat, Till, Geoffrey, Seapower: A Guide for the Twenty-First Century, Second Edition. New York: Routledge, 2009, hal.7
. Lihat, Till, Geofrrey, Globalization: Implication of and for the Modern/Post-Modern Navies of the Asia Pacific, RSIS Working Paper No.140, 15 October 2007, hal.2
. Sebelumnya Laksamana Muda Bernard Miranda dari Angkatan Laut Singapura pernah pula memimpin CTF-151.
Anda benar, terimakasih atas tanggapannya. Dan koreksi tersebut akan kami akan teruskan kepada penulisnya, yang sekarang ini tidak lagi bekerja di FKPM tetapi sudah bekerja dalam lingkungan JANE’S Intelligence.
Terimakasih.
Kebetulan saya sedang melakukan penelitian skripsi mengenai kinerja CTF-151, mohon maaf sebelumnya, namun ada beberapa hal yang nampaknya perlu dikoreksi.
Pertama, NATO memiliki operasi anti-perompakannya sendiri yang tidak tergabung dalam CTF-151, yaitu Operation Ocean Shield.
Kedua, perbedaan utama antara CTF-151 dan CTF-150 adalah mandat dan tugasnya, CTF-150 mempunyai tujuan untuk menjaga keamanan kawasan tanduk afrika secara umum; dari drug and small arms trafficking terutama terrorisme, dan lain-lain. Sedangkan CTF-151 hanya mempunyai satu tugas utama yaitu operasi anti perompakan. Bahkan, alasan utamanya dibentuk CTF-151 adalah karena tidak semua negara yang tergabung dalam CTF-150 memiliki mandat untuk melakukan operasi anti-perompakan.
Terima kasih.