Oleh: Robert Mangindaan
1. Pendahuluan
Bukan perkara yang sulit untuk mengatakan bahwa NKRI sebagai negara kepulauan (dan terbesar pula), bahwasanya sangat membutuhkan intelijen maritim. Logika awam mengatakan bahwa sebagai negara kepulauan, sudah sewajarnya mengembangkan strategi keamanan maritim dan tentunya pula intelijen maritim merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kepentingan tersebut. Akan tetapi realita di lapangan menunjukan bahwa kebutuhan akan intelijen maritim sepertinya tidak dianggap penting, bahkan terkesan jauh dari perhatian banyak pihak (baca: stakeholders) dan hanya TNI Angkatan Laut yang mengembangkan (sebagian) dari domain tersebut.
Barangkali akan muncul pertanyaan—binatang apakah itu atau apa pentingnya intelijen maritim? Tulisan ini akan berangkat dari pertanyaan sederhana itu dan dimulai dari pengertiannya yang mendasar.
2. Intelijen dan Domain Maritim
Intelijen dalam pengertian sederhana menurut kamus Webster adalah pengetahuan tentang musuh, sedangkan pemahaman yang mengacu pada karya ShermanKent— intelligence is the knowledge which our highly placed civilians and military men must have to safeguard the national welfare.[i] Pengetahuan tersebut dapat dibagi dalam dua kategori besar yaitu strategis dan taktis. Bagi pihak Angkatan Laut, (seharusnya) menguasai juga intelijen operasi yang menggabungkan berbagai intelijen taktis, misalnya untuk mendukung peperangan kapal selam, permukaan, amfibi dan seterusnya.
Esensi intelijen adalah pengetahuan tentang ancaman yang menurut Lloyd-Lorenzini terdiri dari perkalian tiga elemen yaitu niat (intention), kemampuan (capability), dan keadaan atau situasi yang kondusif (circumstance).[ii] Dari pemahaman tersebut, dengan mudah dapat dikemukakan bahwa ancaman tidak akan ada apabila salah satu elemennya bernilai nol, sebagai hasil dari perkalian antar ketiga elemen tersebut. Periksa rumus berikut ini:
T = I x C x C
Kegiatan untuk mendapatkan ketiga elemen pengetahuan tersebut, adalah kegiatan espionage dan di dalam dunia nyata, ada pula operasi klandestin yang tujuannya untuk membuat salah satu atau dua atau ketiga elemen tersebut menjadi nol, atau setidak-tidaknya diupayakan agar daya perusaknya menjadi semakin kecil. Kegiatan tersebut adalah sabotage dan subversive.
Dalam dunia intelijen, mengenal dua sisi yaitu offensive (positive) dan atau defensive (negative) yang lazimnya dikenal dengan intelligence dan counter intelligence. Bagi negara negara besar dan berambisi mengembangkan pengaruhnya ketataran global, sudah pasti memiliki daya untuk mengembangkan intelijen yang ofensif secara optimal dan diproyeksikan ke berbagai penjuru dunia di mana terkait dengan kepentingan nasional mereka. Sebaliknya, bagi negara berkembang yang tidak berambisi global lagi pula kurang dayanya, maka pilihannya akan berat bertumpu pada counter intelligence.
Pendekatan tersebut ingin menegaskan bahwa intelijen maritim juga mengenal counter intelligence, yang akan menangani kegiatan espionage, sabotage dan subversive di bidang maritim. Kini muncul pertanyaan—apa itu domain maritim? Secara sederhana, kamus Webster menjelaskan bahwa arti maritim adalah kehidupan terkait dengan lautan, navigasi pelayaran, iklim, meteorologi, bagian besar dari air dan seterusnya. Pengertian tersebut masih sangat luas dan tidak mengherankan apabila ada pihak yang membicarakan maritime power akan merujuk pada sea power. Geoffrey Till menggambarkan elemen-elemen yang membentuk kekuatan laut, seperti gambar berikut ini:[iii]
Banyak pihak dapat memberikan pandangan dengan materinya yang sangat beragam dan masing-masing pihak memiliki argumentasi yang kuat. Contohnya, pada mulanyaIndonesiamembentuk Dewan Maritim, kini lembaga tersebut sudah merubah namanya menjadi Dewan Kelautan. Perubahan tersebut merupakan indikator bahwa pemahaman mengenai domain maritim, berbeda satu dengan pihak lainnya dan bisa saja merupakan pertanda bahwaIndonesiabelum punya pemahaman nasional yang baku mengenai apa itu domain maritim.
Pemahaman mengenai domain maritim di kalangan komunitas internasional, juga tidak seragam. Lihat Inggris (maksudnya United Kingdom) dalam BR 1806 British Maritime Doctrine menegaskan bahwa maritime strategic environment meliputi aspek ekonomi, politik, legal, militer, ilmu pengetahuan dan teknologi, sosio-kultural dan fisik (geografi, oseanografi, meteorologi)[iv]. Bagaimana dengan Jepang pada era ‘post Mahanian’? Mereka mengembangkan maritime self defense forces, yang menugaskan Japanese Coast Guard untuk bertugas mengamankan life lines yang panjangnya 1000 mil, sedangkan Angkatan Laut mereka ditugaskan ‘hanya’ untuk mengamankan laut teritorial. Sekalipun pemahaman tentang maritim berbeda satu dengan lainnya, namun ada satu hal yang pasti yaitu, akan selalu terkait dengan kepentingan nasional.
Bagi sang adidaya (Amerika Serikat), mereka sudah mengembangkan kesadaran maritim, melalui perencanaan nasional yaitu Maritime Domain Awareness (MDA) yang intinya bersandar pada kemampuan intelijen. Hal tersebut di bakukan oleh Presiden AS yang menegaskan bahwa …“The heart of the Maritime Domain Awareness program is accurate information, intelligence, surveillance, and reconnaissance of all vessels, cargo, and people extending well beyond our traditional boundaries.” PRESIDENT BUSH—January 20, 2002[v]
Lain padanglain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Pemahaman Indonesiatentang arti laut, sepertinya sulit untuk dikatakan berada dalam satu perahu. Mulai dengan slogan anak-anak, nenek moyangku orang pelaut—memang benar—tetapi kini cucu dan cicitnya sudah tidak lagi berorientasi ke laut, malahan sudah merasa nyaman dengan land based oriented.
Indikatornya terlihat di dalam perencanaan pembangunan nasional, yang nyatanya sedikit sekali melirik ke laut. Misalnya saja, untuk mengatasi pengangguran, pengentasan kemiskinan, peningkatan devisa negara, sepertinya potensi di laut tidak di kelola secara baik dan optimal, malahan terjadi kehilangan berkisar 25-30 juta dollar per tahun. Sekalipun habitat bangsa Indonesia terdiri dari laut yang luasnya 70 persen dibanding daratan yang hanya 30 persen, bukan berarti bahwa secara otomatis menjadi negara maritim. Pilar utama yang harus dimiliki adalah kesadaran maritim (maritime awareness) dan tentunya harus ada pula upaya nasional yang konsisten dan terprogram dengan baik, oleh karena kesadaran tersebut akan mewarnai paradigma nasional dalam rangka mengembangkan kepentingan nasional di laut.[vi]
Lalu apa kepentingan nasional di laut? Indonesiatidak kekurangan pakar di bidang yang berkaitan dengan laut, mengemukakan pandangannya dengan rujukan yang kuat. Adayang fokus pada masalah keamanan pelayaran, keselamatan navigasi, dan marine environment protection, ada pula cenderung fokus pada masalah kelautan, pantai, fauna dan flora di laut. Begitu pula dengan pihak yang menekankan pentingnya penegakan hukum dengan konsep penyidik tunggal dan pihak TNI Angkatan Laut yang ‘diarahkan’ untuk menangani masalah keamanan maritim yang berkaitan dengan kedaulatan. Masing-masing kelompok memiliki dasar hukum yang sifatnya mengikat, dan konon melahirkan ego sektoral yang sangat kuat.
Situasi tersebut disebabkan Indonesiabelum memiliki ocean policy yang baku dan yang khas sebagai negara kepulauan berada di jalan silang dunia. Karakteristik Nusantara tersebut perlu dipahami dengan benar, bahwa ada keunikan tersendiri bagi Indonesia yang perlu diakomodasikan di dalam formula ocean policy. Dari pendekatan tersebut, penulis ingin mengemukakan bahwa arti laut bagi Indonesia, berada dalam tiga hal, yaitu; (i) sebagai sumber nafkah, (ii) sebagai penghubung 17.000-an pulau, (iii) sebagai medium pertahanan.
Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa komponen strategis dari intelijen maritim mengacu pada pandangan Geoffrey Till, akan terdiri dari empat elemen dasar yang membentuk tiga elemen operasional. Ketujuh elemen tersebut akan dihadapkan pada tiga spektrum kepentingan nasional, sehingga akan menghasilkan matriks pertemuan sebagai berikut;
Ketujuh elemen strategis tersebut masih perlu dielaborasi lebih rinci lagi, mulai dengan geography sampai dengan bases. Ada beberapa elemen yang pengertiannya perlu dicermati lebih rinci misalnya; (i) style of government mencakup paradigma pembangunan yang maritime oriented dan kebijakan nasional, regulasi sampai pada rancangan maritim security arrangement, (ii) merchant shipping dapat dibagi dalam pelayaran samudra, pelayaran nusantara, pelayaran rakyat, pelayaran wisata, dan armada perikanan, (iii) fighting instrument adalah semua potensi nasional yang dapat dikerahkan sebagai kombatan dan non-kombatan, termasuk bala cadangan untuk melindungi kepentingan nasional di laut, (iv) bases perlu dipahami dalam arti luas yang mencakup semua kegiatan di darat, misalnya industri, pendidikan, rumah sakit, logistik, yang dapat diarahkan untuk mendukung operasionaliasi merchant shipping dan fighting instrument.
Peta kepentingan tersebut, mengisyaratkan bahwa lahan intelijen maritim wajib mencakup ketiga kepentingan nasional di laut dan sudah jelas pula bahwa pemangku kepentingannya tidak hanya TNI Angkatan Laut. Memang benar bahwa sekarang ini ada 13 instansi yang beroperasi di laut, tetapi belum tentu semua instansi tersebut memiliki ‘divisi’ intelijen maritim. Tanpa dukungan intelijen sudah jelas tidak mungkin membangun strategi keamanan maritim nasional yang benar. Periksa pandangan Lloyd dan Liotta melalui diagram berikut ini:[vii]
Diagram tersebut menjelaskan bahwa tanpa intelijen, tidaklah mungkin membuat penilaian terhadap defisiensi dan resiko secara tepat dan sudah pasti pula tidak akan berhasil merumuskan kekuatan yang dibutuhkan secara benar. Lloyd dan Liotta sudah mengisyaratkan bahwa pada era ke depan akan sangat tergantung pada ketepatan informasi (information culture) dan memang benar bahwa tanpa informasi yang akurat, rancangan strategi keamanan nasional tidak akan ada artinya. Kata orang—mubazir.
Situasi perekonomian nasional sekarang ini (dan proyeksi limatahun ke depan) sepertinya sulit untuk mendukung kegiatan inteljen (positive), tetapi bukan berarti kegiatan kontra-intelijen tidak akan dikembangkan. Lahan operasionalnya adalah counter espionage, counter sabotage dan counter subversive, yang mengancam empat elemen dasar, dan tiga elemen operasional.
Barangkali ada saja pihak yang bertanya-tanya—apakah ada kegiatan seperti itu yang mengancam dunia maritim Indonesia? Jawabannya, sederhana—cobalah kembangkan jaringan untuk ‘meraba’ indikatornya di lapangan, pasti akan ketemu. Mulai dengan contoh sederhana, yaitu keinginan dan rencana pembangunan infrastruktur perhubungan laut, misalnya hub-port. Gagasan tersebut sangat tidak disukai oleh pihak lain dan sudah banyak bukti yang arahnya mensabotase rencana tersebut. Ketakutan pihak tersebut adalah, mereka akan kehilangan devisa (minimal) sekitar US$800 juta per tahun, bila hub-port dibangun oleh Indonesia di Bitung dan atau Morotai. Contoh kedua mengenai pemberlakuan azas cabotage, ada pihak luar dengan bantuan ‘agen’ di dalam negeri berusaha menenggelamkan instruksi presiden tersebut.[viii]
Masih banyak contoh lainnya yang berkembang pada tujuh elemen kekuatan laut Indonesia yang menjadi incaran pihak intelijen dari luar dan hal itu sudah berjalan sangat intens sejak dari waktu lalu, sekarang ini dan sudah pasti pula di waktu mendatang.
3. Langkah Ke Depan
Membicarakan langkah ke depan, akan terkait dengan dua hal pokok yaitu pengaruh perkembangan lingkungan strategis yang dihadapkan pada kepentingan nasional. Mengenai perkembangan lingkungan strategis, perlu mencermati critical security issues, seperti globalisasi, ancaman rompak dan rampok di laut, ancaman terror dengan penggunaan senjata pemusnah masal (WMD) dan kebutuhan untuk membangun kerjasama.
1. Globalisasi. Tidak bisa diingkari bahwa globalisasi sangat tergantung pada transportasi di laut dan kecenderungannya ke depan, kapal-kapal akan semakin besar daya angkutnya (VLCC/ULCC) dan nilainya sudah semakin tinggi. Artinya—pihak pengguna semakin prihatin terhadap masalah keamanan pelayaran, keselamatan navigasi dan tentunya dampaknya terhadap pencemaran. Keprihatinan tersebut menjadi agenda penting bagi komunitas maritim, dan International Maritime Organization (kepanjangan tangan dari PBB) sudah mensosialisasikan berbagai konvensi, program, technical cooperation, yang terkait dengan keamanan maritim.[ix]
Produk-produk tersebut pada umumnya bersifat mengikat bahkan ada yang mandatory, seperti ISPS-Code. Setuju atau tidak, Indonesia sudah seharusnya wajib melaksanakan berbagai ketentuan dalam konvensi tersebut. Perlu disadari pula bahwa di dalam setiap konvensi internasional, ada poin-poin yang dapat menguatkan posisiIndonesia dalam merancang strategi keamanan maritim nasional.
2. Rompak dan rampok di laut. Kasus-kasus ini sangat memusingkan kepala, dan sejak tahun 2000-an sudah banyak tudingan yang secara tegas menunjuk perairan Indonesia (Asia Tenggara) sebagai wilayah berbahaya. Lembaga internasional seperti IMO melalui surat edarannya secara berkala, melaporkan bahwa perairan Asia Tenggara menempati urut nomor dua sesudah pantai barat Afrika.[x] Pelajaran dari Somalia menyadarkan banyak pihak bahwa, apabila suatu negara pantai tidak mampu menangani kasus rompak dan rampok di laut, maka kekuatan laut internasional akan bertindak. Memang kenyataannya di sana, sudah hadir kekuatan militer antara lain dari Amerika Serikat, NATO, Rusia, Perancis, China dengan kemampuan yang tinggi dalam sistem penginderaan (sensing) dan daya perusak (fire power), tetapi kasus rompak dan rampok masih tetap terjadi. Korban terakhir sekarang ini adalah kapal angkut baraChina dengan 25 ABK. Besar sekali kemungkinannya komunitas maritim internasional akan bertindak lebih keras lagi, dengan menggunakan instrumen militer untuk meniadakan ancaman rompak dan rampok di laut Somalia.
Inisiatif yang sedang dikembangkan oleh Chinaadalah menggalangkan Multinational Combined Maritime Forces dan kini mereka bersikap proaktif untuk menggunakan Angkatan Laut dalam rangka mengamankan kepentinganChina di wilayah internasional. Modus operandi tersebut berpotensi digunakan sebagai referensi untuk diarahkan pada perairan lainnya yang dianggap membahayakan keamanan maritim global. Misalnya ke Selat Malaka.
3. Terorisme maritim. Intensitas aksi teror di laut memang belum berkembang seperti yang terjadi darat, tetapi kemungkinannya tetap perlu diantisipasi sedini mungkin. Menonjol untuk dibicarakan adalah pengaitannya dengan senjata pemusnah massal, yang (sangat mungkin) diangkut dengan kapal berbendera negara tertentu dan harus ditangani oleh semua pihak. Tindakan tersebut merupakan mandatory sebagaimana ditegaskan oleh UNSC Resolution 1874 dan Indonesia tentunya perlu menempuh langkah-langkah kooperatif. Situasi tersebut mengisyaratkan bahwa ada aspek politik dan operasional yang perlu disikapi secara cerdas. Secara teknis, penanganan aksi terror memerlukan dasar hukum yang kuat dan sikap politik yang tegas dan konsisten. Mengenai aspek hukumnya, relatif mudah untuk dibicarakan sekalipun akan melalui proses yang panjang dan menyerap banyak energi. Tetapi mengenai aspek politik, memerlukan masukan yang tepat dari intelijen maritim agar dapat membentuk sikap politik nasional yang jelas dan dapat dimengerti oleh berbagai pihak.
4. Membangun kerjasama. Ada tiga hal yang mengharuskan Indonesia perlu mengembangkan kerjasama keamanan maritim, yaitu; (i) posisi geografik pada jalan silang dunia, dengan kewajiban menyediakan alur laut kepulauan, (ii) duapertiga dari perairan Asia Tenggara adalah yurisdiksi Republik Indonesia, (iii) the nature of threat yang berkembang sekarang ini tidak mungkin dihadapi sendirian olehIndonesia. Persoalan yang menonjol ialah bagaimana merancang kerjasama yang (sangat) menguntungkan NKRI, khususnya kepentingan di bidang maritim.Adabaiknya meninjau Memorandum 12 CSCAP (disertakan dalam edisi ini), yang membicarakan apa dan bagaimana negara (maritim) mengambil inisiatif untuk mengembangkan keamanan maritim.
Mengenai kepentingan nasional, akan terbagi dalam tiga strata yaitu utama, penting, dan pendukung, yang mengelaborasikan kegiatan mengelola laut sebagai sumber nafkah, sebagai perekat NKRI dan sebagai medium pertahanan. Apabila peta kepentingan nasional yang pada kenyataannya memang sedemikian kompleks, maka tidak pelak lagi bahwa Indonesiaperlu memiliki satu grand strategy yang mengangkat arti laut bagi bangsa dan negara. Pada gilirannya, perlu dirumuskan strategi keamanan maritim yang konkrit dan menjadi acuan bagi semua pihak.
Pada bagian depan tulisan ini sudah dijelaskan bahwa tanpa intelijen maritim, tidaklah mungkin merumuskan strategi keamanan maritim yang benar dan bermanfaat bagi NKRI. Langkah pertama yang perlu dikembangkan adalah merancang arsitektur manajemen dalam struktur organisiasi yang baku, dengan pembagian ‘kapling’ yang jelas beserta aturan mainnya. Praktek di banyak negara memperlihatkan bahwa pihak Angkatan Laut menjadi pembina intelijen maritim, yang tentunya bertindak sebagai koordinator untuk merumuskan perputaran roda intelijen (intelligence cycle). Perangkat pendukung operasional yang dimiliki TNI Angkatan Laut lebih lengkap dibandingkan dengan pihak lainnya, bila diukur dari kekuatan human intelligence, electronic intelligence dan imagery intelligence.
Langkah kedua adalah merancang ‘format’ intelligence dan counter intelligence, yang perlu dibagi habis dan merata sesuai kompentensi semua pemangku kepentingan. Secara teoritik, kegiatan tersebut mudah dirancang, akan tetapi dalam prakteknya tidak demikian oleh karena ego sektoral yang sangat kuat melekat di kalangan pemangku kepentingan. Solusinya adalah mengembangkan konsepsi gabungan (jointness) antar kapabiliti dari semua pemangku kepentingan dengan berorientasi pada maritime security objectives yang akan dicapai.
Langkah ketiga, adalah mengembangkan kerjasama intelijen maritim. Sosok ancaman sekarang ini sudah semakin kompleks dan tidaklah mungkin Indonesiamampu meliput seluruh wilayah Nusantara, selama 24 jam sepanjang tahun. Alternatif yang tersedia adalah mengembangkan kerjasama intelijen maritim, dengan pilihan-pilhan yang menguntungkan NKRI. Misalnya dalam Lombok Agreement, apa bentuk kerjasama intelijen maritim yang dapat dikembangkan olehIndonesia, begitu pula dengan pihak-pihak yang lain seperti denganSingapura,Malaysia,Thailand, dan Fiipina.
Pilihannya memang banyak, akan tetapi kesiapan dari pihak Indonesiayang perlu dipertanyakan. Dengan menguatnya ASEAN Charter dengan tiga pilarnya, intelijen maritim nasional perlu mencermati semua perkembangan yang berada dalam platform ASEAN Security Community, oleh karena di sana ada tantangan dan peluang, misalnya dalam Plan of Action 2009-2015 ASEAN Maritime Forum. Apa dan bagaimana wadah tersebut dimanfaatkan untuk menampung kepentinganIndonesia, sudah jelas memerlukan masukan yang aktual dan konkrit dari pihak intelijen maritim.
4. Penutup
Barangkali ada pihak yang ‘alergi’ terhadap intelijen maritim, boleh jadi disebabkan oleh ego sektoral yang kuat atau kurangnya pemahaman terhadap substansinya, tetapi perlu disadari bahwa intelijen maritim merupakan suatu kebutuhan yang sangat vital bagi NKRI. Berbagai critical security issues yang berkembang sekarang ini, memerlukan masukan yang konkrit dan aktual dari intelijen maritim. Pada sisi lain (inward looking), dalam rangka membangun NKRI sebagai negara maritim, maka kebutuhan counter maritim intelligence menjadi semakin penting untuk menghadapi ancaman sabotage dan subversive.
[i].Kent,Sherman, ‘STRATEGIC INTELLIGENCE FOR THE AMERICAN POLICY’, Archon Books,Hamden,Connecticut, 1965.
[ii]. Lloyd and Lorenzini, A FRAMEWORK FOR CHOOSING DEFENSE FORCES, 46 Naval War College Review, naskah terjemahan SESKOAL, 1986
[iii]. Till, Geoffrey-‘MARITIME STRATEGY AND THE NUCLEAR AGE’,St. Martin’s Press, New York-1982
[iv]. BR 1806—BRITISH MARITIME DOCTRINE, third edition.
[v]. NATIONAL PLAN TO ACHIEVE MARITIME DOMAIN AWARENESS THE NATIONAL STRATEGY FOR MARITIME SECURITY October 2005.
6. Memorandum 12 Council for Security Cooperation in Asia Pacific, ‘ MARITIME KNOWLEDGE AND AWARENESS: BASIC FOUNDATIONS OF MARITIME SECURITY.
7. Liotta and Lloyd, ‘THE STRATEGY AND FORCE PLANNING’. Strategy and Force Planning Faculty, NavalWarCollege,Newport,RI. 2004.
8. Instruksi Presiden Republik Indonesia. Nomor 5 Tahun 2005. TENTANG PEMBERDAYAAN INDUSTRI PELAYARAN NASIONAL.
9. Lihat situs imo.org
10. Ref. T2-MSS/2.11.4.1 MSC.4/Circ.1387 July 2009, REPORTS ON ACTS OF PIRACY AND ARMED ROBBERY AGAINST SHIPS. Issued monthly – Acts reported during June 2009.