NAVY TO NAVY TALK SEBAGAI SARANA UNTUK MENJALIN KERJASAMA MARITIM

1. Latar Belakang 

Diakui atau tidak, dunia luar memandang Cina dewasa ini secara berangsur-angsur pelan tapi pasti sedang beralih visi politik dan strategi dari visi kontinental ke visi maritim. Kedudukan geopolitik, perubahan lingkungan strategis global, serta tuntutan untuk membangun negara secara ekonomi untuk kemakmuran rakyatnya merupakan faktor-faktor dasar yang mendorong perubahan visi ini.

Sebagai negara pantai Cina menyadari sepenuhnya akan arti pentingnya laut sebagai sumber penggalian kekayaan alam, sebagai media komunikasi dan transportasi sertamedanpertahanan untuk proyeksi kekuatan militer. Banyak indikasi yang memperlihatkan faktor-faktor ini antara lain yang sangat menonjol adalah klaim atas laut yurisdiksi nasionalnya yang mencakup hampir seluruh kawasan Laut Cina Selatan, serta pembangunan pos-pos dan pangkalan Angkatan Laut di beberapa pulau di gugusan Kepulauan Spratley dan Paracel, yang sebenarnya masih dalam status sengketa dengan 5 (lima) negara Asia lainnya. Singkat kata kepentingan Cina di bidang maritim semakin lama semakin besar.

Dalam 15-20 tahun terakhir ini ditandai dengan kemajuan pesat dibidang ekonomi dan perdagangan, di mana para ahli ekonomi meramalkan bila  tidak ada kendala yang luar biasa maka 10 (sepuluh) tahun ke depan, Cina akan menjadi kekuatan ekonomi dunia nomor dua setelah Amerika Serikat. Untuk menunjang pembangunan ekonomi ini, maka Cina sangat tergantung pada perdagangan lewat laut, berarti jalur-jalur perhubungan laut menjadi sangat vital bagi kelangsungan pembangunan ekonomi secara menyeluruh.

Ekonomi yang menganut pasar bebas menuntut ekspor dan impor komoditi penting termasuk komoditi stategis seperti minyak dan gas ke dan dari seluruh dunia. Sebagai gambaran, Cina dewasa ini adalah importir minyak nomor tiga terbesar di dunia dan sembilan puluh persen dilakukan lewat laut. Sedangkanlimapuluh persen impor minyak ini melewati Selat Malaka dan ketiga ALKI di perairanIndonesia. Kebutuhan akan minyak ini diperkirakan akan terus meningkat  sampai 12,7 juta barel/hari pada tahun 2020. Gambaran ini menunjukkan betapa besar ketergantungan Cina akan jalur–jalur perhubungan laut khususnya di Asia Tenggara, dengan konsekuensi logis SLOT tersebut harus terjamin keamanannya. Di masa depan Cina akan menjadi pengguna utama Selat Malaka.

Sementara itu, kekuatan militer masih menjadi andalan untuk menjamin keamanan termasuk keamanan jalur pelayaran. Dalam kaitan dengan ini dapat dipastikan Cina akan memproyeksikan kekuatan militernya (baca: kekuatan Angkatan Laut) yaitu kapal-kapal perangnya  untuk mengamankan Sea Lane of Communication yang dianggap rawan terhadap gangguan keamanan di laut  khususnya di Selat Malaka dan ALKI di perairan Indonesia. Suka atau tidak suka keadaan ini akan mempengaruhi peta kekuatan maritim/Angkatan Laut di wilayah Asia Tenggara, yang pada gilirannya akan  berdampak pada keamanan perairan yurisdiksiIndonesia. Seperti kita ketahui bahwa dalam perkembangan ini Cina dianggap sebagai saingan Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara dan sebaliknya Cina tidak menginginkan Amerika Serikat mendominasi wilayah ini.

2. Memorandum of Understanding 

Inisiatif Angkatan Laut Republik Indonesia untuk melakukan pendekatan dengan Angkatan Laut Cina  (PLAN)  melalui forum Navy to Navy Talks dapat dikatakan sebagai langkah yang strategik, karena merupakan antisipasi bagi tindak lanjut dari MOU antara pemerintah RI dan pemerintah RRC dalam masalah maritim (MOU Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of  The  People’s Republic of  China on  Maritime  Cooperation) yang ditandatangani pada tanggal 25 April 2005di Jakarta. Antisipasi yang dimaksud mengandung dua tujuan yaitu pertama, AngkatanLautRImempersiapkan segala sesuatu, baik menyangkut perangkat lunak maupun perangkat keras sebagai implementasi dari butir-butir yang tercantum dalam pasal 2 MOU tersebut (sesuai arahan atau petunjuk dari Departemen LuarNegeriRI(MenluRIsebagai penandatangan MOU), Departemen Pertahanan dan Mabes TNI).

Kedua, sekalipun belum ada petunjuk dari para pejabat pengambil keputusan politik, inisiatif yang dipersiapkan oleh TNI AL akan dijadikan  bahan masukan ke atas (bottom up input) kepada pemerintah. Inisiatif ini menjadi penting artinya karena TNI AL menjadi satu-satunya institusi pemerintah RI yang kompatibel melakukan dialog dengan PLAN menyangkut masalah-masalah keselamatan dan keamanan maritim, khususnya dikawasan Asia Tenggara.

Selain MOU bulan April 2005 tersebut, payung politik kedua adalah  RI-PRC  Bilateral Defense Dialogue yang dilaksanakan antar kedua pemerintah pada bulan Juli 2006 yang lalu. Adanya dua keputusan politik ini akan memberikan kewenangan kepada para pemimpin militer untuk menindak lanjutinya dalam konsep strategis dan operasional di lapangan.

3. Toward A Maturing Navy 

Sumber dari Military Balance menyebutkan bahwa kekuatan Angkatan Laut Cina adalah yang terkecil dari semua angkatan perangnya. Total personilnya saat ini hanya berjumlah 2.500.000 orang, kapal selam berbagai jenis berjumlah 58 buah, kapal kombatan atas air sebanyak 71 buah. Alokasi biaya pertahanan pada tahun 2001 sebesar US$ 49,6  milyar, meningkat terus dan pada tahun 2005 menjadi US$ 82,5 milyar. Karena perhatian yang besar pada keamanan maritim, pemerintah Cina saat ini mempunyai program pembangunan kapal induk.

Diawali pada tahun 1990 Cina berencana membeli kapal induk  yang sedang dibangun (desain  eks Uni Sovyet) kelas Kuznetsov dari Ukraina namun pembelian tidak  terlaksana. Pada tahun  1992, dijajaki  membeli  dari  Rusia kapal induk kelas

Kiev berukuran 40.000 ton, namun ini pun tidak menjadi kenyataan. Pada tahun 1995-1996, Spanyol dan Prancis menawarkan teknologi pembuatan kapal induk, sekaligus membangun tipe SAC-220 (Spanyol) dan menawarkan kapal induk Clemenceau ukuran 32.700 ton (Prancis), akan tetapi rencana ini gagal karena terganjal masalah politik yaitu embargo negara-negara Eropa terhadap Cina.

Pada tahun 1995, Rusia menjual kapal induk Minsk dan Novorossiysk kepada Korea Selatan untuk di-scrap (decommissioned), namun pada 1998 Minsk dibeli oleh perusahaan Cina seharga  US$ 5 juta setelah persenjataan, mesin dan peralatan komunikasi dilucuti, disertai dengan jaminan bahwa  kapal baru tidak akan digunakan untuk tujuan militer. Kapal itu kemudian menjadi museum terapung di Shenzen dan menjadi obyek turis.

Demikian pula dengan nasib Kiev yang dibeli oleh perusahaan Cina Tianma Shipbreaking Company seharga US$ 8.4 juta dari Rusia  dan Varyag dari kelas Kuznetsov berbobot 67,500 ton seharga US$ 20 juta dari Ukraina oleh perusahaan Chong Lot  Tourist and Amusement Agency, dengan janji  kapal-kapal tersebut akan dijadikan obyek turis terapung. Timbul pertanyaan, mengapa 3 (tiga) buah kapal induk eks Soviet dibeli oleh Cina, sekalipun tidak digunakan untuk tujuan militer?

Menurut Rear Admiral Eric A. McVadon, US Navy (Ret), PLA Navy tingkatannya dapat diumpamakan seseorang yang berada  pada usia antara anak-anak dan orang dewasa (adolescent Navy). Namun pemerintah RRC mempunyai ambisi menjadikan PLAN suatu Blue Water Navy pada tahun 2010. Menurut Doktrin Maritim Cina, terdapat dua model pengerahan kekuatan tempur, pertama, pengerahan kekuatanAL secara independen, di manaAL mampu memproyeksikan kekuatan ke wilayah yang jauh dari perairan sendiri untuk menghadapi armada lawan maupun terhadap sasaran di darat.

Kedua, misi utama PLAN adalah bersifat defensif yaitu untuk menghadapi kapal-kapal musuh di perairan dekat pantai. Misi yang kedua ini juga disiapkan untuk suatu operasi gabungan dengan AD dan AU  dalam  operasi amfibi. Secara garis besar, strategi keamanan Cina  dewasa ini diarahkan ke Laut Cina Selatan yaitu pada sengketa kepemilikan Kepulauan Spratley dan ke Selat Taiwan.

4. Navy to Navy Talks 

Dengan latar belakang tersebut di atas, maka hal-hal yang kiranya perlu diantisipasi/ dipertimbangkan sebagai bahan dalam Navy to Navy Talks antara Angkatan Laut RI dengan PLAN adalah:

a. Butir-butir dalam MOU (Pasal 2) tentang kerjasama di bidang maritim yang telah ditandatangani oleh perwakilan pemerintah kedua negara menjadi acuan utama, karena MOU tersebut menjadi landasan hukum sebagai keputusan politik kedua negara. Kegiatan yang melibatkan kekuatan militer (baca : kapal perang) di luar ketentuan yang ada, perlu mendapat persetujuan kedua belah pihak karena memang  sesuai dengan Pasal 3 ayat 4, dimungkinkan perluasan bidang kerjasama  maritim kedua negara.

b. Dalam Pasal 3 MOU juga menyebutkan  bahwa kedua institusi yang mewakili pemerintah masing-masing (Deplu) akan membentuk Komite Teknis yang bertugas menyusun dan menentukan skema kerjasama, cara-cara, rencana, prosedur dan sebagainya sebagai implementasi MOU tersebut. Namun apabila produk yang bersifat mengatur ini belum ada, maka keduaALdapat membicarakan untuk menyusunnya untuk kemudian disarankan ke atas sesuai hirarki.

c. Sekalipun Cina belum meratifikasi UNCLOS 1982,  perlu diyakinkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam hukum laut internasional tersebut harus dipatuhi, contohnya masalah penentuan ALKI di wilayah perairan yurisdiksi Indonesia.

d. Kerjasama  untuk menangani masalah keamanan maritim di wilayah Asia Tenggara khususnya antara TNI AL dan PLAN  adalah hal baru . Kedua AL memiliki latar belakang yang berbeda dalam hal doktrin, strategi, operasi dan taktik. Karena itu langkah awal yang dapat dilakukan adalah mendiskusikan  penyusunan suatu aturan, seperti Standard Operating Procedure (SOP) yang mencakup seluruh bidang  baik untuk latihan maupun operasi sesungguhnya. Latihan bersama (combined exercise) antar kesatuanAL kedua negara sangat diperlukan sebagai sarana untuk menguji SOP sebelum meningkat pada operasi bersama.

e. Sejauh yang menyangkut Selat Malaka, TNI AL harus dapat meyakinkan PLAN bahwa ketiga negara pantai telah memiliki kerjasama, mekanisme dan prosedur baku untuk melaksanakan pengamanan Selat Malaka, oleh karena itu  akan selalu menolak setiap inisiatif negara lain, terutama negara pengguna selat untuk melakukan pengamanan dengan cara mengerahkan  kekuatan kapal-kapal perangnya ke kawasan itu.

f. Terkait dengan titik e di atas,  kita harus mampu mencegah agar Cina tidak melakukan inisiatif seperti yang dilakukan Amerika Serikat melalui PSI  sehingga Selat Malaka khususnya, dan ALKI pada umumnya terhindar dari ajang  pengerahan kekuatan Angkatan Laut  negara-negara besar.

g. Menyadari akan besarnya kepentingan Cina di kawasan maritim Asia Tenggara di satu pihak dan kestabilan kawasan maritim di lain pihak, maka Angkatan LautRImembutuhkan  dukungan capacity building  dalam arti yang luas dari Cina.

h. Menyadari pula akan sejarah, reputasi dan pengalaman AL Cina (masih merupakan unsur dari PLA) maka tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kita tidak harus “berguru” dari mereka, namun kegagalan “merangkul“ mereka akan sangat berpengaruh pada keamanan maritim di Asia Tenggara di masa depan.

Referensi:

  1. Memorandum of Understanding between The Government of The Republic Of Indonesia and The Government of The People’s Republic Of China On Maritime Cooperation.
  2. The Military Balance 1998-1999 s/d 2006.
  3. Ian Storey,China’s Aircraft Carrier Ambitions: Seeking truth from rumors, Naval War College Review Winter 2004.
  4. Rear Admiral Eric A. McVadon, US Navy, China’s Maturing Navy, NWR Spring 2006.
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap