Natuna Utara: Sudut Pandang Kepentingan Indonesia

1.      Pendahuluan

Memasuki tahun 2020, Indonesia langsung dihebohkan dengan berita masuknya kapal-kapal Ikan China ke perairan di zona ekonomi ekslusif Indonesia di Natuna Utara. Berita tersebut dengan serentak menguasai perbincangan dan diskusi di media massa dan media sosial di Indonesia. Akan tetapi, narasi pemberitaan oleh media massa dan perbincangan publik di media pun menjadi kalang kabut di tengah publik terlebih ketika fakta dilapangan dan pemahaman tentang perlakuan dan ketentuan penegakan hukum di zona-zona maritim (rezim laut) belum secara luas dipahami. Hal tersebut berujung pada  perdebatan publik yang tidak sehat, berpotensi SARA dan Xenophobia dan memecah belah kelompok masyarakat. Demikian kita menyaksikan narasi mengenai pengusiran penuh kapal-kapal asing, khususnya kapal China dalam hal ini, dari perairan Indonesia menjadi salah satu tag line yang paling banyak diperbincangkan. Keributan pun tercipta di media sosial antara mereka yang mengklaim ‘nasionalis’ versus mereka yang dicap sebagai ‘chinese conformist’. Penanganan isu demikian, ditambah dengan faktor opini publik, internet dan sosial media, menjadikan respon dan penanganan dari pemerintah dan Lembaga/Kementerian terkait harus lebih hati-hati, jelas dan cerdas. Baik itu untuk dampaknya ke dalam / publik domestik, maupun publik internasional. Lalu bagaimanakah upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh Indonesia ketika berhadapan dengan isu ini tanpa harus melukai atau mengorbankan kepentingan nasional Indonesia di Laut atau kepentingan nasional Indonesia secara keseluruhan?. Oleh karena itu tulisan ini akan diawali sejumlah fakta berkaitan dengan isu pelanggaran hukum oleh China di Laut Natuna Utara, ulasan mengenai ketentuan dan penegakkan hukum di Zona Ekonomi Ekslusif, Analsis Kepentingan Indonesia dan Lingkungan Strategis yang melingkupinya dan Penutup yang berisi saran atau masukan.

 

2.      Kronologi Pelanggaran Kapal Ikan China di Natuna Utara

Fakta bahwa kapal-kapal ikan China memasuki perairan di wilaah Zona Ekonomi Eklusif Indonesia di Natuna Utara adalah benar adanya. Hal ini didasarkan pada informasi dari BAKAMLA RI dan TNI AL yang menyebutkan bahwa kapal-kapal ikan China mulai terdeteksi di perairan dekat Natuna sekitar tanggal 10 Desember 2019 dan memasuki wilayah Landas Kontinen RI sejak tanggal 15 Desember 2019 dan pemantauan terhadap kapal-kapal tersebut terus dilakukan oleh BAKAMLA RI. Namun kemudian sejumlah kapal dalam tersebut terdeteksi mematikan peralatan AIS (Automatic Identification System) mereka. Mengetahui hal tersebut, pihak Bakamla langsung mengerahkan kapal untuk memeriksa ke lokasi dan bertemu dengan kapal-kapal tersebut sudah berada di ZEEI Natuna Utara pada tanggal 19 Desember dan melakukan pengusiran. Meski sempat menjauh, rombangan kapal-kapal ikan China itu kembali memasuki wilayah ZEE Indonesia, tepatnya tanggal 23 Desember 2019. Perlu digarisbawahi fakta bahwa berdasarkan data radar BAKAMLA, kapal-kapal China yang terdeteksi hanya berjumlah belasan. Namun ketika dilapangan, kapal-kapal ikan China tersebut berjumlah lebih dari 50 kapal dan dikawal oleh dua kapal penjaga pantai serta satu kapal perang PLA Navy berjenis Fregat. BAKAMLA lantas mengerahkan kapal KM Tanjung Datuk dan melakukan kontak via radio untuk meminta kapal-kapal itu keluar dari perairan Indonesia. Namun mereka menolak permintaan tersebut dengan menegaskan bahwa mereka berada di wilayah perairan dan penangkapan ikan mereka. BAKAMLA pada akhirnya hanya mampu melakukan penghadangan dan berupaya untuk menghindari perseteruan ditengah laut sehingga hanya dapat memantau dari jauh kapal-kapal ikan China itu berlayar dan mengambil ikan (CNN Indonesia, 2020).

3.      Dilema Kepentingan dan Penegakkan Hukum Indonesia di Natuna Utara

Sebelum memasuki pembahasan, penting untuk kembali mengingat bagaimana ketentuan dan penegakan hukum di Zona Ekonomi Eksklusif berdasarkan ketentuan hukum internasional dan nasional. Kententuan tentang Zona Ekonomi Ekslusif di dalam hukum internasional dibahas dalam ketentuan UNCLOS 1982 Bab V (lima) dari pasal 55 hingga pasal 75 (UN.org). Ketentuan tersebut juga telah diratifikasi oleh Indonesia dengan adanya UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif, Zona Ekonomi Ekslusif. Berdasarkan ketentuan tersebut, Zona Ekonomi Ekslusif pada dasarnya dipandang sebagai laut internasional dimana kita hanya memiliki hak berdaulat disana, bukan kedaulatan penuh seperti halnya di laut territorial. Di dalam Pasal 4 ayat 1 UU tersebut, dijelaskan bahwa Hak berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh Undang-Undang ini tidak sama atau tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan oleh Indonesia atas Laut Wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman Indonesia. Begitupun, berdasarkan hak tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam di perairan yang berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut. Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot-pursuit terhadap kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan -ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai Zona Ekonomi Ekslusif. Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kwajiban Republik Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the laying of submarine cables and pipelines).

Dari paparan diatas, aparat penegak hukum kita hanya dapat melakukan penangkapan, atau tindakan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku, hanya jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum internasional yang berlaku, misalnya ekploitasi sumber daya perikanan, pengumpulan data, propaganda di laut dan kejahatan-kejahatan di laut lainnya. Dengan demikian, adalah tidak benar jika halnya kita melarang kapal-kapal asing, baik kapal ikan maupun lainnya, untuk memasuki wilayah perairan ZEE Indonesia di Natuna Utara. Kapal-kapal, apapun jenisnya memiliki hak untuk melintas atau memasuki wilayah perairan tersebut secara bebas selama mereka tidak melakukan pelanggaran-pelanggaran tertentu. Berdasarkan ketentun tersebut pula, dengan demikian, pengumpulan data dan bukti-bukti awal pelanggaran juga merupakan kunci utama yang harus dipegang oleh aparat penegak hukum di laut Indonesia. Berdasarkan  laporan fakta di lapangan dari TNI AL dan BAKAMLA RI, terdapat setidaknya tiga hal yang bisa kita simpulkan, bahwa:

  1. Kapal-Kapal China Ikan China jelas melakukan pelanggaran karena melakukan eksploitasi simber daya perikanan di perairan ZEE Indonesia, Natuna Utara.
  2. Kapal CoastGuard dan kapal Fregat China juga dinilai melakukan pelanggaran karena menghalangi-halangi upaya penegakkan hukum oleh aparat penegak hukum Indonesia.
  3. Fakta bahwa kapal CoastGuard China tidak menghiraukan aparat penegak hukum Indonesia menjadi bukti bahwa daya tangkal aparat penegak hukum kita di kawasan tersebut masih belum kuat dan perlu ditingkatkan.

Namun demikian, jikapun berdasarkan ketentuan hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku bahwa aktfitas kapal asing, termasuk China, adalah legal dan bebas sejauh tidak melakukan aktitiftas-aktifitas tertentu yang dilarang berdasarkan ketentuan hukum terkait. Sikap kehati-hatian Indonesia terhadap setiap aktifitas kapal-kapal China di wilayah perairan ZEEI ataupun kawasan Laut China Selatan secara umum harus terus mendapatkan perhatian yang tinggi – terlepas apakah dia melakukan aktifitas illegal atau tidak. Hal ini khususnya berkaitan dengan intensi dan kepentingan jangka panjang China dan trend sikap atau aktifitas China di kawasan tersebut. Oleh karena, menutip dari Suwardi (1985), masalah penegakan hukum di laut tidak dapat dilepaskan dari masalah penegakan kedaulatan di laut. Jikapun kedua istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan.  Penegakan kedaulatan di laut mencakup penegakan hukum di laut, dengan demikian pengertian penegakan kedaulatan pada dasarnya lebih luas daripada penegakan hukum itu sendiri. Berbeda dengan pelanggaran hukum yang terjadi di daratan, pelanggaran hukum di laut tidak selalu murni bersifat pelanggaran hukum hukum dalam arti berkualifikasi tindak pidana. Di laut berlaku lex specialis. Dalam banyak hal untuk menentukan apakah suatu pelanggaran telah terjadi di dasarkan pada pertimbangan apakah kepentingan nasional negara pantai dirugikan atau tidak.

Oleh karena itu pengertian penegakan hukum di laut harus dipahami dalam arti luas. Tidak hanya sekedar sebagai suatu proses peradilan dan bertujuan menjamin ketertiban hukum dan masyarakat, tetapi sekaligus dalam rangka membela dan melindungi kepentingan nasional di dan atau lewat laut, baik di dalam maupun di luar jangkauan wilayah negara.  Bagi Indonesia, penegakan hukum di laut dimaksudkan terutama untuk menjadi terselenggaranya azas negara nusantara dalam rangka pelaksanaan wawasan nusantara yang mencakup perwujudan kepuluan Nusantara sebagai suatu kesatuan politik, sosial dan budaya, ekonomi dan pertahanan-keamanan. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa penegakkan ketentuan UNCLOS 1982 sangatlah penting bagi Indonesia. Karena ada danb berlakunya  UNCLOS 1982 menjadi penguat dan pengakuan internasional akan eksistensi Indonesia sebagai negara kepulauan, NKRI dan wawasan nusantara.  Selain itu, berikut juga adalah sejumlah kepentingan Indonesia di Natuna Utara dan Laut China secara keseluruhan:

 

 

 

 

 

 

 

 

4.      China: Kepentingan dan Intensi Jangka Panjang

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa penting bagi Indonesia untuk tetap berhati-hati dan waspada terhadap setiap aktifitas kapal-kapal China dalam bentuk apapun. Hal ini terutama berkaitan dengan kepentingan dan intensi jangka panjang China di wilayah tersebut atau kawasan bahkan global secara umum. Menilik kembali intensi jangka panjang China, maka kita akan dibawa kembali pada ide-ide yang digagas dan dipresentasikan Xi Jinping pada Kongres Partai Komunis China ke-19 lalu. Xinhua mencatat bahwa pernyataan-pernyataan penting Xi Jinping dalam kongres tersebut terdiri dari satu ide inti dan dua poin dasar, yakni: (1) Ide tentang “the Chinese Dream” atau “the Great Rejuvenation of the Chinese Nation”, dan (2) Dua poin dasar yang terdiri dari: (a) pendalaman  reformasi secara komprehensif, dan (b) peneggakkan barisan massa (Quarterdeck Vol.12, Maret, 2018. hlm.4).

Ada beberapa hal yang dapat kita garus bawahi  untuk membantu kita memahami China lebih jauh dan melihat proyeksinya kedepan, yakni:

  • Penekanan terhadap sentralitas Partai Komunis China
  • Penekanan terhadap upaya atau perjuangan untuk mewujudkan ‘the national rejuvenation’ sebagai ide inti
  • Komprehensivitas dalam ide, teori, jalan dan strategi yang digunakan dengan penekanan terhadap ‘china way’ atau ‘socialism with chinese characteristic’

Ketiga hal tersebut, secara umum menggambarkan bagaimana intensi atau cita-cita jangka panjang China dan bagaimana pendekatan atau cara china untuk mencapai cita-cita  tersebut. Pada poin pertama, penekanan sentralitas PKC, artinya setiap aktifitas apapun, baik itu elemen militer maupun sipil, elemen pemerintah pusat di Beijing ataupun aparat lokal di wilayah tertentu, adalah kepanjangan tangan yang sudah komprehensif dengan kepentingan Beijing.

 

Poin kedua, Belt and Road Initiative, istilah yang sudah sering kita dengar, merupakan visi yang sangat besar yang merupakan bagian penting dalam ide inti China “the Great Rejuvenation of Chinese Nation” yang memiliki sejarah panjang sejak pemimpin Republik Rakyat China terbentuk sendiri. Visi tersebut juga merupakan ambisi masa depan atau jangka panjang China untuk mengembalikan tempat peradaban bangsa China di dunia. Dalam hal ini, wilayah klaim China di Laut China Selatan, termasuk ‘mungkin’ di wilayah ZEEI Natuna Utara, adalah sebagai berikut: (a) klaim territorial – historic fishing ground and the so called nine-dash line; (b) first ‘etape – China’s first island chain strategy; (c) yang harus dilindungi dengan cara apapun, dengan;  (d) cara apapun (China’s way).

 

Poin ketiga, China way. Socialism with chinese characteristic. Pada dasarnya tidak ada definisi jelas  tentang apa yang dimaksud dengan istilah tersebut diatas. Namun belajar dan melihat pola-pola yang berlaku dan telah terjadi maka berikut adalah beberapa contoh perilaku yang terindentifikasi (Quarterdeck Mei 2018. Hlm. 10):

  • Debt Trap
  • Extended quasi territory and Chinese ressetlement oveaseas – via chinese property bussiness or infrastucture sites or projects overseas; Chinatown and Chinese diaspora etc.
  • Sharp Power: ‘merekrut’ atau ‘mempengaruhi’ media, akademia, chinese resetlement or community overseas, dan pejabat publik, politisi atau birokrat di negara lain.

Dengan mengkombinasikan berbagai alat pengaruh (tools/ means)  seperti: Psycho-cultural warfare; Media-Information warfare; legal warfare; diplomacy; economic power; finance; military power dan greyzone operation termasuk maritime militia ataupun maritime greyzone operation lainnya. Operasi zona abu-abu maritim inilah salah satunya yang perlu diperhatikan dan mendapatkan perhatian penting dari Indonesia. Karena –dikombinasikan dengan penggunaan alat atau taktik pengaruh lainnya, operasi ini berpotensi untuk melemahkan (undermined) kedaulatan (dalam hal ini tepatnya hak berdaulat) Indonesia di ZEEI Natuna Utara dan membuat respon yang bisa diambil pemerintah Indonesai menjadi terbatas (handicapped).

“Grey zone” is a term given to the state of being between war and peace, without a premise for a conflict and other countries have no reason to make a military intervention. Using the tactic, a country can deploy military forces under the cover of civil forces in combination with psychological, judicial, and communications tactics to turn an undisputed are into a disputed area.

Sedikit penjelasan mengenai apa itu yang dimaksud dengan grey zone operations sebelum masuk ke pembahasan strategis. Grey zone operation (atau hybrid) secara essensial dapat dipahami sebagai operasi yang melibatkan elemen-elemen diluar kekuatan militer, bersifat subversif dan memanfaatkan ruang-ruang kosong (misalnya di dalam hukum) untuk mencapai tujuan mereka, bersifat provokatif dan memanas-manasi (non lethal) namun tidak sampai titik dimana dapat memberikan ‘musuh atau objek’ mereka memiliki justifikasi untuk memberikan respon yang tegas, war like responses atau memicu perang terbuka. Maritime grey-zone campaign or operations dalam hal ini pada umumnya selalu berkaitan dengan klaim kedaulatan dan hak berdaulat tehadap fitur geografis atau area perairan tertentu. Namun aktifitas grey-zone di lingkungan maritim yang dilakukan bisa jadi memiliki penyebab tersembunyi (ulterior causes). Yakni sebagai salah satu cara untuk menciptakan tekanan tambahan terhadap suatu negara dibandingkan untuk mencari penyelesaian terhaadp suatu isu maritim tertentu.

First, it (China) has transformed and militarized commercial and fishing boats. China has a big fleet of modern maritime surveillance and fisheries law enforcement boats. Satellite images show that China has ever sent 200 to 300 fishing vessels to Subi Reef and Mischief Reef in Vietnam’s Spratly archipelago (Huyan, Anh. 2019).

China merupakan salah satu negara yang menerapkan strategi grey-zone ini secara nyata, tidak hanya di laut China Selatan, tetapi juga Laut China Timur dan lainnya. Militerisasi armada perikanan (maritime militia) merupakan salah satunya.

5.      Pembahasan: Kepentingan Indonesia, Geopolitik dan Kawasan Indo-Pasifik

Dari pembahasan beberapa poin diatas, dengan demikian, ada satu poin yang perlu digarisbawahi dan dipahami oleh para penegak hukum, pembuat kebijakan, pejabat politik dan publik. Bahwa, dalam kaitannya dengan isu China dan Natuna utara kemarin, trend yang berlangsung dan harus kita hadapi di laut China Selatan adalah naval campaign versus maritime grey zone operation. Trend situasi demikian membutuhkan respon yang hati-hati (delicate responses) dan penuh perhitungan yang matang di berbagai bidang dimana prioritas kepentingan dari kepentingan nasional Indonesia menjadi acuannya. Mengambil pelajaran dari berbagai insiden yang melibatkan China dan negara-negara lain di laut China Selatan, termasuk insiden yang melibatkan Indonesia secara langsung, kita menyadari bahwa ada keterbatasan bagi aparat penegak hukum kita di ZEE, baik TNI AL maupun BAKAMLA  ketika kita berhadapan dengan China disana seperti dipaparkan di poin sebelumnya. Bahwa aparat penegak hukum tidak bisa mengusir kapal-kapal ikan dan Coast Guard China berlalu lalang di perairan ZEE Natuna meskipun secara secara jelas kita sudah memahami intensi dan strategic interest China di wilayah perairan tersebut (grey zone operation), melainkan hanya dapat melakukan penangkapan ketika kapal-kapal tersebut secara nyata, atau dicurigai tengah melakukan misalnya pencurian ikan dan harus disertai bukti-bukti awal. Oleh karena itu, melangkah pada opsi-opsi di level strategis adalah salah satu jalan keluarnya. Jikapun demikian, pemilih opsi di level strategis ini tentunya akan membutuhkan perhitungan yang lebih hati-hati, komprehensif dan menyeluruh untuk dapat menghasilkan the most effective and well-orchestrated responses. Langkah ini menjadi sangat penting dan krusial terutama ketika suatu negara berhadapan atau dihadapkan pada grey-zone operations.

Pemahaman yang lebih baik tentang dinamika dan geopolitik dunia juga merupakan salah satu kunci yang harus selalu dipegang oleh para pembuat kebijakan dan pejabat publik Indonesia. Dalam lingkup yang lebih besar dari Laut China Selatan, kawasan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik merupakan dua lingkaran terdekat (immediate) geopolitik (dan politik luar negeri) Indonesia. Sekali lagi, jika kita perhatikan peta dunia kawasan ini, maka kita menemukan bahwa kedua kawasan tersebut adalah dominan maritim (maritime realm). Dengan demikian mindset yang digunakan juga harus mindset maritim – bukan lagi mindset daratan. Selain itu kawasan ini juga merupakan kawasan yang paling dinamis di dunia yang terus mengalami pergeseran geopolitik dan geostrategis (geopolitics and geostrategic shift). Dan trend tersebut diperkiran akan terus berlangsung bersamaan dengan semakin massif-nya globalisasi ICT, perdagangan dan perkembangan teknologi.

Dua pemain besar di Indo-Pasifik adalah sekali lagi China dan Amerika Serikat. Jika kita simpulkan, secara sederhana berikut adalah kepentingan-kepentingan utama dari dua negara besar tersebut (perhatikan gambar):

 

Demikian, mari kita lihat bagaimana Indonesia dan ASEAN dalam memandang kawasan Indo-Pasifik seperti dalam gambar di bawah ini:

 

 

6.      Penutup dan Saran

Penegakkan hukum di Laut, khususnya Zona Ekonomi Eksklusif di Natuna Utara dalam hal ini, sangatlah penting bagi Indonesia. Namun disisi lain, kita juga tidak boleh lupa bahwa pada ujungnya, penegakkan hukum dilaut tidak berdiri sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari perlindungan kedaulatan dan kepentingan nasional negara. Dengan demikian, melarang penuh aktiftas kapal-kapal China untuk masuk atau melalui perairan (ZEE) Indonesia adalah salah. Namun Indonesia juga masih harus berhati-hati dan terus memperhatikan aktifitas apapun disana, terutama dalam kaitannya dengan apa yang disebut dengan ‘maritime greyzone operation’ yang dilakukan China. Oleh karena trend tersebut nampaknya masih akan terus berlanjut digunakan China di Laut China Selatan –dan wilayah lainnya, untuk memperluas otoritasnya terhadap sejumlah zona maritim yang tidak setujui berdasarkan ketentuan UNCLOS.

Pendekatan kuat dan tegas yang dilakukan Indonesia sejak tahun 2016 boleh dikatakan telah membantu memberikan jeda bagi potensi insiden di Laut China Selatan secara keseluruhan. Namun bukan berarti China akan menyerah dalam klaimnya di kawasan tersebut mengingat cita-cita jangka panjang China (BRI and the Great Rejuvenation of the Chinese Nation) diatas, dimana kawasan Laut China Selatan merupakan the first ‘etape’ dalam kepentingan China tersebut. Oleh karena masih terbatasnya kapabilitas penegak hukum Indonesia di Laut, dalam hal ini di ZEEI di Natuna Utara, maka aparat penegak hukum dan nelayan Indonesia dapat terus menjadi subjek dari ‘maritime grey zone operations or harrasment’ ketika halnya China ingin kembali memaksakan kepentingannya disana – yang ternyata telah kembali terulang pada Januari 2020 lalu hingga hari ini.

Perkembangan terkait yang mungkin bisa terjadi atau dilakukan China di laut China selatan adalah (Goldrick, James. 2018. p.25):

  1. Pendeklarasian klaim terhadap pulau-pulau (alami maupun buatan) di Laut China Selatan
  2. Pelibatan atau pemasukkan kelompok-kelompok sipil ke dalam pulau-pulau tidak berpenghuni untuk memperkuat klaim di LCS
  3. Peningkatan intensifitas operasi ‘fake fisherman’ atau maritime militia
  4. Melihat pendekatan China dalam “lawfare” mensugestikan bahwa penegakkan hukum domestik dan mekanisme kontrol pelabuhan dapat digunakan sebagai teknik grey zone, baik secara spesifik ditujukan terhadap kapal-kapal berbendera negara tertentu secara langsung maupun terhadap kapal dagang manapun yang melakukan transaksi perdagangan dengan negara tersebut.
  5. Menganggu atau bahkan mengintervensi kabel-kabel fiber optik di bawah laut juga bisa menjadi salah satu alat atau cara dalam greyzone operation, hal yang juga telah dilakukan China terhadap arus komunikasi kapal-kapal penegak hukum Indonesia di Natuna Utara.

Lalu, respon seperti apakah –termasuk respon kebijakan, yang dapat Indonesia pilih atau lakukan dalam menghadapi potensi aktifitas maritime greyzone operations China tersebut?. Kebijakan atau PolitikLuar Negeri Indonesia “Bebas-Aktif” tentunya memberikan ruang sekaligus batasan bagi opsi-opsi respon atau kebijakan yang bias diambil Indonesia di level strategis. Dengan demikian, delicate approach and calculation sangatlah krusial dalam setiap keputusan dan respon  yang bias dipilih oleh Indonesia ketika berhadapan dengan China di Natuna Utara. Kita harus bias cerdas mengayuh diantara dua/ banyak karang. Dibawah ini adalah beberapa rekomendasi kebijakan yang bisa dilakukan oleh negara ketika berhadapan dengan greyzone operations (Goldrick, James. 2018. P. 26-28):

  1. Policy: Ensure that the full context of a grey-zone campaign is understood
  2. Policy: Reply to a grey zone campaign with resolute and public countermeasures made with full understading of the risks
  3. Policy: Maintain civil maritime security forces capable of effectively matching a grey-zone campaign without requiring immediate recourse to military assets
  4. Policy: Ensure that civil military maritime security capabilities are properly coordinated to allow graduated responses in the event of escalation
  5. Policy: Ensure that there’s offcial awareness of global trends in international maritime law and be nationally agile in responding to them
  6. Policy: Commanders at all levels must be kept fully aware of national intent and empowered to use their initiatve in difficult and ambiguous circumtances and the need for the rules of engagement or ROE that allow them to accomplish it.

Menghadapi isu China di Laut Natuna Utara pada akhirnya tidak hanya sekedar isu penegakan hukum di laut semata. Dan merespon operasi grey-zone di dalam domain maritim tidak akan pernah mudah bagi negara manapun. Jikapun demikian, respon yang terkoordinasi dengan baik dan tegas dapat membawa situasi sehingga dapat terkendali dan pada saat bersamaan, mendemonstrasikan kesiapan kita di berbagai level (operasional, strategis, hukum, kelembagaan dan seterusnya) dapat membuat ‘musuh’ berfikir ulang untuk melakukan aksi mereka. Penguatan dan peningkatan kapabilitas aparat penegak hukum Indonesia, dalam hal ini TNI AL dan BAKAMLA, merupakan salah satu poin paling krusial, terutama untuk menghindari potensi terjadinya harrasment atau ‘perloncoan’ terhadap aparat penengak hukum kita ataupun nelayan kita di Natuna Utara oleh China. Walaupun tentu sangat disadari bahwa untuk mencapai titik postur dan kapabilitas yang ‘ideal’ akan memerlukan waktu dan sumber daya yang tidak datang seketika. Namun justru karena itu kita juga harus bisa lebih cerdik dalam menghadapi operasi mereka. Oleh karena, respon yang sama, seperti yang dilakukan saat ini, tidak selalu dapat menghasilkan efek jera yang sama di pihak China.

Why do we need a strategy in the first place? Clausewitz gives us the answer. Strategy is the necessary response to the inescapable reality of limited resources. No entity, regardless of size, has unlimited resources. Strategy, therefore, is about making choices on how we will concentrate our limited resources to achieve competitive advantage.

Dengan mengkombinasikan pendekatan atau penggunaan alat pengaruh lain yang kita miliki (selain diplomatic tools)- baik di level operasional maupun strategis merupakan solusinya. Managemen arus informasi yang efektif dan dominasi narasi lokal dan global juga bisa menjadi salah satu kunci yang dapat sangat membantu ketika kita berhadapan dengan situasi yang ambigu yang dihasilkan dari grey-zone operation ‘musuh’ – terutama di era ITE saat ini.

 

________________________

Rerefensi

Mangindaan, Robert. 2019. “South China Sea Conflict: Indonesia Point of View”. PPT

Goldrick, James. 2018. “Grey Zone Operations and the Maritime Domain”. Australian Strategic Policy Institute Journal.

Suwardi. 1985. “penegakan Hukum di Laut dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia”.

https://www.cnnindonesia.com/internasional/20200103124754-106-462119/kronologi-kapal-nelayan-china-terobos-perairan-dekat-natuna

https://vovworld.vn/en-US/current-affairs/chinas-grey-zone-tactic-in-east-sea-803058.vov

https://www.un.org/Depts/los/convention_agreements/texts/unclos/part5.htm

 

0 0 votes
Article Rating

Heni Sugihartini

View posts by Heni Sugihartini
Heni Sugihartini, lahir di Sumedang 21 November 1993. Tahun 2011 menempuh pendidikan pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung. Memulai karirnya pada Juli 2016 sebagai staff redaksi dan analis di Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM).
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap