Modernisasi Militer Asia Tenggara: Destabilisasi Keamanan Regional?

Oleh : Goldy Evi Grace Simatupang[1]

 1. Pendahuluan

Pada bulan Mei tahun ini, sebuah forum pertahanan diselenggarakan di Singapura, yang disebut the Shangri-la Dialogue. Forum ini merupakan forum keamanan tahunan antar pemerintah yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga think tank independen, International Institute for Strategic Studies (IISS) yang dihadiri oleh menteri-menteri pertahanan, kepala pemerintahan dan kepala staf militer negara-negara Asia-Pasifik. Dialog ini menyatukan apa yang disebut dengan “arsitektur diplomasi keamanan Asia”. Sejak pertama kali dilaksanakan tahun 2002, negara yang mengikutinya pun semakin banyak, dan terakhir ada 28 negara yang turut berpartisipasi dalam forum ini.

Shangri-la dialogue telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan diplomasi pertahanan negara-negara peserta. Bahkan, China dalam Buku Putih Pertahanannya tahun 2010 menyatakan bahwa Shangri-la Dialogue merupakan salah satu forum partisipasi mereka dalam keamanan regional untuk menunjukkan keterlibatan mereka dalam kerjasama multilateral keamanan.

Walau demikian, ada pula yang sinis dengan forum ini. Rory Medcalf, seorang pengamat keamanan internasional, misalnya, mengatakan bahwa dibalik keramahtamahan, acara ini hanyalah pengingat perpecahan mendalam dalam lanskap keamanan Asia. Dialog ini hanyalah untuk meminimalisir konfrontasi dan kontroversi.

Pertemuan ini berputar pada masalah yang rumit dan tampaknya akan berkepanjangan, seperti dapat digarisbawahi di bawah ini:[2]

 Dinamika keamanan kawasan Indo-Pasifik.

  1. Terkait dengan meningkatnya ketegangan di beberapa kawasan maritim yang masih bermasalah seperti Laut China Selatan, dalam forum ini dibicarakan juga mengenai kerjasama negara di laut bebas.
  2. Modernisasi dan transparansi militer. Dalam kaitannya dengan peningkatan anggaran belanja pertahanan dan militer beberapa negara utama di Asia, seperti Jepang, China, Indonesia, dll dibicarakan mengenai pentingnya “membangun kepercayaan strategis” agar tidak mengindikasikan ini sebagai “perlombaan senjata”.
  3. Topik lain yang tidak kalah menarik adalah persaingan energi di wilayah-wilayah yang masih disengketakan seperti Laut China Selatan dan Laut China Timur.
  4. Topik lainnya adalah cyber security yang menjadi perhatian utama negara adidaya Amerika Serikat.
  5. Kehadiran Eropa dalam dialog ini juga menjadi menarik karena untuk pertama kalinya Eropa hadir di dialog ini. Bagaimana pun keamanan dan pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia-Pacific berhubungan dengan Eropa.

Secara khusus Indonesia membawakan topik mengenai modernisasi militer dan transparansi strategis. Menarik untuk dibicarakan mengenai tren modernisasi militer Asia Tenggara dan implikasinya pada keamanan regional.

2. Trend Modernisasi Militer Asia Tenggara

Para analis Asia Tenggara meneliti bahwa telah ada tanda-tanda (bukti) nyata terjadinya pembangunan kekuatan di kawasan ini. Semua negara di kawasan ini terlibat dalam modernisasi kekuatan dalam berbagai variasi.[3]

Andrew Tan mengatakan bahwa tren modernisasi ini dapat dilihat dari meningkatnya kecanggihan teknologi, sumberdaya yang semakin beragam, pengenalan kapabilitas baru, penekanan pada perlindungan sumber daya alam (khususnya sumberdaya maritim) dan tren perlombaan akuisisi senjata.[4]

Pertanyaan penting dalam topik modernisasi militer Asia Tenggara adalah, apakah faktor penggerak dan penyebab Asia Tenggara melakukan modernisasi militer? Richard A. Bitzinger menggambarkannya dengan faktor penggerak (driver) dan faktor yang memampukan (enabler). Faktor penggerak adalah adanya ketegangan regional, kebutuhan proyeksi kekuatan baru, pergeseran aktivitas militer Amerika Serikat ke Asia dan semakin meningkatnya kehadiran China di Laut China Selatan. Sedangkan faktor yang memampukan (enabler) Asia melakukan modernisasi militernya adalah meningkatnya anggaran pertahanan negara-negara ini dan sisi penawaran ekonomi yaitu “pasar pembeli” untuk persenjataan. Mirip dengan Bitzinger, Tan mengungkapkan bahwa penyebab pembangunan kekuatan bersenjata di kawasan ini adalah pertumbuhan ekonomi, kewajiban pengawasan dan perlindungan ZEE, ketegangan antar negara di kawasan, keamanan dalam negeri, meluasnya cakupan keamanan regional, pasar pembeli, gengsi (menjaga kehormatan/kewibawaan), faktor politik domestik dan korupsi. Secara umum, hal-hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.          Ketegangan regional.

   Nyatanya ketegangan di kawasan tidak bisa dihindari dari pembahasan ini. Di kawasan sendiri masih terdapat masalah perbatasan yang tumpang tindih di perairan teritorial, zona tambahan maupun ZEE. Dari 60 batas maritim yang dipermasalahkan di kawasan ini, hanya 20 persen yang sampai saat ini dapat diselesaikan.[5]Masalah perairan teritorial sangat sensitif sebab menyangkut kedaulatan teritorial suatu negara, sementara persoalan ZEE menyangkut kepentingan energi dan sumberdaya maritim suatu negara. Persoalan Laut China Selatan juga menimbulkan ketegangan diantara sesama anggota ASEAN dan juga di luar ASEAN seperti China dan Taiwan. Misalnya saja, kejadian yang terakhir yang menunjukkan meningkatnya ketegangan dalam sengketa Laut China Selatan adalah dibunuhnya seorang nelayan Taiwan, Hung Shih-cheng, oleh Penjaga Pantai Filipina di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif yang disengketakan kedua negara di sekitar Laut China Selatan. Kejadian ini membuat terjadinya ketegangan hubungan kedua negara. Tidak lama setelah kejadian itu, pihak Taiwan mengumumkan telah menarik perwakilannya dari Filipina dan tidak menerima pekerja dari Filipina.

b.         Kebutuhan proyeksi kekuatan baru

  Perubahan kebutuhan militer menuntut kemampuan proyeksi kekuatan baru. Misalnya untuk operasi bersama dan ketertiban di laut.

c.          Pergeseran aktivitas militer Amerika ke Asia (US pivot to Asia)

Wujud komitmen AS mengenai US pivot to Asia ditujukkan melalui transformasi kekuatan (relokasi pasukan dari Korea Selatan dan Jepang), transformasi pertahanan (menekankan mobilitas, ketangkasan, fleksibilitas pasukan AS di Asia Pasifik) dan membuat aliansi baru.

d.         Faktor China

China merupakan negara pengklaim sebagian besar Laut China Selatan. Modernisasi militer China mau tidak mau diikuti oleh beberapa negara Asia Tenggara untuk mengamankan kepetingannya di LCS. Kepentingan China di Asia Tenggara tidak hanya terkait dengan negara-negara Asia Tenggara pengklaim LCS namun juga menyangkut pasokan energi China yang 60 persen melalui perairan Asia Tenggara. Perkembangan terbaru pembangunan kekuatan China di Asia Tenggara adalah pangkalan Angkatan Laut China yang baru di Hainan dan Woody Islands (kapal selam nuklir, Su-30MKIs), akses pangkalan di Myanmar dan Pakistan (string of pearls).

e.          Pertumbuhan ekonomi

Beberapa analis menyatakan bahwa modernisasi militer Asia khususnya Asia Tenggara merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonominya. Lima negara utama di Asia Tenggara yang disebut dengan the big five, yaitu Singapura, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Vietnam adalah lima negara dengan anggaran pertahanan paling tinggi di kawasan ini. Kelima negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi sebagai hasil perdagangan global dan naiknya permintaan dari China. Pada tahun 2011 negara-negara ini menerima aliran modal yang lebih besar dan terus melakukan langkah-langkah stimulus fiskal selama krisis ekonomi global. Hasilnya, selama terjadi krisis ekonomi global, Asia Tenggara merupakan kawasan dengan dampak negatif paling minim. Hasil dari pertumbuhan ekonomi ini membuat anggaran pertahanan negara-negara Asia Tenggara meningkat. Perhatikan gambar di bawah ini:

Gambar 1.

Doc2

Sumber: Defence Intelligence Organization. 2011 Defence Economic Trends in the Asia-Pacific.

 f.  Keamanan dalam negeri dan Perlindungan ZEE

UNCLOS 1982 mengisyaratkan negara pantai untuk melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap ZEE-nya. Kecuali Laos, semua negara-negara Asia Tenggara adalah negara pantai, bahkan Filipina dan Indonesia merupakan dua negara kepulauan terbesar di dunia. Tentunya negara-negara ini memiliki kepentingan yang yang besar terhadap keamanan maritim. UNCLOS 1982 memberikan hak kepada negara pantai untuk mengeksplorasi ZEE nya dan dengan kewajiban melakukan pemeliharaan dan mengawasinya. Tantangan terbesar bagi kawasan ini adalah adanya klaim tumpang tindih di sebagian wilayah yurisdiksinya. Wilayah-wilayah ini termasuk Laut Andaman, Laut China Selatan, Teluk Thailand, Teluk Tonkin, Selat Malaka, Laut Sulawesi, Laut Sulu, Laut Arafura, Laut Timor dan Selat Torres. Di setiap wilayah perbatasan juga sangat rawan dengan berbagai ancaman keamanan non tradisional, seperti perompakan dan penyelundupan. Selain itu, pembangunan kekuatan juga dibutuhkan sebagai perlindungan aktvitas ekonomi (misalnya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di laut).

g.  Meluasnya cakupan keamanan regional

Saat ini pemikir-pemikir Hubungan Interna­sional, misalnya Barry Buzan memperluas arti keamanan. Bukan lagi hanya keamanan militer dan politik tapi lebih jauh lagi, yaitu keamanan ekonomi, keamanan lingkungan, keamanan masyarakat. Hal ini pun dianalisis lagi melalui tiga level yang berbeda yaitu keamanan individu, keamanan negara dan keamanan internasional. Mari kita ambil contoh Selat Malaka. Indonesia, Singapura dan Malaysia merupakan tiga negara yang dilalui wilayah ini. Wilayah ini merupakan salah satu lalu lintas laut paling sibuk dan memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi negara-negara pemakai. Bagi China misalnya Selat Malaka adalah lalu lintas energi nya, sehingga keamanan energinya sangat bergantung pada wilayah ini. Namun bagi Indonesia, Malaysia dan Singapura, hal ini sangat rentan dengan berbagai penyelundupan dan perompakan yang dapat mengganggu keamanan nasionalnya (keamanan politik). Banyaknya kapal yang melintas setiap hari dari perairan ini juga dapat menyebabkan pencemaran lingkungan (keamanan lingkungan). Selain itu kejahatan seperti pencurian ikan (illegal fishing), penyelundupan dan perompakan sangat rentan pada negara pantai. Untuk itu, setiap negara pantai harus dapat mengamankan kepentingannya di laut. Dalam hal ini dapat dipahami pentingnya pembangunan kekuatan.

h.  Pasar pembeli

Sejak berakhirnya Perang Dingin, produsen senjata Amerika Serikat mencari pasar baru. Di pihak lain muncul beberapa negara seperti Rusia, Brazil, China, India, Afrika Selatan dan Israel yang juga produsen senjata. Oleh karena itu persaingan pemasokan senjata di pasar Asia Pasifik semakin ketat. Pasar yang kompetitif ini membuat negara-negara ASEAN menuntut sistem yang canggih kepada negara pemasok. Jadi pada awal 1990 an Malaysia mampu membeli MiG29 dan F18 Hornet jetfighters, Thailand sebuah kapal induk, Singapura F16 dan pesawat E2C Hawkeye AEW. Angkatan laut di wilayah ini telah mampu untuk mempersenjatai kapal tempur mereka dengan Exocet dan Harpoon anti rudal. Akibatnya, kemampuan proyeksi kekuatan dari negara-negara ASEAN telah meningkat tajam.

  3. Apakah Ini Perlombaan Senjata?

Di scope Asia, lima negara dengan anggaran pertahanan paling tinggi adalah China, India, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Belanja militer China misalnya naik 175 persen selama tahun 2003-2012, mencapai US$166 billion pada tahun 2012 atau setara dengan 2 persen dari GDP nya.[6] Hal ini juga terjadi pada empat negara lainnya. Lihat grafik di bawah ini:

Gambar 2.

Total pembelanjaan Pertahanan per negara (2000-2011)Doc3

Sumber: Chinese MoD Papers, China’s National Defense, 2002, 2004, 2006, 2008, 2010 melalui www.csis.org

 Jika kita melihat secara global, Asia tidak lagi “main kandang”. Beberapa negara Asia bahkan merupakan negara dengan anggaran pertahanan paling besar di dunia.

Gambar 3.

Negara-negara dengan anggaran militer paling tinggi pada tahun 2012

Doc4

Sumber: www.sipri.org

 Dari grafik tersebut di atas terlihat bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah China merupakan negara dengan anngaran pertahanan terbesar kedua setelah AS, bukan lagi negara Eropa. Selain itu, tampil India, Jepang dan Korea Selatan menjadi 15 negara dengan anggaran pertahanan terbesar di dunia.

Di lingkup Asia Tenggara sendiri, belanja militer Vietnam naik 130 persen dalam periode yang sama (2003-2012). Sedangkan Indonesia naik 73 persen. Tahun lalu anggaran pertahanan Indonesia adalah $7,01 milyar, sedangkan tahun ini naik menjadi $8 milyar.[7] Hal ini membuat munculnya spekulasi bahwa sedang terjadi perlombaan senjata (arm race) di Asia.

Sebelum membahas lebih lanjut, perlu dipahami arti perlombaan senjata itu sendiri.

“..an arm race is occuring when you have two or more parties perceiving themselves to be in an adversary relationship, who are increasing or improving their armaments at a rapid rate and restructuring their perspective military postures with a general attention to the past, current and anticipated military and political behavior of the other parties.”(Colin Gray, 1994)

 Dengan demikian menurut Gray, ada beberapa karakteristik perlombaan senjata, yaitu:

a.  Ada dua pihak atau lebih yang merasa (mengindikasikan) hubungan mereka saling bertentangan.

b.  Penataan kekuatan yang didasarkan pada kalkulasi kapabilitas musuh dan tujuannya.

c.  Persaingan kualitatif dan kuantitatif secara terbuka dalam pembelian senjata.

d.  Peningkatan anggaran pertahanan dan laju penerimaan

 Lebih lanjut Gray menyatakan bahwa seperti halnya perang, perlombaan senjata juga memiliki tujuan politik (peningkatan persenjataan disesuaikan untuk menyeimbangkan atau menandingi kekuatan negara lain). Namun perlu diperhatikan bahwa peningkatan belanja militer yang cepat oleh dua negara bertetangga bukan berarti dimaksudkan untuk perlombaan militer atau perlombaan senjata. Pembangunan kekuatan dilakukan untuk persaingan dalam waktu singkat untuk memperbaiki atau mempertahankan kekuatan relatif dan pengaruhnya. Jika Carl von Clausewitz menyatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara yang lain, maka perlombaan senjata adalah militerisasi politik semacam perang.[8]

Gambar 4.

Grafik Pengeluaran militer negara-negara ASEAN

Doc5

Sumber: Military Balance in Southeast Asia, House of Commons Library, UK.

Perbandingan Negara-Negara ASEAN

Pembangunan kekuatan masing-masing negara tentulah mempunyai alasannya tersendiri menurut kepentingan negara yang bersangkutan. Berikut ini sekilas mengenai negara-negara utama ASEAN dengan pembelanjaan militer tertinggi.

Singapura. Menjadi negara yang relatif kecil dalam hal wilayah dan populasi merupakan tantangan tersendiri bagi Singapura. Pembangunan kekuatan dilakukan Singapura untuk penangkalan sebagai alat pertahanan nasional.

Mengacu pada gambar di atas terlihat bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang dengan anggaran pertahanan paling besar setelah Singapura. Bagi Indonesia ini berhubungan dengan luas wilayah maritim nya yang berkali lipat dari Singapura. Namun dalam jangka panjang, kedua negara ini berpotensi besar untuk terus mengalami kenaikan dalam procurement dan anggaran pertahanannya. Singapura melakukan penangkalan (deterrence) dengan membangun kekuatannya. Namun di pihak lain Singapura juga mengembangkan diplomasi dengan mengembangkan kerjasama dengan AS dan the rising power seperti China dan India dan juga menjadi pemain kunci dalam ASEAN dan berbagai forum internasional lainnya. Hal ini untuk mengurangi ketergantungannya apada strategi penangkalan.

Indonesia. Memiliki wilayah perairan yang terdiri dari duapertiga wilayah perairan ASEAN merupakan anugrah sekaligus tanggungjawab yang besar bagi negara ini. Saat ini modernisasi militer dilakukan dengan memodernisasi  alutsistanya untuk mencapai Minimum Essetial Force. Modernisasi ini dilakukan dalam tiga tahapan,  Renstra I (2010-2014), Renstra II (2015-2019) dan Renstra III (2020-2024). Diharapkan sebelum tahun  2024 Indonesia sudah dapat mencapai MEF nya.

Thailand. Thailand akan meningkatkan belanja militernya dari 1,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011 menjadi 1,8 persen tahun 2016. Alutsista yang banyak dipesan adalah sistem canggih pertahanan seperti pesawat tempur, helikopter militer, kendaraan lapis baja, alat-alat pengintai, kapal perang dan kapal selam.[9]  Investasi pertahanan yang signifikan juga dilakukan pada peralatan untuk melawan ancaman keamanan maritim.

Fokus pertahanan dan keamanan Thailand saat ini adalah memelihara keamanan internalnya karena meningkatnya aktivtas terorisme, demonstrasi massal dan instabilitas internal. Selain masalah internal, ketegangan masalah perbatasan antara Malaysia, Kamboja dan Myanmar juga menjadi perhatian negara ini. Pada akhir tahun 2010, Thai Armed Forces meningkatkan patroli sepanjang perbatasan Thailand-Myanmar untuk mencegah serangan oleh pemberontak minoritas etnis Myanmar. Di lain pihak, keamanan Laut Andaman juga diperketat. Imigran ilegal, narkoba dan pengungsi yang melintasi perbatasan adalah isu-isu khusus yang menjadi perhatian Thailand. Thailand dan Kamboja juga bermasalah dengan perbatasan maritim di Teluk Thailnd yang dipercaya mengandung sumberdaya gas dan mineral.

Malaysia. Berbatasan langsung dengan Thailand, Brunei, Indonesia, Singapore dan Filipina, di darat maupun di laut tentu saja membutuhkan pengawasan dan perlindungan dari segala macam ancaman di perbatasan. Ditambah dengan masih ada yang belum terselesaikan konflik perbatasan yang belum terselesaikan sampai sekarang. Hal ini merupakan tantangan keamanan tersendiri bagi Malaysia. MAF (Malaysian Air Force) harus dapat berpatroli sepanjang garis pantai dan mempertahankan kedaulatannya di perbatasan. Perbatasan sangat rentan terhadap perompakan, penyelundupan, illegal immigrants dari Selatan Filipina. Selain itu konflik Laut China Selatan dan pembangunan kekuatan negara-negara pengklaim juga menjadi alasan negara ini membangun kekuatannya.

Vietnam. Sejak tahun 2003, Vietnam telah meningkatkan pembelanjaan militernya 82 persen. Prioritas utama Vietnam fokus pada integritas teritorialnya, konflik perbatasan di Laut China Selatan dan semakin meningkatnya akses minyak dan gas di kawasan ini. Vietnam memiliki masalah perbatasan juga dengan Kamboja dan Los, sementara sengketa antara Vietnam dan Kamboja terhadap pulau lepas pantai juga belum terselesaikan.[10] Vietnam juga menjadi negara pengklaim di sebagaian wilayah Laut China Selatan (Spratly Islands).

Filipina. Dibandingkan dengan negara-negara tetangganya, Filipina termasuk kecil dalam hal luas wilayah dan populasinya. Namun negara ini memiliki 7,100 pula dan merupakan negara ketiga dengan garis pantai terpanjang. Filipina memiliki sejumlah masalah perbatasan, termasuk Laut China Selatan. Filipina mengklaim Scarborough Reef di Laut China Selatan yang juga diklaim oleh China dan Taiwan. Selain itu, Filipina juga mengklaim Spratly Islands. Klaim tumpang tindih ini menyebabkan terjadi beberapa ketegangan antara Filipina-China-Taiwan di daerah ini.

Pada tahun 2011, pemerintah China menambah anggaran pertahanannya sebanyak $2.4 milyar (Rp 23,82 trilyun) dan akan menambah $970 juta untuk pembelian pada lima tahun mendatang.[11]

Melihat penjelasan di atas, pembangunan kekuatan di Asia Tenggara belum dapat dikatakan sebagai perlombaan senjata jika merujuk empat kondisi yang dikatakan Gray. Negara-negara di kawasan ini tidak secara terbuka berlawanan satu sama lain, bahkan saling bekerjasama satu sama lain dalam wadah ASEAN walaupun memang konflik perbatasan masih menjadi masalah yang serius di kawasan ini. Dalam hal pembelian senjata juga bukan reaksi atas pembelian senjata oleh negara lain.

Walapun ini tidak diindikasikan sebagai perlombaan senjata (jika merujuk pada Gray), namun pembangunan kekuatan adalah hal yang nyata di kawasan ini. Modernisasi kekuatan regional tidak diragukan lagi akan mengurangi konflik aktual karena masing-masing negara memproyeksikan kekuatannya sehingga penggunaan kekerasan sebagai resolusi konflik dapat dihindarkan.

Lagi pula bukan masalah pembangunan kekuatan namun apa tujuan pembangunan kekuatan itu sendiri. Dapat dilihat bahwa secara umum pembangunan kekuatan Asia Tenggara ditujukan lebih kepada faktor domestik, seperti keamanan nasional dan  integritas teritorial.

Namun, modernisasi militer bisa menyebabkan ketidakstabilan, terutama mengingat adanya ketegangan antar bangsa dan perdebatan bilateral negara-negara di kawasan ini.

4. The ASEAN Way dan Transparansi Pertahanan di Asia Tenggara

Pembangunan kekuatan tentu saja menjadi hal yang sensitif sebab dapat menyebabkan security dilemma bagi negara lain. Bisa terjadi salah kalkulasi (miscalculation), salah menilai (misjudgment) dan saling mencurigai (mistrust). Untuk menghindari destabilisasi perlombaan senjata akibat modernisasi militer yang dilakukan sebagaian besar negara-negara Asia-Pasifik, dalam Shangri-La Dialogue dibicarakan pentingnya transparansi strategis. Rezim transparansi persenjataan adalah bagian dari keamanan bersama (common security) yang didefinisikan oleh Palme Commission.[12]

ASEAN setelah mendirikan ARF memang selangkah lebih maju dalam hal kerjasama keamanan multilateral. Forum keamanan regional, ASEAN Regional Forum merupakan forum untuk mendiskusikan dan menegosiasikan permasalahan-permasalahan yang ada di kawasan Asia tenggara. ARF memiliki tiga tahap dalam penyelesaian sengketa yaitu Confidence Building Measures (CBMs), Preventive Diplomacy (PD) dan Conflict Resolution (CR). Dasar dari CBM ini adalah bagaimana pihak yang terkait bisa mengurangi ketegangan diantara mereka dengan tujuan untuk mencari penyelesaian dan sebagai langkah yang paling berguna untuk membuka jalan terhadap perjanjian yang lebih komprehensif sedangkan Preventive diplomacy (PD) atau diplomasi pencegahan yaitu tindakan-tindakan kolektif yang dilakukan untuk mencegah konflik secara dini dan untuk menegakkan perdamaian diplomasi pencegahan sesungguhnya merupakan kumpulan aksi diplomasi, politis, militer, ekonomi dan kemanusiaan. Conflict Resolution (CR) atau resolusi konflik hanya dilakukan apabila tahap CBM dan PD tidak berhasil meredakan konflik.

Pada tahun 1996, ARF menyepakati untuk mengadopsi inisiasi transparansi, termasuk pertukaran postur pertahanan tahunan, meningkatkan dialog dalam isu keamanan dalam level bilateral, subreginal dan regional,  pertukaran antar institusi militer dan mendorong anggota ARF untuk bergabung dalam UNROCA (United Nations Register of Conventional Arms).

Langkah-langkah Confidence Building Measures dan Preventive Diplomacy  yang ditempuh oleh ARF dalam menciptakan dialog keamanan antara lain melalui kerjasama militer yang didasarkan atas dasar adanya komunikasi, transparansi, pembatasan (limitation) dan verifikasi yang diimplementasikan dalam program-program yang diajukan oleh ASEAN melalui pertemuan ARF, yang antara lain :

1.  Kerjasama dalam pengawasan senjata yang dipakai di lapangan dan kerjasama dalam perjanjian non-proliferasi

2.  Transparansi terhadap kekuatan militer yang dimilikinya atau yang digunakannya dengan mempublikasikan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pertahanan dan keamanan

3.  Kegiatan-kegiatan bersama seperti latihan militer bersama, kursus-kursus pelatihan dan pertukaran petugas penjagaan atau saling mengunjungi fasilitas-fasilitas militer dan observasi pelatihan-pelatihan diantara mereka

4.  Early warning of conflict situations atau peringatan awal dari keadaan konflik

Resolusi dan manajemen konflik ala ASEAN way ini dicirikan oleh:[13]

  1. Tidak terstruktur. Proses negosiasi tidak formal, dengan tidak ada aturan yang jelas dalam hal pengambilan keputusan dan sangat kurang dalam hal implementasi kebijakan.
  2. Sangat sedikit agenda formal dan lebih banyak membahas isu-isu yang sedang hangat.
  3. Proses konsensus dan negosiasi ini dicirikan dengan musyawarah dan mufakat.
  4. Kebulatan suara dianggap sangat penting dalam manajemen konflik.
  5. Pembuatan keputusan biasanya berlarut-larut karena keinginan mencapai keputusan yang dapat diterima bersama.

Dalam Shangri-La Dialogue, Vietnam menyerukan pentingnya membangun kepercayaan untuk perdamaian, kerjasama dan kemakmuran di Asia-Pasifik. Kepercayaan strategis ini membutuhkan komitmen dari setiap negara untuk tunduk pada hukum internasional yang berlaku dan memperbaiki mekanisme kerjasama keamanan multilateral. Untuk itulah ASEAN perlu terus mengembangkan mekanisme kerjasama keamanan nya untuk mencapai pengambilan keputusan yang bersifat mengikat dan tidak hanya melalui konsensus semata.

5. Penutup

Pembangunan kekuatan adalah hal yang lumrah bagi sebuah negara merdeka karena merupakan bagian dari pembagunan nasional. Di ASEAN sendiri, tren modernisasi militer terjadi di lima negara ASEAN yaitu Singapore, Thailand, Indonesia, Malaysia dan Vietnam. Di lingkup regional Asia ternyata muncul negara-negara baru dengan anggaran militer terbesar dalam 15 negara dengan anggaran militer tertinggi di dunia. Dari Asia termasuk China (terbesar kedua), India, Korea Selatan.

Yang menjadi inti permasalah sebenarnya bukanlah modernisasi militer itu sendiri, tapi apa tujuan modernisasi tersebut. Di negara-negara ASEAN tujuan pembangunan kekuatan pada umumnya adalah sebagai strategi penangkalan (deterrence) dan bersifat defensif, bukan ofensif. Melihat kondisi geografis negara-negara ASEAN yang pada umumnya memiliki wilayah laut, bahkan Indonesia dan Filipina merupakan dua negara kepualaun terbesar di dunia, kepentingan untuk melindungi dan mengawasi wilayah lautnya adalah kepentingan yang vital karena menyangkut kedaulatan bangsa. Terlebih lagi kawasan ini dilalui SLOC paling strategis dunia yang rawan akan kejahatan transnasional. Faktor dari luar juga tidak bisa ditampikkan, misalnya ketegangan konflik teritorial seperti Laut China Selatan. Pembangunan kekuatan ditujukan sebagai deterrence oleh negara-negara pengklaim.

Modernisasi militer akan menjadi masalah ketika pembangunan kekuatan ini menyebabkan salah kalkulasi, salah persepsi dan saling mencurigai dari negara lain dan lingkungan internasionalnya. Untuk menghindari destabilisasi keamanan, dibutuhkan transparansi dan kepercayaan startegis. Harus diakui the ASEAN Way masih memiliki sisi yang kurang mendukung transparansi itu sendiri. Salah satu kerjasama keamanan multilateral di ASEAN adalah ARF. Optimisme negara-negara anggota akan ARF harus diikuti dengan perbaikan mekanisme pembuatan keputusan dalam hal resolusi dan menajemen konflik yang selama ini ditempuh dengan confidence building measures dan preventive diplomacy. Dengan demikian, diharapkan perdamaian dapat terus dijaga di kawasan ini.


[1]    Penulis adalah tenaga analis di FKPM. Pada tahun 2006 menempuh pendidikan pada jurusan Hubungan Internasional di Universitas Padjadjaran. Sebelumnya, pada tahun 2010, bekerja sebagai peneliti di Institute for Maritime Studies (IMS), Jakarta. Email: goldysimatupang@fkpmaritim.org, goldy.simatupang@gmail.com

[2]    www.iiss.org

[3]    Andrew Tan. 2004.  Force Modernisation Trends in Southeast Asia. Institute of Defense and Strategic Studies. Singapore.

[4]    Ibid

[5]    Simatupang, Goldy Evi Grace. 2013. Sengketa Batas Maritim Asia Tenggara: Sebuah Tantangan Keamanan Maritim Kawasan. Quarterdeck. Jakarta.

[6]    The Jakarta Post. Growth Spurs Asia’s Military modernization. June 01, 2013.

[7]    Ibid

[8]    Geir Lundestad. 2013. International Relations Since the End of the Cold War: New and Old Dimensions. Oxford.

[9]    www.asiandefense.com

[10]   Military Balance in Southeast Asia. Research Paper. 2011. House of Commons.

[11] Military Balance in Southeast Asia. Research Paper. 2011. House of Commons.

[12]   David B. Dewitt sering menyamakan dengan “cooperative security”, yang dicirikan dengan proses membiasakan dialog yang didukung oleh diplomasi track 2.

[13]   J.N.Mak. The ASEAN Way and Transparency.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Wisudawan Firdaus Mujahidin Empo
Wisudawan Firdaus Mujahidin Empo
6 years ago

terima kasih banyak, sangat membantu untuk referensi bacaan saya

2
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap