Oleh: Robert Mangindaan
1. Latar Belakang
Penentuan besar kecil minimum essential force (MEF) untuk Angkatan Laut, adalah suatu konsep berpikir yang sangat mendasar oleh karena alutsista beserta semua peralatan dan perlengkapan, memerlukan dukungan dana yang sangat besar. Sebagai angkatan yang padat teknologi sudah jelas perlu memperhitungkan secara cermat dan cerdas pula semua aspek terkait, agar cost and benefit-nya dapat tercapai dengan rasio yang tepat.
Bicara sejujurnya, setiap perencanaan kekuatan (force planning) di negara manapun juga, pada hakekatnya sudah melalui perencanaan yang sangat kompleks, oleh karena membangun ‘otot militer’ memang sangat mahal. Besar kecilnya otot militer tersebut sudah pasti disiapkan untuk mencapai military strategic objective yang berada didalam bingkai kepentingan nasional.
Pelajaran dari Jepang memperlihatkan bahwa sejak kalah pada Perang Dunia Kedua, kepentingan pertahanan mereka bersandar pada kekuatan Amerika Serikat dan mereka secara cerdas membangun MEF dengan jargon Japan Self Defense Force. Anatominya sangat jelas yang terlihat dari postur[i] yang dibangun, ada dasar hukumnya, dan sikap politik nasional yang konsisten. Kata kuncinya ada tiga yaitu sikap politik nasional, dasar hukum yang kuat, dan desain postur.
Bagi Indonesia, situasinya memang berbeda oleh karena beberapa hal, yaitu; (i) anggaran belanja pertahanan ditekan lebih kecil dari satu persen dari GDP, (ii) alut sista yang ada sudah ketinggalan teknologinya, jumlahnya tidak memadai, lagi pula sudah digerogoti usia tua, (iii) kebutuhan sangat besar untuk meliput wilayah operasional yang sangat luas dan masalahnya sudah semakin kompleks dan (iv) ada faktor politik yang tidak menginginkan TNI menjadi kuat.
Merancang MEF bagi TNI Angkatan Laut memang perlu meninjau keempat faktor tersebut, namun masih ada faktor lainnya yang tidak dapat diabaikan oleh karena dapat memberikan masukan yang sangat mendasar. Antara lain mengenai security environment, teori dengan Diagram Lloyd, konsepsi revolution in military affairs (RMA) dan legal framework.
2. Security Environment
Sudah menjadi pengetahuan dasar bagi setiap perencana strategi militer bahwa strategi tidak bekerja di alam yang vakum, artinya—ada realita di lapangan yang harus dihadapi. Realita yang berkembang sekarang ini, sudah jelas tidak sama dengan tahun 1980-an atau 1990-an. Pada Perang Lebanon (Juli 2006) telah memperlihatkan bahwa ada non-state actor mampu berperang, melawan satu negara yang ’otot militer’-nya sangat terlatih dan dilengkapi dengan peralatan tempur berteknologi mutakhir.
Belajar dari pengalaman Amerika Serikat di Somalia, Afghanistan, Irak, dan terutama berperang melawan Al Qaeda, kesemuanya memperkuat pendapat para pakar militer bahwa peperangan generasi keempat sudah merupakan kenyataan.[ii]
William Lind pernah menulis bahwa elemen peperangan generasi keempat sangat luas, namun ada beberapa pegangan yang dapat digunakan, yaitu gabungan dari beberapa unsur, yaitu; (i) terrorism, (ii) high technology, (iii) non-national or transnational base (iv) direct attack on the enemy’s culture dan (v) highly sophisticated psychological warfare.[iii] Kelima unsur tersebut belum bersifat final oleh karena masih ada lainnya, seperti penggunaan media massa dengan memanfaatkan isu hak azasi manusia, demokrasi dan membonceng critical global issues yang sedang marak. Dari beberapa referensi lainnya, ada pula yang mengatakan bahwa peperangan generasi keempat cenderung fokus pada center of economic gravity.
Salah satu global isu yaitu globalisasi[iv], memperlihatkan bahwa perdagangan dunia sangat tergantung pada transportasi laut. Mengutip Sam Tangredi[v], menggambarkan jalur transportasi dunia seperti pada Gambar No.1.
Gambar No.1
Semua pihak mengharapkan bahwa di sepanjang jalur tersebut tidak boleh ada ancaman atau ganggauan dalam bentuk apapun. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan ada ancaman sea piracy and armed robbery bahkan maritime terrorist threat yang kini menjadi masalah global. Ada kasus pembajakan MV Faina (milik Ukraina) yang membawa perlengkapan militer antara lain berupa 33 T-72 tanks, rocket launchers, rifles and heavy weapons buatan Rusia, pada tanggal 25 September 2008 dapat dikuasai oleh bajak laut di perairan Somalia. Menyusul kasus lainnya yaitu pada tanggal 15 November 2008 super tanker MV Sirius Star (milik Saudi Arabia) berbobot 320.000 dwt membawa crude oil senilai lebih dari US$ 100 juta, juga berhasil dikuasai oleh bajak laut Somalia. Berbagai laporan mencatat kejadian rompak di perairan tersebut dan pada tahun ini sudah mencapai 120 kali, konon berhasil membajak 35 kapal dan menyandera lebih dari 600 orang.[vi]
Pelajaran yang dapat dipetik dari perairan Somalia, adalah sebagai berikut; (i) aksi rompak di perairan Somalia yang berkembang secara intens dan telah mengancam perdagangan dunia, (ii) pemerintah tidak sanggup mengamankan perairan yurisdiksi nasional, bahkan ada ’tudingan’ bahwa tangan pemerintah di balik kasus rompak dilaut yang telah mendatangkan keuntungan sebesar US$ 25-30 juta, (iii) PBB mengeluarkan resolusi yang menggalang kekuatan internasional untuk menindak aksi rompak di Somalia, (iv) respon dari masyarakat internasional termasuk Rusia, segera tampil di arena dan (v) aturan pelibatan secara keras sedang disiapkan, termasuk hot pursuit sampai ke pedalaman di daratan dengan menggunakan helikopter tempur.
Perairan Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka—sudah memiliki stigma sebagai perairan yang sangat rawan terhadap sea piracy and armed robbery dan pihak International Maritime Organization melaporkan banyak kasus rampok dan rompak di perairan tersebut.[vii] Ada pula tayangan televisi mengenai perkampungan di Indonesia yang menjadi basis perompak dan mereka hidup nyaman di sana tanpa ada kekuatiran akan ditangkap oleh pihak keamanan. Bicara sejujurnya, sudah banyak sindiran bahwa coastal states (baca: Indonesia) tidak sanggup mengamankan perairan tersebut, sehingga memerlukan bantuan kekuatan internasional.[viii]
Pelajaran dari Somalia sangat jelas memberikan masukan kepada Indonesia untuk segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan, agar sea piracy and armed robbery tidak berkembang di perairan yurisdiksi nasional. Selain itu, masih ada bentuk ancaman seperti illicit small arms trafficking, illegal drugs trafficking dan sebagainya yang tergolong trans-national crime, sampai pada ancaman maritime terrorism.
Mempersiapkan postur TNI Angkatan Laut yang sesuai dengan security environment, akan terkait dengan dua sisi yaitu inward looking dan outward looking. Mengenai inward looking, memang sudah banyak dibicarakan akan tetapi dalam hal outward looking, perlu ditingkatkan secara komprehensif. Mengapa harus komprehensif? Ada empat hal yang melandasi kepentingan tersebut, yaitu (i) konfigurasi geografik rangkaian 17.508 pulau yang membentang sepanjang 5000 mil, (ii) perbatasan laut dengan 10 negara dan ada bagian yang bermasalah, (iii) berada pada posisi silang dunia dengan empat choke point yang sangat strategis bagi lintas laut, (iv) spektrum ancaman yang sudah semakin kompleks yang mengarah pada berbagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara dan (v) tidak ada pihak yang mampu secara mandiri menghadapi spektrum ancaman sedemikian kompleks.
Tahun 2008 rumpun bangsa ASEAN bersepakat mewujudkan ASEAN Charter dan ada rencana kerja di dalam kerangka ASEAN Security Community yang juga membicarakan keamanan maritim. Keberadaan platform tersebut perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan memperhatikan time frame yang sangat sempit. Pengertian sangat sempit adalah karena akselerasi pengembangan kekuatan India dan China, sudah semakin memperkokoh postur kekuatan laut mereka untuk menjadi regional powers.
Last but not least, belakangan ini sudah berkembang berbagai ajakan (baca: tekanan) untuk mengembangkan kerjasama keamanan maritim, terlebih dengan maraknya aksi rompak dan rampok di laut yang mengancam perdagangan dunia.
3. Diagram Lloyd-Liotta
Banyak referensi yang membicarakan mengenai force planning, salah satunya adalah DR. Richmond Lloyd dan Liotta.[ix] Diagramnya adalah sebagai berikut;
Diagram No.1
Diagram tersebut secara tegas berawal dengan kepentingan yang ingin dicapai, dituangkan secara hirarkis, dan selanjutnya terjadi dialog antara current and desired capabilities yang mengukur-menilai-memperhitungkan beberapa masukan yang sangat berpengaruh. Masukan tersebut adalah mengenai threats, challenges, vulnerabilities, opportunities, dan satunya lagi mengenai allies, friendly nations, international institutions, non-state actors. Bicara sejujurnya, selama ini kedua spektrum masukan tersebut, kurang mendapatkan atensi yang cermat dan proporsional.
Perbedaan persepsi terhadap kedua spektrum tersebut sudah pasti akan menimbulkan perbedaan pendapat, dan bisa jadi bermuara pada rumusan strategi yang tidak tepat mengantisipasi perkembangan lingkungan strategis. Dan memang pada kenyataannya, perbedaan persepsi adalah suatu perkara yang sulit dihindari dan akan terbukti di lapangan nantinya pihak mana yang benar. Contoh paling baik adalah masukan intelijen yang mendorong penyerbuan Amerika Serikat ke Irak, yang kemudian terbukti tidak ada penimbunan senjata pemusnah massal.
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak bisa dipungkiri pula bahwa ada catatan sejarah militer Indonesiadalam kasus Timor Timur, berbagai track record mengenai ‘kualitas’ masukan intelijen. Begitu pula dengan lepasnya Pulau Sipadan dan Pulan Ligitan, sangat jelas memperlihatkan kelemahanIndonesia dalam memahami siapa kawan dan siapa lawan.
Pelajaran penting lainnya yang dapat dipetik dari Diagram Lloyd-Liotta adalah perhitungan mengenai defisiensi dan resiko. Sekali lagi, perlu disadari bahwa persepsi mengenai resiko akan mengundang perdebatan yang sangat kompleks, bahkan mungkin sekali akan terjadi perbedaan yang sangat tajam, dan pemenangnya adalah pihak yang otoritasnya lebih tinggi. Perbedaan tersebut sangat wajar oleh karena berbagai hal, misalnya knowledge based, latar belakang pengalaman, paradigma, egosektoral dan seterusnya sampai pada kepentingan terselubung (hidden agenda).
Diagram Lloyd-Liotta memberikan masukan bahwa perbedaan tersebut dapat dipersempit dengan mengacu pada kepentingan yang ingin dicapai (ends). Penetapan kepentingan yang ingin dicapai, seharusnya konkret dan terukur, yang akan mengikat semua pihak dalam satu strategi nasional. Penuangan kepentingan dalam format kuantitas, misalnya ada sepuluh varian resiko yang harus dihadapi, dapat dibedakan skala prioritasnya.
Dalam perbandingannya bisa jadi akan tergambar suatu perbandingan antara 3-4-3, yang akan dituangkan dalam Strategi 3-4-3. Pendekatan tersebut, ingin mengemukakan bahwa perumusan ends, merupakan langkah penting yang harus diantispasi, oleh karena disinilah akan terjadi perdebatan yang sangat kritis. Argumentasi perlu didukung dengan kajian yang cermat mengenai cost and benefit, yang realistik dan tentunya mengacu pada security environment yang akan dihadapi.
4. Konsepsi Revolution in Military Affairs
Setiap perencana pembangunan kekuatan militer akan selalu menghadapi tiga persoalan yang sangat pelik, yaitu; (i) teknologi militer semakin mahal, (ii) anggaran belanja tidak selamanya tersedia secara memadai, dan (iii) perubahan lingkungan stratejik penuh dengan ketidakpastian. Sudah banyak inisiatif yang dikembangkan oleh berbagai pihak untuk mengatasi persoalan tesebut, misalnya mengembangkan R & D secara intensif, kembangkan kegiatan intelijen dan sebagainya. Salah satu inisiatif yang berkembang pesat adalah revolution in military affairs (RMA), yang dapat ditampilkan dalam diagram berikut ini.
Diagram No.2
Diagram tersebut dapat dikembangkan dengan mengisi setiap aspek, misalnya pada teknologi perlu ditinjau komponen sensing, mobility, fire power dan C4ISR. Tentunya meninjau aras teknologi yang terpasang termasuk yang diproyeksikan dalam waktu dekat, dengan mempertanyakan apakah aras teknologi tersebut dapat menopang postur yang diinginkan untuk mengemban Strategi 3-4-3. Memang benar ada keterbatasan anggaran yang menyudutkan pada pilihan yang sulit, sehingga ’terpaksa’ aspek ini dianggap sebagai ’given’ yang tidak bisa di utak-atik. Namun bukan berarti tidak ada terobosan untuk mencari solusi yang efisien dan efektif, yang relatif dapat menghadapi tantangan di lapangan.
Pilihan kedua adalah meninjau manajemen operasional. Aspek yang kedua ini, banyak mendapatkan perhatian dan sudah berkembang berbagai pengetahuan baru seperti effect-based operations, capability-based planning dan network-centric warfare. Pengetahuan tersebut telah memberikan masukan yang mendasar didalam perencanaan dan pengerahan kekuatan militer. Yang menonjol adalah penerapan konsep jointness. Apanya yang baru dengan konsep tersebut?
Konsep jointness yang dikembangkan sekarang ini adalah menggabungkan kapabilitas dari semua instrumen operasional. Terkesan konsep tersebut sangat sederhana akan tetapi penerapannya tidak mudah oleh karena ada hambatan egosektoral dan berbagai aturan (protocol). Contohnya saja, data intelijen dari satuan Marinir, (hampir) pasti tidak dapat diakses oleh Kopassus, apalagi lintas sektoral misalnya dengan pihak Polri. Begitu pula antara Mabesad dengan Propinsi/Kabupaten untuk kepentingan pertahanan wilayah.
Negara-negara maju sudah mengembangkan konsep jointness dan mereka mulai dengan jajaran intelijen, dengan merapikan manajemen operasional agar efektif namun ekonomik. Mencari formula MEF, sudah jelas tidak bisa menghindar dari konsep jointness, minimal dikembangkan pada satuan intern yang secara bertahap akan dikembangkan menjadi suatu sistem yang berskala besar.
Pada aspek yang ketiga yaitu doktrin, sepertinya tidak mudah didekati oleh karena banyak pihak mengganggap bahwa doktrin adalah patokan yang baku dan jangan diubah agar tidak membingungkan di lapangan. Barangkali benar demikian, akan tetapi perlu disadari bahwa doktrin mengikuti perkembangan lingkungan strategis. Contohnya pelaksanaan Latgab TNI 2008, terkesan menggunakan doktrin pada masa Perang Dingin. Situasi sekarang sudah pasca Perang Dingin, sudah pula pasca 11 September 2001 dan juga melewati Perang Lebanon (Juli 2006) yang nyatanya membawa pengaruh terhadap strategi pertahanan nasional.
Membicarakan aspek doktrin, akan berawal dengan paradigma perubahan. Dulunya tidak dikenal maritime peace-keeping force, tetapi sekarang sudah berkembang dan bertambah dengan law and order at sea[x]. Pemahaman tersebut berkembang seiring dengan pemikiran tentang littoral warfare yang disiapkan untuk menangani counter insurgency (COIN), war on terrorism (WOT) dan disaster relief. Sepertinya, konsep berpikir yang fokus pada littoral warfare sudah semakin menguat dan terlihat pada kesiapan U.S. Navy. Sementara itu Indonesia dhi TNI Angkatan Laut masih tegar dengan konsep green water navy, sekalipun habitatnya adalah negara kepulauan.
5. Legal Framework
Reformasi telah membawa perubahan besar bagi Indonesia, terutama menyangkut penyelenggaraan pertahanan nasional. Ada perubahan yang membawa dampak posisitf, tetapi tidak bisa ditutup-tutupi bahwa ada perubahan yang membawa dampak negatif. Mulai dengan pemahaman keamanan, TAP VI dan TAP VII MPR/2000 mengamanahkan domain keamanan adalah milik Polri dan domain pertahanan adalah milik TNI. Dari TAP tersebut sudah sangat jelas bahwa keamanan nasional adalah tanggung jawab Polri, dan suatu kenyataan pula bahwa pihak Polri mencari pembenaran (sepihak) untuk mengemban amanah tersebut.
Secara pribadi, penulis ingin mengemukakan bahwa konseptor TAP tersebut tidak memahami apa arti keamanan. Situasinya akan semakin kompleks apabila keamanan ditambah dengan satu kata lainnya, misalnya keamanan nasional, strategi keamanan nasional, manajemen keamanan nasional. Bagaimana pula dengan keamanan maritim dan regional maritime security?
Banyak pihak mungkin kurang menyadari bahwa Indonesia tidak punya national security strategy, juga tidak mempunyai konstruksi manajemen keamanan nasional, apalagi undang-undang keamanan nasional. Secara hukum, bangsa Indonesia tidak mengenal keamanan nasional, yang ada adalah pemahaman Hankamneg dan Hankamrata. Masalah keamanan nasional sekarang ini sudah semakin kompleks, bentuk ancaman sudah sangat kabur dan hanya dapat dibedakan dalam empat spektrum yaitu traditional, irregular, catastrophic, dan disruptive. Pusaran lingkungan stratejik seperti globalisasi, menguatnya kebutuhan human security, berkembangnya kekuatan non-state actor telah menambah kompleksitas persoalan nasional. Persoalannya akan semakin meruncing sewaktu otoritas sipil merumuskan strategi hankamneg (ends—ways—means), siapa melakukan apa (ways) dengan apa (means) untuk menangani keamanan nasional (ends).
Bagaimana di laut? Ada tigabelas instansi beroperasi dan ada dasar hukumnya. Dari sudut pandang manajemen dengan gamblang dapat dikatakan bahwa Indonesia menganut konsep multi agency—single task. Suatu pemborosan yang luar biasa, dan perlu disederhanakan menjadi single agency—multi task. Gagasan tersebut pasti tidak disukai oleh beberapa pihak.
Jalan keluarnya adalah (i) mengkaji ke-tigabelas dasar hukum yang digunakan sebagai landasan operasional, (ii) tinjau fungsi hakiki yang melekat pada ketigabelas instansi, (iii) tinjau kompatibilitas dengan hukum dan konvensi internasional, dan (iv) cermati kecenderungan perkembangan lingkungan strategis dan ada rumusan strategi keamanan maritim nasional yang kompatibel dengan keamanan maritim regional.
Membangun kekuatan maritim bukannya tidak ada halangan, oleh karena masih banyak pihak yang tidak suka melihat Angkatan Laut menjadi kuat. Kalau tadinya ada pati bintang tiga (purn) mengatakan bahwa lebih baik mencetak jutaan hektar sawah dari pada membeli kapal perang, kini sudah ada pati bintang tiga (purn) lainnya, yang mengatakan bahwa Angkatan Laut tidak punya fungsi untuk menegakkan hukum di laut. Pandangan-pandangan tersebut diumpankan kepada masyarakat luas, barangkali dengan tujuan untuk membangun preferensi publik agar tidak kondusif untuk membangun Angkatan Laut yang kuat.
Kalau benar kata orang bahwa hukum adalah produk politik, maka sudah ada tiga elemen yang saling terkait dan membentuk ’fog’ bagi pembangunan kekuatan laut Indonesia. Ketiga elemen tersebut adalah (i) menguatnya preferensi masyarakat yang tidak pro-pembangunan kekuatan laut, (ii) berkembangnya produk hukum yang land based oriented dan (iii) ada sementara pihak yang (jumlahnya segelintir) berkampanye anti TNI.
Azas trinitas yang dianggap sebagai fungsi Angkatan Laut secara universal, sepertinya mulai dibaurkan dengan pandangan-pandangan baru dan dituangkan dalam undang-undang. Misalnya fungsi diplomatik sudah berkembang dalam format baru yaitu defense diplomacy, lalu fungsi konstabulari sudah ’diterjemahkan’ dalam military operation other then war. Lalu fungsi militer? Sudah termarjinalkan dengan pandangan bahwa dimasa mendatang sudah sangat kecil probabilitas ancaman militer, sebaliknya semakin menguat kebutuhan untuk maintenance of good order dan peace-keeping and enforcement.[xi]
Periksa Diagram No.3 berikut ini;
Diagram No.3
Pertanyaan kritis yang muncul di sini ialah resiko mana yang akan dihadapi dengan prioritas utama dan yang mana akan dikalahkan? Seandainya ada kesepakatan untuk mengembangkan Strategi 3-4-3, maka ketegasan ends yang diinginkan sudah menjadi jelas sehingga perhitungan mengenai MEF dapat dikembangkan untuk mendesain postur yang diinginkan.
6. Penutup
Merancang kekuatan militer (force planning) sudah pasti berhitung cost and benefit dengan rasio yang paling ekonomis. Kini ada keharusan memformulasikan MEF, artinya rumusan yang sudah ekonomis, perlu untuk ”dirampingkan” lagi karena masalah ekonomi nasional.
Merancang MEF tidak memerlukan pengetahuan yang serumit seperti membuat roket ke angkasa luar. Modalnya adalah kejernihan berpikir, obyektif dan berpegang pada kepentingan nasional. Jernih untuk menghitung dan bersepakat mengenai resiko yang mana mendapat prioritas dan mana yang tunggu dulu. Obyektif dalam pengertian menghitung kinerja operasional dengan postur yang sudah sedemikian ’ramping’ dan mengamankan kepentingan nasional, bukan kepentingan golongan atau pihak tertentu.
Barangkali, banyak pihak berharap bahwa formula MEF akan lebih konkret apabila di tuangkan dalam bentuk angka, akan tetapi awalannya adalah perhitungan mengenai agregasi kapabilitas yang mutlak-penting-pendukung. Perhitungan tersebut memerlukan kejujuran terhadap diri sendiri, bahwa sebetulnya ada beberapa kemampuan hanya di atas kertas. Mungkin juga ada kemampuan tertentu yang dianggap ada, akan tetapi tidak mampu berbuat banyak di panggung kawasan, karena aras teknologinya sudah obsolete, kekurangan suku cadang, kurang terawat atau bisa juga karena kurang latihan.
Berbicara tentang MEF tentunya perlu bicara mengenai realita dan jujur terhadap kondisi aktual, tidak perlu malu apalagi berdalih. Seandainya dari seratus kemampuan operasional yang diprogramkan dan hanya ada lima atau enam kemampuan yang dapat diandalkan, maka kemukakan apa adanya. Menentukan MEF sudah jelas memerlukan masukan yang aktual dan akurat, oleh karena strategi tidak bekerja di alam yang vakum.
[i]. Postur: struktur, kemampuan, pagelarannya.
[ii]. Hammes, Thomas. X, “Insurgency: Modern Warfare Evolves into a Fourth Generation” Strategic Forum, No. 214January 2005, Institute for National Strategic Studies National Defense University
[iii]. William S. Lind, Colonel Keith Nightingale (USA), Captain John F. Schmitt (USMC), Colonel Joseph W. Sutton USA), and Lieutenant Colonel Gary I. Wilson (USMCR), “The Changing Face of War: Into the Fourth Generation” Marine Corps Gazette October 1989, Pages 22-26.
[iv]. Prof. DR Dorodjatun-Kuntjorojakti: globalisasi adalah percepatan arus barang, modal, dan jasa (2006)
[v]. Sam J. Tangredi, “Globalization and Maritime Power”, Institute for National StrategicStudies-NationalDefenseUniversity, 2002
[vi]. Download GMANES.TV tanggal 11/21/2008 |07:38 AM
[vii]. Baca jurnal REPORTS ON ACTS OF PIRACY AND ARMED ROBBERY AGAINST SHIPS yang dikeluarkan oleh IMO secara berkala download dari imo.org.
[viii]. Baca Lehr, Peter, “Violence at Sea-Piracy in the Age of Global Terrorism”, Routledge Taylor and Francis Group,London, 2007
[ix]. P. H. Liotta and Richmond M. Lloyd, “FROM HERE TO THERE-The Strategy and Force Planning Framework”, Naval War College Review, Spring 2005, Vol. 58, No. 2.
[x]. Pugh, Michael, “Maritime Security and Peacekeeping-A Framework for United Nations Operations”,ManchesterUniversity Press,New York, 1994.
[xi]. Ibid