Oleh: Alman Helvas Ali
1. Pendahuluan
Kerjasama ASEAN di bidang maritim merupakan salah satu agenda dalam The ASEAN Political Security Community Blue Print yang telah ditandatangani oleh para kepala pemerintahan ASEAN dalam KTT ASEAN di Cha-Am Hua Hin, Thailand 27 Februari-1 Maret 2009. Dalam Cha-Am Hua Hin Declaration on the Roadmap for an ASEAN Community (2009-2015), ASEAN Political Security Community Blue Print merupakan salah satu bagian bersama cetak biru di bidang ekonomi dan sosial budaya. Peta jalan ini sekaligus menggantikan Vientiane Action Programme (2004-2010) yang disepakati pada KTT ASEAN di Viantiane,Laos November 2004.
Disepakatinya Roadmap for an ASEAN Community (2009-2015) merupakan tantangan bagi Indonesia, sebab pilihan yang tersedia sangat terbatas yakni menjadi obyek atau subyek dalam beragam kerjasama yang dilaksanakan. Termasuk pula di dalamnya pada bidang kerjasama maritim yang merupakan bagi dari ASEAN Political Security Community Blue Print. Sebagai negara ASEAN dengan wilayah perairan, Indonesia harus meraih keuntungan terbesar dalam kerjasama tersebut.
Dari situ tergambar bahwa apapun kondisi Indonesiasaat ini, harus siap melaksanakan agenda kerjasama maritim ASEAN. Sehingga menjadi tantangan bagaimana merancang kesiapan Indonesia dalam kerjasama itu. Tulisan akan mengulas tentang kesiapan Indonesia melaksanakan kerjasama maritim ASEAN dan langkah apa saja yang harus dilakukan akan negeri ini agar tidak menjadi objek dalam ASEAN Security Community.
2. Rencana Aksi Yang Krusial
Walaupun kini dalam usia 42 tahun ASEAN telah melangkah lebih jauh menuju terciptanya Komunitas ASEAN, akan tetapi terdapat prasyarat dasar bagi sebuah komunitas yang belum kokoh dan matang. Yakni confidence building measures (CBM), yang mana upaya untuk menciptakannya belum berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan untuk menciptakan confidence building measures (CBM), seperti latihan militer, patroli terkoordinasi, pertukaran kunjungan dan lain sebagainya, hingga kini terkesan tidak mencapai sasaran yang diinginkan.
Selain itu, sampai sekarang masih terdapat sejumlah sengketa dan klaim yang melibatkan beberapa negara ASEAN. Untuk mencari solusi dari sengketa dan klaim tersebut, negara-negara ASEAN lebih suka memilih International Court of Justice sebagai wadah penyelesaian. Sebab meskipun ASEAN telah berusia 42 tahun, namun hingga kini belum ada mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN.
Sementara itu, ASEAN sejak KTT ASEAN Ke-9 di Bali pada 7-8 Oktober 2003 telah menyepakati Bali Concord II yang mengamanatkan dibentuknya Komunitas ASEAN. Sebagai tindak lanjut dari Bali Concord II, dalam KTT ASEAN Ke-14 di Thailand pada 27 Februari–1 Maret 2009 para kepala negara ASEAN menyepakati Cha-Am Hua Hin Declaration on the Roadmap for an ASEAN Community (2009-2015). Dalam deklarasi itu, salah satu bagiannya adalah The ASEAN Political Security Community Blue Print.
Kerjasama maritim ASEAN yang merupakan bagian dari The ASEAN Political Security Community Blue Print masuk dalam bidang A Rules-Based Community of Shared Values and Norms. Salah satu sub bidangnya adalah Promote ASEAN Maritime Cooperation, yang terdiri atas (i) Establish the ASEAN Maritime Forum, (ii) Apply a comprehensive approach that focuses on safety of navigation and security concern in the region that are of common concerns to the ASEAN Community, (iii) Stock take maritime issues and identify maritime cooperation among ASEAN member states dan (iv) Promote cooperation in maritime safety and search and rescue (SAR) through activities such as information sharing, technological cooperation and exchange of visits of authorities concerned.[i]
Mengacu pada Deklarasi Cha-Am Hua Hin, dapat diambil kesimpulan awal bahwa sejumlah rencana aksi yang tercakup dalam Promote ASEAN Maritime Cooperation masih bersifat makro. Rencana aksi itu perlu diperinci sehingga dapat menjadi agenda yang lebih mikro dan bersifat operasional. Karena masih bersifat makro, maka setiap negara ASEAN berpeluang untuk mengusulkan bagaimana kerjasama yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing.
Sebagai contoh, pada rencana aksi mendirikan Forum Maritim ASEAN, terbuka peluang bagi setiap negara ASEAN untuk mengatur peran dan fungsi forum ini. Bisa jadi ada negara yang mengusulkan agar forum ini sebatas pada tingkat kebijakan dan tidak terjun pada aspek operasional, namun dapat pula ada negara yang menginginkan agar cakupan forum tersebut luas. Dapat dipastikan perdebatan mengenai peran dan fungsi forum ini akan cukup keras, sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam prakteknya negara-negara ASEAN sulit untuk mencapai satu sikap ketika menyentuh isu-isu sensitif yang terkait dengan kepentingan nasionalnya.
Begitu pula dengan rencana aksi berikutnya, yaitu (to) apply a comprehensive approach that focuses on safety of navigation and security concern in the region that are of common concerns to the ASEAN Community. Tentu saja dapat ditebak bahwa sulit untuk menyatukan common concerns negara-negara ASEAN terkait dengan isu keselamatan navigasi dan keamanan di kawasan. Sebagai contoh, Singapura bisa dipastikan akan mengangkat isu keamanan maritim di Selat Malaka, sedangkan bagi Indonesia isu keamanan maritim di Selat Malaka bukan segalanya. Justru isu seperti penyelundupan akan tetap menjadi hirauan (concern)Indonesia yang dipastikan akan bertentangan dengan kepentingan Singapura.
Hal tersebut secara langsung akan terkait pula dengan rencana aksi selanjutnya, yakni stock take maritime issues and identify maritime cooperation among ASEAN member states. Ketika isu yang menjadi common concern jumlahnya terbatas karena perbedaan kepentingan nasional masing-masing negara, berarti peluang untuk terjalinnya kerjasama maritim antar negara ASEAN peluangnya tidak terlalu lebar. Misalnya, nampaknya sulit untuk melaksanakan kerjasama information sharing secara luas apabila negara-negara ASEAN tertentu hanya memberikan informasi kepada negara ASEAN lainnya apabila terkait dengan kepentingan nasionalnya. Sebaliknya, negara ASEAN yang mengajukan permintaan information sharing belum tentu mendapatkan hal yang diinginkan kalau informasi itu bertentangan dengan kepentingan nasional negara yang dimintai memberikan informasi.
Tidak berlebihan bila diambil kesimpulan awal betapa sejumlah rencana aksi ASEAN yang berkaitan dengan kerjasama maritim sesungguhnya bersifat krusial. Sebab kepentingan nasional masing-masing negara sulit untuk ditemukan titik temunya untuk menjadi suatu common interests. Sehingga aspirasi agar ASEAN menjadi suatu komunitas sendiri yang supra nasional sebagaimana diidamkan oleh Bali Concord II masih jauh dari kenyataan.
3. Tantangan Terhadap Indonesia
Betapa pun kondisi yang terjadi dalam hubungan antar negara ASEAN selama ini dan belum kokoh dan matangnya CBM, kerjasama maritim ASEAN harus diwujudkan. Memperhatikan rencana aksi kerjasama maritim ASEAN dalam Deklarasi Cha-Am Hua Hin, merupakan tantangan terhadapIndonesiauntuk mengisinya. Sebab rencana aksi tersebut cakupannya luas, melibatkan banyak aktor selain Angkatan Laut dan beberapa negara ASEAN telah siap untuk memasukkan kepentingannya menjadi bagian dari rencana aksi kerjasama ASEAN.
Merujuk pada kondisiIndonesiasaat ini, terdapat beberapa pekerjaan rumah yang harus dituntaskan terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh menuju implementasi kerjasama maritim ASEAN.
Pertama, persepsi. Dibutuhkan kesamaan persepsi di antara para pemangku kepentingan menyangkut kerjasama maritim ASEAN. Kesamaan persepsi penting untuk membangun kesamaan persepsi tersebut, sudah seharusnya semua pihak mengacu pada kepentingan nasional. Tanpa kesamaan persepsi, dikhawatirkan sikap Indonesia terhadap kerjasama keamanan maritim berbeda-beda pada setiap pemangku kepentingan berdasarkan kepentingan sektoralnya.
Di samping itu, penyamaan persepsi penting pula untuk saling mengontrol antar pihak-pihak terkait diIndonesiamenyangkut agenda kerjasama yang diajukan. Bisa jadi agenda kerjasama yang diajukan oleh salah satu instansi pemerintah justru dinilai sensitif oleh instansi pemerintah lainnya. Di situlah pentingnya penyamaan persepsi antar pemangku kepentingan diIndonesiamenyangkut kerjasama maritim ASEAN.
Kerjasama maritim ASEAN mempunyai cakupan yang luas, yaitu pada bidang keamanan, keselamatan navigasi dan lingkungan. Terkait dengan hal itu, dibutuhkan kesamaan persepsi agar Indonesiabisa menjadi subyek kerjasama dan bukan sebaliknya menjadi obyek kerjasama. Dengan status sebagai negara kepulauan dengan perairan terluas di Asia Tenggara, sangat pantas bila Indonesiatampil high profile dalam kerjasama itu yang berada dalam bingkai kepentingan nasionalnya.
Kedua, modalitas. Untuk tampil high profile, diperlukan modalitas yangkuat dan kokoh. Oleh sebab itu, perlu diidentifikasi dengan jelas apa saja modalitasIndonesia dalam kerjasama maritim ASEAN. Modalitas itu bisa dijadikan sebagai alat penawar posisi saat merumuskan rencana aksi kerjasama menjadi kegiatan-kegiatan mikro yang implementatif. Seperti diketahui, hingga saat ini ASEAN belum memperinci turunan bebeberapa rencana aksi yang sudah disepakati bersama.
Modalitas Indonesia dalam kerjasama keamanan maritim hendaknya tidak sebatas kuat pada konsep, tetapi juga mampu untuk mengimplementasikannya. Salah satu hal yang seringkali dijadikan modalitas dalam maritim adalah kemampuan aset-aset pihak-pihak terkait untuk mengamankan maritim, baik aset bergerak (kapal patroli dan pesawat udara) maupun aset tidak bergerak (sarana pengamatan maritim). Sebaliknya, luas perairanIndonesiahendaknya tidak dijadikan modalitas sebab berpotensi merugikan kepentingan nasional.
Ketiga, kebijakan. Diperlukan suatu national ocean policy yang menjadi panduan semua pihak terkait dalam mengelola laut dari segala aspek. Tanpa adanya Indonesia Ocean Policy, tidak jelas apa ends yang hendak dituju, termasuk kaitannya dengan kerjasama maritim ASEAN. Begitu pula dengan peran aktor-aktor terkait, yakni siapa melakukan apa.
Ketiadaan Indonesia Ocean Policy akan menyulitkan Indonesia dalam kerjasama maritim ASEAN, sebab ketiadaan ends membuka peluang bagi persaingan internal di antara pihak-pihak terkait diIndonesia dalam memperjuangkan kepentingan sektoralnya di ASEAN.
Keempat, operasional. Mencakup dalam aspek ini adalah penyederhanaan aktor keamanan di laut. Proses menuju ke arah itu yang telah berjalan sekitar empat tahun terakhir harus dilanjutkan, meskipun mendapat tantangan dari pihak tertentu yang merasa akan dirugikan.
Isu berikutnya dalam aspek operasional adalah peningkatan kemampuan aset aktor-aktor keamanan maritim dalam mengamankan wilayah perairan yurisdiksi Indonesia. Peningkatan kemampuan aset merupakan isu penting agar selainIndonesiadapat berperan maksimal dalam kerjasama maritim ASEAN nantinya, juga tidak menjadikan wilayah perairan yurisdiksiIndonesiasebagai wilayah patroli kekuatan maritim negara ASEAN lainnya. Isu wilayah patroli sesungguhnya krusial, sebab sampai saat ini negara-negara ASEAN belum menetapkan di mana lokasi atau wilayah kerjasama di bidang keamanan maritim.
Peningkatan kemampuan aset akan sangat terkait dengan dukungan politik pemerintah, khususnya dalam bentuk alokasi anggaran. Inilah satu di antara tantangan internal kritis yang dihadapi olehIndonesia, sebab tanpa alokasi anggaran yang proporsional dan terus menerus maka upaya meningkatkan kemampuan aset aktor-aktor keamanan maritim akan berjalan sangat lambat. Yang termasuk aset di sini bukan sebatas kapal patroli dan jenis kapal lainnya, tetapi mencakup pula pesawat udara, sarana pengamatan maritim, sarana bantu navigasi, stasiun radio pantai, sarana SAR dan lain sebagainya.
4. Kesiapan Yang Diharapkan
Kerjasama maritim ASEAN merupakan agenda politik yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lagi bagi Indonesia kecuali mempersiapkan diri mengisi rencana aksi kerjasama maritim ASEAN dengan agenda-agenda yang sesuai dengan kepentingan nasional. Tentu menjadi pertanyaan tingkat kesiapan seperti apa yang harus dimiliki olehIndonesia?
Pertama, kesiapan politik. Kesiapan politik Indonesia melaksanakan rencana aksi kerjasama maritim ASEAN tidak dapat hanya sebatas komitmen politik yang sifatnya normatif, tetapi harus diimplementasikan ke dalam bentuk nyata. Seperti penetapan Indonesia Ocean Policy, penataan ulang manajemen keamanan maritim dan pelaksanaan ocean governance. Tanpa kesiapan politik, dikhawatirkanIndonesia tidak akan meraih banyak keuntungan dari kerjasama maritim ASEAN dan cenderung menjadi obyek.
Kesiapan politik dapat tercipta apabila ada kemauan politik yang kuat dari pemerintah untuk menata kembali segala sesuatu yang terkait dunia maritim diIndonesiadan adanya kesamaan persepsi dari para pemangku kepentingan maritim itu sendiri. Untuk memunculkan kemauan politik pemerintah, para pemangku kepentingan maritim dapat memberikan masukan yang intensif pemerintah untuk lebih memberikan perhatian terhadap dunia maritim Indonesia selama ini.
Kedua, kesiapan konsep kerjasama. Rencana aksi kerjasama maritim ASEAN merupakan suatu rencana yang bersifat makro, sehingga perlu dirinci menjadi program atau kegiatan yang bersifat mikro dan dapat dioperasionalkan.Indonesiaharus menyiapkan konsep kerjasama yang matang untuk diusulkan ke dalam forum kerjasama maritim ASEAN, selain tentunya konsep itu harus siap diadu dengan konsep yang diajukan oleh negara-negara ASEAN lainnya.
Kesiapan konsep dapat dicapai apabila para pemangku kepentingan mau duduk bersama untuk merumuskan konsep yang akan dibawa olehIndonesia. Konsep yang dirumuskan tersebut selanjutnya harus diuji terlebih dahulu di dalam negeri oleh pihak-pihak yang berkompeten sebelum dibawa ke forum ASEAN. Tanpa proses ujian itu, dikhawatirkan konsep yang ditawarkanIndonesiaakan kalah bersaing dengan konsep yang diajukan oleh negara lain, misalnya karena kualitas konsep yang kurang, bobot kerjasama yang ditawarkan kurang strategis dan lain sebagainya.
Ketiga, kesiapan operasional. Kesiapan operasional Indonesiadalam melaksanakan kerjasama maritim ASEAN merupakan indikator kesiapan Indonesialainnya. Berangkat dari kondisi saat ini, pilihan yang tersedia bagi pemerintah adalah memperkuat kemampuan operasional pihak-pihak yang terkait dengan keamanan maritim di Indonesia. Perkuatan bukan sebatas pada penambahan aset seperti kapal patroli, sarana navigasi dan lain sebagainya, tetapi menyentuh pula masalah interoperability, sumber daya manusia dan anggaran.
Untuk memperkuat kesiapan operasional, salah satunya ditentukan oleh pencapaian pada faktor kesiapan politik. Tanpa pencapaian pada faktor tersebut, nampaknya sulit bagiIndonesiamemperkuat kesiapan operasionalnya guna mengimplementasikan kerjasama maritim ASEAN. Ketidaksiapan operasional dapat dipastikan akan merugikanIndonesia, sebab memberi peluang kepada negara-negara lain yang luas perairannya lebih sempit daripadaIndonesiauntuk berperan banyak dan signifikan dalam kerjasama maritim.
TNI Angkatan Laut merupakan salah satu pemangku kepentingan maritim diIndonesiasekaligus akan menjadi wakilIndonesiadalam kerjasama maritim ASEAN, khususnya pada isu-isu keamanan. Terkait dengan hal tersebut, sudah sepatutnya bila TNI Angkatan Laut secara internal mempersiapkan diri untuk menyongsong kerjasama maritim ASEAN. Selain kesiapan operasional, sebaiknya TNI Angkatan Laut juga siap dengan konsep kerjasama maritim seperti apa yang hendak disodorkan kepada ASEAN.
Sebagai Pembina kekuatan maritim nasional, TNI Angkatan Laut dapat menggunakan pengaruhnya untuk mendorong pemangku kepentingan maritim lainnya untuk bersama-sama pihak terkait lainnya untuk memberikan perhatian khusus terhadap isu kerjasama maritim ASEAN. Preseden seperti ini sudah pernah dipraktekkan oleh TNI Angkatan Laut sebelumnya, yaitu saat mendorong perlunya Indonesia mempunyai Coast Guard sebagai pelaksana pemerintahan di laut.
5. Penutup
Lepas dari kondisi ASEAN yang jauh dari ideal bagi terbentuknya sebuah komunitas kawasan,Indonesia dituntut siap untuk mengimplementasikan rencana aksi kerjasama maritim ASEAN yang telah disepakati pada KTT ASEAN Ke-14 di Thailand pada 27 Februari-1 Maret 2009. Agar kepentingan nasionalIndonesia dapat terwadahi dalam pelaksanaan rencana aksi, dibutuhkan kesiapan dari semua pemangku kepentingan dan pihak terkait diIndonesia. Kesiapan itu akan menentukan kinerjaIndonesiadi forum kerjasama maritim ASEAN, apakah akan mewarnai wadah itu ataukah sekedar menjadi obyek.
[i]. The ASEAN Secretariat, Roadmap for an ASEAN Secretariat 2009-2015.