Oleh : Budiman Djoko Said
Huntington, a Harvard professor of political science, intended his work to,“…suggest a more useful and relevant framework and to raise and define the principle theoretical issues involved in the study of civil-military relations.” As Huntington stated, “Its most important purpose will be served if it stimulates further thinking about civil-military relations and national security.”
(Zippwald, halaman 7)To frame the challenge of Civil-Military Relations, Huntington clearly stated that:—The military institutions of any society are shaped by two forces: a functional imperative stemming from the threats to the society’s security and a social imperative arising from the social forces,ideologies, and institutions dominant within the society. Military institutions which reflect only social values may be incapable of performing effectively their military function.ii
(Minaudo,halaman 1)
Mencuatnya saran untuk lebih mendayagunakan satuan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam operasi militer selain perang (OMSP) seperti bencana alam nasional, operasi kemanusiaan dan operasi lainnya merupakan proses yang wajar dan tidak lebih sebagai salah satu contoh isu atau dinamika hubungan sipil-militer (HSM). Dinamika proses HSM dialami TNI dalam bentuk dielu-elukan, dicaci-maki, dielu-elukan kembali dan seterusnya. Hampir 8-10 tahun lalu, isu seperti ini masih diliput secara hangat dalam kerangka debat, diskusi supremasi sipil atau kontrol sipil terhadap militer. Berbarengan dimulainya reformasi yang masih menyertakan sisa-sisa trauma masyarakat tentang peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia − ABRI/TNI yang “dulunya” begitu kuat. Sebagai pembelajaran berdemokrasi dan implikasi HSM isu-isu tersebut boleh dikatakan telah dilunakkan dengan isu dikotomi HSM. Cukupkah isu ini dijawab dengan terminasi menegasikan dikotomi sipil-militer saja?
Kenyataannya isu HSM tetap hangat bahkan sampai ke tingkat krisis meski di negara yang mengaku dirinya paling demokratis pun. Kontrol sipil tetap menjadi atribut fundamental dan prasyarat proses berdemokrasi. Bagi negara-negara yang masuk dalam tahap transisi menuju demokrasi atau tahap konsolidasi berdemokrasi, sewajarnya kalau dua kelembagaan yakni sipil dan militer mulai saling melakukan kolaborasi. Pada awal transisi ini, kubu sipil belajar dan mencoba memahami peran dan kepentingan militer dalam konsolidasi dan transisi berdemokrasi ini. Sebaliknya kubu militer belajar memahami dalam konteks yang lebih luas bahwa iklim politik demokrasi akan memberikan dampak keputusan terhadap fungsi militer dikemudian hari. Menarik sewaktu Komandan Korps Marinir AS, Gen.Victor Krulak yang pernah didaulat sebagai warga kehormatan Marinir Indonesia ditanya mengapa Marinir harus ada dan hadir, jawabnya sederhana saja “karena rakyat membutuhkan” (Johnson, et-all, 10). Kalimat rakyat membutuhkan adalah isyarat legalisasi supremasi sipil. Patut dipahami banyak negara yang masuk dalam tahap ini akan banyak menghadapi masalah konsolidasi dan transisinya, sedangkan negara yang dikategorikan sudah berdemokrasi sudah melewati tahap kritis tersebut. Negara yang masuk kategori sudah berdemokrasi memiliki ciri-ciri: profesionalisme militer yang tinggi, militer yang efektif sebagai subordinasi sipil, peran dan kompetensi militer yang dipahami pemimpin sipil, dan minimalnya peran politik oleh militer (Huntington, Keynote Adress). Bagi RI masalahnya bisa jadi isu seperti ini belum didalami dan dihayati seluruh lapisan masyarakat sipil, bahkan sangat boleh jadi termasuk para prajurit, pelaut, marinir dan pengawak udara dilingkungan TNI. Bila tesis ini benar, perlu dicarikan alasan untuk apa harus didalami, sekurang-kurangnya bagi elit sipil maupun militer untuk memahami benar-benar isu ini dan apa kepentingannya. Mengerti fenomena ini memberikan dampak bagaimana mencari keseimbangan, tepatnya harmonisasi HSM − solusinya adalah bagaimana menciptakan HSM yang lebih sehat dan seimbang di negara ini? Setidak-tidaknya menuju ciri-ciri negara demokrasi seperti yang telah digambarkan oleh Samuel Huntington. Huntington dengan teori HSM, meskipun belum tentu bisa mengungkap semua elemen, fakta serta interaksi, bahkan aplikasi di negara masing-masing yang akan berbeda jauh satu sama lain tentunya. Sebagai teori sudah sangat bermanfaat untuk melangkah lebih dalam, mencoba menghubung-hubungkan dengan fenomena alam yang lebih luas. Naskah ini akan lebih banyak mengulas komentar, konsep atau teori hubungan sipil-militer dan sedikit pelaksanaannya di lapangan.
Lepas dari ini semua, strategi keamanan nasional (baca:KamNas saja) dan pemikir strategik sangat berkepentingan untuk mengangkat dan mengungkit instrumen non-militer lainnya termasuk instrumen sektor privat ikut dalam gelar interagency melalui proses interoperabilitasnya (Holshek, 1) dalam isu HSM. Berbasis unifikasi konsep nasional ini, bukan saja mensinergikan semua instrumen kekuatan nasional, namun juga memberdayakan kekuatan “lunak” (soft-power) elemen sipil dan menggabungkan dengan kekuatan “keras” (hard-power) instrumen militer menjadi suatu paket kekuatan yang luwes dan lebih efisien menghadapi tantangan asimetrik (FDO/Flexible Deterrence Options) dan global. Isu kooperasi sipil-militer (CIMIC/civil-military cooperations) tentunya berbeda dengan operasi gabungan sipil dan kooperasi sipil-militer ini akan lebih banyak bicara tentang operasi perdamaian, stabilisasi dan bekerjasama dengan aktor lainnya. Di luar materi pembicaraan ini masih banyak area yang melibatkan elemen sipil dan militer dalam operasi gabungan a.l.: operasi gabungan urusan sipil (joint operation civil-affairs), operasi gabungan sipil-militer (joint operations civil-military) , operasi gabungan murni militer sendiri (joint military operations) dan operasi gabungan antara negara (combined military operations). Mengingat banyaknya materi HSM, ada baiknya mencermati terlebih dahulu konsep atau teori populer yang ada dhi adalah konsep pak Huntington sebagai pembuka jalan untuk lebih menghayati fenomena HSM.
Fenomena hubungan sipil-militer
Isu HSM diawali dengan tahap krisis dihampir semua negara. Mengapa? Dua kubu yang agak berbeda “naluri” (dan emosionalnya) maupun persepsi tentang ancaman, cara mengatasi dan kepekaannya terhadap aktor/non aktor yang mungkin berpeluang menjadi tantangan sampai dengan ancaman. Bisa juga diawali karena kecurigaan atau ketidakpercayaan antar dua kubu, apalagi kalau salah satu kubu merasa terancam kepentingannya (O’Connor, 40). Atau berbasis ide Huntington tentang profesi etika militer yang lebih cenderung pesimistis, kolektivis, orientasi pada kekuasaan, mendewakan sejarah, nasionalistik, pasifis dan instrumentalis, dan kalimat itu semua bisa diwakili dengan dua kata: realistik dan konservatif (Mahoney, 3). Bila berbasis pemikiran Huntington sulit rasanya bagi militer untuk mewujudkan suatu hubungan yang harmonis sebagai mitra sekaligus subordinasi elit sipil. Padahal prinsip demokrasi adalah tegaknya supremasi sipil atau kontrol sipil terhadap militer. Kontrol atau supremasi tidak diartikan setara dengan komando, namun kontrol diartikan lebih dekat dengan kebijakan. Artinya produk kebijakan elit sipil (dhi pemerintah) khususnya yang berkepentingan dengan strategi keamanan nasional yang telah diatur dalam “kebijakan” elit sipil, sebagai konsekuensinya akan dilakukan oleh militer, pengertian yang disebut Huntington sebagai kontrol sipil obyektif. Dalam kontrol sipil tersirat keinginan untuk menjamin strategi pertahanan nasional oleh karena itu semua instansi terkait pertahanan nasional adalah subordinasi tradisi nasional, nilai, kebiasaan, kebijakan pemerintah dan institusi sosial maupun ekonomi (Johnson, 10).
Definisi HSM sangat beragam namun secara garis besar hubungan ini dapat didefinisikan sebagai interaksi antara lembaga militer di satu sisi dengan pengambil keputusan negara/pemerintah , LSM, pemimpin opini publik dan masyarakat disisi lain (Neubauer, 4). Termasuk didalamnya adalah acara dengar pendapat dan pengajuan perencanaan pembangunan kekuatan pertahanan nasional berbasis “efektivitas-biaya” serta pertanggungan jawaban produk dan “outcome” kekuatan militer selama ini didepan Parlemen, dan masih banyak lagi ~ perwujudan HSM yang demokratik. Hubungan yang cukup sensitif bagi negara yang menuju proses demokrasi dan berpeluang menimbulkan isu-isu yang cukup hangat tetapi tidak sensitif bagi negara yang sudah melewati transisi demokrasi. Suka atau tidak suka di-era kontemporer ini tumpuan pokok konsolidasi HSM akan menjadi beban DepHan (Bruneau, 2001, hal 5). Menjadi pertanyaan besar bagi negeri ini, bagaimana seharusnya standar format HSM. Barangkali masih sulit dicarikan jawabnya, meski tuntutan demokrasi, baca tuntutan kontrol sipil atas militer menjadi salah satu prasyarat negara yang demokratik.
Mungkin saja faktor keseimbangan kekuatan antara elit sipil dan militer dalam menata serta melaksanakan strategi keamanan nasional akan menjadi fenomena yang lebih menarik dalam kontek isu HSM ini. Umumnya dinegara lain, keseimbangan yang terjadi sangat dinamik, pada awal revolusi kemerdekaan, dan dimasa damai militer “hanya” memiliki porsi sedikit untuk mempengaruhi. Berbeda saat konflik atau perang, porsi mempengaruhi semakin besar seperti apa yang dialami AS saat perang Vietnam, atau perang dingin dimana elit militer sangat siginifikan kenaikan pengaruhnya dibandingkan sebelumnya, utamanya dalam proses pengambilan keputusan nasional di-WanKamNas. Pak Kohn dalam Journal Keamanan nasional berjudul “Out of control : The Crisis In Civil-Military Relations” mengkritisasi militer AS yang cenderung insubordinasi dan tidak wajar terhadap kontrol sipil (Peabody, hal 1-2). Komentar ini semakin hangat dan menjadi pembicaraan yang meluas, bahkan meningkatkan isu HSM ketingkat krisis. Begitu seriusnya sampai-sampai Menhan AS Donald Rumsfeld menyatakan…he views as evidence of inappropriate military behavior and insubordination to civilian control that develop during the Clinton Administration, dan diikuti dengan aksi MenHan tersebut melalui…deliberate efforts have been introduce by SecDef Rumsfeld to reign in the military (Philbrick, hal 1). Hubungan yang boleh disebut sebagai proses integrasi sipil-militer tersebut mengalami perbaikan dipuncak “kegagalan” militer di-Vietnam namun proses ini benar-benar terkoreksi dan baru terujud satu dekade kemudian sebagai manifestasi keseimbangan sipil-militer dalam perang Teluk tahun 1991 (Lindell, hal 1). Fenomena ini bisa dijadikan studi komparatif dengan mengamati isu yang pernah dialami oleh AS, negara Eropah timur, Amerika latin, dan beberapa negara di Afrika, dan bisa dijadikan petunjuk serta posterior untuk membantu memecahkan masalah (Chalmers, hal 4). Literatur HSM, bisa menyoroti fenomena ditingkat strategik dengan fokus pada hubungan otoritas politik tingkat nasional dengan para petinggi militer senior disisi lain.
Fenomena diwilayah ini dapat dijadikan alasan empiris untuk membantu pemecahannya. Alasan lebih lanjut adanya dua (2) faktor yang bisa dipercaya sebagai “alat” untuk membantu pemecahannya diruang strategik tersebut. Pertama, wilayah tersebut dapat dibangun model mendasar yang mungkin mampu menjelaskan jawab isu hubungan sipil-militer melalui sistem pengambilan keputusan nasional berkaitan dengan strategi dan kebijakan penggunaan kekuatan militer nasional yang biasanya dilakukan lembaga semacam WankamNas. Berbasis kekuatan militer sebagai aktor penting dalam strategi nasional atau strategi militer nasional, muncul faktor kedua, yakni kesadaran bahwa strategi militer nasional (strategi ini sekarang lebih dikenal sebagai strategi transformasi militer nasional,pen), bersama-sama strategi pertahanan nasional dan strategi-strategi instrumen kekuasaan nasional lainnya diposisikan dalam satu wadah yang disebut strategi keamanan nasional (baca KamNas saja) akan menjamin tercapainya obyektif Kepentingan Nasional. Dinamika HSM bisa ditangkap dalam pengertian yang lebih luas sebagai hubungan antara masyarakat dengan lembaga-lembaga militer, dimana masyarakat lebih melihat ada harapan dan peluang militer akan bertindak untuk melindungi kepentingan publik/masyarakat terhadap serangan dari luar.
Harapan publik tersebut adalah bentuk perwujudan kontrol sipil dengan demikian secara tidak langsung mengisyaratkan dan membenarkan bahwa HSM merupakan aspek penting dalam strategi keamanan nasional (Taylor, hal 2 dan 3). Timbulnya kesadaran seperti ini lebih dikarenakan pemahaman bahwa Kepentingan Nasional diposisikan sebagai jembatan (Tim komisi, hal 6) antara Keamanan Nasional dan Tujuan Nasional yang mendasar (fundamental national’s goal,bagi RI adalah muatan pembukaan UUD 45, pen). Dengan catatan Kepentingan Nasional (asumsinya kepentingan nasional ada dan terdokumentasikan legal setelah disetujui wakil rakyat) sebagai subordinasi Tujuan Nasional yang mendasar. Kepentingan Nasional-lah yang mendikte strateji keamanan nasional dan strateji-strateji nasional lainnya seperti diplomatik, informasional, militer dan ekonomi nasional, bila pemerintah menetapkan instrumen DIME sebagai opsi strateji nasionalnya. Atau pilihan lain misal MIDLIFE yakni militer, informasional, diplomatik, legal, intelijen, finansial, dan ekonomi sebagai paket instrumen kekuatan nasionalnya. Bagi RI barangkali perlu ditambahkan dengan instrumen M atau Maritim mengingat hipotetik Maritim adalah superset sungai-sungai, teluk, kepulauan, pulau, selat, estuari, delta, litoral, termasuk ikan, kandungan didasar laut dan diperairannya termasuk udara diatasnya (cordone). Mengabaikan instrumen Maritim berarti menyia-nyiakan sumber daya nasional yang begitu potensial, mahal dan tidak terkontrol ketat. Dinamika HSM terjadi juga ditataran lebih bawah antara personil militer dengan masyarakat ditempat hiburan/publik, termasuk hubungan antara Komandan-komandan setempat, kepala satuan militer dengan pejabat daerah setempat. Isu-isu ini semakin membumi dengan semakin konvergennya media massa disetiap kegiatan militer, bahkan ditempat pertempuran atau konflik sekalipun. Membuminya peluang ini mengisyaratkan bahwa akses ke-lembaga lembaga militer sudah terbuka bagi siapapun juga, sesuatu yang tadinya sulit sekali untuk dijamah. Begitu lebarnya pintu akses ini sehingga mampu menjamah semua bentuk pertempuran atau konflik yang melibatkan militer dalam bentuk operasi tertutup (covert) atau terbuka (overt) dan langsung maupun tidak langsung, khusus atau bukan. Anehnya semakin berbahaya justru semakin menarik perhatian media masa untuk ikut meliputnya.
Disinilah strateji militer nasional terasa sangat penting sekali, bisa bertindak dalam bentuk kekuatan tempur, bisa juga beraksi dalam kekuatan yang lebih lunak sebagai pemberi pengaruh (suasi) dengan kategori yang paling lunak (pilihan dalam keluarga penangkalan seperti kompel, deter, coersif, dll) sampai dengan bentuk blokade bahkan serbuan yang mematikan (deadly assault). Instrumen militer sebagai salah satu aktor strategi militer nasional dan subordinasi strategi pertahanan nasional akan banyak berinteraksi dengan elit sipil di-Parlemen, dalam rangka mendemonstrasikan apa yang dikerjakan dalam strategi transformasi militer nasional (definisi baru tentang strategi militer nasional). Strategi militer bukan saja mendukung strategi-strateji nasional lainnya, bahkan strategi instrumen kekuatan Ekonomi nasional apabila memang diatur seperti itu, seperti yang dicontohkan China dengan PLAN-nya. Mengingat fungsi militer dan sipil dalam proses pengambilan keputusan seringkali berubah setiap saat dan iklim HSM akan cenderung “tenang” apabila kedua kubu saling mengerti dan menerima distribusi pertanggungan jawab untuk isu-isu dan fungsi spesifik masing-masing (Johnson, hal 10). Wajar diperlukan suatu tipikal kepemimpinan militer yang berkarakter kuat agar kapabel berkooperatif dan berkolaborasi serta berinteroperabilitas dengan ajensi-ajensi pertahanan nasional, elemen-elemen terkait dan elit sipil.
Teori, riset dan studi tentang HSM
Riset dan studi tentang HSM sangat berlimpah dan banyak sekali. Hampir semua negara tertarik dan berminat untuk mempelajari khususnya yang terjadi dinegerinya sendiri, termasuk negara besar seperti AS, Russia, China dan negara-negara lainnya yang sedang mengembangkan demokrasinya, tidak perduli berbasis negara liberal, sosialis, komunis, agama atau diantaranya. Penulis teori tentang HSM seperti Huntington, Janowitz, Cohen, Schiff, Feaver dan lain-lain. Dua (2) penulis besar yang pantas disebut sebagai bapak penemu (founding fathers) adalah Huntington dan Janowitz yang telah memberikan basis ide tentang HSM. Peter Feaver dan Richard Kohn lebih cenderung sebagai komentator dan teoris kontemporer (Zippwald, hal 1). Cohen khusus menulis HSM yang ada kaitannya dengan perang dan damai. Sedangkan Schiff dan Feaver menjelaskan alternatif teori tentang HSM. Teori lain lebih cederung mereka–reka alternatif-alternatif HSM yang dikembangkan dan disesuaikan dengan negara tertentu atau substansi tertentu. Misal teori konkordans oleh Rebecca Schiff’s dan teori tentang dialok yang tidak seimbang oleh Cohen (Andrews, hal 5) serta Morris Janowitz teori tentang perajurit warga negara berbasis konstabulari. Feaver dengan Teori Ajensinya menjelaskan ada empat (4) pola HSM seperti tergambar dibawah ini:
Gambar 1. Teori Ajensi
Teori Ajensi diatas menjelaskan arah (kecenderungan) kontrol sipil subyektif akan begerak semakin kekiri dan kontrol obyektif bergerak semakin kekanan. Bentangan dua (2) kutub kontrol tersebut dibagi dalam 4 kategori mulai dari CMI-MW (Ekstrim subyektif) sampai dengan CMU-MS diujung kanan (Ekstrim obyektif). Selain Feaver, definisi kontrol sipil obyektif maupun subyektif sudah banyak dijelaskan Huntington. Kontrol sipil obyektif intinya meyakinkan bahwa elit militer semakin efektif dengan catatan meminimumkan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan nasional. Riset sebelumnya tidaklah jelas mengidentifikasikan kriteria apa sebenarnya yang diperlukan guna menunjukkan bahwa HSM akan mempertajam dan mendukung proses demokrasi.
Namun langkah untuk menjelaskan teori tersebut berada dalam jalur hipotetik yang sama yakni transisi dari rejim otoritarian ke bentuk pemerintahan yang demokrasi. Kunci area dalam studi berproses demokrasi adalah HSM itu sendiri (Ibid, hal 5). Apabila teori ini diterapkan dibeberapa negara yang berbeda jauh latar belakang atau konsep strategi transformasi yang sudah tertata dalam kontrol demokrasi, misal ex-negara komunis, China, Afrika dan Amerika latin nampak betapa ketatnya teori tersebut diaplikasikan. Di-Eropa tengah dan timur, prasyarat diterimanya di-UE ataupun NATO adalah tertatanya kontrol demokratik yang kuat terhadap kekuatan militer, diikuti transisi yang cepat dalam pengembangan kelembagaan demokrasi dan perpindahan pasar ekonomi, serta telah dijalankannya demokratisasi sipil-militer. Hungaria dan Bulgaria mencatat periode yang lebih cepat dan mengaku sukses melaksanakan kontrol demokratik tahun 1997 dan Bulgaria ditahun 2002 dengan disyahkannya mereka sebagai anggota NATO (Hitrov, hal 1-2). Catatan sukses negara bekas komunis tersebut (Hungaria) setelah berkooperasi dengan cara yang lambat dan alot dengan partai politik akhirnya berhasil merubah sumpah tentara dari semula hanya loyal kepada partai komunis menjadi loyal kepada bangsa dan negara (Ibid, hal 29). Lain lagi apa yang terjadi dinegeri kita ini sehubungan dengan isu hubungan sipil-militer; Wiranatakusumah menyatakan bahwa tingkat kepercayaan (Wiranatakusumah, hal 58) antara elit sipil maupun elit militer sangatlah penting. Karena itu membangun kepercayaan sangatlah penting utamanya saat awal reformasi. Menurutnya definisi supremasi sipil telah terdeviasi (Ibid, hal 58) sehingga terkesan tidak ada keseimbangan antara elit sipil dan elit militer. Padahal sebenarnya supremasi sipil berbasis hak sipil, dan ini tidak hanya berlaku bagi sipil saja (non-uniform) tetapi juga bagi TNI (sebagai “citizen soldiers” yang sebenarnya sipil juga). Sebab tanpa kepercayaan ini, maka definisi kontrol sipil atau supremasi sipil sulit diterapkan. Faktor keseimbangan kekuatan antara instrumen militer dengan non-militer perlu digaris bawahi agar tidak ada kekuatan dominan dalam proses pengambilan keputusan strategik atau nasional. Bruneau dkk mulai mengamati dan fokus kepada HSM dari tiga (3) serangkai parameter yakni kontrol demokratik, efektif dan efisiensi (Bruneau, et-all, 2009, hal 255).
Kontrol demokratik artinya keputusan nasional terbaik dibuat bersama tanpa dominasi kekuatan tertentu, terukur dan disiplin kepada obyektif yang ditetapkan (efektif) serta efisien karena berorientasi kepada kegiatan yang berbobot dan terpilih dipasangkan dengan konsekuensi “biaya” yang minimum (ABC/Activities–Based Costing, pembiayaan sebagai konsekuensi bagi aktivitas terpilih). Parameter terakhir yang menarik karena pembiayaan (anggaran) tidak akan menjadi sasaran kesalahan lagi, anggaran tidak lagi menjadi majikan akan tetapi menjadi pasangan pilihan aktivitas terbaik. Aktivitas-lah yang menjadi majikan suatu program jangka panjang, bukan “anggaran”. Menjadikan ”anggaran” sebagai ratu akan menciptakan pertanggungan jawaban program yang cukup sekedar diwakili PJ keuangan yang rapi, rasanya belum cukup adil hanya diwakili oleh PJ keuangan yang “rapi”. Pertanyaannya bagaimana dengan “kerapian” proyek atau aktivitas tidak perlukah diukur atau bisakah diukur dalam atribut “benefit” atau “effektivitas” atau “performa” atau “merit” lainnya. Bisakah dijawab dalam pengertian analisis “biaya” bahwa diketahui (given) sekian unit “biaya” yang sudah dikeluarkan per masing-masing aktivitas maka berapa unit “manfaat” atau “effektivitas” atau “performa” atau “merit” per setiap aktivitas yang didapat ? Cara cara tradisional bahwa anggaran dan mata anggaran yang dijadikan “ratu” membuat para perancang organisasi selalu berfikir menghabiskan anggaran bukan bagaimana membangun, memelihara atau mempertahankan asset, proyek, dll dalam ukuran “efektivitas” atau “benefit” yang tertinggi dan berpasangan dengan anggaran (sebagai konsekuensi dukungan terhadap pilihan aktivitas) yang minimal. Organisasi yang maju sudah tidak lagi berkutat-kutat dengan anggaran dan mata anggarannya akan tetapi bergeser orientasinya kepada aktivitas terpilih yang dipasang-pasangkan dengan konsekuensi anggaran per masing masing aktivitas dan akhirnya dipilih mana aktivitas yang terbaik (efektivitasnya tertinggi) dengan pasangan anggarannya sebagai ujud konsekuensi yang paling minimal ~ menggunakan konsep ABC (activities-based costing). Bukan dibalik dengan dicari-carikan anggaran terlebih dahulu barulah konsekuensi (dicari-carikan) proyek atau kegiatan apa yang pantas mendampingi anggaran tersebut. Bagi negara yang sudah melewati tahap krisis dan sudah menikmati demokrasi, tulisan tentang demokrasi akan fokus pada bagaimana kontrol itu dilaksanakan, sebaliknya negara yang baru mulai fokus bagaimana obyektif demokrasi bisa dicapai melalui HSM. Jarang sekali dicermati peran, tugas elit militer dan kekuatan sekuriti yang ada dan berapa jauh efektivitas mereka mengerjakan proses transisi demokratis ini (Ibid, 255-256). Di awal transisi proses demokrasi di AS, para perwiranya seringkali melupakan bahwa ada dikotomi cara berpikir militer dan publik secara luas.
Bahkan ada indikasi usaha mengurangi frustasi yang sering dirasakan elit militer dalam manisfestasi keterlibatannya dengan elit sipil dalam pengambilan keputusan nasional hari demi hari. Huntington berkomentar “Perwira Militer umumnya lebih konservatif dibandingkan kelompok besar masyarakat AS lainnya” (Johnson, 9). Bruneau bersama para akademisi lainnya mencermati bahwa fokus HSM selama ini masih berkutat-kutat kepada bagaimana melaksanakan kontrol sipil terhadap militer. Berangkat dari kenyataan itu lingkungan akademisi memformulasikan masalah bahwa sebaiknya HSM fokus kepada trinitas HSM (Bruneau, 256). Cara yang mudah adalah mencermati kasus yang diputuskan melalui WanKamNas melalui kriteria trinitas tersebut dijalankan dan bagaimana “outcome” (lebih dari “output”) nya?
Teori-teori sepintas di atas berawal dari ide bahwa HSM seharusnya diarahkan agar bagaimana hubungan ini bisa menghasilkan suatu keputusan tentang keamanan nasional yang terbaik. Huntington lebih menegaskan dalam The Soldier and the State bahwa fokus HSM adalah hubungan antara korps perwira militer dengan negara (Andrews, hal 6-7), sedangkan jantung dari HSM adalah konsep keperwiraan sebagai basis profesinya. Huntington melanjutkan ciri-ciri profesionalisme korps Perwira adalah ciri-ciri yang sama digunakan seorang pengacara, ahli hukum atau dokter. Dikatakan ada tiga (3) ciri-ciri yang menonjol dari bentuk profesionalisme yakni keahlian khusus (expertise), pertanggunganjawaban dan berhubungan dengan badan hukum khususnya mereka yang ada dalam kelompok Perwira (Ibid, 7).
Berikutnya Huntington menyebut kontrol sipil terbungkus dalam dua tipikal. Pertama kontrol sipil subyektif dan kedua kontrol sipil obyektif. Kontrol sipil subyektif difokuskan kepada memaksimalkan kekuatan kontrol sipil atau kelompoknya. Sedangkan kontrol sipil obyektif fokus kepada memaksimalkan profesionalisme Perwira (Ibid, 8). Pembagian ini ada kaitannya dengan tidak hadirnya korps perwira yang professional–sehingga bentuk kontrol sipil yang paling memungkinkan adalah kontrol sipil subyektif (Ibid, hal 8), periksa gambar dibawah ini. Inti kontrol sipil obyektif meyakinkan bahwa elit militer akan semakin efektif dengan catatan menurunkan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan nasional, periksa gambar dibawah ini.
Gambar 2. Kontrol sipil obyektif
Sumber: Zippwald, 9-10
Definisi kontrol sipil obyektif maupun subyektif ada kaitannya dengan teori Peter Feaver. Policy (kebijakan) adalah produk elit sipil, dan elit militer yang akan melaksanakannya, suatu demonstrasi bahwa militer adalah subordinasi sipil. Meningkatnya manuver kegiatan militer ke arah kontrol sipil subyektif (periksa kembali gambar no.1) memposisikan otoritas dan kebisaan (ability) sipil menurun untuk mengontrol militer, serta semakin melibatkan militer dalam kancah politik dan isu kelembagaan strategi keamanan nasional. Semakin besar efektivitas militer didera situasi ini akan mengurangi kapabilitas (capabilities = abilities + “outcome”) militer untuk mempertahankan negara (Zippwald, 9). Huntington percaya dengan memaksimumkan kontrol sipil obyektif sebagai cara terbaik mencapai HSM yang efektif (Ibid, 8-9). Huntington menggunakan AS, Jerman dan Jepang sebagai percontohan untuk membuktikan teorinya.
Studi kasus HSM di Jerman menunjukkan bahwa perubahan dalam lingkungan nasional sudah cukup menghancur-leburkan kontrol sipil obyektif dan profesionalisme militer. Studi kasus di Jepang dengan pengaruh yang kuat dari elit militer dalam politik negara (baca pengambilan keputusan nasional) telah merusak kewenangan pemerintahan dalam hal ini elit sipil. Huntington membantah bahwa konstitusi AS justru memberikan kesempatan tumbuhnya kontrol sipil subyektif, bukan control obyektif dan kehadiran kontrol obyektif ada di luar konstitusi. Kedua kasus tersebut menunjukkan apa yang akan terjadi bila profesionalisme Perwira dan kontrol sipil obyektif tidak hadir dalam HSM sekaligus menunjukkan bahwa kehadiran kontrol sipil obyektif sangat diperlukan dalam HSM yang efektif. Bagi Huntington pelaksanaan HSM tidaklah begitu saja harus tunduk kepada aturan seperti damai atau perang, akan tetapi lebih kepada ideologi antara masyarakat sipil dan etika profesional militer (Ibid, 10-11).
Teorinya akan banyak berkisah tentang militer yang bekerja sama dengan sipil dengan munculnya konflik antara keinginan pemerintahan (sipil) dan keyakinan profesionalisme militer dan Huntington menyebut khusus hal ini sebagai isu kepatuhan versus kompetensi profesionalisme (Ibid, 10-11). Berbeda dengan Huntington yang melihat HSM dari kacamata ilmuwan politik, Janowitz melihatnya dari kacamata sosiologi. “The Profesional Soldier”, buku hasil studi Morris tentang fokus kehidupan profesional dan tata organisasi serta kepemimpinan militer di AS, didalamnya berbicara antara kategori pekerjaan militer dan sipil menjadi semakin kabur dan cenderung menjadi relatif mirip dalam hal inovasi teknologi. Sebaliknya seorang sipil sulit mengerti perilaku dan kehidupan militer sebelumnya. Janowitz juga mencermati bahwa HSM akan berhubungan langsung dengan pengalaman profesional yang mereka miliki dan ikatan pribadi masing-masing (Ibid, 10-11). Dia juga menjelaskan bahwa prajurit profesional harus berada di atas politik bahkan jauh di atas politik, meskipun kenyataannya tidak selalu begitu. Dia menerangkan untuk melanjutkan sebagai kekuatan professional dan bisa menjawab dilema dikemudian hari, elit militer harus menstransformasikan dirinya menjadi kekuatan konstabulari. Teori yang dikembangkan ini berdasarkan ide bahwa militer dapat diubah melalui kontrol politik sipil sebab para perwira menyadari betul bahwa elit sipil dan masyarakat umumnya akan lebih menghargai dan mengenal tugas dan tanggung jawab kekuatan konstabulari. Dengan kekuatan konstabulari Janowitz yakin bahwa perbedaan antara profesi militer dan pemerintahan sipil yang berhubungan dengan militer dimasa damai atau perang akan bisa sirna (Ibid, 10 dan tabel teori HSM).
Janowitz fokus kepada studinya bukan saja kepada HSM tetapi juga tentang militer Amerika. Jantung kajiannya banyak mengamati aspek sosiologi militer dan tidak langsung kepada HSM. Dia memanfaatkan militer AS untuk medukung konsepnya tentang kekuatan konstabulari. Janowitz mendiskusikan bagaimana perubahan teknologi direspons militer dan efeknya terhadap HSM. Dia mengatakan bahwa perubahan ini akan merubah status militer menjadi lebih sipil, tetapi tidak akan merubah sipil menjadi lebih militer. Sebagai kekuatan konstabulari akan menjamin profesionalisme dan integrasinya dengan rakyat. Janowitz menciptakan teori yang paralel dengan Huntington, dimana Huntington tetap memposisikan profesionalisme militer di luar masyarakat, sebaliknya dengan Janowitz yang percaya bahwa militer dan rakyat seharusnya berintegrasi mewujudkan HSM yang lebih baik. Hal s ini menurut Huntington mencerminkan kontrol sipil yang subyektif, sedangkan Janowitz yang percaya adanya garis samar-samar antar sipil dan militer justru menegasikan teori Huntington yang percaya bahwa militer harus berdiri terpisah dan otonom dari masyarakat sipil guna mempertahankan profesionalismenya (Andrew, 1-2). Apapun juga perbedaannya kedua pakar teori HSM ini setuju bahwa militer semestinya harus mempertahankan profesionalismenya. Sebagai kesimpulan singkat keempat teori HSM dapat digambarkan dalam skema dibawah ini:
Tabel 1. Teori HSM
Referensi:Andrews, 15
Note: Baris adalah para penulis teori dan kolom adalah kriterianya.
Kesimpulan dan saran
Teori dasar penempatan militer sebagai instrumen kekuatan nasional atau kekuatan negara dan mendefinisikan sebagai satu-satunya pemilik instrumen adalah politik negara atau otoritas negara (baca elit sipil) yang dapat memutuskan aktivasi kekuatan militer. Teori dasar ini tetap menjadi sumber kemunculan HSM dan terus melibatkan dua kubu yang berbeda bersikapnya. Seni bagi elit sipil (baca seni berpolitik) akan terbentang dalam arena antara “memungkinkan” dan bisa di”nego”, sebaliknya seni bagi militer membentang antara disiplin dan kepatuhan. Aksi politik bagi elit sipil banyak melibatkan aksi konsultasi dan interpretasi sedangkan isyaratnya adalah kemauan masyarakat, bagi militer aksinya akan melibatkan kesigaan dan respon komando (Scultz, 102 ). Ada baiknya menggaris bawahi teori Huntington bahwa sasaran kontrol sipil obyektif akan menciptakan militer yang lebih effektif dengan syarat meminimumkan keterlibatannya dalam politik (Andrews, 8). HSM adalah suatu yang unik dan dapat terjadi dimana-mana, dan bukan suatu hal yang “taboo”, justru diperlukan studi kearifan bagaimana mengharmonisasikan kedua kekuatan “lunak” dan “keras” ini menjadi suatu kenyataan untuk mewujudkan kekuatan nasional yang konvergen daripada berdebat panjang bagaimana melaksnakan kontrol sipil terhadap militer. HSM yang terjadi di negara lain, dengan berbagai latar belakang, format dan struktur kenegaraan bisa dijadikan pelajaran dan pembelajaran bagi HSM di negeri kita ini. Kecurigaan elit sipil tentang “kembalinya” kekuatan otoriter atau kekuatan militer yang diutilisasikan oleh “penguasa” sudah jauh berkurang, dengan adanya kenyataan elit militer yang dipimpin yang jauh lebih muda-muda dan sudah mulai memahami arti,proses berdemokrasi serta keseimbangan sipil-militer dan sebaliknya elit sipil mulai memahami arti, peran dan organisasi TNI lebih dalam dalam rangka memudahkan debat dan diskusi antara elit sipil dan militer. Pendalaman HSM bukan saja milik elit sipil atau elit militer saja, namun kepunyaan seluruh lapisan rakyat. Dalam konteks ini dapat dimengerti mengapa banyak elit sipil yang diijinkan mengikuti pendidikan di sekolah militer di-negara maju, bahkan di tingkat Sesko angkatan, Sekolah perang (war-college) semua angkatan, dan Sekolah perang nasional (national war college) bahkan di Universitas Pertahan (UnHan) atau di sekolah pasca sarjana masing masing Angkatan yang lebih operasional dan taktis diberikan kesempatan termasuk kesempatan mengambil gelar strata-2.
Tujuannya adalah rekoneksi dan reedukasi kepada kandidat elit sipil agar begitu menjabat sebagai pemimpin nasional mengerti benar isu HSM ini. Bisa juga dalam kontek ini dibantu dengan “kebijakan” utilisasi komponen cadangan dan mobilisasi yang cukup berhasil membantu memahami peran dan tanggung jawab serta arti militer bagi suatu Negara bagi setiap pemudanya. Dinamika HSM akan terjadi lebih serius di-tingkat lebih atas seperti di forum pengambilan keputusan nasional di WanKamNas (berasumsi WaKamNas ada). Proses harmonisasi, keseimbangan kekuatan dan dinamika akan diawali dari aplikasi strategi keamanan nasional pada tahap kedalaman pengertian (comprehensiveness) dan integrasi sipil-militer mulai dari formulasi sampai dengan pelaksanaan kampanye atau konsep strategi keamanan nasional. Kegagalan agenda ini akan memberikan “biaya-kerugian” yang besar bahkan “nyawa” manusia.
WanKamNas sebagai suatu lembaga (kalau ada) akan biasa dan terlatih menangani pengambilan keputusan isu strategik, nasional dan kritik apabila isu strategik ini didistribusikan kepada lembaga ini. Lembaga tersebut dipastikan akan tumbuh pesat sebagai “pakar” bantu pengambilan keputusan nasional/strategik (national support decision making team). Melalui satu lembaga akan sangat mudah berhitung berapa jumlah isu yang telah diselesaikan per jumlah total isu yang ada dan digarap, dan diketahui jumlah isu yang berhasil diputuskan dan sukses per jumlah total isu yang ada, sebaliknya akan mengalami kesulitan bila dilaksanakan di lembaga “ad-hoc”. Dampaknya tingkat keandalan rezim kerja lembaga ini serta merta akan tinggi mengingat semua isu strategik/nasional dan kritik yang menyangkut kepentingan nasional dan strategi keamanan nasional ditangani oleh satu kelembagaan yang dipantau dan dikontrol terus menerus oleh orang nomor “dua”, kecuali tingkat keamanan nasional telah mencapai tingkat “satu” akan dikontrol langsung oleh Presiden.
Kenyataannya isu tersebut lebih banyak didistribusikan dibanyak pokja nasional boleh jadi tidak sangat efisien dilihat dari waktu, tebaran para pakar, tingkat kepakaran dan pengalaman, pengambilan keputusan dan “ongkos” serta tingkat keseriusannya. Kenyataan lain bahwa militer dikarenakan kehidupan sehari-harinya yang selalu bergulat dengan risiko, kecelakaan, kematian, korban,dll, akan lebih terlatih dan teredukasi baik versus pengambilan keputusan mulai dari tingkat taktis, teknis, operasi, seni operasi, strategik atau nasional, bahkan gabungan dengan sipil (CMO,CIMIC). Kualifikasi ini akan terdemonstrasikan bukan saja internal di lembaga militer saja, bahkan sewaktu berhadapan dengan anggota Parlemen, antar Departemen, maupun instansi analis pertahanan serta politiko-militer (Snider, 1). Debat hangat, diskusi dan paparan rencana strategik kekuatan militer nasional dan pertahanan nasional didepan DPR-RI merupakan bentuk dinamika puncak HSM yang menarik namun sepertinya masih belum menyentuh format “Cost-Effectiveness Ratio” melalui serangkaian pembangunan kekuatan militer berbasis ABC (Activities-Based Costing) dan “Multi-Year Programming” berbasis TLCC (total life cycle cost) yang berhitung total “biaya” setiap asset atau alut mulai dari investasi, perawatan ringan, menengah, berat, modernisasi, renovasi, suku-cadang sampai dengan tutup buku. Agenda tersebut dipastikan akan lebih banyak berorientasi kepada skenario pertahanan nasional yang komprehensif dan futuristik dan akan menyentuh tiga parameter yang diusulkan oleh Bruneau.
DAFTAR PUSTAKA
1.Andrews, Brandy.M, Maj US Army, 2008, School of Advanced Military Studies, “Patterns of Civil-Military Relations In Democracies”.
2.Bruneau,Proff Thomas.C, Dept Of National Security Affairs, August 2001,”Ministries Of Defense And Democratic Civil-Military Relations”, Naval Postgraduate School (US NPS).
3.Bruneau,Thomas,et-all, Christiana Florina (Cris) Matei, dan Sak Sakoda,US Naval Post Graduate , Journal Defense & Security ,vol 25,no.3,pp 255-269,Sept 2009,“National Security Council:Their Potential Functions In Democratic Civil-Military Relations”.
4.Chalmers,David,Col RAA,US Army War Coll,May 2003,“Heroes or Fools?–Improving Australian Civil-Military Relations“.
5.Davis,Vincent,US Army War Coll, Oct 30,1996, Monograph; “Civil-Military Relations and The Not-Quite Wars Of The Present and Future”,—“U.S. Civil-Military Relations And Operations Other Than War”, Bab – 1, Dr Don M Snider.
6.Hungtinton,Keynote Adress oleh Proff Samuel P Huntington,ahli hubungan sipil-militer AS,dalam konferensi yang diselenggarakan oleh National Endowment for Democracy’s International Forum,Maret 13-14,tahun 1995,di Washington,DC.
7.Hitrov,Todor Stoyanov,LtCol Bulgarian Armed Forces ,Thesis US NPS, March 2004, MA in Security Studies (Civil-Military Relations),”Civil-Military Relations In Post-Communist Countries”.
8.Holshek, Cristhoper J,Col US Army,US Army War Coll, 2006,“The Scroll and the Sword:Synergizing Civil-Military Power”.
9.Johnson,Douglas,dan Metz,Steven,US Army War Coll,Monograph,April 1995,”American Civil-Military Relations : New issues, Enduring Problems”.
10.Lindell,Jay H, LtCol USAF, Air War Coll, Air University,1995,”Political-Military Integration The American Experience ”.
11.Mahoney, Kathleen.A,LtCol USAF,NDU, National War Coll,20 Apr 2001,”Huntington Revisited: Is Conservative Realism Still Essential For The Military Ethic?”.
12.Minaudo,Michael F,PhD,Maj US Army,May 2009, Paper US Naval War Coll,”The Civil-Military Relations Cube:A Synthesis Framework For Integrating Foundational Theory,Research, and Practice In Civil-Military Relations”.
13.O’Connor,Andrew.C,Lieutenant US Navy,Thesis NPS,March 2011, MA in Security Studies, “Why Thailand’s Military Stepped In”.
14.Peabody,John W,LtCol US Army,”The “Crisis” in American Civil-Military Relations: A Search for Balance Between Military Professionals and Civilian Leaders”.
15.Philbrick,Cristhoper.R,Lt Col US Army,Strategic Research Project,US Army War Coll,March 2003, “Civil-Military Relations: Has the Balance Been Lost?”.
16.Scultz,Donald, Editor, US Army War Coll,Monograph, April 1998, Bab VI , April 1998,“The Role Of The Armed Forces In The Americas:Civil-Military Relations for the 21 St Century”,
17.Taylor,Edward R,Cpt USMC, Thesis NPS, MS in System Technology,June 1998, ”Command In The 21’st Century:An Introduction To Civil-Military Relations“, khususnya dihalaman 2….Civil-Military relations can be understood as an aspect of national security policy. National Security Policy is establish by Head of State to protect…dst ( Huntington,1957,halaman1 ), halaman 3……civil-military relations provide the principal institutional level of the military form…. ,dst.
18.Tim Komisi WanKamNas AS, tahap-II,didepan Kongress menyongsong strategi KamNas abad 21,”Seeking A New Strategy:A Concert For Preserving And Promoting Freedom”, utamanya halaman 6 & 21,….jangkar dari Strategi Keamanan Nasional,Strategi Nasional dan Kebijakan Nasional (termasuk strategi militer nasional ) adalah kepentingan Nasional.
19.Wiranatakusumah, Kisenda,Maj TNI-AU,Thesis US NPS,June 2000, MA in National Security Affairs,”Civil-Military Relations In The Late Soeharto-Era”.
20.Zippwald,Scott.C,Lt Col USAF, 2011,Thesis JFS Coll,MS in Campaign Planning and Strategy,2011,”Effective Civil-Military Relations: A Necessary Ingredient For Success In America’s Future Strategic Environtment”.