Oleh : Heni Sugihartini
Pendahuluan
Memasuki tahun 2017, sepertinya hampir semua negara di dunia merasa was-was dengan kemungkinan apa yang akan terjadi di dunia tahun-tahun mendatang. Salah satunya adalah terpilihnya Doland Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang pada 20 januari 2017 lalu telah di sumpah di Gedung Putih. Diakui atau tidak, Amerika Serikat masih merupakan pemain besar dalam politik, keamanan dan ekonomi internasional, dan hal-hal yang terjadi di negeri Paman Sam tersebut tentu menarik perhatian banyak pihak, termasuk Indonesia. Diakui atau tidak juga, hal-hal yang terjadi di Amerika, tentang kemungkinan kebijakan luar negeri dan pertahanan dan keamanan seperti apa yang akan di terapkan atau dipromosikan Paman Sam dalam empat tahun kedepan akan berdampak pada politik dan keamanan global. Terutama pada bagaimana dampaknya terhadap kawasan dan lingkungan strategis Indonesia.Terdapat banyak perkembangan isu yang terjadi sejak akhir tahun 2016 lalu hingga hari ini. Namun dalam hal ini penulis utamanya akan berfokus pada kebijakan Amerika Serikat di bawah Trump, China dan kaitannya dengan kepentingan Indonesia.
Trump, Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan Amerika Serikat
Dalam minggu pertama pemeritahannya, Trump langsung menandatangani empat executive order yang dua diantaranya berkenaan dengan keluarnya AS dari TPP (Trans Pacific Partnership) dan pelarangan masuk dari tujuh negara muslim serta penghentian sementara program imigrasi Amerika Serikat. Seolah ingin mengukuhkan komitmen masa kampanyenya, Trump menandatangani executif order tersebut bahkan sebelum pejabat-pejabat terkait dalam birokrasi kebijakan tersebut dipilih dan disumpah. Kedua hal tersebut langsung mendapatkan respon yang menggemparkan dari sana sini, utamanya dari negara-negara penandatangan TPP dan aliansi AS dan kekhawatiran nyata dari komunitas internasional terhadap ketidakpastian kebijakan Amerika Serikat di bawah Trump yang sepertinya mulai nampak.
Secara general, ide awal Trump pada dasarnya anti-Obama. Dia banyak mengkritik kebijakan-kebijakan Obama di sana sini, termasuk mengenai keterlibatan AS dalam TPP hubungan dengan China yang dipandang Amerika Serikat terlalu lemah, imigran, NATO dan seterusnya. Oleh karena itu barangkali kenapa banyak dari kita melihat akan ada perubahan besar dari cara atau pendekatan kebijakan luar negeri maupun kebijakan pertahanan Amerika Serikat dibawah Trump. Dr. Vali Nasr bahkan menyatakan bahwa Trump dapat dipastikan tidak akan melihat Asia sebagaimana Obama menempatkan pentingnya atau nilai strategis Asia dalam kebijakan luar negeri AS.
Isu kedekatan antara Trump dengan Rusia (Putin) juga merupakan salah satu isu yang banyak menjadi perhatian dari pemerintah Amerika Serikat empat tahun mendatang. Menurut Dr. Vali Nasr, Trump akan cenderung lebih memandang Rusia sebagai ‘kawan’. Ia juga menyebutkan bahwa “it is now, for the first time in the US history, in which US Foreign Policy or US in general would try tro align itself with Rusia”. Artinya bahwa barang kali saat ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, kita akan melihat bagaimana kebijakan luar negeri Amerika Serikat akan mencoba untuk mendekatkan dirinya dengan Rusia.
Selain isu kedekatan Trump dengan Rusia, sejumlah pihak juga kerap menyebutkan dan mengklaim bahwa Amerika Serikat dibawah Trump akan lebih inward-looking atau mawas kedalam atau pragmatis. Bahwa Amerika Serikat akan meninggalkan perannya sebagai ‘world police’ dan lebih isolasionis serta akan berdampak pada semakin meluasnya trend populis di negara-negara. Selain itu, Trump tidak percaya pada diplomasi, aliansi dan justru memandang semua hal tersebut tidaklah berbeda dengan hubungan transaksional (pendekatan bisnis – harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil mungkin). Trump tidak percaya ‘US responsibility untuk menjaga dan me-manage stabilitas internasional (US moral roles) dan tidak menaruh nilai terhadap nilai strategis dari aliansi ataupun perdagagan bebas.
Slogan ‘American First” Trump dapat diartikan “that we (US) do not see or have global interest. There is no US interest in Europe, in Asia etc”. Jadi kita dapat melihat bahwa slogan tersebut juga cenderung ‘dangkal’, dalam arti tidak ada penilaian strategis Trump terhadap kawasan. Ada juga kecenderungan intensi Trump yang mengangan-angankan konteks ‘white-christian-jews American’ First dan anti-globalisasi. Hal ini salah satunya, menurut Dr. Nasr, nampak dari kuatnya komitmen Trump dengan ‘Muslim’ Ban policy-nya.
Selanjutnya, definisi Pertahanan Trump juga tidak sama dengan yang selama ini AS selalu bicarakan dan promosikan keluar, yakni “a balance between military and political security interest etc.”Definisi Pertahanan bagi Trump lebih condong pada ‘physcal security of American’. Dengan demikian dia tidak akan terlalu peduli untuk melihat apakah disana ada isu keamanan di Ukraina ataupun di Laut China Selatan. Namun keterlibatan AS tetap mungkin terjadi, khususnya di Laut China Selatan, jika halnya ada hal yang menarik perhatian Trump (poking US interest) atau China atau negara lain melakukan aksi yang menarik perhatian Trump ke kawasan.
Begitupula dalam agenda prioritas kebijakan luar negeri AS dibawah Trump yang kemungkinan akan lebih berfokus utamanya “to secure American from fundamental threat”, baik itu existential threat, Foreign Policy Threat etc.Selain itu Trump juga percaya bahwa perdagangan bebas adalah ancaman bagi bangsa Amerika. Trump juga cenderung bertentangan dengan Uni Eropa. Ia memandang perdagangan bebas di Eropa membayangi kedaulatan dimana utamanya pertahanan itu berasal. Sehingga, Trump menilai, negara-negara Uni Eropa terlalu bergantung terhadap Amerika Serikat untuk hal pertahanan. Hal ini salah satunya dapat dilihat dari Trump yang kerap kali mengkritik NATO dan meminta negara-negara Eropa untuk mengambil porsi (anggaran pertahanan) yang lebih mulai saat ini.
Ancaman terhadap Amerika Serikat lainnya menurut Trump adalah China. Ia mengklaim bahwa China telah melakukan manipulasi currency dan bahwa praktik perdagangan China adalah ancaman langsung bagi bangsa Amerika. Disisi lain, Trump melihat Rusia sebagai rekan penting untuk meningkatkan ‘bargaining position’-nya terhadap China. Pada minggu-minggu pertama pemerintahannya, Trump sempat membuat ‘panas’ China dengan mengangkat telepon dari pemimpin Taiwan dan mengatakan bahwa dia tidak merasa terikat dengan ‘One China Policy’. Hal tersebut mendatangkan repson negatif dari China, walaupun pada 17 februari 2017 Trump akhirnya melakukan kontak telepon pertama dengan presiden Xi Jinping dan menyatakan bahwa ia menghormati ‘One China Policy’. Dr. Vali Nasr menyimpulkan bahwa ancaman dari kebijakan Amerika Serikat-nya Trump adalah ‘his incompetence and dysfunctional policy rather than the threat of the implemented policy itself’ atau ketidakcakapan dan sikap yang keluar dari norma atau kebiasaan yang berlaku (tidak beroperasi dengan benar) adalah ancaman utama dari AS Trump yang harus diantisipasi oleh semua negara.
Jika boleh menambahkan, sikap Trump yang cenderung transaksional dan tidak tertarik pada isu-isu global seperti kemanusiaan, HAM dan lingkungan artinya biaya untuk melakukan hubungan dengan Amerika Serikat akan lebih mahal. Dalam arti bahwa Amerika yang tidak merasa berbagai kepentingan global (global interest) seperti kemanusiaan, lingkungan etc, mengindikasikan kuat kepentingan Amerika yang akan selalu diutamakan dalam setiap hubungan internasionalnya. Dengan demikian, bentuk hubungan atau kerjasama apapun dapat dipastikan bahwa Amerika Serikat (Trump) akan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan biaya yang seminim mungkin. Hal ini juga akan diperparah dengan kemungkinan kecenderungan hubungan yang bersifat bilateral karena Trump tidak mempercayai pola hubungan multilateral, sebutlah kritik dia terhadap NATO, EU dan PBB dimana dia tidak memiliki kepentingan global (share global interest) melainkan Amerika tadi
Barangkali dalam beberapa poin pemaparan tersebut ada benarnya.Namun apakah benar bahwa ketidakcakapan Trump untuk menjadi Presiden AS adalah hal yang paling harus diantisipasi oleh negara-negara? Bahwa kebijakan Trump tidak dapat diprediksi?
Trump-China: the Great Power Politics
Walaupun banyak yang menilai bahwa Trump tidak kapabel dan unpredictable, namun menurut Edward Luttwak ada banyak logika dan realisme dibalik strategi kebijakan luar negeri Trump sebetulnya. Ketakutan global terhadap kebijakan luar negeri Trump yang baru lahir tidak akan berlangsung lama. Berkaitan dengan China dan ‘ekspansionisme’ perairan yang dilakukannya, menurut Luttwak, kebijakan Trump yang lain akan lebih berdampak dibandingkan kebijakannya di atau terhadap China itu sendiri. Sebagai contoh, jika kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah (khususnya US disegangement from Afganistan and Irak) dan kebijakan terhadap Rusia dapat benar-benar direalisasikan, akan berdampak pula terhadap posisi China di kawasan Asia.
Dalam masa kampanyenya, Trump kerap mengkritik kebijakan Amerika Serikat selama ini yang banyak mengirimkan pasukan ke perang-perang di Timur Tengah tetapi tidak berhasil. Oleh karena itu, Trump mengatakan bahwa ia akan menghentikan pengiriman dan menarik semua pasukan Amerika Serikat dari Afganistan dan Irak karena dinilai tidak menguntungkan. Selain itu, berkenaan dengan isu kedekatan Trump dengan Putin, jika halnya Trump benar-benar dapat mencapai kesepakatan dengan Putin terkait Ukraina -terlepas dari urusan NATO- maka sumber daya militer Amerika Serika dapat dilepaskan dan di fokuskan untuk menahan (containment) China. Itu artinya, Amerika akan memfasilitasi respon yang lebih kuat terhadap ‘ekspansionisme’ China di Laut China Selatan.
Hal ini jelas berbeda dengan yang sebelumnya dilakukan oleh Obama, dimana Gedung Putih kerap kali menolak usulan US Pacomm untuk melakukan patroli ‘freedom of navigation’ di atau melalui Laut China Selatan, dengan berharap pendekatan diplomatik dan verbal saja dapat menghentikan ambisi China. Akan tetapi Trump sepertinya, dan sudah terbukti secara perlahan, tidak berbagi pandangan yang sama dengan Obama. Besar kemungkinan dia tidak akan menghentikan US Pacomm untuk melakukan tugasnya untuk ‘memastikan jalur laut terbuka’ -bahasa halus untuk menolak klaim teritori China di Laut China Selatan. Jikapun Amerika Serikat menarik kembali pasukannya dari Laut China Selatan- menyerahkan penyelesaian isu ke negara-negara pengklaim. Besar kemungkinan ia akan berusaha mempertahankan dependensi psikologis negara-negara kawasan terhadap kehadiran atau ‘jaminan’ keamanan Amerika Serikat.
Amerika Serikat yang lebih tegas terhadap China di Laut China Selatan disatu sisi barangkali menguntungkan bagi negara-negara kawasan -utamanya negara pengklaim-, termasuk bagi Indonesia. Intensi China di Laut China Selatan begitu besar, tidak dapat di bendung dan ditawar-tawar. China mempunyai banyak kepentingan terhadap aktifitasnya di pulau dan karang-karang tersebut. Mulai dari klaim historis yang keukeuh mereka pertahankan (the nine dash line); di dorong oleh kepentingan politik, baik domestik maupun global serta kepentingan militer (Maritime Silk Road dan String of Pearls), serta berbagai kepentingan ekonomi, makro maupun mikro (One Belt on Road).
Intensi China yang begitu kuat dan nampaknya juga begitu komprehensif tentu tidak akan dapat dengan mudah China lepaskan hanya oleh inducement-inducement verbal dan diplomatik. Berkaca dengan apa yang terjadi selama beberapa tahun terakhir, pendekatan-pendekatan demikian hanya mampu memperlambat atau paling kuat menahan sementara aktifitas dan pembangunan China di Laut China Selatan. Selepas itu, China akan terus menyajikan kejutan-kejutan yang telah dapat diprediski berkenaan pembangunan dan aktifitasnya tersebut.
Dalam perkembangan terakhir kita ketahui China disinyalir kuat telah hampir merampungkan fasilitas yang mampu menampung surface-to-air missile di pulau Woody, pulau Paracel. Berkenaan dengan ini, menurut Bonnie Glasser, direktor China Power Project CSIS, penggambaran satelit menunjukkan tempat new surface-to-air missile disebarkan digedung-gedung dengan atap yang dapat ditarik masuk. Artinya Beijing dapat menyembunyikan pelontar dan bahwa mereka terlindungi dari tembakan senjata-senjata kecil. Hal tersebut akan memberikan mereka kapabilitas untuk mempertahankan pulau itu sendiri, termasuk berbagai fasilitas yang ada didalamnya.
Disisi lain, sepuluh negara ASEAN nampak kesulitan untuk menyatukan suara terhadap aksi sepihak China di Laut China Selatan. Selain karena ‘nature‘ dalam hubungan diantara negara-negara ASEAN yang rumit karena prinsip non-inteference-nya; terpecahnya kepentingan negara-negara ASEAN dan pandangan terhadap nengara-negara besar (leaning to US or China -contoh Vietnam dan Kamboja); juga diperparah dengan trend pragmatisme (Indonesia, Filipina) dan kebangkitan authoritarian (Malaysia, Thailand) di sejumlah negara ASEAN. Dan pendekatan ekonomi (economic inducement) China melalui penawaran-penawaran ekonomi, investasi dan pembangunan dengan skema Maritme Silk Road Initiative-nya memang sangat menarik bagi mayoritas negara ASEAN yang merindukan percepatan pembangunan dan ekonomi juga berpotensi besar mengelabui negara-negara kawasan sehingga sulit untuk memberikan respon yang tegas terhadap China. Hal-hal tersebut menjadikan proses pengumpulan suara dan kesepakatan menjadi semakin panjang dan bertele-tele. Jikapun tentunya hampir semua negara dikawasan sangat menyadari ‘potensi bahaya’ dari China dan tidak menginginkan adanya pergesekan senjata di halaman dan ruang hidupnya.
Selanjutnya, jika kebijakan Rusia Trump berhasil, seperti yang diungkapkan sebelumnya, maka hal tersebut akan mengurangi tensi dan dengan demikian mengurangi kebutuhan untuk mengirimkan kekuatan bersenjata AS ke eropa untuk memperkuat aliansi NATO. Dalam satu artikel lain, sejumlah ahli skeptis dengan kemungkinan berhasilnya kebijakan tersebut mengingat tidak ada ahli kebijakan luar negeri di Amerika Serikat yang akan menyetujui kebijakan untuk mengurangi kekuatan ataupun kredibilitas NATO. Namun berkenaan dengan itu, Trump telah mengatakan berulang kali bahwa ia akan lebih menekan keadilan dalam burden-sharing aliansi, utamanya dari anggota NATO yang lebih kaya. Beberapa pihak di Eropa mengatakan kemungkinan kebijakan Trump tersebut dapat saja mendorong pembentukan kekuatan gabungan Eropa sendiri. Hal tersebut tentu akan menjadi respon yang menarik, karena artinya negara-negara Eropa akan harus mengeluarkan biaya yang bahkan lebih besar daripada yang diminta Trump. Namun outcome yang lebih memungkinkan adalah Trump akan mendapatkan apa yang dia inginkan, yakni kenaikan burden-sharing NATO bagi negara-negara Eropa, mungkin mencapai 2 persen GDP.
Hal serupa juga terjadi dengan aliansi AS dengan Jepang (nampaknya belum ada pemberitaan terkait Korea Selatan mengingat kondisi domestik di Korea Selatan sendiri yang masih dalam kondisi uproar setelah impeachment presiden Park Geun Hye). Setelah Trump terpilih sebagai presiden dalam pemilihan di bulan November lalu, Perdana Menteri Shinzo Abe langsung melakukan kunjungan dengan Trump. Dan pada pertengahan bulan februari 2017, kita melihat bagaimana pada akhirnya hubungan kedua negara dapat kembali dinormalisasi setelah berbagai keraguan yang menyelimuti kelanjutan aliansi AS-Jepang dalam kampanye Trump. Namun kembali lagi, jikapun memang tentunya faktor domestik dan sistem birokrasi di Amerika Serikat yang telah cukup matang dan membatasi kewenangan presiden, namun apa yang benar-benar Trump inginkan tetap ia dapatkan. Yakni bagi Jepang untuk juga mengambil porsi burden-sharing yang lebih besar untuk pertahannya dan aliansi.
Sejumlah pihak barangkali melihat hal-hal tersebut sebagai ‘kekalahan’ poin bagi Trump, namun bagi penulis hal tersebut justru bisa jadi adalah kemenangan besar bagi Trump dan inilah salah satu bukti bagaimana sikap transaksionalisme bisnis Trump. Baik dalam kasus NATO maupun Jepang (barangkali hal serupa telah dan akan terjadi dengan Korea Selatan) Trump dapat membuat pihak lain membayar harga yang lebih mahal untuk pertahanan dan aliansi, akan tetapi dependensi pihak-pihak tersebut -bahkan boleh dikatakan desperation- terhadap payung keamanan Amerika Serikat masih terpelihara bahkan begitu terasa di media. Disisi lain, Trump akan dapat memusatkan kekuatan bersenjata Amerika Serikat di wilayah lain dan salah satunya adalah dalam menahan, mendorong bahkan melawan China secara lebih tegas sebagaimana dipaparkan sebelumnya.
Lesson learned: gaya transaksionalis AS Trump harus diwaspadai. Barangkali adalah kabar bahagia ketika Amerika Serikat maju kedepan dengan mengirimkan satu gugus perang untuk berpatroli di Laut China Selatan untuk memberikan sinyal kepada China ditengah lemahnya sikap dari ASEAN ataupun negara-negara terkait. Namun disisi lain, dalam waktu tertentu akan ada harga yang harus dibayar oleh negara-negara terkait atau negara kawasan secara umum -termasuk Indonesia untuk hal tersebut. Entah dalam bentuk apapun itu.
Kembali soal Eropa dan NATO, dengan demikian sebetulnya kemungkinan tidak akan ada perubahan yang signifikan dalam kebijakan Amerika Serikat dibawah Trump terhadap Eropa. Dukungannya yang vokal terhadap Brexit menunjukkan skeptisisme-nya terhadap Uni Eropa.Seperti semakin meningkatnya sejumlah kalangan di Eropa, dia juga memandang Uni Eropa sebagai percobaan yang gagal dan dimakan oleh sistem birokrasi dan moneternya sendiri serta menghancurkan pertumbuhan ekonomi. Walaupun kembali, tidak ada presiden Amerika Serikat yang dapat melakukan apapun seenaknya, terlebih apa yang berada di Eropa. Namun bahkan Trump yang diam saja akan dapat membesarkan hati dan mendorong politisi-politisi yang skeptis terhadap Uni Eropa atau organisasi kawasan dimanapun termasuk di negara-negara ASEAN. Suasana ‘psikologis’ demikian tentu akan berbahaya dan berpotensi semakin memecahbelah ASEAN dan dapat meningkatkan dependensi negara-negara kawasan terhadap AS atau sebaliknya China.
Selanjutnya adalah kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah, utamanya terhadap Iran. Sebelumnya pada periode Obama, hasrat Amerika untuk segera mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran, Obama mengacuhkan keprihatinan Israel dan Saudi Arabia -yang secara terus menerus berada dibawah penyerangan Iran- dan memperlakukan sikap keberatan mereka secara dingin. Saudi tentu tidak merespon positif kedekatan Amerika Serikat dengan Iran tersebut dan menganggap hal tersebut sebagai penghianatan. Disisi lain, walaupun nampaknya tidak mungkin bagi Trump untuk menanggalkan kesepakatan dengan Iran yang ia kritisi dengan sangat selama ini, namun ia akan berdiri teguh melawan Iran.
Para pejabat Trump tidak akan mentolerenasi penyimpangan apapun dari kesepakatan nuklir, tidak akan bergerak untuk mencabut sanksi misil balistik dan terrorisme dan jika halnya angkatan bersenjatan Iran berupaya untuk mempermalukan Trump dengan provokasi militer (utamanya naval provocations seperti dilakukan terhadap Obama), maka AS pun tidak akan tinggal diam dan membalas aksi serupa. Dengan demikian, kita akan dan mungkin telah menyaksikan ada perbaikan hubungan antara AS dengan Saudi pada bulan-bulan terakhir (telepon Raja Salman dengan Trump).
Hal serupa atau tepatnya pendekatan Trump yang demikian juga tidak menutup kemungkinan diterapkan terhadap negara-negara di Asia Pasifik. Terhadap Korea Utara dan utamanya terhadap China, kebijakan-kebijakan Amerika Serikat yang secara tradisional selalu dilakukan akan tetap dilaksanakan. Artinya tidak akan ada perubahan kebijakan yang benar-benar signifikan. Hal tersebut karena banyak prosedur dan birokrasi yang akan menahan Trump untuk melakukan hal sesuka hatinya. Aliansi dengan Jepang, Korea, Filipina dan kedekatan dengan Australia, Thailand, Malaysia akan tetap ada dan dipertahankan.
Begitupun hal berkenaan dengan China dan Taiwan. Namun sikap antagonisme Trump terhadap China seperti yang selama kampanye Ia selalu ungkapkan juga akan ia pengang kuat dan akan memastikan setiap ancaman atau aktifitas provokatif yang dilancarkan China akan mendapatkan respon yang setimpal bahkan lebih kuat dan tanpa toleransi. Begitupun jika halnya hal tersebut terjadi di Laut China Selatan. Akan bagaimana respon balik dari China terhadap respon Amerika seperti demikian. Sejauh ini, terkait dikerahkannya gugus tempur AS untuk berpatroli di LCS, China hanya merespon secara verbal (melalui juru bicara kementerian luar negerinya) dan menentang aktifitas AS tersebut. Secara militer, dan mengingatkan kembali yang diprediksikan perang (war game) oleh RAND (lembaga kajian militer AS), memang besar kemungkinan Amerika Serikat akan tetap menang jikapun harus berhadapan dalam perang terbuka dengan China yang saat ini terus membangun dan membelanjakan uangnya untuk pertahanan. Disatu sisi, kita mempertanyakan apakah kapabilitas China telah setara dengan Amerika Serikat? Hal tersebut masih belum terbukti secara nyata karena kapabilitas persenjataan dan militer China belum teruji melalui perang sebelumnya.
Namun disisi lain, China juga sepertinya tidak akan tinggal diam mengingat kepentingan dan ‘dignity’-nya di Laut China Selatan yang besar, baik secara internasional maupun domestik. Walaupun hal itu tidak berarti bahwa memasuki ‘konflik terbuka’ akan menjadi opsi dengan alasan kapabilitas yang belum setara tadi. Yang menjadi pertanyaan utama adalah, akan atau harus seperti apakah negara-negara kawasan, utamanya Indonesia merespon kemungkinan skenario antara kedua negara besar tersebut di lCS? itulah yang harus kita cari saat ini. Apakah kita akan terus berdiam diri sementara di satu sisi China terus membangun kekuatan dan disisi lain Amerika Serikat akan terus menekan China dengan patrol ‘freedom of navigation’-nya tersebut?
Trump dan Spill-Over Kebijakan Imigran terhadap Indonesia
Selain isu negara atau isu keamanan tradisional, isu keamanan non-tradisional utamanya imigran di bawah pemerintahan mendapatkan banyak perhatian global. Dalam hal ini penulis akan langsung memaparkan bagaimana kebijakan imigran di Amerika Serikat akan berdampak terhadap Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa Amerika Serikat dibawah Trump akan cenderung pragmatis dan transaksionalis. Disebutkan pula sebelumnya bahwa tidak akan ada banyak perubahan dalam kebijakan luar negeri maupun pertahanan Amerika Serikat dibawah Trump kecuali perubahan-perubahan kecil. Hal ini juga diamini oleh salah satu staff di bidang politik dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta, dalam satu kesempatan, bahwa tidak akan ada perubahan besar dalam kebijakan Amerika Serikat dibawah Trump, baik itu itu sikap AS atas atas Laut China Selatan -in which we have a lots of interest, dia katakan-, kecuali mungkin perbicangan-perbincangan seputar isu kemanusiaan dan lingkungan, global warming etc. Dia mengatakan bahwa perubahan yang paling besar justru barangkali berkenaan dengan isu-isu tersebut mengingat Trump tidak percaya terhadap isu demikian.
Barangkali beberapa diantaranya yang telah nampak adalah ditandatanganinya Executive Order untuk pelarangan masuk dan imigran dari tujuh negara muslim, yakni Iran, Irak, Sudan, Yaman, Suriah, Libya dan Somalia tadi, dengan dalih mencegah terrorisme dan masuknya terrorisme ke Amerika. Bersamaan dengan itu, Trump juga menghentikan sementara program imigrasi Amerika selama kurang lebih empat bulan. Kebijakan tersebut tidak hanya mendapatngkan respon negatif dari negara-negara di luar, termasuk kekhawatiran publik di Indonesia. Kebijakan tersebut juga mendapatkan tantangan dari pihak publik dan Mahkamah Pengadilan di Amerika sendiri. Namun Trump nampaknya tetap bersih keras agar kebijakan tersebut dapat diimplementasikan dan jikapun saat ini executive order tersebut masih dalam proses peradilan, Trump bersikeras dengan ‘gagasanya tersebut’ dan bahkan akan menantangani executive order baru yang akan membersihkan Amerika dari dan mendeportasikan seluruh imigran yang illegal dan tidak berdokumen keluar dari negeri Paman Sam.
Executive Order yang ditanda tangani oleh Trump tersebut mungkin memang tidak memberikan dampak langsung terhadap hubungan antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Sebagaimana dilansir oleh beberapa media baik nasional maupun internasional, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dalam telepon dengan presiden Trump memastikan bahwa hubungan kedua negara tetap baik dan kondusif. Namun perlu di kita sadari bahwa tentunya kita akan terkena banyak ‘tumpahan’ atau spill over dari berubahnya sikap dan perhatian negara ‘adidaya’ tersebut.
Pertama adalah mengenai pengungsi yang ada di Indonesia hari ini. Berdasarkan data dari UNHCR menyebutkan bahwa saat ini Indonesia menjadi tuan rumah bagi kurang lebih 14.000 pencari suaka dan pengungsi, yang mayoritas berasal dari negara-negara muslim. Dan yang lebih mengkhawatirkannya lagi bahwa beberapa diantaranya adalah dari negara-negara yang termasuk dalam daftar tujuan negara tersebut, yakni kurang lebih 6.6 persen berasal dari Irak, 4.6 persen berasal dari Iran dan 9 persen dari Somalia. 50 persen lainnya mayoritas muslim utamanya dari afganistan dan Rohingya. Penghentian penerimaan oleh Trump dan pelarangan masuk bagi warga negara dari tujuh negara mayoritas muslim tersebut -dengan dalih keamanan dari teroris- tentunya akan berdampak besar bagi mereka yang saat ini masih berada di Indonesia. Kembali berdasarkan data statistika dari UNHCR, dari 1.226 pencari suaka yang ditempatkan sementara di Indonesia, 62 persen diantaranya dikirimkan ke Amerika Serikat dan 28 Persen ke Australia.[i]
Kedua, sejak tahun 2014 Australia kita ketahui telah menurunkan jumlah penerimaan pencari suaka dan mencegah masuknya pencari suaka lewat laut, dengan kebijakan ‘Turn the Boat’-nya, dari menerima sekitar 808 pencari suaka di tahun 2013, per tahun 2016 Australia hanya menerima 347 saja. Hal ini juga akan diperkeruh lagi dengan kemungkinan semakin tertutup-nya Australia karena kritik dan penolakan Trump terhadap kebijakan Imigran Australia dan kesepakatan yang telah dibuat antara Australia dengan AS di Era Obama untuk menerima pencari suaka yang saat ini berada di kamp-kamp pengungsian di Australia oleh Amerika Serikat.[ii]
Ketiga, negara-negara di Eropa sendiri saat ini mulai dan tengah kewalahan dengan membludak-nya jumlah pengungsi dari Timur Tengah, dan kita ketahui juga jadi memecah belah pandangan diantara negara-negara Uni Eropa sendiri. Indonesia tentu akan semakin kewalahan dengan meningkatnya jumlah pencari suaka di Indonesia. Di tahun 2010, UNHCR mendata sekitar 2.882 orang pencari suaka di Indonesia, dan per febuari 2016 jumlah tersebut mencapai 13.829 orang. Perlu dicatat bahwa Indonesia bukan termasuk negara penandatangan Refugee Convention 1951 ataupun protokol-nya tahun 1967. Namun sebagai bentuk wujud kepedulian sosial dan kemanusiaan, pemerintah Indonesia mengizinkan para pencari suaka untuk masuk dan tinggal sementara (transit) di Indonesia sebelum akhirnya ditempatkan di negara ketiga, yang utamanya adalah Amerika Serikat dan Australia tadi.
Kita melihat bahwa dengan kondisi saat ini, dengan Trump yang menolak untuk menerima pengungsi dan migran, maka nasib para pencari suaka dan pengungsi di Indonesia pun akan semakin sulit. Terlebih Trump juga berencana untuk mengurangi intake refugee menjadi 50.000 di tahun 2017 (sebelumnya dari Australia saja AS berkomitmen untuk menerima hingga 110.000 orang dan menganggarkan dana untuk itu) dan menekankan bahwa pencari suaka atau migran kristen dan agama minoritas lainnya akan lebih diprioritaskan dibandingan mereka yang muslim.
Sikap dan kemungkinan kebijakan Trump tersebut tentunya membawa akan membawa dilema besar bagi pemerintah Indonesia dan ketidakpastian bagi para pencari suaka dan pengungsi yang ada di wilayah Indonesia. Dan besar kemungkinan mereka harus menempatkan diri lebih lama di Indonesia karena tidak banyak pilihan yang ada saat ini. Jumlah tersebut juga tidak dapat dipastikan apakah akan berkurang atau bertambah dalam tahun-tahun kedepan dengan sejumlah kebijakan-kebijakan yang akan di keluarkan Trump, baik itu kebijakan luar negeri maupun pertahanannya yang tentunya sebagai the so-called role model akan memberikan dampak psikologis yang kuat juga terhadap negara-negara lain utamanya Australia dan di Eropa (ex. Inggris dengan Brexit-nya dan mulai menguatnya partai-partai golongan kanan di sejumlah negara–negara Eropa seperti Perancis, Jerman dan Belgia).
Hal tersebut dapat diperparah karena, keempat, Trump yang cenderung tidak percaya atau acuh tak acuh pada isu kemanusiaan dan lingkungan dan skeptisisme terhadap organisasi multilateral. Kaitannya adalah karena sumber dana PBB selama ini hampir 40 persen berasal dari bantuan Amerika Serikat. Dan dalam hal ini Trump juga pernah menyebutkan bahwa dalam pemerintahannya ia akan mengurangi kucuran dana bantuan ke PBB. Artinya, Indonesia akan dibebani untuk menampung imigran yang mungkin akan masuk dan transit sementara baik secara legal maupun illegal dengan data dan dana dari UNHCR (PBB), tapi disisi lain uangnya tidak ada.
Simpulan
Kita sadari bahwa situasi politik internasional dan stabilitas keamanan global maupun regional mempengaruhi kepentingan kita dalam berbagai hal. Utamanya terhadap posisi dan kepentingan Indonesia untuk menjamin eksistensi dan kedaulatan NKRI, baik dari sisi keamanan dan pertahanan, politik, ekonomi, social budaya bahkan hukum. Hal-hal berkenaan dengan Trump menurut hemat penulis sangat perlu diantisipasi dan diperhatikan. Banyak pihak nampaknya terbuai dengan prediksi Trump yang cenderung tidak kompeten dan tidak dapat diprediksi. Begitupula dengan kehadiran patrol Angkatan Laut AS di Laut China Selatan yang dijadwalkan rutin. Penting bagi Indonesia untuk menegaskan dan menyelaraskan kepentingan nasionalnya. Artinya kontruksi kepentingan Indonesia saat ini masih belum jelas dan perlu dipertegas. Hal ini karena, disadari atau tidak, menurut hemat penulis melemahnya siakp ASEAN dewasa ini didorong kuat oleh ‘lepasnya’ perhatian Indonesia terhadap ASEAN itu sendiri. Artinya ketegasan sikap Indonesia akan menjadi vitamin penting bagi kesatuan dan ketegasan sikap ASEAN (Indonesia traditional role as the big brother of SEA nations).
Selain itu, perubahan atau pergeseran isu di tingkat global yang begitu dinamis akan menuntut respon dan tindakan yang semakin cepat dan tepat. Jika tidak maka kita akan kehilangan banyak hal, apakah itu akibat ancaman (imminent loss) yang bersifat fisik (physcal loss); strategic loss; atau kesempatan-kesempatan yang terlewatkan (hidden loss). Sehebat dan sebesar apapun kekuatan ataupun kapabilitas suatu negara, pada dasarnya ada pihak yang benar-benar dapat mengetahui apa yang akan terjadi esok hari. Apa konsekuensi atau keuntungan yang kita perbuat dimasa lalu terhadap kondisi kita esok hari. Namun, Clin Gray menyebutkan bahwa, yang dapat kita lakukan adalah mencari pengetahuan masa depan apa yang dapat kita ketahui dan tujuan utamanya adalah untuk mengeksplorasi bagaimana orang-orang dapat mengatasi dengan cukup baik dari tantangan ketidakpastian tersebut. Selain itu, tidaklah mudah untuk dapat menentukan dengan pasti alat (means) dan cara (ways) apa yang seratus persen dapat digunakan untuk menghadapi ketidakpastian tersebut. Oleh karena itu pendekatan inti dan paling praktikal untuk hal ini adalah politik. Dan berbicara mengenai politik, artinya berbicara kepentingan. Oleh karena itu penulis juga menyebutkan sebelumnya bahwa penting bagi Indonesia untuk menegaskan dan ‘menyelaraskan’ kepentingan nasional sendiri.
Baik itu soal atau terkait langsung nantinya dengan isu keamanan secara general (politik, ekonomi, militer dan seterusnya) ataupun khusus mengenai pertahanan, kontruksi kepentingan nasional yang jelas dan tegas adalah hal yang paling utama. Gray menyebutkan bahwa “Defence planning needs context, because it cannot navigate itself.” Agar Indonesia juga tidak mudah terseret-seret dinamika global dan atau kepentingan negara-negara besar atau menjadikan Indonesia sulit untuk memutuskan dan bertindak karena ada ketidakselarasan, misalnya, antara kepentingan politik, keamanan dan kedaulatan versus kepentingan ekonomi dan pembangunan. Dengan demikian kontruksi kepentingan tersebut harus dikomunikasikan dengan baik kepada para pemangku kepentingan dan kebijakan di negeri ini. Ketegasan dan keselarasan demikian, menurut hemat penulis, adalah kunci pertahanan paling utama ketika kita harus menghadapi ‘pembisnis lihai’ seperti Trump diesok hari. Begitupun dalam menghadapi China dan berbagai insiatifnya atau isu lainnya secara general.
Berangkat dari kontruksi kepentingan tersebut maka kita akan mempunyai modal dasar yang kuat untuk membangun kontruksi geopolitik Indonesia yang lebih jelas, kompehensif dan benar-benar dapat diimplementasikan. Kita harus sadari bahwa bagaimana Indonesia bertindak akan menjadi preseden atau sesuatu yang akan ditiru oleh negara-negara lain di kawasan. Tanggungjawab dan peran Indonesia untuk menjaga stabilitas kawasan, utamanya domain maritim, bukan hanya untuk negara lain, melainkan Indonesia sendiri (dua pertiga kawasan Asia Tenggara adalah Indonesia).Begitupun menghadapi dinamika dan ketidakpastian global, tidak akan dapat dihadapi dengan pendekatan yang bersifat taktis semata. Dengan demikian, visi yang lebih besar dan bersifat strategis adalah mutlak untuk dimiliki.
Selanjutnya, berkenaan dengan isu dampak terhadap isu keamanan non-tradisional khususnya isu imigran, pencari suaka dan sejenisnya. Maka selain kontruksi kepentingan nasional Indonesia yang harus diperjelas (politik, keamanan, ekonomi dan social budaya), kontruksi hukum ditingkat nasional itu pun harus dikaji ulang dan dipertegas. Begitupun dengan kontruksi penegakan hukum dan pendukungnya.Mengingat kondisi geografis kita sebagai negara kepulauan, barangkali logis jika dikatakan bahwa mayoritas pencari suaka dan pengungsi utamanya masuk dan keluar melalui laut. Oleh karena itu kontrol dan pengetahuan terhadap wilayah laut (maritim) -Maritime Domain Awareness- menjadi hal yang paling utama dan mendasar yang harus kita perkuat. Dengan demikian, peran TNI Angkatan Laut sangatlah penting dalam hal ini. Baik itu dengan pengintesifan patroli maritim (termasuk yang sifatnya kolaborasi dengan lembaga/dinas lain seperti BAKAMLA); pengembangan riset dan teknologi utamanya untuk meningkatkan kemampuan C4ISR (Command, Control, Comunications, Computers, Intelligent, Surveillance and Reconnainssance); dan barangkali mengembangkan sistem pengumpulan data intelligent dengan memberdayakan masyarakat maritim (nelayan, kapal, desa pantai dst) untuk menjadi mata dan telinga kita di laut.
Selain hal-hal yang tersebut diatas, hal yang barangkali perlu kita perhatikan dan terkait langsung dengan kepentingan keamanan kita adalah apakah akan perubahan terkait keberadaan US Marine Forces di Darwin Australia. Dalam perkembangan terakhir, per 15 februari 2017, juru bicara Australian Defence Force mengatakan bahwa kehadiran marinir AS di Darwin tidak akan berubah dibawah pemerintahan Donald Trump. Kedua negara juga hingga hari ini tengah mengerjakan implementasi penuh kesepakatan pertahanan 25 tahun antara AS dan Australia. Disebutkan pula bahwa pada tahun ini rotasi marinis AS akan sampai di Darwin di bulan april dan diprediksi akan menjadi Marine Air Ground Task Force paling kompleks yang dikirimkan ke Australia. Sekitar 1250 marinir dan hingga 13 kapal perang, termasuk empat MV-22 Ospreys, akan terlibat dan menciptakan aktifitas pelatihan yang lebih kompleks dan canggih.
Menurut hemat penulis, jikapun memang ada perubahan dalam kebijakan-kebijakan dari AS yang Obama dan AS yang Trump di bidang pertahanan. Namun adalah unlikely bagi Trump untuk melakukan perubahan yang besar seperti terkait NATO, Jepang dan Korea Selatan, dan begitupun dengan atau terhadap Australia. Mengingat kembali nature atau ‘seni bernegara’ (?) Trump, perubahan yang mungkin dapat kita prediksi hari ini terkait kehadiran US Marine di Darwin adalah mengenai patungan biaya operasional sebagaimana kerap ia katakan dalam hal NATO dan aliansi lainnya. Kekhawatiran ini juga diamini oleh juru bicara ADF tentang komentar Trump bahwa Aliansi harus berkontribusi lebih secara finansial terhadap kehadiran militer AS di negara mereka. Namun terlepas dari itu, hubungan kedua negara tetap solid dan begitupun dengan kesepakatan militer antara AS dan Australia. Signifikansi strategis aliansi AS-Australia juga semakin solid dengan keputusan AS untuk mengirimkan satu squadron full F-22s ke Darwin, Australia. Dengan demikian, Indonesia harus semakin mewaspadai perkembangan isu di Darwin. Terlebih berkaitan dengan kondisi hari ini dimana Indonesia juga tengah bersitegang dengan PT Freeport dan menghangatnya isu Papua Merdeka di sidang-sidang PBB beberapa waktu terakhir oleh negara-negara Melanesia seperti Vanuatu dst.
Referensi
Dr. Vali Nasr dalam USINDO Special Open Forum, Februari 2017. “US Foreign and Defense Policy Prediction under Trump Administrations”.
Buku dan Journal:
Gray, Colins S. 2014. Strategy and Defence Planning: Meeting the Challenges of Uncertainty. Oxford University Press.
Kamens, Henry. 2017. South China Sea: We Want the Problem, Now You Sort It Out. New Eastern Outloook Journal. Di akses dari :< http://journal-neo.org/2017/03/01/south-china-sea-we-want-the-problem-now-you-sort-it-out/>
Website:
http://www.nationalreview.com/article/444074/donald-trump-inaugural-address-foreign-policy-analysis
http://nationalinterest.org/feature/the-limits-trumps-transactional-foreign-policy-18898
http://www.ntnews.com.au/business/marines-rock-solid-in-darwin-under-trump/news-story/fb0242dbf8d7278d52e36de823a55521;
[i]http://www.thejakartapost.com/academia/2017/02/02/doubt-over-refugees-living-in-indonesia.html
[ii]http://internasional.kompas.com/read/2017/02/02/16224951/trump.berpotensi.picu.ketegangan.dengan.australia