- Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai peristiwa menarik terus terjadi di kancah global. Salah satunya adalah terlibatnya India dalam Quadlateral Security Dialogue dengan Amerika Serikat, Australia dan Jepang, di sela-sela pertemuan East Asia Summit Nopember 2017 lalu. Disatu sisi langkah strategis yang dilakukan oleh empat negara tersebut adalah sesuatu yang ‘expected’ meningingat agresifitas China di kawasan Asia Selatan dan samudra Hindia (Maritime Silk Road dan proyek-proyek Belt and Road Initiative). Namun disisi lain hal tersebut juga mengundang banyak tanda tanya, mengingat secara tradisional India memiliki pandangan yang bersebrangan dengan tiga negara pastisipan lainya yang memang sudah beraliansi. Namun tentunya perilaku India tersebut tidak datang begitu saja. Adapun dalam tulisan ini bertujuan untuk memahami geopolitik India. Mulai dari realitas, dan tantangan geografis hingga politik domestik dan bagaimana beberapa hal tersebut membentuk geopolitik dari India saat ini.
- Realitas dan Keharusan Geografis India
India (Bhārat) atau Republik India (Bhārat Gaṇarājya) adalah negara terbesar dan berpengaruh di kawasan Asia Selatan. Secara umum, India adalah negara dengan luas geografis terbesar ke tujuh di dunia dan negara dengan populasi terbanyak kedua setelah China. Dengan jumlah populasi kurang lebih 1.2 milyar orang, India dikenal sebagai negara demokrasi dengan populasi terbesar di dunia. Secara geografis, India dikelilingi oleh samudra Hindia di bagian selatan, laut Arabia di bagian barat daya dan Teluk Benggala di bagian tenggara. Di laut, India juga berbatasan dengan sejumlah negara, yakni Sri Lanka dan Maldives di bagian selatan; dan berbatasan dengan Indonesia di laut Andaman dan pulau Nicobar. Sementara di darat, Ia berbatasan dengan Pakistan sebelah barat; China, Nepal dan Bhutan di timur laut; dan berbatasan dengan Bangladesh dan Myanmar di sebelah timur.
Ketika kita berbicara mengenai geopolitik India, maka kita harus melihat dari seluruhan konteks geografi subkontinen India – termasuk juga wilayah Pakistan, Bangladesh dan terkadang Nepal dan Bhutan- yang cenderung bersifat kontinental[1]. Sub kontinen India itu sendiri merupakan kawasan yang cenderung terisolir dari keseluruhan daratan eurasia. Hal ini karena sub kontinen ini dikelilingi medan yang sangat sulit ataupun lautan, menjadikannya seperti sebuah ‘pulau’ yang sangat besar. Dari tenggara, selatan hingga barat daya, sub kontinen ini dikelilingi oleh laut mulai dari laut Arabia, samudra Hindia dan Teluk Benggala. Dari barat, utara hingga tenggara, ‘pulau’ ini terisolasi oleh serangkaian pegunungan dengan medan yang sulit di tembus, yakni mulai dari pegunungan dari sisi laut Arabia yang membentang hingga sudut barat laut Pakistan. Kemudian bersambung dengan Hindu Kush, serangkaian pegungungan yang membentang ke timur dan menghubungkan Pamir dan Karakoram. Kemudian tersambung kembali dengan kawasan pegungunan Himalaya yang membentang sedikit kearah tenggara ke perbatasan dengan Myanmar dimana pegungunan Rakhine muncul hingga ke perbatasan India dengan Bangladesh dan teluk Benggala.
Pusat-pusat peradaban di subkontinen, dilihat dari peta demografisnya, berpusat di sekitar sungai-sungai, ex. sungai Gangga, Sungai Indus dst., yang mayoritas juga berada di dataran India utara. Mulai dari peradaban sungai Indus (kini sekitar Lahore, Pakistan); Sungai Gangga yang membentang dari wilayah sekitar New Delhi hingga Bangladesh; Sungai Brahma Putra; Narmada (dari teluk Cambay, Gujarat) dan sebagainya. Secara geografis, sub kontinen India dapat dibagi kedalam empat wilayah utama, yakni (Friendman, 2008): (a) wilayah pegungungan yang membentang dari sisi laut Arabia hingga teluk Benggala; (b) wilayah semenanjung India (Tamil), yang terdiri dari berbagai medan yang mayoritas berbukit; (c) dataran India Utara, yang membentang dari Delhi hingga ke delta sungai Gangga di perbatasan Myanmar, dan dari Himalaya di utara hingga pegungunan dibagian selatan; (d) gurun di bagian barat (Thar dessert) dan tanah basah yang memisahkan antara peradaban sungai Indus (Pakistan saat ini) dengan India, menyisakan hanya wilayah Punjab[2] sebagai titik komunikasi diantara keduanya.
Selain empat wilayah tersebut, terdapat juga koridor kecil antara Nepal dan Bangladesh yang menghubungkan wilayah negara India dengan beberapa negara bagian lainnya di sekitar sungai Bahma. Salah satunya adalah Arunachal Pradesh yang wilayahnya juga di klaim oleh China. Sementara di perbatasan Myanmar (pegunungan Rakhine), walaupun berbatasan darat, namun pegunungan dengan hutan yang padat menjadikannya relatif saling mengisolir satu sama lain. Dengan demikian, pemisahan internal di subkontinen India pun bergantung pada sistem sungai yang memungkinkan terbentuknya agrikultur dan pusat-pusat penduduk dan kebudayaan, ex. Punjabis, Gujaratis, Tamil dan seterusnya. Oleh karenanya India memiliki nasionalisme yang tinggi, anti separatis dan ada pemisahan sekaligus keseimbangan antara kekuasaan pusat yang kuat dan otonomi di negara-negara bagiannya.
Melihat realitas geografis dari subkontinen India tersebut, secara tradisional geopolitik India (Republik India) dapat dikatakan memang cenderung kontinentalis dan jarang menunjukkan keinginan untuk berpetualang keluar kawasan. Hal subkontinen India itu sendiri relatif ‘self sufficient’[3] and ‘self contained’[4]. Jika halnya India menginginkan India merdeka dan negara yang stabil dan aman, maka India harus melakukan sejumlah hal berikut (Friedman, 2008: 5):
- India harus menjadi negara dominan di lembah sungai gangga. Hal ini tidak berarti harus dilakukan dengan India membentuk satu kesatuan atau menjadi otoritas pusat. Tetapi lebih kepada managemen hubungan atau koalisi kekuasaan dengan negara-negara tetangganya (Bangladesh, Nepal, Bhutan, dan jika bisa Pakistan) sejauh mereka tidak bertentangan bertentangan dengan otoritas dan keamanan India.
- Memperluas dan memperkuat pengaruh keseluruh wilayah inti dari subkontinen hingga menyentuh seluruh ‘perisai’ pertahanan alami dari bagian barat, utara hingga tenggara.
- Maju melewati tanah yang memisahkan antara lembah sungai Gangga dengan Sungai Indus (Pakistan) dan mendominasinya – jika memungkinkan. Oleh karena lembah sungai Indus adalah satu-satunya ‘property’ signifikan lainnya di subkontinen India yang ‘layak’ untuk diperjuangkan. Disisi lain, antagonisme dengan lembah sungai Indus (Pakistan – – kemudian Afganistan), berarti ancaman darat yang paling berbahaya. Karena tidak ada benteng pertahanan alami -seperti di pegunungan Himalaya yang memisahkan India dengan China- kecuali gurun Thar dan tanah basah di bagian barat hingga barat daya.
- Jika halnya seluruh subkontinen telah dapat dikontrol, baru kemudian India dapat memberikan perhatian lebih dan mulai membangun armada laut-nya.
Keempat poin diatas, sebagaimana disebutkan sebelumnya, merupakan realitas dan keharusan geografis yang secara tradisional membentuk geopolitik India atau secara alami membentuk perilaku dari pemerintah India apapun idelogi dan politiknya. Pemikian demikian juga merupakan motor utama yang membentuk India sebagai sebuah negara, yang juga kerap menjadi landasan utama ideologi dari partai-partai politik di India. Namun faktanya, India hingga hari ini masih harus berhadapan dengan tantangan geografi, terutama di darat dengan Pakistan, juga klaim dan upaya pelebaran pengaruh China baik di Arunachal Pradesh, Nepal (Himalaya) dan sejumlah tantangan lainnya seperti terrorisme. Agresifitas China dengan sejumlah proyek besar melalui Belt and Road Initiative dan Maritime Silk Road-nya, termasuk anggapan mengenai strategi string of pearls, kini semakin mendesak India untuk perlahan mengalihkan perhatiannya dari darat ke laut. Lebih dari itu, India sebagai negara dengan populasi terbesar kedua di dunia, kebutuhan energi dan aspirasi untuk menjadi ‘great power’ mendesak India untuk bergerak meningkatkan pengaruhnya di kawasan dan membangun kekuatan armada lautnya.
- Politik dan Geopolitik Modern India
Kaplan mengatakan bahwa “if the spirit of modern India has a geographical heartland it is Gujarat, the state in the northwest bordering Sindh in Pakistan”. Hal ini karena disinilah semangat awal dan tempat lahir dari tokoh politik modern India lahir, Mohandas Karamchad Gandhi atau Mahatma Gandhi (1869). Dari sini pulalah sinyal pergerakan kemerdekaan India dimulai dimana Gandhi ‘demontrasi garam’ bersama ribuan lainnya bergerak di tahun 1930 melawan pemerintah kolonial Inggris. Gandhi menulis:
“Next to air and water, salt perhaps the greatest necessity of life. It is only condiment of the poor . . . so i regard this tax to be the most iniquitous of all from the poor man’s standpoint. As the independece movement is essentially for the poorest in the land, the begining will be made with this evil . . . And i do not believe in the doctrine of the greatest good of the greatest number. It is means in its nakedness that in order to achieve the supposed good of the 51 percent, the interest of 49 percent may be, or rather should be, sacrificed. It is a heartless doctrine and has done harm to humanity” (Kaplan, 2010).
Secara umum, gerakan kemerdekaan yang dipimpin Gandhi dimulai dengan demontrasi mengenai pajak garam yang dinilai tidaklah manusiawi. Karena garam, sama halnya dengan udara dan air, ia pandang sebagai kebutuhan pokok dari masyarakat miskin. Gandhi juga menolak gagasan tentang kapitalisme yang cenderung menguntungkan sebagian dan mengorbankan kepentingan kelompok lainnya. Karena keadilan bagi Gandhi, seharusnya dirasakan oleh semuanya. Oleh karena itu, ketika India memperoleh kemerdekaannya, India mengadopsi ideologi sosialisme. Mahatma Gandhi sendiri, hingga hari ini menjadi simbol dari spirit universalisme India. Pandangan tersebut juga menjamin bahwa jikapun penganut Hindu mendominasi secara angka, namun hak-hak atas kelompok lainnya seperti Muslim, Sikh tidak boleh di injak-injak. Pandangan-pandangan tersebut juga Ia transfer kepada partai-partai kemerdekaan di India, salah satunya adalah Partai Kongres Nasional (National Congress Party) yang hampir selalu mendominasi pemilihan umum di India sejak kemerderkaannya hingga sekitar tahun 2014 lalu (lihat peta partai politik India berikut).
Namun seiring dengan semakin maraknya kapitalisme dan homogenisasi masyarakat, konflik etnik dan agama pun kian marak sebagai akibat dari homogenisasi masyarakat yang dibawa oleh globalisasi itu sendiri. Gujarat yang merupakan tempat kelahiran Mahatma Gandhi dan semangat India modern, juga merupakan salah satu diantara beberapa negara bagian di India yang relatif terbuka dan memiliki sejarah serta tradisi komersil panjang di samudra Hindia. Gujarat kembali menjadi jantung dari perubahan di India dan melahirkan tokoh karismatik baru di India, yakni Perdana Menteri Narendra Modi. Berbeda dengan mayoritas pemimpin India sebelumnya, Modi yang terpilih menjadi Perdana Menteri pada tahun 2014[5] lalu datang dari partai yang merepresintasikan pandangan yang cenderung bersebrangan dengan spirit Mahatma Gandhi – Bharatya Janata Party atau BJP. Secara umum, Orientasi dari BJP didasarkan pada persfektif identitas sejarah India. Ideologi politiknya didasarkan pada dukungan terhadap dan pelestarian identitas tradisional agama Hindu (Hindutva). Pandangan tersebut kembali mengemuka terutama pasca peristiwa 27 Februari 2002 di Gujarat (dimana pada saat itu Modi juga menjadi Chief Minister – 2001 hingga 2011), yang pada dasarnya merupakan serangkaian peristiwa akibat dari globalisasi itu sendiri – peristiwa 9/11.
Hindutva itu sendiri dibangun dari agama, pembelaan akan nilai dan budaya tradisional dan penolakan terhadap globalisme Barat. Pimikiran ini juga memiliki dimensi politik dan geopolitik yang terkait satu sama lain. Dimensi politik Hinduvta adalah, (1) pembelaan atau untuk mempertahankan keunikan India, yakni budaya dan agama tradisionalnya yang diyakini merupakan identitas dasar dari India. (2) pengaruh Barat dan Muslim dengan demikian dipandang sebagai ‘ancaman’ atau berbahaya bagi India[6]. (3) dukungan untuk keadilan sosial bertemu dengan nilai dan struktur sosial tradisional Hindu, termasuk memperbarui sistem Kasta. Sementara dimensi geopolitik dari Hindutva, artinya menciptakan ruang besar (Grossraum) di Asia Selatan yang didalamnya termasuk India, Sri-lanka, Bangladesh, Nepal, Bhutan dan proyeksi kekuatan menuju negara-negara Asia Selatan yang telah dipengaruhi oleh budaya dan agama tradisional India di masa lalu (Al Jazeera, 2015). Jikapun demikian, hal tersebut tidak serta merta merubah bentuk kenegaraan India. Selain itu, jika kita perhatikan, pada dasarnya dimensi geopolitik dari BJP tersebut sejalan dengan empat poin keharusan geografis dalam geopolitik tradisional India. Walaupun memang terdapat pergeseran dari pandangan universalisme kepada identitas politik Hindu di India.
Beberapa pihak barangkali akan menentang pembawaan konteks agama dalam pemaparan diatas. Namun perlu juga diingat bahwa kawasan samudra Hindia –dimana India memandang dirinya sebagai ‘the real actor’ di kawasan tersebut- bukan sekedar bentangan geografis saja. Kawasan samudra Hindia adalah ‘simbol dari kemanusiaan universal’ juga dimana berbagai agama lahir dan menyebar. Bagi bangsa Arab, yang menyebut Hindia sebagai Al Bahr al Hindi dalam perjajian navigasi tua mereka, samudra Hindia dengan anak perairannya adalah saksi sejarah penyebaran Islam dari pusatnya di laut Merah melintasi garis bujur ke India hingga sejauh perairan Indonensia dan Malaysia. Di utara samudra Hindia, di daratan India, adalah tempat lahir dan berkembangnya berbagai agama termasuk Hinduism, Buddhism dan seterusnya. Dengan demikian, peta dari kawasan samudra Hindia, berikut daratannya, merupakan pusat bagi pemahaman sejarah kepercayaan di dunia.
Kawasan Hindia adalah kawasan yang penuh warna dan dinamika. Mulai dari negara-negara yang rentan terhadap kekerasan dan kelapan di tanduk Afrika; tatangan geopolitik di Irak dan Iran; fundamentalisme di Pakistan; terrorisme di Afganistan; kenaikan status dan ekonomi India; Bagladesh dan Sri Lanka; Myanmar dengan permasalahan HAM-nya; Thailand dengan kemungkinan pembangunan Kanal yang akan berdampak pada perimbangan kekuatan Asia; hingga Indonesia dengan penduduk muslim terbanyaknya. Di samping itu, ini juga adalah kawasan dimana peraturan perdagagan India dan China serta arab dan Persia bertemu dan saling berinteraksi sehingga membentuk sebuah jaringan besar ikatan komunal lintas benua berabad-abad lamanya. Dewasa ini, sepanjang pesisir samudra Hindia adalah rumah bagi berbagai lapisan perkembangan dari negara-negara bekas dunia ketiga. Di kawasan ini pula berbagai jalur perdagangan minyak utama berada, mulai dari Selat Bab el Madeb, Hormuz hingga Malaka. Begitupun dengan jalur perdagagan global lainnya. Dan secara keseluruhan, samudra Hindia juga merupakan kawasan dimana rivalitas global antara Amerika Serikat dengan China di Pasifik bertemu dengan rivalitas regional antara China dengan India. Namun dengan jumlah di sepanjang pesisir Hindia hingga potensi komersilnya yang akan selalu terus meningkat. Singkatnya, Hindia adalah masa depan. Berbagai dinamika di kawasan ini akan sangat menentukan masa depan dunia, dan kita juga hidup di kawasan ini.
Hal ini pulalah yang menjadi tantangan dalam upaya pencapaian dan eksistensi geopolitik India saat ini. Pandangan geopolitik India dewasa ini pun pada dasarnya tetaplah sama dengan yang selama ini telah membentuk identitas nasional India. Bahwa India harus menjadi -atau tetap menjadi- aktor dominan baik di subkontinen India maupun di Samudra Hindia. Namun tantangan terhadap ‘supremasi dominasi’ tersebut nampaknya semakin terancam dengan mulai masuk dan meningkatnya pengaruh luar, terutama China. Tantangan dan ancaman dari Pakistan adalah hal yang telah konstan dalam politik luar negeri India sejak terpisahnya negara tersebut. Begitupun selama ini India dapat tetap memanage hubungan dan mampu memainkan peranan yang lebih dominan terhadap negara-negara seperti Bagladesh, Sri Lanka, dan lainnya. Namun kini, selain harus berhadapan dengan China di Himalaya dan Arunachal Pradesh. India juga harus berhadap dengan China di Hindia dan peningkatan pengaruhnya di negara-negara sekeliling Hindia, mulai dari Pakistan, Sri Lanka dan lainnya.
Dengan demikian, sebagaimana banyak di klaim oleh pakar dari India, keputusan India untuk bergabung dalam Quadlateral Security Dialogue dengan Amerika Serikat, Australia dan Jepang adalah respon terhadap perubahan perimbangan kekuatan global. Juga merupakan langkah strategis yang tepat untuk menjawab tantangan yang dihadapinya saat ini. Selama perang dingin geopolitik, kawasan Indo-Pasifik (Asia Pasifik tepatnya) tidak pernah menjadi bagian dari politik luar negeri India. Selain karena secara ekonomi kawasan ini di masa lalu dipandang kurang atraktif, sebagian besar negara-negara di kawasan Asia Pasifik juga dipandang berada pada kelompok sejarah dan hubungan peradaban yang berbeda[7]. Jikapun dengan dikeluarkannya Look East Policy, yang kemudian ditindak lanjuti oleh PM Narendra Modi dengan Act East Policy-nya saat ini, India harus mengdapi tantangan tidak mudah dalam konsep baru Indo-Pasifik tersebut. Termasuk salah satunya upaya penguatan dan masuknya India dalam konteks ASEAN yang dinilai terlambat jika dibandingkan dengan China atau negara ASEAN Plus lainnya (Jepang, Korea Selatan, AS, dan Australia).
Namun salah satu pergeseran dari politik luar negeri India yang menjadi sorotan adalah apakah India kini mulai bergeser pandangan tradisional, terutama terkait sosialisme dan aliansinya dengan Rusia. Karena selain terjadi pergeseran kekuasaan di dalam politik dalam negeri India (Universalisme Gandhi > Nehruviasm > Hinduvta). Salah satu yang menjadi pendorong perubahan pandagan politik India adalah lahir dan semakin banyaknya pengusaha-pengusaha milyader India. Yang disatu sisi mereka adalah pendorong peningkatan pembangunan dan ekonomi India saat ini. Namun pada saat yang bersamaan mendorong juga kapitalisme di India (Al Jazeera Podcast. 2018). Berkaitan dengan Rusia, antisipasi pergeseran dibutuhkan untuk mendukung idenpensi politik luar negeri India. Hal tersebut bertujuan untuk diversifikasi hubungan politik dan pada saat yang bersamaan tetap memupuk tujuan “India First” sebagaimana cita-cita geopolitik India secara keseluruhan.
Namun langkah India dengan terlibat QDS tersebut belumlah final. India dengan berbagai tantangan dan ‘ketertinggalan’-nya dalam diplomasi saat ini mulai bergerak aktif dan mengejar. India telah, dalam beberapa tahun terakhir, aktif untuk memperkuat pengaruhnya di Nepal, Tibet atau Himalaya secara keseluruhan. Menggencarkan apa yang mereka sebut dengan Neighborhood Diplomacy atau neighborh first (Kaura, 2018). Juga mulai memperkuat armada laut-nya terutama yang berada di laut Andaman dan Nicobar. Termasuk pendekatan India ke ASEAN dan yang paling signifikan adalah kunjungan PM Modi ke Jakarta.
- Simpulan
Dari Pemaparan diatas, kita dapat memahami bagaimana realitas, tantangan dan geographical impertives India membentuk geopolitik India itu sendiri. Sebagaima halnya negara yang cenderung kotinentalis, India memang pada dasarnya tidak memiliki ambisi untuk ‘berpetualang’ atau menguasai wilayah lain. Karena subkontinen India itu sendiri adalah wilayah yang relatif ‘self-sufficient’ dan ‘self-contained’. Dikatakan bahwa lembah Sungai Gangga dan Indus adalah salah satu lembah sungai yang paling subur di dunia. Begitupun Peradaban di kedua sungai tersebut juga merupakan salah satu peradaban tertua saat ini. Oleh karena itu pandagan geopolitik India relatif tetap sama siapapun pemerintah dan partai yang berkuasanya. Bahwa jika halnya ingin tercipta India yang merdeka, aman dan stabil, maka India harus dapat menjadi aktor yang dominan di subkontinen India hingga keseluruh perisai alaminya, juga di mempertahakan supremasi di samudra Hindia. Dan India akan berjuang untuk mencapai dan mempertahankan tersebut.
Dalam kaitannya dengan Indonesia dan geopilitik di kawasan Indo-Pasifik secara keseluruhan. Kita dapat klaim bahwa pemikiran mengenai konsep Indo-Pasifik itu sendiri telah lama kita pahami dan menjadi jiwa dalam politik luar negeri Indonesia. Sebut saja gerakan Non-Blok dan Koferensi Asia Afrika adalah beberapa ide briliant dan revolusioner yang diinisiasi oleh pemimpin-pemimpin di Indonesia. Begitupun dalam konteksnya di hari ini, Indonesia melalui Kementrian Luar Negeri dan lembaga terkait lainnya, secara konsisten melakukan diplomasi di kawasan Indo-pasifik, misalnya melalui IORA. Namun tentunya hal tersebut tidak berjalan tanpa tantangan. Dengan semakin intens-nya rivalitas strategis negara-negara besar di kawasan, baik US vs China di Asia Pasifik dan Asia Tenggara. kemudian pertemuan antara rivalitas strategis US vs China dengan rivalitas regional China vs India di Hindia dan Asia Selatan. Maka sebetulnya Indonesia, atau ASEAN secara keseluruhan sebagai lingkaran konsentris pertama politik luar negeri Indonesia, akan kembali berada ditengah pusaran kompetisi tersebut. Namun disisi lain, jika boleh kita klaim, Indonesia berada di ‘jantung’ Indo-Pasifik itu sendiri. Dengan demikian harapan untuk dapat membawa dinamika dikawasan Indo-Pasifik ke arah yang lebih positif juga merupakan bagian atau kepanjangan tangan dari kepentingan nasional Indonesia secara keseluruhan.
TNI Angkatan laut, dalam hal ini, juga dapat ikut andil untuk mendukung politik luar negeri Indonesia dengan menjalankan diplomasi Angkatan Laut sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 34 tahun 2004 tentang Tugas dan Fungsi TNI – selain memang melaksanakan diplomasi dan kerjasama navy to navy di Andaman dan Nicobar. Salah satu yang tengah diupayakan oleh Indonesia adalah inter-faith dialogue dan pemumpukan kebiasaan dialog di Hindia (musyawarah mufakat), sebagaimana yang selama ini telah berhasil dilakukan dalam konteks ASEAN. Beberapa hal tersebut dipandang penting mengingat pentingnya stabilitas kawasan untuk pembagunan dan stabilitas domestik, serta mencegah terjadinya ‘miskomunikasi dan mispersepsi’ yang dapat berujung pada pecahnya konflik yang tidak dibutuhkan. Terlebih kawasan Asia Selatan yang highly nuclearized. Dengan demikian, tulisan mengenai geopolitik India ini diharapkan dapat membantu dan menambah pemahaman personil militer, khususnya TNI AL, maupun sipil dalam berdiplomasi dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia ditengah turbulensi politik global dan regional.
Referensi
Buku dan Website:
Council on Foreign Relations. 2016. New Geopoltics of China, India and Pakistan.
Friendman, George. 2008. The Geopolitics of India: A Shifting, Self Contained World. Stratfor Journal.
Kaplan, Robert. 2010. Monsoon: The Indian Ocean and the Future of American Power
Kaura, Vinay. 2018. Grading India’s Neighborhood Diplomacy: A report card on Modi’s “neighborhood first” approach to foreign policy. Diakses dari: < https://thediplomat.com/2017/12/grading-indias-neighborhood-diplomacy/>
Singh, Bawa. 2016. New Geopolitical Great Game of Indo-Pacific: Challenges and Options for India. Diakses dari: <https://moderndiplomacy.eu/2016/05/22/new-geopolitical-great-game-of-indo-pacific-challenges-and-options-for-india/> [26 Juli 2018]
Audio &Video Dokumenter
Ankit, Panda. Understanding India’s Place in Asia’s Shifting Geoeconomic Order. 2018. The Diplomat Podcast. Diakses dari: < https://thediplomat.com/2018/07/understanding-indias-place-in-asias-shifting-geoeconomic-order/> [3 Agustus 2018]
India’s Hindu Fundamentalist: People and Power. Al Jazeera Documentary. Diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=FE8p9-rtHkY [29 Juli 2018]
India’s Geographic Challenges. Stratfor World View. Diakses dari: https://youtu.be/LPUjLci2ARY [18 Juli 2018]
India’s Geographical Problem. Wendover Production. Diakses dari: <https://www.youtube.com/watch?v=6mDsa-AqNcQ> [18 Juli 2018]
[1]Hal ini tidak jauh berbeda dengan ketika kita melihat geopolitik Indonesia yang kerap dilihat dari keseluruhan konteks geografi kawasan Asian Tenggara, bahkan Indo-Pasifik, dan kecenderungannya yang bersifat maritim.
[2] Wilayah Punjab ini dibagi terbagi dua sejak partisi antara India dan Pakistan terjadi. Yakni Punjab yang berada di bawah kekuasaan Pakistan, dan wilayah Punjab milik India. Hal tersebut karena wilayah Punjab di masa lalu sangat multi kultur dan multi religi. Sehingga ketika pemisahan negara berdasarkan agama dilakukan, Punjab pun harus terbagi dua.
[3] Subur; dapat memenuhi kebutuhan pangan sendiri.
[4] Memiliki perisai atau pertahanan alami.
[5] Sebelum menjadi Perdana Menteri, Narendra Modi adalah lawyer sekaligus pengusaha di Afrika Selatan yang kemudian menjadi propagator atau pracharacks dari RSS (Rāṣṭrīya Svayamsēvaka Saṅgha) atau Organisasi Patriotik Nasional yang merupakan organisasi volunter nasional untuk BJP (Bharatya Janata Party).
[6] Salah satu yang sering dijadikan narasi adala trauma terhadap invasi dan kekuasaan kerajaan Mughal, Delhi di masa lalu.
[7]Karena term Asia Pasifik lebih identik dengan negara-negara di Asia Timur (China, Jepang, Korea) dengan Amerika Serikat dan Australia disisi lain. Dan ASEAN ikut memainkan peranan ‘kecil’ di dalamnya.