Robert Mangindaan
Pendahuluan
Mungkin saja, ada pihak yang menganggap bahwa kaitan atau katakanlah — benang merah, antara maritime awareness dengan geopolitik, jaraknya terlalu jauh (very remote) dan arasnya juga tidak sederajat dengan strategi, begitu juga dalam hal proyeksi kekuatan laut. Bila demikian halnya, apa perlunya diperbincangkan?
Pandangan seperti itu memang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia sekarang ini, yang selalu mendengungkan balada nenek moyangku orang pelaut. Maritime awareness, dianggap sudah mengakar dan membudaya dalam kehidupan bangsa Indonesia sejak zaman Sriwijaya dan Majapahit, bahkan mungkin lebih lama dari era tersebut.
Apakah benar demikian? Memang ada benarnya, bahwa dulunya nenek moyangku orang pelaut, tetapi cicit buyutnya sekarang ini tidak lagi berpaling kelaut (sea oriented). Bangsa Indonesia direkayasa untuk berpaling ke darat (continental oriented), dan prosesnya sudah berlangsung tiga setengah abad. Tepatnya, sejak era pemerintah kolonial Belanda yang mengembangkan politik devide et impera[1]. Pada era tersebut, cukup banyak dari kalangan pribumi “kelas” bangsawan, mendapatkan pangkat (tituler) cukup tinggi, dan juga di satuan militer banyak yang mencapai tingkat perwira menengah. Tetapi di laut, urusannya berbeda, paling tinggi pangkat dan jabatan yang bisa diraih adalah kelasi pelaut, juru mudi, teknisi dan bagian perbekalan (Henky Supit, 2005).
Sebetulnya, budaya melaut dan bertempur sudah lama dimiliki oleh bangsa Indonesia, yang membangun kekuatan laut untuk digunakan sebagai instrumen politik. Salah satu catatan sejarah yang tidak bisa dilupakan adalah figur Retna Kencana yang kemudian dikenal sebagai Ratu Kalinyamat, .berkuasa selama 30 tahun dan berhasil membawa Jepara ke puncak kejayaannya. Ratu Kalinyamat memiliki armada laut yang sangat tangguh dan pernah dua sampai tiga kali menyerang Portugis di Malaka[2]. Pada tahun 1550 ia mengirim 4.000 tentara Jepara dalam 40 buah kapal memenuhi permintaan Sultan Johor untuk membebaskan Malaka dari kekuasaan bangsa Eropa itu. Pada tahun 1565 ia memenuhi permintaan orang-orang Hitu di Ambon untuk menghadapi gangguan bangsa Portugis dan kaum Hative.[3]
Kemudian pada tahun 1573, Sultan Aceh meminta bantuan Ratu Kalinyamat untuk kembali menyerang Portugis di Malaka. Menanggapi permintaan tersebut, Ratu mengirimkan 300 kapal berisi 15.000 prajurit Jepara. Sekalipun armada Jepara tersebut menderita kekalahan tetapi pihak Portugis melukiskannya sebagai rainha de Japara, senhora poderosa e rica, de kranige Dame, yang berarti “Ratu Jepara seorang wanita yang kaya dan berkuasa, seorang perempuan pemberani” (Diego de Couto, 1778-1788).[4]
Catatan kedua yang tidak kalah menonjol adalah legenda Keumalahayati, orang Aceh, laksamana perempuan yang pertama di dunia yang kemudian dikenal sebagai Laksamana Malahayati (1585-1604, Kompasiana). Pangkat diperoleh bukan karena kedekatan dengan Sultan, tetapi berbekal kecakapan dan keberanian memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda. Pada tanggal 11 September 1599 dalam pertempuran di geladak kapal, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman pemimpin Belanda, dan mendapatkan gelar Laksamana untuk keberaniannya.[5]
Belanda telah belajar dari berbagai pertempuran di Nusantara, terutama di Aceh, yang kemudian merancang perusakan secara sistematik budaya melaut bangsa Indonesia. Tidak berlebihan untuk mengemukakan bahwa sejak menguatnya VOC di Nusantara ini, nyaris tidak ada kekuatan laut ‘pribumi’ yang mampu mengancam kekuatan laut pemerintah kolonial. Benar, bahwa ada beberapa catatan tentang perlawanan di laut yang terjadi misalnya di era Daendels dengan Kesultanan Banten, era Raffles dengan Kesultanan Palembang, kemudian di era Rochussen dengan Kesultanan Banjarmasin, dan Pattimura di Maluku.[6]
Penggalan catatan-catatan tersebut mengungkapkan bahwa ada kekuatan setempat yang sempat dibangun oleh beberapa kesultanan di Nusantara ini, tetapi mereka tidak dapat menandingi satu kesatuan kekuatan laut yang dibangun oleh pemerintah kolonial. Mereka mampu mengembangkan dan menggunakan kekuatan laut sebagai instrumen politik untuk menguasai Nusantara ini. Pada tahun 1888 Pemerintah kolonial mendirikan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)[7] yang dirancang untuk berbagai keperluan, yaitu; (i) menghubungkan antar pulau, sebagai satu kesatuan wilayah, (ii) memelihara wibawa pemerintah pusat yang mampu memantau situasi di berbagai penjuru Nusantara, (iii) sarana pengangkut hasil bumi dari daerah ke pusat.
Pemerintah kolonial sangat sadar bahwa ada pembangunan kekuatan laut di Nusantara ini, dan berkembang merata di berbagai daerah, tetapi tidak dalam satu bingkai kepentingan. Artinya — ada kepentingan (interest) untuk membangun kekuatan laut (power), dan sudah terbukti digunakan sebagai instrumen politik, tetapi tidak ter-konsolidasi dalam satu bingkai kepentingan ‘nasional’. Kesadaran tersebut terbentuk secara alamiah oleh karena kehidupan mereka dekat dengan laut, dan mampu memanfaatkan potensi ekonomi dari laut, kemudian mengembangkan politik keamanan untuk melindungi kepentingan perniagaannya.
Ada dua kata kunci yaitu kepentingan (interest) dan kekuatan (power), yang perlu dibangun bagi bangsa yang hidupnya dekat dengan laut. Terlebih pula bagi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang ‘memiliki’ laut seluas 5,8 juta km2, sudah lumrah apabila bertekad menjadi negara maritim yang jaya. Modal awalnya adalah kesadaran maritim (maritime awareness) yang sekarang ini sudah surut dari kehidupan bangsa Indonesia. Kesadaran tersebut tidak akan turun gratis dari langit, tetapi perlu adanya pembinaan yang terprogram, berlanjut dan hasilnya (outcome) dapat diukur.
Bangsa Jepang merayakan Marine day (Umi no hi) pada hari senin ketiga setiap bulan Juli, memperingati perjalanan bersejarah kaisar Meiji (1852–1912)[8] yang ditandai sebagai langkah awal pembangunan kekuatan maritim Jepang, berorientasi outward looking. Pada jajaran akar rumput, pemerintah Jepang berusaha menanamkan arti pentingnya laut, bahwa ada kepentingan yang akan dicapai dan disetarakan sebagai kepentingan utama (vital interest). Acaranya fokus pada isu lingkungan laut, pembersihan pantai, dan ada acara khusus lainnya yang terkait dengan tujuan pembinaan kesadaran maritim. Mereka sudah lama akrab dengan laut, terlalu sering digempur tsunami, dan memperkenalkan budaya makan ikan mentah, tetapi acara memperingati Umi no hi dilaksanakan secara sederhana, tetapi amat mendasar yaitu pembersihan pantai. Esensinya — hargai dan hormati laut yang memberikan kehidupan kepada bangsa Jepang.
Indonesia dan Kesadaran Maritim
Bangsa Indonesia juga sangat paham, bahwa pembinaan kesadaran maritim merupakan prasyarat yang penting di dalam membangun Indonesia. Sejarah mencatat berbagai prestasi dari Presiden RI yang pertama sampai yang keenam, di dalam membangun budaya maritim. Mulai dengan penetapan hari Nusantara, mengumandangkan deklarasi, adakan berbagai kegiatan seperti pelayaran Kebangsaan Lintas Nusantara Remaja Pecinta Bahari Lomba Olahraga Perairan Bahari, lomba karya tulis ilmiah tentang kebaharian, Sail Wakatobi, Seminar Nasional, pameran Blue Revolution, lomba bakar ikan terpanjang, sampai pada pameran Industri Pertahanan. Berbicara secara terbuka, ada kesan yang sangat kuat bahwa berbagai program, deklarasi, atau acara yang disiapkan untuk Hari Nusantara, dapat digolongkan sebagai acara perayaan yang bersifat temporer, tidak berlanjut dan sunyi senyap selepas acara. Tidak ada agenda yang berlanjut, tidak ada program pembinaan membangun kesadaran maritim, malahan sebaliknya dikembangkan berbagai program kelautan yang mengarahkan kembali ke darat, misalnya budi daya ikan lele.
Konon kabarnya, dahulu kala perairan Nusantara terdapat tiga golongan penduduk yaitu orang laut (sea gipsy), raja laut (sea lord) dan rompak laut (sea pirates)[9], tetapi kini situasinya sudah jauh berbeda. Pemerintah berusaha untuk mendaratkan orang laut dengan membuat pemukiman di darat, artinya mereka di’tarik’ keluar dari budaya nomadic yang bertualang dari pulau kepulau lainnya yang tidak berpenghuni. Barangkali, perlu kajian yang lebih konkrit untuk mengatakan bahwa sea gipsy hanya terdapat di Indonesia(?) dan pada era pemerintah kolonial, kehidupan tersebut tidak dihapus karena dilihat sebagai ‘kepenjangan lengan’ untuk memantau pulau-pulau yang tidak berpenghuni.
Mengenai Raja Laut, memang sudah tidak ada lagi tetapi wujudnya sekarang ini adalah propinsi-propinsi laut yang mengembangkan kepentingan daerah masing-masing (interest), dan nantinya akan ada perbedaan antara propinsi ‘kedaratan’ dan propinsi ‘kelautan’. Di dalam RPJMN 2014—2014, sepertinya menegaskan konsep tersebut dalam bentuk Pengembangan Wilayah Pulau-Pulau Besar. Apabila dikaji dengan sejarah masa lalu, apakah konsep tersebut tidak serupa dengan politik era pemerintah kolonial? Mudah-mudahan tidak demikian, tetapi perlu kajian yang kritis dan jernih.
Bicara tentang bajak laut, sikap Indonesia sudah tegas dan bersifat final, yaitu “berantas”! Sikap politik tersebut juga berorientasi ke luar, katakanlah — sampai ke Somalia. Ke dalam, Indonesia sudah menentukan sikapnya yaitu memberantas tuntas bajak laut domestik, suatu keharusan yang wajib dilaksanakan. Akan tetapi, bila dicermati dengan jernih kultur bajak laut domestik, sebetulnya mereka itu adalah bagian dari kehidupan masyarakat tertentu dan umurnya lebih tua dari usia republik ini. Artinya — ada warisan budaya untuk bertarung di laut, yang tujuannya adalah mendapatkan kesejahteraan dan kejayaan di laut. Bagi masyarakat tersebut, tindak bajak laut bukanlah penjahat dan haram hasilnya, tetapi perbuatan mereka dianggap pahlawan (heroic) yang mensejahterakan masyarakat setempat.
Apabila kita menengok sebentar ke masa lalu bangsa Spanyol, Portugis, Belanda dan Inggris, sepertinya bangsa dan pemerintah di sana tidak suci dari masalah bajak laut. Ada yang kemudian diberi gelar bangsawan, dan cukup banyak turun-temurun mereka menjadi orang-orang terhormat dan kaya-raya di sana. Nampaknya kultur tersebut di’manupulasi’ untuk tujuan yang lebih stratejik, dan dikelola secara cerdas dan konsekuen. Mungkin saja ada pihak yang merasa kurang nyaman dengan frasa ends, justified means, tetapi keempat bangsa tersebut di atas tidak ragu untuk menggunakan bajak laut sebagai instrumen politik. Sebagian dari catatan sejarah khususnya pada era awalnya VOC, mengungkapkan dengan sangat jelas bahwa politik tersebut digunakan di Nusantara ini oleh Belanda. Ada catatan sejarah yang kurang diketahui oleh banyak orang yaitu dulunya ada bajak laut Papua yang sangat ditakuti, dan mereka dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.[10]
Pada berbagai seminar, termasuk yang diselenggarakan oleh TNI-AL, menempatkan maritime awareness sebagai landasan untuk membangun politik pertahanan, pembangunan ekonomi maritim, dan seterusnya. Pernah pula ada seminar yang mengemukakan secara tegas maritime domain awareness (MDA), tanpa menyadari apa konsep dasar yang terkandung dalam frasa tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa negara maritim besar, misalnya AS, mengedepankan MDA dan gemanya dipantulkan secara sempurna oleh banyak pihak, termasuk Indonesia tanpa memahami apa kandungan kepentingannya.
Pihak International Maritime Organization (IMO) memberikan batasannya…the effective understanding of anything associated with the maritime domain that could impact the security, safety, economy or environment.[11] Dari pihak AS, Presiden Bush (2002) menegaskan .. the heart of the Maritime Domain Awareness program is accurate information, intelligence, surveillance, and reconnaissance of all vessels, cargo, and people extending well beyond our traditional maritime boundaries. Ada penambahan kata dari batasan IMO yang menjurus pada kepentingan nasional AS, yang kemudian membentuk Office of Global Maritime Situational Awareness (OGMSA) dan mengedepankan peran intelijen yang memungkinkan satuan operasional menanggapi ancaman maritim skala global.[12]
Kegiatan utama instansi tersebut adalah memantau situasi keamanan maritim dan kadar kesadaran maritim di negara-negara yang berada pada alur pelayaran internasional. Lihat peta di bawah ini.
OFFICE OF GLOBAL MARITIME SITUATIONAL AWARENESS March 2009
Dari India, Philippines, Jepang, dan banyak pihak yang mengembangkan MDA sesuai dengan kepentingan nasional mereka, kemudian dibakukan dalam bentuk doktrin, dan disosialisasikan kepada masyarakat dunia. Bagaimana dengan Indonesia? Sejujurnya, Indonesia belum punya MDA apalagi doktrinnya. Penulis menggunakan term maritime awareness yang diterjemahkan secara bebas sebagai kesadaran maritim. Batasan tersebut belum tentu benar, dan tentunya perlu penyesuaian dengan preferensi publik yang ada. Indonesia sudah lama mengenal Wawasan Nusantara yang melihat territorial dan yurisdiksi nasional sebagai satu bagian yang utuh. Artinya — sudah menyentuh kesadaran geografik (geographical awareness), tetapi nuansa kesadaran maritim sepertinya kurang kuat ditonjolkan. Terlepas dari benar atau keliru, yang penting adalah Indonesia harus punya pemahaman yang baku tentang maritime awareness, dan dihormati oleh bangsa Indonesia.
Strategi Keamanan Maritim Nasional
Aneh tetapi nyata, Indonesia yang diakui dunia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, tetapi tidak memiliki strategi maritim nasional. Perbedaan antara tidak punya dan tidak ingin (baca: butuh), sangatlah tipis. Bisa saja ada pihak yang menunjuk pada strategi pertahanan laut, tetapi argumentasi tersebut tidak akan kuat apabila dipertanyakannya siapa pemangku kepentingan maritim, apakah hanya satu pihak atau ada banyak pihak yang terkait dengan kemaritiman nasional? Membangun strategi maritim (ends-ways-means) memerlukan masukan yang aktual dan akurat, dan itulah pekerjaan intelijen maritim. Perangkat itupun belum ada.
Aneh tapi nyata, bahwa di laut Nusantara ini, ada 13 instansi yang punya wewenang dan beroperasi di laut, tetapi tanpa strategi maritim nasional (dan intelijen maritim). Lebih aneh lagi, Indonesia sudah menjalin kerjasama maritim dengan beberapa pihak, tanpa road map yang menggariskan kepentingan stratejik yang ingin dicapai. Salah satu contoh yang sangat menonjol adalah kerjasama dengan AS, telah menggunakan pemahaman bersama mengenai MDA (versi AS), untuk menyikap masalah keamanan maritim regional. Mereka menyodok dengan freedom of navigation, muncul dalam satu bingkai kepentingan yang namanya connectivity. Arahnya adalah keamanan pelayaran dan keselamatan pelayaran di sea lane of communication (SLOC) yang ‘harus’ berstandar internasional, dan Indonesia ikut mengaminkan tanpa selidik apa beda antara SLOC dan archipelagic sea lane (ALKI).
Hal ini bisa terjadi oleh karena ada indikator yang sangat jelas, yaitu geographical awareness yang mendasari maritime awareness, amat-sangat-kurang berkembang dikalangan masyarakat bangsa Indonesia, apakah itu di birokrat, atau di jajaran pendidikan, apalagi di kalangan komunitas Senayan. Indikatornya yang sangat jelas terdapat pada RPJMN 2010-2014[13];
Indonesia memiliki modal yang sangat besar, baik sumber daya alam, letak geografis yang strategis, struktur demografis penduduknya yang ideal, sumber daya kultural yang beragam dan kuat, dan manusia-manusia yang memiliki potensi dan kreativitas yang tidak terbatas. Krisis dan tantangan telah diubah menjadi peluang dan kesempatan. Di bidang energi, Indonesia memiliki berbagai sumber energi mulai dari minyak bumi, gas, batubara dan sumber energi yang terbarukan yang melimpah seperti geotermal dan air. Di samping itu, tersedia lahan yang luas dan subur yang bisa ditanami oleh berbagai komoditas pangan dan pertanian. Penduduk Indonesia memiliki potensi tinggi di berbagai bidang, ilmu pengetahuan dan teknologi, kesenian dan budaya, olahraga, serta kreativitas.
Mindset yang melatarbelakangi perumusan dokumen tersebut sangat jelas tidak melirik ke laut yang luasnya 70 persen katimbang darat yang hanya 30 persen. Tidak sulit untuk mengatakan bahwa arsiteknya tidak melihat potensi resources, services, manufactures yang bisa dikelola dari ekonomi maritim. Benar bahwa dalam dokumen tersebut mencantumkan berbagai program kelautan, tetapi realisasinya dalam bentuk pendanaan dan regulasi, nyaris semuanya tidak jalan. Ada pakar yang tegas mengatakan, bahwa kontribusi dari ekonomi maritim untuk APBN terlalu kecil dan sangat tidak proporsional (Kresnayana Yahya, 2012). Kepincangan Program Nasional tersebut sudah berjalan lebih dari dua tahun, dan tidak ada pihak, utamanya dari wakil rakyat di Senayan yang mengkritisi Peraturan Presiden tersebut. Apabila atensi di sektor ekonomi seperti itu, maka tidak perlu heran apabila di sektor politik dan pertahanan (baca: keamanan maritim) juga mengalami hal yang sama. Salah satu indikatornya adalah kebijakan trade off antara kehilangan di laut (loss) yang diperkirakan sebesar 25 milyar USD (Henky Lumentah, 2009), dengan besarnya dana yang disiapkan untuk pembelian kapal yang akan menutup loss tersebut.
Barangkali, bangsa di Nusantara ini belum punya pemahaman yang baku mengenai arti laut bagi bangsa dan negara. Memang benar, bahwa ada rangkaian pembinaan untuk membangun kembali kejayaan maritim, misalnya—acara bakar ikan, deklarasi, sampai Sail Morotai dan sebagainya, tetapi bicara terbuka, acara-acara seperti itu berlatar belakang kepentingan sektoral, malahan perorangan, yang mengatas-namakan kepentingan nasional. Sebetulnya, Indonesia membutuhkan landasan, prinsip penuntun, misalnya yang paling mendasar adalah ocean policy, yang bisa dirancang sekarang ini untuk menjadi masukan penting dalam penyusunan RPJMN 2014-2019.
Ada ramalan dari berbagai pihak bahwa Indonesia akan menjadi negara besar yang kesekian, nomor sekian di muka bumi ini. Informasi seperti itu, tentunya sangat membesarkan hati, menyenangkan, tetapi hanyut memabukkan. Mengapa tidak? Semua orang sangat paham bahwa untuk menjadi negara besar perlu memiliki dua atribut penting yaitu power and influence. Muncul beberapa pertanyaan; (i) apa instrumen nasional yang akan mendongkrak power and influence dalam waktu lima-sepuluh tahun? (ii) Bagaimana wujud postur kekuatan yang diinginkan untuk melindungi ekonomi maritim? (iii) apa dan bagaimana geopolitik yang akan ditopang oleh postur tersebut?
Banyak pihak kurang menyadari bahwa Indonesia tidak punya strategi keamanan maritim, dan selama ini ‘menumpang’ program ASEAN. Padahal forum tersebut didikte oleh AS melalui mekanisme (baca: muslihat) yang sangat cerdas, dan konsisten. Mereka punya agen regional dan Jepang juga memanfaatkan pos tersebut untuk menata keamanan regional Asia Tenggara. Tidak percaya? Silahkan pelajari riwayat penataan keamanan maritim regional dalam rangkaian pertemuan Asean Regional Forum sejak tahun 1993, dan produk yang dihasilkan dalam rangkaian pertemuan ASEAN Maritime Forum sejak tahun 2010.
RPJMN sudah menggariskan Visi Pembangunan Nasional tahun 2005-2025 yaitu INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR. Menarik untuk meninjau pengertian mandiri, yaitu sebagai bangsa yang mampu mewujudkan kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa lain yang telah maju, dengan mengandalkan pada kemampuan dan kekuatan sendiri. Sangat jelas bahwa ends yang ingin dicapai adalah kehidupan sejajar dan sederajat dengan bangsa yang telah maju, sedangkan means — adalah kemampuan dan kekuatan sendiri. Mungkin sekali, dari sinilah keluar pertimbangan bahwa Indonesia perlu membangun minimum essential force (MEF), yang diharapkan dapat menopang geopolitik Indonesia untuk menjadi negara besar, paling tidak di kawasan ini. Tetapi perlu dipahami dengan baik, bahwa postur akan selalu beroperasi dalam bingkai strategi yang jelas. Sebaliknya, tidak lazim apabila ada postur tetapi tidak ada strategi.
Penutup
Membicarakan postur nasional, sudah sewajarnya meninjau tiga hal yang terkait erat, yaitu; (i) perkembangan lingkungan stratejik, yang akan mempelajari beberapa elemen penting, seperti balance of power, counter balancing interest, dan risk assessment, (ii) penentuan strategi raya yang akan diterapkan dalam kurun waktu tertentu, dan (iii) penetapan postur yang terdiri dari tiga elemen yaitu struktur kekuatan (force structure), kemampuan (capability), dan pagelarannya (deployment). Sadar atau tidak, senang atau tidak, tingkat keberhasilannya akan ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang menangani semua perkara tersebut. Lebih spesifik lagi, mereka itu adalah anak bangsa yang hidup di Nusantara, suatu komunitas yang akrab dengan laut, akrab dengan kehidupan di laut, dan bila bicara tentang strategi maritim sudah lumrah bila gudangnya ada di Nusantara ini.
Modal dasarnya adalah kesadaran maritim. Membangun kesadaran maritim (maritime awareness) bukan perkara yang sulit, tetapi ada kemauan (commitment) yang kuat, kemudian diprogram dan dikembangkan secara konsisten. Rujukannya sudah ada, misalnya dari IMO yang intinya yaitu….’the effective understanding of anything associated with the maritime domain that could impact the security, safety, economy, or environment’. Begitu pula dengan pihak-pihak lainnya, mereka sudah punya pemahaman nasional yang baku dan dijadikan dasar pada geopolitik untuk membangun kerjasama keamanan maritim.
Impian untuk menjadi negara besar di dunia, bukannya mustahil tetapi perlu ditopang dengan kesadaran geografik dan diikuti oleh kesadaran maritim. Cerdas memanfaatkan potensi geografik, khususnya dari sektor maritim, untuk memperkuat pembangunan power and influence, yang akan mengawal geopolitik Indonesia menuju lima besar dunia. Semoga!!! (B.o8/xii/12)
[1] Percakapan informal penulis dengan penasehat militer Sekjen PBB, di New York pada tahun 1997.
[2] Hayati, Chusnul.” RATU KALINYAMAT : RATU JEPARA YANG PEMBERANI’’, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro, Semarang
[3] wikipedia
[4] ibid
[5] ibid
[6] Suyono, R.P. Capt., “Peperangan Kerajaan di Nusantara’, Penerbit Gramedia Widiasarana, Jakarta, 2003.
[7] KPM maintained the connections between the islands of Indonesia and supported the unification of the Dutch colony economy as the Netherlands expanded its territory across the Indonesian archipelago.(Wikipedia)
[8] wikipedia
[9] Lapian, Adrian B. “Orang laut-Bajak laut-Raja laut”, Komunitas Bambu, Jakarta, 2009
[10] Ibid.
[11] AMENDMENTS TO THE INTERNATIONAL AERONAUTICAL AND MARITIME SEARCH AND RESCUE (IAMSAR) MANUAL. International Maritime Organization. pp. 1. Retrieved 2012-07-03
[12] NATIONAL PLAN TO ACHIEVE MARITIME DOMAIN AWARENESS FOR THE NATIONAL STRATEGY FOR MARITIME SECURITY OCTOBER, 2005.
[13] BAB IV. KEBIJAKAN PEMBANGUNAN NASIONAL, 2010—2014 , 4.1 Strategi dan Kebijakan Pembangunan Nasional, hal. I-28.