Making Sense the Current Race Toward Global Supremacy

  1. Pendahuluan

Di dalam dunia militer, pertahanan dan keamanan, pemikiran Clausewitz, yang tertuang dalam bukunya ‘On War’, bahwa “whether war is a mean to an end outside itself or whether it can be an end in itself. . . war is ‘politics by other/different means” sudah sangatlah populer. Artinya, perang tidak boleh terjadi atau dilakukan hanya semata untuk perang itu sendiri, melainkan harus menyumbangkan suatu tujuan tertentu untuk negara. Clausewitz memandang perang sebagai instrumen rasional dari kebijakan nasional. ketiga kata tersebut, “instrumen”, “rasional” dan “nasional” merupakan konsep kunci dalam paradigmanya. Dari sudut pandang ini, keputusan untuk melakukan perang harus rasional, dalam arti hal tersebut harus didasarkan pada perhitungan biaya dan keuntungan perang. Selanjutnya, perang harus instrumental atau dipandang sebagai salah satu instrumen, artinya hal tersebut harus dilakukan dengan tujuan untuk mencapai suatu tujuan (goal) tertentu, bukan  berperang demi perang itu sendiri. Juga dalam arti bahwa semua strategi dan taktik harus diarahkan pada satu, dan hanya satu tujuan semata, yakni menuju kemenangan. Terakhir, perang harus lah nasional, dalam arti bahwa objektif dari perang tersebut harus demi mengedepankan kepentingan nasional dan bahwa keseluruh upaya bangsa harus dimobilisasi untuk mencapai tujuan militer.

Permasalahan klasik yang kerap dihadapi oleh angkatan bersenjata dan ahli ataupun pemerhati strategis di Indonesia adalah Indonesia tidak mempunyai grand strategy atau strategi keamanan nasional yang jelas dan terdokumentasikan. Sehingga, seringkali tidaklah mudah bagi pemerintah Indonesia untuk dapat menentukan sikap yang tegas dan menunjukkan arah yang jelas mau dibawa kemana negara-bangsa ini baik untuk jangka pendek, menengah maupun jangka panjang. Sementara hal tersebut juga sangatlah penting dan akan menentukan bagaimana pembangunan struktur kekuatan (Force Structure), procurement, dan program R&D (Research and Development) yang akan ditempuh, terlebih ditengah persaingan teknologi, juga tantangan dan persaingan global yang sedang dan akan kita hadapi di masa yang akan datang. Alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945, barangkali memberikan gambaran umum dan fundamental tentang tujuan bangsa Indonesia yang harus diwujudkan oleh negara. Namun bukan berarti hal tersebut sudah cukup untuk menjawab apa yang diinginkan nasional ini. Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut, menurut hemat penulis, adalah beragamnya ide dan gagasan serta dasar moral berfikir yang ada dan tumbuh didalam elit dan masyarakat Indonesia. Dan terkadang, ide dan gagasan serta dasar moral berfikir tersebut bisa saling bertentangan satu sama lain.

Hari ini, dunia sedang dihadapkan dengan persaingan dua negara besar dimana persaingan yang berlangsung tidak hanya meliputi aspek ekonomi, politik dan militer semata, tetapi bisa jadi akan menentukan bagaimana tatanan global (global order) di masa yang akan datang. Tulisan ini ditujukan untuk membantu kita untuk lebih memahami konteks politik yang tengah berlangsung dan dihadapi oleh Indonesia, dan mengapa nampaknya Indonesia seolah selalu sulit untuk menentukan posisi yang jelas dan tegas dalam banyak isu internasional. Demikian, pemahaman yang lebih jelas mengenai dunia dimana kita beroperasi juga diharapkan dapat membantu TNI AL untuk melihat pilihan-pilihan apa saja yang dapat dilakukan TNI AL di dalam isu-isu strategis yang tengah berkembang.

 

  1. The Race

[Yi Shan Bu Neng Chang Er Hu]

Potongan kalimat diatas merupakan salah satu peribahasa yang sangat populer dalam literatur China yang secara literal berarti “satu gunung tidak mungkin menyembunyikan dua harimau”. Artinya, tidak bisa ada dua pihak -pemimpin- dengan karakter yang kuat memimpin satu ‘ruang’ yang sama. Jika ada dua harimau di satu gunung yang sama, maka dapat dipastikan mereka akan berkelahi hingga salah satunya meninggalkan gunung tersebut. Jika kita melihat secara lebih dekat dan secara lebih mendalam, esensinya persaingan antara Amerika Serikat dengan China, menurut penulis, setidaknya meliputi empat hal, yakni: (1) global economy; (2) technology of the future – Offset Strategy; (3) geopolitics and startegy; dan pada akhirnya (4) International norms, regulations and global order.

  1. Global economy

Mulai dari tariff terhadap kedelai, baja, Huawei hingga mineral langka. Perang dagang antara Amerika dan China merupakan salah satu topik yang sangat kontroversial, tidak hanya bagi negara lain, namun juga dikalangan elit dan publik Amerika sendiri yang secara umum menerima teori keuntungan komparatif dan ekonomi maju sejak lama. Karena banyak kebijakan Trump tersebut bertentangan dengan perdagangan bebas yang merupakan prinsip dasar dari liberalisme-kapitalisme. Tentu, kebijakan tarif yang dilakukan Trump berdampak positif terhadap pekerjaan di satu sektor tertentu (ex. perusahaan baja lokal) namun juga mengorbankan pekerjaan di sektor ekonomi lainnya (ex. petani kedelai dan retailer baja impor)[1]. Karena penekanan terhadap proteksionisme dalam berdagangan dengan China tersebut, perdagangan dengan China seolah berdagang dengan musuh. Biasanya, aktifitas bisnis, perdagangan dan kerjasama ekonomi yang pada umumnya merupakan penyubur dan sisi yang relatif lebih fleksibel dalam hubungan antar negara – sekalipun ditengah-tengah pertentangan politik.

Jikapun demikian, jika kita melihat dari perspektif Amerika Serikat, pendekatan merkantilis proteksionisme Trump tersebut memiliki logika strategis.  Komunitas keaamanan nasional Amerika Serikat telah lama khawatir akan kenaikan China. Karena, setelah Uni Soviet bubar, maka salah satu musuh potensial bagi Amerika dan  nilai-nilai yang dibawanya (demokrasi liberalisme-kapitalisme) adalah China. Partai Komunis China disisi lain mampu bertahan dari keruntuhan ketika ‘kawan’ satu ideologinya di Eropa Timur ikut runtuh bersamaan dengan runtuhnya Soviet. Hal tersebut ditandai dengan terjadinya peristiwa di Tiananmen Square 1989 yang selalu menjadi salah satu topik kunci yang dipakai Amerika untuk menekan China di dalam forum global.[2] Persistensi PKC ditambah dengan modernisasi dan semakin terkesposnya industri dan jasa China kedalam pasar global (marketisasi), membuat mereka khawatir bahwa Amerika berpotensi untuk berhadapan dengan great power yang otoriter dan sejahtera. Kondisi ini berbeda dengan kondisi yang dihadapi Amerika Serikat ketika bersaing dengan Soviet pada saat perang dingin.

Ditahun 1990an hal demikian masih dapat dikesampingkan. Melihat bubarnya Soviet dan runtuhnya tembok Berlin, banyak elit di Amerika nampaknya meyakini bahwa pada waktunya China (PKC) pun akan ikut runtuh. Presiden Clinton pada masa itu nampaknya meyakini apa yang ditulis oleh Francis Fukuyama dalam “The End of History and the Last Man”(1992)[3] dan democratice peace theory[4] yang dikenal di kalangan pestudi HI. Ia menerapkan logika strategis yang dikenal dengan istilah “modernization by stealth“. Dengan harapan, dengan membawa China kedalam pergaulan dan ekonomi global akan secara perlahan meliberalisasi China secara politik dan sosial (compromised then democtratized Chinese Communist Party).  Oleh karena itu, setelah Den XiaoPing mengeluarkan apa yang dikenal dengan “Open Door Policy” (1978-1984), juga mempertimbangkan potensi pasar domestik China yang sangat besar, Amerika sangat mengakomodir kebijakan tersebut. Presiden Clinton (presiden ke-42 AS – 1993-2001) bahkan mendukung masuknya China secara formal ke dalam WTO di tahun 2000 dan memberikan status “Most Favored Nation” kepada China.

Strategic Gamble tersebut dipandang masih sangat masuk diakal pada masa itu, melihat bagaimana modernisasi dan kesejahteraan berhasil menempa negara-negara sosialis-komunis lainnya terutama di Eropa, Amerika Latin dan beberapa negara Asia lainnya. Kekayaan dan modernisasi China diharapkan akan membuat ketertarikam China terhadap kompetisi dan nasionalisme terkikis dan lebih tertarik pada peningkatan materiil dan kualitas hidup (liberalized and capitalized). Dan masyarakat china yang sejahtera dan modern juga diharapkan pada akhirnya menjadi terdemokratisasi -tuntutan terhadap kebebasan individu, Hak Azasi Manusia dan pilihan serta proses politik yang lebih demokratis. Demokrasi di Taipei, Taiwan, merupakan salah satu modelnya.

Namun apa yang nampak di tahun 2019 ini sepertinya tidak berjalan sebagaimana yang dulu diharapkan. Modernisasi dan kapitalisasi serta dukungan untuk masuk kedalam pasar global yang diharapkan akan menjinakkan Sang Harimau, justru berbalik seolah memberikan sayap kepada Harimau tersebut. Kini, bisnis dan perdagangan dua ekonomi terbesar dunia tersebut dalam konflik yang semakin memanas. Terlebih keduanya kini sedang bersaing dalam semua teknologi masa depan  yang dapat menentukan posisi superpower dimasa yang akan datang. Dengan demikian, perang dagang yang dilakukan Trump memiliki logika strategis. Economics must be subservient to politics, dan Amerika harus rela berkorban sebagian keuntungan dari perdagangan dengan China – barang murah, modal murah- untuk keuntungan yang lebih besar yang mungkin dapat diperoleh dari penekanan pertumbuhan China -termasuk akses pasar dan perlakuan bisnis yang lebih adil di China bagi perusahaan asing- juga kenaikan China sebagai Hegemon di kawasan.

Wang Shouwen, dalam wawancara dengan PBS menyatakan bahwa China tidak ingin berperang dengan negara manapun. Bahkan perang dagang sekalipun. Ia menambahkan, sebagaimana penyataan Presiden Xi, China menilai bahwa samudra Pasifik cukup besar untuk mengakomodasi kedua ekonomi dan CHina tidak memiliki strategi rahasia apapun untuk menggantikan posisi Amerika Serikat sebagai global superpower (PBS Doc. min 46.14).

 

扮猪吃老虎 [bàn zhū chī lǎo​hǔ] – “pretending to be a pig, to eat the tiger

 

Peribahasa diatas barangkali sangatlah tepat untuk menggambarkan sikap China terhadap Amerika Serikat saat ini. Dengan pengalaman sejarahnya yang sangat kaya selama berabad-abad melalui beberapa dinasti, tidak berlebihan jika halnya kita asumsikan para elit politik di China memahami betul peribahasa tersebut. Peribahasa tersebut sederhananya berarti ‘berpura-pura lemah atau menyembunyikan kekuatanmu yang sebenarnya dan melakukan ‘suprise attack’ di waktu yang tepat’. Peribahasa ini penuh dengan intrik namun juga sangat bermanfaat terutama ketika seseorang memasuki lingkungan baru dimana disana pasti sudah ada figur ‘harimau’ atau superpower. Demikian, ketika bertemu dengan superpower yang sudah ada, penting untuk memahami bagaimana mereka berfikir dan melakukan sesuatu (how they think and how they do their things). Logikanya, negara yang sudah terbiasa dan lama menjadi superpower, mereka belum siap dan tidak akan mudah untuk membagi kekuasaannya.

Oleh karena itu, seseorang tidak bisa masuk begitu saja kedalam kelompok mereka dan mempertunjukkan bahwa dia lebih kapabel dan ingin mengubah sesuatu. Terkadang, bahkan ketika masukannya nampak lebih logis. Membuktikan dengan aksi dan kesuksesan, barulah seseorang tersebut bisa mempunyai hak untuk mengubah sesuatu. Krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2007 dan 2008 merupakan titik balik bagaimana China memandang Amerika dan sistem ekonomi dan sistem finansial global saat ini. Disisi lain, keberhasilan ekonomi dan pembangunan China selama dekade terakhir merupakan suatu hal yang tidak semua negara di dunia bisa capai dengan cepat. Bill Bishop, editor Sinocism, menyatakan:

“There is still a lot of respect towards U.S economic system, toward U.S financial system. A lot of respect for the big banks and the idea that the U.S understood how to run a financial market. And then, the crash happened. A meltdown on a Wall Street, the worst since 9/11. The worst financial crisis in modern time. Three out of the five biggest investment banks are gone. The financial crisis of 2007 and 2008 as a really key turning point in how the leading Chinese thinkers saw the U.S.. Where the U.S maybe was up there (high) in terms of something to emulate in certain ways, went down to here or lower. Because basically the emperor has no clothes. The Attitudes changed profoundly.” (PBS Doc.)

The time was ripe for China. Adalah ketika Xi Jinping naik menjadi ketua PKC, Presiden sekaligus komandan tertinggi militer China, China mulai menunjukkan kapabilitas dirinya. Di bawah Xi Jinping, China merangkul rencana nasional yang ambisius yang dikenal dengan “Made in China 2025” yang menempatkan penekanan yang lebih tinggi untuk mendominasi berbagai industri kunci global, baik itu melalui investasi (di luar negeri – ex. silicon valley), maupun pengembangan industri dalam negeri -tidak hanya low and cheap manufacturing product, tetapi juga high-tech manufacturing product. Xi Jinping juga berhasil mencuri panggung Trump melalui pidatonya di World Economic Forum 2015 lalu. Terlebih ketika Trump menurunkan komitmen Amerika Serikat di dalam Paris Agreement, Xi Jinping – yang merupakan presiden dari negara penyumbang polutan terbesar di dunia, justru memperkokoh komitmenya di dalam kesepakatan internasional mengenai lingkungan tersebut. Xi Jinping juga memperkenalkan model baru pembangunan, terutama infrastruktur, dengan Belt and Road Initiave-nya. Direktur University of IR, Beijing, Da Wei berargumen:

“Is America complain about the way china handle its economy or is it about China’s legitimacy to become a prosperous and powerful country? our population is four times bigger than the U.S. , 1.3 billion people. So, by logic, China’s economy should be four times higher than the U.S economy. Now we are only 60% of the size of the U.S. I think we do have the right to be at least as powerful as the U.S. and even one day much more powerful tha the U.S.” (PBS Doc.)

 

  1. Technology of the Future (Offset Strategy)

Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu faktor yang juga semakin memperpanas persaingan geopolitik dan perang dagang antara AS dengan China karena keduanya kini tengah berlomba untuk teknologi masa depan. Yakni mengejar keuntungan kompeitif jangka panjang terhadap strategi musuh (offset).  Kita juga memahami bahwa berbagai penemuan dan teknologi baru yang terus bermunculan dengan cepat hari ini berpotensi untuk mengubah bagaimana cara kita bertarung, memenangkan perang dan mencegah ancaman, baik itu di darat, laut, udara, ruang angkasa maupun ruang siber. Machine learning, kecerdasan buatan, otomatisasi dan senjata robotik merupakan beberapa contoh kecil diantaranya. Demikian, sebagaimana halnya selama perang dingin, AS bergantung pada superioritas teknologi untuk mempertahankan keuntungan kompetitif (offset) terhadap keuntungan dalam waktu, ruang dan ukuran kekuatan Uni Soviet. Teknik militer yang high-tech dan up-to-date pada masa itu memungkinkan Kekuatan Gabungan AS untuk mengadopsi fostur kekuatan dan konsep operasional yang mampu mengimbangi keuntungan militer numerik konvensional Soviet tanpa harus bertarung orang per orang atau tank per tank.

Fakta bahwa hari ini kita juga membaca dan memanfaatkan internet adalah salah satu konsekuensi besar dari runtuhnya Uni Soviet. Selama perang dingin, ilmuwan Uni Soviet dan Amerika Serikat berlomba untuk mengembangkan jaringan komputernya masing-masing yang dinamakan “cyberspace race“. Soviet menginginkan cara untuk dapat mengkoordinasi dan merasionalisasikan tatangan rancangan ekonomi terpimpin (command or administrative command economy). Sementara Amerika mencari jalan untuk memfasilitasi komunikasi internal untuk perang nuklir. Eksperimen yang dilakukan Soviet tidak membuahkan hasil, namun upaya yang dilakukan Amerika berbuah jauh lebih baik. Ketika Uni Soviet runtuh, semua perkembangan yang telah dihasilkan Soviet di deklasifikasi sehingga memberikan  jalan bagi berkembanganya jaringan sipil yang kita kenal dengan internet hari ini. Oleh karena itu, salah satu perubahan besar lainnya yang dihasilkan dari runtuhnya Uni Soviet adalah bagaimana sektor swasta menjadi inkubator bagi lahirnya teknologi terkinikan (cutting-edge tech) saat ini (Triolo, 2016)[5]. Disisi lain, pemerintah selalu menjadi sumber utama dari program Riset dan Pengembangan (R&D) Amerika[6]. Keuntungan dari cutting-edge military technology and tactics yang dihasilkan dari program pemerintah tersebut terus memberikan keuntungan lebih bagi militer AS dalam berhadapan dengan musuh atau musuh potensial di kawasan selama dua dekade setelah perang dingin berakhir.

Jika halnya Soviet, di masa perang dingin, tidak pernah mampu bersaing dengan, apalagi melebihi,  superioritas teknologi Amerika, China bisa jadi tidak demikian. Sejak tahun 1885, Amerika Serikat belum pernah berhadapan dengan kompetitor ataupun sekelompok kompetitor dengan GDP yang lebih besar dari GDP-nya. China disisi lain, sejak tahun 2014 telah melampaui paritas daya beli (purchasing power parity) Amerika dan sedang berjalan menuju negara ekonomi terbesar dunia pada 2030. Sebagai perbandingan, musuh AS pada masa perang dingin, Soviet, memiliki fondasi ekonomi yang lemah dan tidak berkelanjutan yang pada akhirnya akan jatuh tertekan. Pada puncak kekuasaannya, GDP Soviet hanya sekitar 40 persen dari GDP Amerika Serikat (Rodriguez et.al., 2017). GDP China hari ini, disisi lain, kurang lebih ada pada angka 60% GDP AS.

Di akhir perang dingin, China tidak menunjukkan potensi ancaman terhadap momen unipolar Amerika. China memang merupakan salah satu negara pemilik nuklir, namun jika dibandingkan dengan kapabilitas nuklir AS, masih sangat jauh. Ia memiliki militer yang besar, namun kekuatannya kurang dipersenjatai dan tidak siap untuk perang besar. Hari ini, kapabilitas teknologi China telah berkembang secepat perkembangan kekuatan ekonominya. Kondisi dimana sektor swasta lah yang menjadi inkubator dan pemain kunci dalam penemuan dan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memberikan keuntungan terhadap China dibandingkan state-based planned  R&D programm seperti yang dilakukan Amerika.

Perkembangan teknologi militer China tersebut tidak hanya berkenaan tentang misil, kapal atau senjata konvensional lainnya semata. Selain telah memiliki kapabilitas Anti Akses dan Area Denial (AA/AD), kekuatan misil dan operasi siber yang berhasil membuat negara tetangganya harus ekstra berhati-hati. Selama satu dekade terakhir, investasi pemerintah China juga meliputi banyak hal termasuk teknologi-teknologi untuk sektor publik seperti Alibaba, BeiDou (GPS), WeChat (What’s Up), Weibo (Facebook, Twitter dsj), Youku (Youtube), Huawei dan lainnya. Strategi tersebut telah secara tidak langsung membantu china melatih ranking militer kapabilitas  teknologinya di pasar komersil. China bahkan bisa mengkapitalisasi investasinya di dalam teknologi-teknologi tersebut. Oleh karena itu, seringkali teknologi militer China juga meluncur lebih cepat dibandingkan dengan program R&D pertahanan Amerika (Rodriguez et.al., 2017)[7]. “You fight with your own way, i fight with my own way”. Tidaklah kaget jika halnya pendekatan China kedepannya adalah pendekatan perang yang bersifat inkonvensional, hybrid atau berada di area abu-abu.

Superioritas dalam teknologi militer AS barangkali belum bisa China lampaui hari ini. Namun tidak menutup kemungkinan akan jika pola dan kecepatan perkembangan China hari ini tidak dibendung. Sejumlah pakar menyebutkan bahwa saat ini China masih dalam tahap untuk menumpulkan superioritas teknologi militer AS. Ahli strategis China, disisi lain, tidak pernah secara eksplisit mendeskripsikan tujuan mereka seperti dipaparkan diatas. Namun demikian, melihat perkembangan dan pencapaian militer China dalam kurang dari dua dekade terakhir dan berbagai tujuan yang ingin dicapai China dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Maka perkembangan atau kesuksesan China sekecil apapun akan menjadi sorotan negara lain, terutama Amerika Serikat. Kasus dan pemblokiran yang menimpa Huawei dan teknologi 5G-nya merupakan salah contohnya. Demikian, perang dagang antara China dan AS pun sudah mencapai pada produk mineral langka (rare earth materials) yang sangat krusial untuk minimalisasi teknologi untuk smartphone, ICT dan teknologi untuk satelit.

 

  1. Geopolitics and Strategy

Persaingan antara Amerika Serikat dan China yang ketiga adalah berkaitan dengan geopolitik dan strategi. Hal ini terutama setelah Xi Jinping keluar dengan proyek ambisiusnya untuk menghidupkan kembali jalur sutra darat dan jalur sutra maritim – bahkan hingga di kutub utara – yang juga disertai dengan ambisi militernya.

Jika kita melihat peta jalur proyek Belt and Road Intiative China dan dinamika strategi militer China, maka dapat dikatakan pula bahwa China sedang dalam proses untuk membangun land-based navy terbesar di dalam sejarah. Kaplan menyebutkan, ambisi baru ‘imperium’ China tersebut merefleksikan masa kejayaan Dinasti-Dinasti China di masa lalu, yakni Dinasi Tang yang kenal dengan masa kejayaan diplomatik China; Dinasti Yuan, kejayaan jalur darat China dan Dinasti Ming yang membawa China pada puncak kejayaan maritimnya. Dan jantung dari ‘imperium’ baru ini adalah Samudra Hindia. Karena Samudra Hindia merupakan titik temu dari semua energi di dunia, juga menghubungkan ladang hydrocarbon Timur Tengah dengan pusat ekonomi dan industri di Asia Timur (Kaplan. 2019).

Untuk dapat mengamankan ‘jantung’ tersebut -atau tepatnya menjamin keamanannya di ‘jantung’ tersebut- penting bagi China untuk menguasai dua hal, Laut China Selatan adalah salah satunya sisinya. Samudra Hindia  terhubung dengan Laut China Selatan melalui selat Malaka, Sunda dan selat Lombok. Oleh karena itu, jaminan keamanan jalur perdagangan dan penguasaan di Laut China Selatan merupakan salah satu faktor penting dalam strategi China. Penguasaan terhadap Laut China Selatan tidak hanya akan semakin membuka lebar jalur menuju Samudra Hindia, tetapi juga akan dapat secara perlahan menekan Taiwan dan memberikan akses yang lebih besar bagi PLA Navy China menuju Pasifik.

Selain laut China Selatan, maka kawasan Timur Tengah, kawasan Afrika timur hingga tanduk Afrika merepresentasikan sisi lainnya dari Samudra Hindia. Negara-negara wilayah ini sangatlah rentan terhadap konflik dan perang, seperti yang diungkapkan oleh Zbigniew Brzezinski bahwa:

“. . .that hundreds of millions of Muslims do not yearn for democracy as much as they yearn for dignity and justice, things which are not necessarily synonymous with elections. The Arab Spring was not about democracy: rather, it was simply a crisis in central authority. The fact that sterile and corrupt authoritarian systems were being rejected did not at all mean these societies were institutionally ready for parliamentary systems: witness Libya, Yemen and Syria. As for Iraq, it proved that beneath the carapace of tyranny lay not the capacity for democracy but an anarchic void. The regimes of Morocco, Jordan and Oman provide stability, legitimacy, and a measure of the justice and dignity that Brzezinski spoke of, precisely because they are traditional monarchies, with only the threadbare trappings of democracy. Tunisia’s democracy is still fragile, and the further one travels away from the capital into the western and southern reaches of the country, close to the Libyan and Algerian borders, the more fragile it becomes.”

Berbeda dengan Amerika Serikat yang datang untuk mempromosikan nilai-nilai demokrasi, HAM dan liberalisme kapitalisme, China, disisi lain tidak hirau akan hal tersebut. Oleh karena itu, kondisi di sisi barat samudra Hindia seolah terbentuk secara khusus untuk China yang tidak datang membawa ajaran moral  atau mendoktrin bentuk pemerintahan atau tatanan tertentu, i.e. demokrasi, liberalisme-kapitalisme. China tetap menawarkan dan menyediakan mesin pembangunan terhadap negara manapun terlepas apapun bentuk pemerintahannya. Bagi China, globalisasi utama dan lebih utamanya adalah tentang penyebrangan kontainer; sebuah aktifitas ekonomi yang telah mahir dikuasai oleh China.

 

Pemilihan Djibouti sebagai salah satu hub penting PLA/Navy, misalnya, adalah rasional secara strategis. Pangkalan tersebut menghubungkan: ke timur ke Gwadar di Pakistan, ke selatan ke Bagamoyo di Tanzania dan ke arah Utara di Piraeus di Yunani. Kesemuanya tersebut, pada akhirnya, membantu jangkar perdangangan dan investasi China di seluruh kawasan Timur Tengah, Afrika Timur dan Eastern Mediterranean (perhatikan gambar diatas). Djibouti adalah negara diktator, Pakistan pada dasarnya dalah negara militer, Tanzania semakin otoriter dan Yunani  adalah negara demokrasi yang semakin terbukan terhadap China. Dan begitulah kondisi dunia apa adanya yang ada di kawasan antara Eropa dan Asia Timur. Namun bagi China yang tidak hirau akan perbedaan sistem tersebut, lingkungan demikian sangatlah menguntungkan. Oleh karena di Hindia, China dikelililingi oleh kekuatan negara lain -sudah memiliki Blue Water Navy yang established. Seperti AS di Diego Gracia, Perancis di Yaman, Rusia dan NATO di Teluk Arab dan terutama India yang memang merupakan ‘tuan rumah’ disana. Dengan adanya proyek Belt and Road Initiative, juga untuk mengamankan jalur perdagangan dan energi China, maka adalah langkah yang logis bagi China untuk mulai membangun pondasi untuk Blue Water Navy-nya sendiri.

Bagi Amerika Serikat, pengerahan kekuatan yang lebih kuat untuk kawasan Indo-pasifik dan pembangunan konsep Indo-Pasifik itu sendiri juga merupakan salah satu konsekuensi logis AS untuk membendung pengaruh dan peningkatan supremasi China di kancah dunia. Sehingga, salah satu prioritas utama yang dilakukan Amerika -Trump- adalah secara perlahan melepaskan diri dari konflik di Timur Tengah, yakni dengan memberikan kekuasaan dan ‘rewards’ lebih untuk Israel sehingga dia akan dapat mempertahankan dirinya sendiri; menjual lebih banyak senjata militer kepada Arab Saudi dan aliansinya sehingga dapat mempertahankan dirinya sendiri dalam melawan Iran dan mengevaluasi dan memuktakhirkan kembali program senjata nuklirnya (nampak dalam US NSS, dan US Congress Budget Office Document untuk program senjata nuklir 2017-2046) disisi lain. Sehingga, kekuatan yang dulu di proyeksikan disana, dapat dipakai untuk memperkuat proyeksi kekuatan di Indo-Pasifik. Selain itu, tidak ada tempat di kawasan Timur Tengah yang dapat menawarkan keuntungan yang lebih besar untuk mendukung AS vis-a-vis China seperti halnya yang India dan Taiwan dapat tawarkan. Sebaliknya, jika halnya AS tetap bersikeras terlibat dalam konflik disana, seolah AS membantu menjaga dan mengamankan bisnis China di kawasan – seperti semakin memberikan sayap terhadap seekor harimau.

Merangkul India adalah salah satu langkah penting ketika Trump memperkenalkan konsep Indo-Pasifiknya. Namun demikian India bukanlah aliansi AS, dan bagi AS akan lebih baik jika hal tersebut tetap sama. India, juga merupakan suatu entitas yang tidak hanya sekedar sebuah negara saja, melainkan sebuah peradaban yang telah eksis lama. Dengan demikian, tidak akan mudah untuk mengubah India sejalan dengan ideologi AS- Inggris juga bahkan tidak berhasil. Selain itu posisi Geografis India terlalu dekat dan berbatasan langsung dengan China. Sehingga, hanya dengan mempertimbangkan pertumbuhan demografi, perkembangan teknologi dan militer, posisi geografis dan fakta bahwa samudra Hindia itu sendiri merupakan halaman rumah tempat bermain India, maka India merupakan penyeimbang alami terhadap kenaikan pengaruh China di kawasan. Oleh karena itu, membangun partnership yang lebih kuat dan mendukung perkembangan India, tanpa harus membahas aliansi formal, sudah cukup bagi Amerika Serikat selama ia tidak bergeser kedalam orbit China.  Pendekatan serupa nampaknya juga dilakukan AS terhadap Indonesia yang merupakan negara kunci di kawasan Asia Tenggara.

Taiwan, disisi lain, disebutkan sebagai salah satu negara aliansi model bagi Amerika Serikat. Demokrasi yang stabil dan berwarna dan merupakan salah satu negara paling sejahtera dan ekonomi terefisien di dunia. Singkatnya, Taiwan adalah negara angkat yang paling sukses bagi tatanan dunia demokrasi liberal di mata Amerika. Presiden Nixon pada masa itu berhasil membuka hubungan diplomatik dengan China tanpa harus membahayakan posisi Taiwan. Oleh karena itu, jika halnya komitmen AS terhadap Taiwan dalam mempertahankan dirinya terhadap China tidak kuat, maka akan menjadi sinyal akhir dari dominasi strategis Amerika Serikat di kawasan Asia Timur. Dominasi China terhadap Taiwan juga akan secara nyata mengkonfirmasi dominasi efektif China terhadap Laut China Selatan, dan dengan demikian memberikan akses yang lebih mudah bagi China menuju dua lautan terbesar di dunia – Hindia dan Pasifik. Oleh karena itu, kita melihat bagaimana persaingan kedua negara tersebut , dan perbedabatan mengenai konsep  Indo Pasifik juga semakin panas – baik di kalangan ahli militer dan ahli strategis, maupun dalam first track dan second track diplomacy.

 

  1. International norms, regulations and order

Ekonomi, teknologi masa depan dan geopolitik. Pada jangka panjang, menurut penulis, persaingan antara Amerika Serikat dan China adalah mengenai siapa, apa dan bagaimana tatanan global di masa depan. Kita sudah tidak asing ketika banyak elit dan diplomat kita muncul dengan kalimat “rule-based international order” atau tatanan internasional yang didasarkan pada hukum. Namun norma, aturan atau hukum siapa yang dimaksudkan?. Konsep ‘rule-based international order’ yang kita kenal kenal saat ini dimaksudkan pada sejumlah kesepakatan yang memungkinkan untuk dilakukannya upaya bersama dalam menjawab tantangan-tangan ataupun sengketa geopolitik, ekonomi atau berbagai tantangan global lainnya. Yakni meliputi berbagai institusi multilateral seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui berbagai fungsi arsitektur lainnya seperti Bretton Woods system (World Bank dan IMF), dan seperangkat hukum internasional dan perjanjian/rezim internasional dan regional lainnya. Singkatnya, rule-based international order meliputi institusi dan aturan-aturan atau rezim internasional yang umumnya berupa prinsip  dasar yang mengawal bagaimana transaksi hubungan ekonomi dan politik antar negara dilakukan.

Menjawab pertanyaan diatas, beberapa aspek dari tatanan hukum internasional yang kita kenal saat ini memang sangat terpengaruh oleh nilai-nilai tertentu, misalnya yang tercantum dalam Deklarasi HAM Universal (the Universal Declaration of Human Rights). Jikapun kebanyakan diantaranya hanya berisi prinsip-prinsip dasar dalam hubungan antar negara. Bagi beberapa pihak, tatanan internasional yang kita kenal saat ini dipandang sebagai konsep yang sarat muatan politik. Hal tersebut dapat dipahami terutama bagi beberapa negara yang tidak memiliki atau hanya memiliki peran kecil dalam pembentukan hukum/aturan/standarisasi regulasi tertentu; atau mereka yang memang lebih mengedepankan ambisi nasionalnya dan memandang multilateralisme sebagai pengurangan terhadap kedaulatan negara; atau mereka yang merasa bahwa standar nilai-nilai universal dan kepentingan bersama tersebut membatasi atau bahkan bergesekan dengan preferensi politik, nilai-nilai tradisional dan pengalaman sejarah mereka.

Dari sini penulis satu pemahaman dengan apa yang diungkapkan oleh Robert Kaplan dalam tulisannya “America Must Prepare for the Coming Chinese Empire”. Robert Kaplan berargumen bahwa walaupun penggunaan istilah pemerintahan imperial -kekaisaran, atau istilah lainnya yang serupa- sudah hilang sejak semakin banyaknya negara-negara yang memerdekakan diri, dalam konteks tertentu konsep tersebut sepertinya masih tetap hidup di tengah-tengah kita hingga hari ini. Ia beragumen bahwa America, since the end of World War II and into the second decade of 21st century, was an empire in all but name” (Kaplan, 2019). Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN), sistem finansial, sistem perdagangan dan ekonomi global (contoh. IMF, World Bank dan penggunaan Dollar AS sebagai global currency) serta Wall Street adalah beberapa institusi dan tatanannya. Baik itu aturan atau regulasi yang ada didalamnya maupun standar (misal standar pembangunan dan sejenisnya), memiliki pengaruh yang sangatlah besar di kancah global. Namun hal tersebut sudah mulai tidak berlaku lagi, oleh karena banyak negara-negara saat ini, bahkan negara-negara aliansi AS di Eropa dan Asia mulai mempertanyakan konsistensi Amerika. Ia menambahkan bahwa:

“empire, or its great power equivalent, requires the impression of permanence: the idea, embedded in the minds of local inhabitants, that the imperial authorities will always be there, compelling acquiescence to their rule and influence” (Kaplan, 2019).

Artinya, sebuah imperium atau bentuk kekuasaan sejenisnya, harus memiliki kesan permanen: yakni: ide yang melekat dalam benak penduduk lokal bahwa otoritas kekaisaran tersebut akan selalu ada, menuntut kerelaan terhadap pengaruh dan peraturan mereka. Power, bagi sebuah imperium juga pada akhirnya tidak hanya serta merta mengenai kekuatan ekonomi atau militer semata, melainkan juga moral. Dan moral yang dimaksud juga bukan semata-mata berkaitan dengan ‘humanitarian’, melainkan fidelitas[8] kata dari ‘imperium’ tersebut dimata khalayaknya. Dan fidelitas Amerika Serikat terhadap banyak isu global kini mulai dipertanyakan. Invansi militer Amerika Serikat ke Irak tahun 2003 merupakan salah satu isu awal yang menjadi perdebatan panas negara-negara, yakni tentang keadilan dan izin intervensi militer serta pentingnya untuk membatasi kekuatan AS. Selanjutnya, krisis ekonomi global tahun 2007-2008, batalnya dukungan AS terhadap Trans Pacific Partnership, dan inkosistensi Amerika -dibawah kepemimpinan Trump- terhadap kesepakatan-kesepakatan dan institusi multilateral adalah beberapa faktor utamanya.

Disisi lain, ketika suatu ‘imperium’ atau sejenisnya turun, maka yang lain akan naik. Sepanjang sejarah, hampir semua upaya untuk membentuk rule-based international order, selalu diperoleh dengan cara-cara kekerasan atau dari konflik. Terbentuknya perjanjian Westphalia, misalnya, merupakan salah satu upaya awal yang dilakukan negara-negara di Eropa untuk keluar dari perang agama yang berkepanjangan (the 30 years war). Dari perjanjian tersebutlah tatanan awal konsep negara-bangsa yang kita kenal saat ini lahir, yakni penekanan terhadap sakralnya kedaulatan dan prinsip non-interference terhadap urusan internal negara lain.

Kita saat ini tengah berada di masa dimana persaingan antara ‘imperium lama’ dengan ‘imperium yang sedang naik’ semakin memanas. Ditengah menurunnya fidelitas Amerika terhadap tatanan post-1945, Xi Jinping (China) naik dan mengambil panggung. Namun, menurut penulis, tidak untuk mempertahankan atau menyelamatkan tatanan tersebut. Xi Jinping memang berdiri dan mengambil alih ketika Paris Agreement ditinggalkan Trump. Namun Xi juga tebang pilih ketika menerapkan hukum lainnya, misalnya tidak dihormatinya hasil keputusan International Tribunal on the South China Sea yang dulu diajukan oleh Filipina. Selain itu, ketidakpuasan China terhadap Bretton Woods system telah mengalami momentumnya ketika krisis finansial global 2008 terjadi. Dengan demikian Xi Jinping dapat dengan lebih percaya diri ketika memperkenalkan mekanisme alternatif-nya (AIIB dan BRI).

Salah satu poin penting yang diharapkan adalah, persaingan tersebut tidak mengarah pada apa yang yang dikenal dengan istilah the Thucydide Trap[9]. Thucydides menyebutkan:

“When one great power threathens to displace another, war is almost always the result —  tho, doesn’t have to be”.

Adalah misinterpretasi Sparta terhadap intensi dan kenaikan Athena yang menyebabkan perang pecah antara keduanya. Dunia saat ini juga berada dalam dilema tentang bentuk dan perbaikan tatanan berdasarkan hukum – dan multilateralisme sebagai intinya- yang baru ‘ditinggalkan’ Trump dengan “American First” policy-nya. Dunia semakin bergerak segala arah – kehilangan ‘kepala’. Salah satu yang paling pertama akan dirasakan adalah yang dihasilkan atau resiko dari fragmentasi sistem perdagangan multilateral -orang lebih condong pada kerjasama bilateral seperti yang ditawarkan China pada skema BRI-nya). Namun konsekuensi yang paling nyata dari ketidakpedulian akan rule-based international order atau ambisi dari negara besar adalah semakin rentan atau berpotensinya negara-negara kecil dan yang lebih lemah untuk menjadi ‘tawanan’ persaingan geopolitik negara besar tersebut.

A fire at the city gate is also a disaster to the fish in the pond[10].

Artinya, sebuah aksi drastis dapat secara tidak langsung berpengaruh terhadap pihak lain dan bahkan membahayakan penonton diselilingnya yang tidak bersalah.

“Dua gajah berkelahi, pelanduk mati ditengahnya”

Salah satu upaya yang bisa dan diupayakan oleh negara-negara middle dan small power adalah memperkuat rule-based mechanism terutama yang berbasis kawasan seperti yang dilakukan oleh ASEAN. Walaupun tentu mekanisme demikian tidak akan bisa menyelesaikan masalah untuk jangka panjang, dan hanya bisa menitikberatkan pada inklusifitas program atau regulasi untuk mempertahankan diri dari guncangan. Atau dengan kata lain, jikapun terjadi guncangan atau perubahan besar, resiko kerusakan terhadap masyarakat tidak terlalu besar.

  1. Lesson-Learned

Salah satu permasalahan klasik yang kerap dihadapi oleh angkatan bersenjata Indonesia adalah clear objective dari pemerintah, apa yang ingin dituju oleh Indonesia. Sebagai contoh adalah ketika bertemu dengan isu baru seperti Indo-Pasifik, pilihan-pilihan aksi dan kerjasama Indonesia sangatlah terbatas dan seperti formalitas saja. Perang tidak boleh terjadi atau dilakukan hanya semata untuk perang itu sendiri, melainkan harus menyumbangkan suatu tujuan tertentu untuk negara. War is ‘politics by other means’ kata Clausewitz.  Salah satu alasan mengapa demikian bukanlah semata karena Indonesia belum capable, tidak mempunyai ambisi seperti misalnya AS dan China, melainkan tidak adanya atau sulitnya menentukan strategi nasional Indonesia. Kaplan menyebutkan bahwa grand strategy is about reflecting oneself. It is not about what we do outside, but what we strengthen inside. Realitas dan pengaruh budaya, adalah satu topik yang juga sering dihindari oleh banyak ahli maupun pemerihati strategis. Indonesia adalah negara demokrasi dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Dan didalam perdagangan dan pergaulan global, serta finansial, Indonesia mengikuti Bretton Woods system – sebagaimana halnya mayoritas negara lainnya. Ketiga hal tersebut tidak harus selalu bertentangan satu sama lain secara nilai. Namun dalam satu titik tertentu, adanya perbedaan mendasar dari ketiga elemen tersebut menjadikan proses pembuatan kebijakan di Indonesia lebih lambat. Oleh karena pemerintah Indonesia harus selalu bisa menjaga keseimbangan diantara ketiga. Belum banyak aspek lain yang perlu dipertimbangkan, misalnya politik domestik Indonesia dan proses di parlemen.

Salah satu kekuatan yang dimiliki China – yang juga merupakan aspek yang kerap dilupakan oleh Amerika- adalah bahwa China itu adalah suatu ‘organisme’ yang unik. China bukan hanya sebuah negara, melainkan juga sebuah peradaban yang kaya akan pengalaman sejarah dan shared-values. Oleh karena itu, nilai-nilai bersama yang telah ditempa oleh sejarah dan waktu tersebutlah yang membuat masyarakat China, pemerintah (PKC) dan pelaku-pelaku bisnisnya – dimana 90% lowongan pekerjaan berada- dapat bergerak bersama dengan lebih mudah dan relatif cepat. Dengan demikian, ketika maju ke panggung global, dapat keluar dengan pemikiran-pemikiran yang original (yang mereka telah buktikan sendiri) dan satu suara. Dan dari pemparan diatas kita juga menyadari bahwa pada akhirnya persaingan antara AS dan China yang kita saksikan hari ini akan menentukan siapa dan bagaimana tatanan global di masa depan. Kecuali jika Indonesia dapat menemukan suatu terobosan baru dan berhasil diterapkan di Indonesia (tidak harus selalu dipromosikan atau bahkan dipaksakan keluar) terutama dalam sektor dasar seperti sistem finansial, ekonomi dan perdagangan. Maka Indonesia akan terus berada pada posisi yang harus melakukan penyeimbangan atau menjaga equilibrium ditengah-ditengah sistem yang ada yang ditawarkan oleh negara lain seperti yang kita lakukan hari ini.

Seperti disebutkan sebelumnya, mekanisme demikian tidak akan bisa menyelesaikan masalah dalam jangka panjang, dan hanya bisa menitikberatkan pada inklusifitas program atau regulasi untuk mempertahankan diri dari guncangan. Atau dengan kata lain, jikapun terjadi guncangan atau perubahan besar, resiko kerusakan terhadap masyarakat tidak terlalu besar. Demikian, pilihan-pilihan aksi yang dapat dilakukan oleh, misalnya TNI AL dalam isu Indo-Pasifik, pun sangatlah terbatas dan terkesan formalitas saja. Showing the flag, naval diplomacy, inttelligence exchange, atau mengejar military benefit, merupakan beberapa opsi aman yang umumnya direkomendasikan. Oleh karena perang tidak boleh terjadi atau dilakukan hanya semata untuk perang itu sendiri, melainkan harus menyumbangkan suatu tujuan tertentu untuk negara. War is ‘politics by other means’ begitu kata Clausewitz.

________________________

[1] Trump’s Trade War – Frontline PBS Documentary. Video dapat diakses di: <https://www.youtube.com/watch?v=4_xQ5JisFuo>

[2] Isu mengenai Hak Azasi Manusia – dan sekarang ditambah dengan isu diskriminasi terhadap minoritas muslim di Xinjiang- merupakan salah satu topik yang selalu diangkat.

[3] Di dalam bukunya Fukuyama berargumen bahwa mengikuti naiknya demokrasi liberal gaya Barat, perang dingin dan runtuhnya Uni Soviet, umat manusia tidak hanya mencapai periode bersejarah berakhirnya suatu perang, melainkan akhir dari sejarah itu sendiri: yakni titik puncak dari evolusi ideologi dan universalisasi demokrasi liberal barat sebagai bentuk final dari pemerintahan manusia (Fukuyama.1989. P.13-18)

[4]Democratic peace theory berargumen bahwa negara-negara demokrasi yang matang jarang bahkan tidak akan melakukan perang terhadap satu sama lain. Hal ini karena diyakini bahwa norma-norma dalam demokrasi dan sistem check and balances antara pemerintah dan parlemen (dewan perwakilan rakyat) akan membuat pertimbangan untuk melakukan perang terhadap negara lain lebih ketat. Negara-negara demokrasi liberal hanya akan memulai perang hanya ketika bermaksud untuk memapankan tujuan liberalnya seperti masalah peningkatan kebebasan individu, HAM di negara lain — dari sini kita kenal juga dengan istilah R2P atau Responsibility to Protect.

[5] https://www.eurasiagroup.net/live-post/technology-youre-looking-at-the-end-of-the-cold-war-right-here

[6] Kita kenal US Offset Strategy –first offset strategy, second offset strategy dan third offset strategy hari ini.

[7] https://foreignpolicy.com/2017/07/28/america-needs-a-new-dreadnought-strategy-military-technology-rd/

[8] Fidelity (noun) mean faithfulness to a person, cause, or belief, demonstrated by continuing loyalty and support.

[9] https://foreignpolicy.com/2017/06/09/the-thucydides-trap/

[10] Berasal dari peribahasa China “城门失火,殃及池鱼” [chéngmén shīhuǒ yāngjí chí yú].Secara literal berarti “Kebakaran di Gerbang Kota adalah bencana untuk ikan di kolam juga”. Peribahasa ini berangkat dari gagasan bahwa jikapun ikan di kolam nampak aman dari api dan kebarakan di luar, namun jika halnya pemadam kebakaran menggunakan air kolam tersebut untuk membantu memadamkan api hingga kering, dengan demikian ikan-ikan pun ikut menderita.

0 0 votes
Article Rating

Heni Sugihartini

View posts by Heni Sugihartini
Heni Sugihartini, lahir di Sumedang 21 November 1993. Tahun 2011 menempuh pendidikan pada Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung. Memulai karirnya pada Juli 2016 sebagai staff redaksi dan analis di Forum Kajian Pertahanan dan Maritim (FKPM).
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
Share via
Copy link
Powered by Social Snap